38. Sabtu-Minggu Bersama Ibu
-oOo-
KEHADIRAN Bu Kasmirah malam itu mempersiapkan Daru dan Hita ke dalam babak baru kehidupan yang betul-betul berbeda.
Tidak ada yang sebelumnya menduga tentang rencana Bu Kasmirah untuk mengajak Hita bermalam di rumahnya setiap Sabtu dan Minggu, tidak pula dengan Daru. Permintaan ini dibuatnya sebagai bentuk pendekatan antara ibu dan anak yang selama ini terpisah jarak, supaya nantinya Hita mengenal Bu Kasmirah lebih baik dan dapat menjalin hubungan lebih erat.
Kendati tampaknya Bu Garwita dan Pak Wiraya khawatir dengan reaksi Daru mengenai permintaan mendadak ini, Daru rupanya telah berhasil mengelola emosinya untuk tidak gegabah dalam menolak. Dia mendiskusikan hal ini berdua saja dengan Bu Kasmirah, di bilik rawat yang sepi, ditemani dengung keheningan yang samar-samar meresap ke dinding dan langit-langit berbau karbol.
"Saya sebenarnya menahan diri untuk mengatakan hal ini sama kamu," kata Bu Kasmirah, menatap Daru yang duduk di ranjang dengan raut prihatin bercampur tidak enak. "Walimu bilang kalau hari ini kamu tidak dalam kondisi yang baik untuk mendengar permintaan saya." Yang dimaksud wali adalah Bu Garwita.
"Saya baik-baik saja, Bu." Daru berkata setengah yakin. Selain kepalanya yang masih berdenyut-denyut ritmis, Daru merasa sepenuhnya sehat. Pikirnya, tidak ada alasan khusus yang membuatnya harus menolak gagasan itu. Kendati Daru masih merasa tidak rela, dia tahu Bu Kasmirah sudah membuat permintaannya semudah dan sesederhana mungkin. Bu Kasmirah hanya meminta bertemu putrinya di hari Sabtu dan Minggu. Sama sekali bukan permintaan yang berat.
"Saya percayakan Hita sama Anda, Bu," Daru berceletuk lirih. Ada sinar pengharapan yang terpancar dari matanya yang teduh. Mengingat bahwa sebentar lagi Hita menghabiskan waktu di rumah sang ibu, Daru kembali mengoceh untuk memastikan adiknya merasa nyaman di sana, "Bu Kasmirah, kalau enggak keberatan, tolong pantau Hita untuk tidur jam sembilan malam. Kalau tidur di atas jam itu, biasanya besoknya dia telat bangun dan ujung-ujungnya ngelewatin jam makan. Terus, tolong diawasin semisal Hita beli jajanan di luar. Dia suka diam-diam nambahin saus pedes walaupun saya udah sering ngelarang. Soalnya kalau dibiarin makan pedes dikit aja, pasti nantinya diare. Oh, ya, terus rambutnya ... Hita lebih suka kalau rambutnya ditata―dikuncir atau dikepang, apa pun yang menurut dia lucu. Dia suka pakai jepit dan karet warna-warni. Pink sama kuning itu warna kesukaannya. Tiap pagi Hita selalu minta saya buat pasang jepit, tapi saya enggak terambil buat menata rambutnya, sehingga kadang jepitnya malah miring dan ikatannya lepas duluan di ... loh, kenapa, Bu?"
Daru terpaku menatap Bu Kasmirah yang sedang menunduk, menyembunyikan wajahnya. Pertanyaan Daru sepertinya menyentil keterkejutannya, sehingga Bu Kasmirah mendongak malu-malu. Rupanya wanita itu sedang mengusap bulir air mata yang sedikit merembes di sudut matanya menggunakan tisu.
"Bu ... enggak papa?"
Bu Kasmirah menarik napas dalam-dalam seraya menegapkan punggung. Kendati gelagat elegannya kembali, wajahnya yang masih dilumuri kesedihan tetap tidak bisa disembunyikan. Dia berkata pelan, nyaris seperti menahan sesuatu di tenggorokan, "Saya merasa malu karena tidak tahu apa-apa mengenai anak saya."
Perkataan itu meninggalkan denyut samar di hati Daru.
"Saya bisa maklum," kata Daru tanpa berusaha membuat Bu Kasmirah tersinggung.
