42. Pengakuan dan Perpisahan

PERTENGAHAN September tiba.

Tepat satu minggu setelah Hita memberitahu soal mama aslinya kepada Daru, mendadak saja dunia Daru jungkir balik seperti kaleidoskop yang memutar rangkaian peristiwa hidupnya; dari yang melelahkan sampai membahagiakan. Dari insiden ketika Hita disangka hilang karena mencari Inaw, sampai Daru yang dirawat di klinik karena kecerobohannya menyiksa diri hingga demam. Dari pertemuan pertamanya dengan Senja yang menuduhnya sebagai berandal penyiksa binatang, sampai ke penghujung pertemuannya dengan Senja, yang kini telah menyandang status baru sebagai gadis yang dia taksir.

Semua peristiwa itu membuat Daru kelimpungan, seperti digelayuti awan yang terkesan hangat sekaligus menggelisahkan. Sama seperti ketidaktahuan Daru apakah awan di hatinya akan berubah menjadi pelangi atau mendung, saat ini pun dia buta situasi―entah apakah Daru patut bersyukur atau menyesali satu-dua hal yang sudah terlambat untuk diperbaiki.

Seperti saat ini, ketika Daru dan Hita sama-sama pergi ke rumah Bu Garwita untuk mengantar kepergian Senja ke Surabaya, si pemuda itu baru menyadari satu hal yang terlambat diperbaiki; dia tidak menyiapkan diri untuk bertemu kedua orangtua Senja.

"Kenalin, Pa, Ma. Ini Mas Dewandaru." Kata-kata Senja bergulir seperti kerikil yang runtuh di atas kepala Daru. Membuat jantungnya berdebar dan hatinya terhantam kecemasan. "Mas Daru, kenalin, ini orangtuaku."

Tidak ada jalan selain terpaksa memainkan peran lamanya sebagai cowok pemalu yang kikuk. Daru menyalimi kedua orangtua Senja dan berusaha tersenyum, yang kelihatannya justru seperti cengiran kaku dan tidak ikhlas. Sang papa―kelak Hita menyebutnya Om Krisna―memandangi Daru dengan kening mengernyit. Bukan tatapan curiga, melainkan tatapan penasaran.

"Oh, ini yang namanya Dewandaru. Kamu kan sering ngomongin dia di telepon, Nja."

"Ih, Papa!" Senja kelihatannya tidak menyangka bahwa sang papa akan membocorkan hal itu di depan Daru. Pipi gadis itu bersemburat merah jambu, sementara rautnya berubah jengkel. "Mas Daru banyak bantu aku selama ada di Jayastu. Dia ini anak angkatnya Tante Wita yang kerja di Wiramart, loh."

"Anak angkat?" Om Krisna menaikkan kening terkejut. Saat melakukan hal itu, ekspresinya mirip Tante Wita. "Loh, Papa baru tahu kalau Wita punya anak angkat."

"Haha, bukan anak angkat, kok, Om. Saya memang dekat sama Bu Garwita."

"Dia ini udah kuanggap kayak anak sendiri." Bu Garwita tahu-tahu muncul dari arah dapur dan merangkul Daru dari belakang, sontak membuat wajah Daru semakin tersipu. "Sejak masih muda, Daru sudah banyak nemanin aku sama Pak Suami. Bahkan yang ngambil rapot Daru ya kami juga, iya, kan? Hebat loh anak ini. Dari SMP selalu ranking lima besar. Pas SMA pernah ranking satu berturut-turut. Dia bahkan enggak ngeluarin biaya sepeser pun buat sekolah. Semuanya ditanggung sama dana beasiswa."

"Woah, pintar juga, ya, kamu?" Om Krisna melipat tangannya di dada. Rautnya mendadak berubah menjadi ekspresi menilai. "Hmm, saya sangat apresiatif sama anak pintar, apalagi kalau agama dan akhlaknya bagus."