"Daru," kata Bu Kasmirah. "Sebetulnya sayalah yang merasa tidak enak karena terkesan merebut Hita secara tiba-tiba dari kamu."
"Saya justru merasa menjadi orang jahat kalau melarang Hita ketemu Anda, Bu."
"Tidak," kata Bu Kasmirah. "Setelah merenung, saya menjadi sadar dengan kesalahan saya. Semua tindakan yang saya lakukan selama ini ... mengajak Hita pergi diam-diam, mencaci ibu kamu, dan menyalahkan kamu atas hal yang sebenarnya enggak kamu lakukan ... mutlak menjadikan saya penjahat asli. Walaupun saya tidak berniat menelantarkan Hita, tapi semua keputusan besar itu berawal dari saya. Sayalah yang menyuruh Asmina untuk membawa Hita. Saya teledor karena terlalu percaya dengan perempuan itu. Saat saya menemukan Hita beberapa tahun setelahnya, saya justru dikuasai amarah terhadapmu. Saya merasa benci dengan perbuatan ibumu, tapi saya melampiaskan itu ke kamu. Saya terlalu egois, Daru. Kesalahan ini harusnya menjadi tanggung jawab saya."
Untuk alasan penguatan hati, Daru meremas selimut di pangkuannya dan menarik napas pelan-pelan dari hidung. Tubuhnya bereaksi lebih cepat dibandingkan pikirannya. Dia merasa lemas, kehilangan kata-kata, saat mendengar nama ibunya disebut lagi. Memang benar, mau lari ke mana pun, bayang-bayang ibunya akan selalu melekat padanya, bahkan untuk kesalahan yang tidak dilakukannya. Daru menggigit bibir bawahnya dan berusaha keras untuk tidak hilang kendali.
Sementara itu, bilik rawat terasa canggung dan sepi. Hanya terdengar deru napas Bu Kasmirah yang menenangkan diri, serta suara samar dari gesekan sabuk jam tangannya pada tas mahal di pangkuan. Setelah lama tersela sunyi, Daru memberanikan diri bertanya, "Kenapa Ibu menitipkan Hita pada Ibu saya?"
Bu Kasmirah menatap Daru sekejap, lalu kembali menunduk, seolah enggan menceritakan.
"Enggak papa kalau Ibu menyembunyikan cerita yang sebenarnya dari saya," kata Daru. "Tapi suatu saat, Ibu harus siap menceritakan semuanya kepada Hita. Dia yang lebih berhak mengetahui masa lalunya."
Jemari Bu Kasmirah mengetuk lututnya pelan. Akhirnya, dia menjelaskan, "Dulu ada masalah besar di keluarga saya. Almarhum suami saya terlibat kasus dengan polisi. Dia difitnah dan harus mendekam di penjara, sementara pihak mertua dan keluarga saya pun juga mengalami semacam cekcok. Semua orang meradang karena masalah datang bertubi-tubi, begitu juga saya, yang saat itu sedang mengandung Hita. Asmina adalah satu-satunya pembantu di rumah yang sangat saya percaya. Dia sering mendengarkan keluh kesah saya, membantu mempersiapkan persalinan, dan selalu ada untuk menyokong sisi emosional saya. Entah apakah karena saya kelewat bodoh, ataukah saya memang terlalu naif sehingga tak berburuk sangka pada Asmina. Saya pikir dia wanita yang baik dan tulus. Waktu proses persalinan pun, Asmina yang membantu saya bersama seorang dokter. Tidak ada suami, tidak ada anggota keluarga yang menemani. Setelah Hita lahir, saya justru merasa semakin takut, Daru. Saya takut tekanan yang saya alami malah berdampak pada anak saya. Saya tidak mau anak saya tersakiti karena diasuh oleh ibu yang tidak stabil. Lalu saat itu ... saya memohon kepada Asmina. Saya minta dia untuk membawa anak saya ... jauh-jauh dari mata saya. Saya tahu permintaan itu mungkin terdengar gila di telingamu. Atau mungkin terdengar tidak masuk akal di benak orang-orang yang mengetahuinya. Mana ada ibu yang tidak mau menyentuh buah hatinya yang baru lahir di dunia? Tapi memang itulah yang terjadi. Saya nyaris kehilangan diri dan tidak bisa berpikir jernih. Asmina menyetujui permintaan saya untuk mengasuh Hita sementara waktu, lalu tanpa tawar menawar saya memberikan seluruh harta saya yang tersisa demi menyokong hidup anak saya."