"Oh, jangan ditanya. Daru ini enggak pernah bolong solat Jumat dan ikut jamaah di masjid." Sekarang Bu Garwita ikut duduk di sofa dan bersikap layaknya seorang ibu-ibu yang memamerkan kehebatan putranya. "Selama di SMP dan SMA, dia enggak pernah bikin masalah gede. Yaa, palingan kenakalan remaja biasa, kayak tidur di kelas atau main waktu jam belajar. Tapi itu kan sepele, iya, toh? Hal baiknya, semua nilai afektifnya A, loh. Anaknya sopan dan ngajeni ke orangtua. Gurunya yang namanya Bu Risma juga pernah merekomendasikan Daru buat kuliah di Surabaya, full beasiswa. bahkan nawarin anak ini buat tinggal di rumahnya. Hanya aja anak ini enggak mau karena―"

"Bu, udah. Yang itu enggak usah diceritakan," Daru buru-buru memotong sebelum perbincangan ini berubah menjadi pemaparan riwayat hidupnya. Bagaimana bila nanti Bu Garwita keceplosan memberitahu hal-hal menyedihkan tentang dirinya? Pertemuan pertamanya dengan kedua orangtua Senja kan tidak boleh meninggalkan kesan buruk-buruk!

"Iya, nih. Tante udah kayak penggemarnya Mas Daru aja," Senja menggerutu sambil memasang wajah jail.

"Loh, Tante bilang gini buat mempermudah aja. Kali aja nanti orangtuamu butuh calon pendamping buatmu, Tante siap ngasih ulasan lengkap soal kepribadian Daru."

Jawaban barusan, sesuai dugaan, langsung ditanggapi Senja dengan ekspresi rahang jatuh, seolah tidak menyangka yang seperti itu akan keluar begitu enteng dari mulut tantenya. Daru hanya bisa garuk-garuk pelipis sambil senyum-senyum seperti orang bodoh―hatinya diliputi perasaan girang dan juga malu. Sementara kedua orangtua Senja hanya menggeleng maklum. Kelihatannya mereka bisa menebak isi hati putrinya dari wajah Senja yang terbakar semerah kepiting.

"Kamu kalau mau menikah, jangan buru-buru, Nja. Lulus kuliah dulu yang bener," Mama Senja―kelak Hita akan memanggilnya Tante Najwa―berkata mengingatkan.

Kalimatnya barusan membuat Senja ciut kembali seraya memprotes, "Siapa yang mau nikah, sih, Ma?"

"Iya, siapa yang mau nikahin kamu juga? Papa sih enggak sanggup. Orang kamu ngurus diri sendiri aja belum bener, gimana nanti mau ngurus anak dan suami nantinya?"

"Tenang, Daru sih sudah pandai mengurus dirinya sendiri. Sejak kecil dia udah mandiri," Bu Garwita mengomentari sambil tertawa.

"Loh, loh, kok bawa-bawa Mas Daru lagi?" Kelihatannya kepala Senja sudah siap mengepulkan asap saking malunya. Senang dengan reaksi heboh Senja, semua orang tertawa. Namun Senja yang terlanjur baper memilih bangkit dari sofa dan mengundurkan diri, "Udah, ih. Aku mau masukin koper ke mobil aja. Kalian ngobrol aja sesuka hati!"

"Dih, ngambek," Om Krisna terkekeh.

"Mbak, biar saya bantu."

Daru lekas bangkit dari sofa dan mengikuti Senja ke kamar. Gayanya persis seekor kucing yang menguntit tuannya ke mana pun dia pergi. Aksi spontan ini langsung mendapat serangan lirikan mata dari para orangtua yang penasaran. Mereka semua berbagi hal yang sama dalam hati; Jangan-jangan memang ada sesuatu di antara dua anak ini....

-oOo-

"Maaf, ya, Mas. Yang tadi jangan dibawa hati."

Suara Senja berdesis lemah tatkala dia berdiri di samping bagasi mobil papanya. Sementara Daru, dengan sedikit tenaga, mendorong-dorong koper Senja agar masuk bersama timbunan barang yang lain. "Dibawa hati yang mana, Mbak?"

"Itu tadi orangtuaku sama Tante Wita godain Mas Daru melulu. Aku takut Mas Daru risi gara-gara dijodohin sama aku terus."

Daru menepuk-nepuk koper yang sudah tersimpan rapi, lalu menggumam, "Oh, haha. Enggak risi kok kalau dijodohin sama Mbak Senja."

"Hah, gimana?"

Pemuda itu menegapkan punggung seraya menyapu pekarangan rumah Bu Garwita yang luas. Di dekat teras, Hita sedang bermain masak-masakan dengan Ganesh. Daru langsung menunjuk dua anak yang terlihat asyik sendiri itu, "Mbak coba lihat, deh. Mereka kalau main udah kayak orang lupa dunia, ya?"

"O-oh, iya," kata Senja yang ikut berpaling ke teras. "Ya namanya juga bocah, Mas. Eh, barusan Mas Daru bilang apa, deh?"

"Ya itu tadi. Mereka kalau main lupa dunia."

"Bukan. Sebelum itu."

"Yang mana? Perasaan kita enggak ngomong apa-apa."

Senja menggaruk lehernya yang tidak gatal, berusaha menerka-nerka apa maksud Daru yang mendadak mengganti topik. Apa tadi cowok ini hanya salah bicara saja? Senja yakin sekali, kok. Tadi Daru menggumam bahwa dia ....

"Enggak risi kok kalau dijodohin sama Mbak Senja."

Eh.

Pipi Senja mendadak terasa panas lagi.

"Sudah, Mbak." Daru menutup bagasi mobil hingga berbunyi debum memuaskan, seketika memecahkan lamunan Senja. Pemuda itu menghadap si puan sambil nyengir, lalu mengacungkan jempol. "Sudah masuk semua kopernya. Siap berangkat."

"A ... makasih, ya, Mas."

"Mbak?"

Entah bagaimana, suasana pagi ini terasa lebih sunyi dan tenang. Ini membuat seruan lirih Daru terasa berkali lipat meresap di gendang telinganya―terdengar jelas dan menenangkan. Merdu. Senja menjadi salah tingkah hanya karena mendengar suara cowok.

"Kenapa, Mas?" Dia berusaha tidak menampakkan sikap konyolnya yang malu-malu.

"Mbak ada rencana mau balik kemari?"

"Enggak tahu, Mas. Mungkin kalau ada sesuatu yang bikin aku datang, aku bakal datang."

"Kalau saya yang nyuruh datang, mau datang, enggak?"

Senja menggigit bibir bawahnya sambil berpikir-pikir. "Hanya kalau itu penting."

Daru terdiam, dan Senja yang tidak tahan memperhatikan gelagat manis cowok ini, akhirnya mendesau, "Iya, aku bakal datang, kok. Nanti pas liburan semester, ya. Gimana?"

"Enggak usah, Mbak." Daru menggeleng kecil, merasa geli dengan jawaban Senja yang terdengar mengalah. "Mbak enggak usah datang kalau memang enggak ada yang penting-penting amat. Nanti, biar saya aja yang datang ke Surabaya."

"Loh, ngapain, Mas?"

"Yaa ... nengokin Mbak Senja. Terus saya juga pengin keliling kota sama Mbak."

"Ih, serius?" Senja nyengir terkejut. Mendadak saja wajahnya terliputi kebahagiaan. "Benaran, Mas? Aku tungguin, loh! Sering-sering ke sana pokoknya, ya?"

"Iyaaa." Daru nyaris tidak tahan untuk mencubit pipi Senja saat menyaksikan betapa ceria gadis ini. Rasanya dia ingin memotret wajah cantik Senja dan menyimpan foto itu di memori ponsel selama-lamanya. Namun, karena terhalang sikap malu dan tidak enaknya, akhirnya Daru hanya mengusap-usap tangannya satu sama lain, berharap dengan cara itu dia bisa menghilangkan keinginannya untuk menyentuh Senja.

"Mas Daru," Senja berkata pelan. "Enggak perlu buru-buru datang ke Surabaya, ya.  Mas Daru sebelumnya enggak pernah ke luar kota juga, kan? Takutnya belum terbiasa sama suasana di sana. Apalagi saat ini pengobatan Mas juga masih jalan. Pokoknya jangan memaksakan diri, deh."