"Tidak lama setelah saya melahirkan, suami saya meninggal pula. Jadilah selama satu setengah tahun, saya berjuang untuk sembuh dari upaya kerontokan mental. Tidak lagi saya kepikiran dengan bayi yang saya titipkan pada Asmina. Terakhir kalinya, dia berpesan akan mengurus anak saya dengan sepenuh hati, lalu meninggalkan nomor telepon supaya saya bisa menghubunginya sewaktu-waktu. Saya masih bisa menghubungi nomor Asmina dan menanyakan kabar Hita beberapa kali. Asmina meresponsnya dengan baik. Saya tidak khawatir, dan pengobatan pun berjalan lancar. Tapi saat saya sudah siap untuk menata ulang hidup, nomor telepon yang diberikan Asmina tidak lagi aktif. Lalu seperti yang pernah saya ceritakan padamu, Daru. Saya mencari dia ke mana pun."
Daru mendengarkan cerita itu saksama dan merasa terhanyut dengan emosi Bu Kasmirah. Wanita itu kembali tersedu tipis, lalu menotolkan ujung saputangannya yang mahal pada sudut mata kanannya. Setelah beberapa saat yang canggung, dia berkata lagi, "Daru, walau begitu saya sangat beruntung karena anak saya selama ini berada di tangan yang tepat. Terima kasih karena sudah menjadi abang yang sempurna untuk Hita."
"Saya enggak bisa menjadi abang yang baik untuk Hita, Bu," kata Daru, sementara benaknya tercabik oleh rasa bersalah dan kesedihan. "Ibu tahu satu alasan kenapa saya berubah pikiran untuk merelakan Hita pada Anda?"
Bu Kasmirah diam, dan Daru melanjutkan, "Karena saya enggak mau Hita melihat sisi saya yang seperti ini." Pemuda itu lantas menunduk lalu menatap punggung tangan kanannya yang diinfus. Kenyataan bahwa dirinya memerlukan pengobatan adalah hal yang paling tidak bisa Daru terima. Benaknya kesulitan untuk mengurai ketakutan macam apa yang menggerotinya sekarang. Daru merasa bersalah sekaligus prihatin kepada Hita. Daru takut Hita akan sedih melihat kondisinya. Daru tidak ingin traumanya akan menghalangi niatnya untuk memberikan yang terbaik untuk Hita.
"Daru," Bu Kasmirah secara tiba-tiba menyentuh tangan Daru, menangkupnya dalam genggamannya yang hangat. "Saya tahu kamu pun mengalami hidup yang rumit, tapi kamu harus tahu bahwa kamu sudah terlampau cukup untuk anak saya. Kamu menggantikan saya menjadi ibunya Hita selama delapan tahun, terlepas dari kondisimu yang sebenarnya tidak baik-baik saja."
"Ibu sudah tahu semuanya?" tanya Daru.
"Walimu yang memberitahu saya." Bu Kasmirah kemudian menyungging senyum lemah. "Saya tahu betul kamu tidak dalam kondisi yang baik untuk mengurus Hita. Kamu harus sembuhkan diri terlebih dahulu."
"Saya kira saya harus nyeritain semuanya ke Ibu."
"Tidak perlu, Daru. Nanti kamu stres." Kemudian Bu Kasmirah tak sengaja menangkap bayangan yang berkelebat di balik tirai bilik rawat. Seseorang menyibak tirai di dekatnya dengan pelan. Munculah wajah Senja yang menyela obrolan mereka berdua.
"Maaf, aku gangguin, ya?"
"Tidak, kok. Silakan masuk," Bu Kasmirah menyungging senyum sopan.
Bersamaan kalimat itu dilecutkan, tiba-tiba saja Hita turut memasuki bilik rawat. Dicopotnya kedua sandal, lalu tungkainya yang kecil berusaha memanjat naik ke ranjang Daru. Senja yang berdiri di dekatnya hampir menahan lengan Hita, tetapi Daru lekas memberi gestur untuk membiarkan Hita naik ke ranjang bersamanya.
"Hita, Mas Daru kan masih sakit," protes Senja dengan lembut.
"Biarin, Mbak. Saya udah sehat, kok." Lalu Daru membuka kedua lengannya dan menyambut tubuh mungil Hita ke dalam pelukan. Anak itu duduk manis di pangkuan sang abang seraya menyandarkan sisi kepalanya di dada Daru. Dia tidak menangis seperti yang dulu-dulu, tetapi rautnya masih terlihat agak terguncang. "Habis dari mana, Ta?" tanya Daru lembut.
"Diajakin jalan-jalan sama Om Wira," kata Hita, lalu menguburkan wajahnya lebih dalam di dada Daru. Anak itu menghirup aroma Daru sambil memeluknya kuat. Tiba-tiba suaranya berubah manja, hampir merengek, "Mas Daru kok enggak nepatin janji?"
"Janji?"
"Dulu Mas pernah janji ke aku, katanya enggak bakal sakit lagi."
Daru terdiam sebentar, kemudian tangannya yang bebas infus terangkat untuk mengusap kepala Hita. "Maaf, ya, Ta. Yang namanya sakit enggak bisa diperkirakan datangnya. Mas juga bingung nih, kenapa tiba-tiba pingsan, ya?"
Lalu Hita mendongak menatap sang abang. "Palingan Mas lari-lari waktu mau ke kamar mandi, terus kepeleset!"
"Iya kali," Daru terkekeh seraya menggaruk lembut kepala Hita, "Soalnya Mas udah enggak tahan mau pipis."
"Untung enggak ngompol."
"Iya," kata Daru. "Untung enggak ngompol."
Pemuda itu melirik Bu Kasmirah yang duduk tenang di samping ranjang rawat. Wanita itu menyungging senyum amat samar, kemudian pergerakan kecilnya membuat Hita sadar akan presensinya. Sambil terus memeluk pinggang Daru, Hita berceletuk, "Tante ke sini mau jenguk Mas Daru, ya?"
"Iya, Sayang," Bu Kasmirah tersenyum. Tak tahan, wanita itu lantas menyentuh pipi Hita dengan jemarinya. Hatinya diam-diam berkeretak ketika melakukan itu. "Kamu sudah makan?"
"Sudah, tadi sama Om Wira."
"Kapan-kapan makan berdua sama Tante, yuk."
"Mauuu. Tapi sama Mas Daru juga, ya?" Lalu Hita mendongak dan memperlihatkan raut memohonnya kepada sang abang. Daru tersenyum dan mengangguk, luput memperhatikan ekspresi Bu Kasmirah yang mendadak saja luntur dengan kesedihan karena patah hati. Namun, wanita itu telah menyiapkan diri menerima kenyataan ini. Dia lantas membereskan tasnya dan berdiri dari kursi. Eskpresinya yang selalu tegas telah kembali. Bu Kasmirah meminta izin kepada Daru dan Senja untuk pamit pulang.
Selepas kepergian Bu Kasmirah, Hita kembali bersandar di tempat peraduan terbaiknya. Dia menceritakan kepada abangnya tentang apa saja yang tadi dimakannya di kantin rumah sakit, sementara Senja dan Daru mendengarkan ocehan si bocah dengan hikmat sambil sesekali menanggapi dengan reaksi macam-macam. Ketenangan itu merebak larut dalam suasana bilik rawat yang hangat, begitu kontras dengan suasana di lorong yang dingin dan sepi.
Sedikit yang mereka tahu, setelah Bu Kasmirah pamit, wanita itu kini menyusuri lorong rumah sakit yang suram seorang diri. Air matanya dibiarkan tumpah melewati pipi. Di dalam pikirannya yang pekat dengan perasaan iri dan patah hati, tercetus keinginan terbesarnya untuk bisa mendapatkan pelukan juga dari Hita, serupa eratnya seperti ketika putrinya yang manis itu memeluk Dewandaru.[]
-oOo-
.
.
.
.
Jadi kasihan sama Bu Kasmirah....
Hhhh, semua tokoh di cerita ini kayaknya bawa beban masing-masing yang enggak bisa diuangkapkan. Memang rupanya benar, gais. Kita semua para manusia butuh tersembuhkan dari luka dan kesalahan masa lalu
Semangat buat kita semuaaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top