"Iya, Mbak. Saya akan berusaha sebaik mungkin supaya cepat sembuh, biar bisa segera ketemu Mbak." Daru tersenyum menenangkan. "Mbak mau nungguin saya, kan?"

"Iya, aku pasti bakal nungguin."

"Nungguin saya hanya untuk jalan-jalan?"

Senja terdiam meresapi pertanyaan Daru.

"Aku juga siap nungguin hal lain, kok. Siapa tahu Mas Daru punya niatan khusus."

"Niatan khusus," Daru menekan pelan.

"Iya."

"Kayak gimana?" Daru memiringkan leher sambil tersenyum.

Tahu-tahu, Senja berjinjit dan mengecup pipi kanan Daru dengan singkat.

Tindakan itu seketika menyihir Daru menjadi sediam patung. Pemuda itu menatap Senja dengan luapan terkejut, sementara di balik rusuknya, jantung Daru melonjak cepat bagai dibawa melesat menembus langit.

"Aku enggak salah, kan?" Senja berkata lirih. Untuk sekilas, rautnya terlihat tidak enak ketika memperhatikan betapa syoknya wajah Daru.

Daru menggeleng, tanpa sadar mengangkat tangan untuk menangkup pipinya sendiri. Wajahnya langsung bersemu merah dengan cepat. "Mbak Senja ... suka sama saya?"

Senja ikutan malu saat Daru menanyakan itu. "Aku pikir Mas udah tahu. Mas Daru enggak suka aku, ya?"

"Saya ... saya sebenarnya suka juga, kok. Saya mau ngomong ini duluan ke Mbak, tapi saya bingung gimana ngomongnya."

Senja tertawa. "Ih, kenapa bingung?"

"Saya enggak ada pengalaman nembak cewek."

"Aku agresif banget ya, Mas? Maaf, ya." Senja mengusap bibirnya sendiri dan tiba-tiba merasa malu karena sikapnya terlihat seolah mendahului Daru. "Tadi aku pikir Mas minta aku nebak sendiri tentang apa yang dimaksud niatan khusus. Makanya aku langsung ambil langkah."

"Ah. Lain kali saya enggak mau kalah dari Mbak Senja."

"Hehe, santai aja, Mas. Dalam banyak hal, Mas sudah ngalahin aku, kok." Lalu Senja mengingat kembali tentang memori-memori yang selama ini dilaluinya. "Aku enggak bisa jabarin pakai kata-kata, karena terlalu panjang. Pokoknya ... Mas Daru sudah ngajarin aku banyak hal―dari yang jadi kasir di toko, sampai ngurus anak kecil yang hebohnya minta ampun. Dari cara menangani sikap egoisku, sampai akhirnya aku tahu makna mencintai dan melepaskan. Terlepas dari betapa konyol kesalahpahaman yang dulu kita alami, atau betapa sering kita debat gara-gara masalah sepele, Mas tuh sebenarnya hebat, tahu enggak? Enggak ada cowok yang kayak Mas Daru. Atau mungkin, aku belum nemuin yang kayak Mas Daru lagi di hidupku."

"Mbak," kata Daru, hanyut oleh rasa senang dan terharu. "Rasanya saya pengin nonjok diri sendiri di masa lalu lantaran dulunya saya berpikir dangkal tentang Mbak. Betapa aneh, orang yang dulunya kelihatan bawel karena ingin tahu masalah saya, saat ini menjadi satu alasan terbesar saya untuk menata hidup lagi."

Wajah Senja memanas berkali-kali lipat, terguncang oleh kalimat terakhir Daru. Dan, seakan semua itu belum cukup, Daru menambahkan pengakuan yang terakhir dengan tulus;

"Mbak Senja akan selamanya menjadi orang paling spesial di hati saya."

Lalu tumpahlah pagi itu menjadi momen perpisahan sekaligus pengakuan cinta yang tidak akan pernah terlupakan di antara keduanya.[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

Yang jomblo minggir dulu. Cari kontrakan sono di dunia lain 😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top