37. Teman yang Istimewa

-oOo-

SETELAH siuman, lewat beberapa jam berikutnya, keadaan Daru sudah jauh lebih baik.

Namun, kendati bisa berbincang santai dengan orang-orang di sekelilingnya, Senja tak bisa mengelak fakta bahwa ekspresi dan gerak-gerik Daru sebetulnya terlihat lebih murung daripada biasanya. Kadang-kadang, bila tidak diajak berbicara, Senja akan menangkap basah Daru sedang menatap titik entah di luar sana dengan tatapan kosong. Tidak tahu sedang memikirkan apa. Barangkali tentang Hita, atau mungkin tentang masa lalu penuh kekerasan yang merampas ketenangannya.

"Mas Daru," kata Senja, ketika semua orang pamit pergi menunaikan solat atau sekadar membeli makan di kantin rumah sakit. Senja yang sedang mendapat tamu bulanan, bergiliran menemani Daru di bilik rawat sambil mengajaknya berbicara. "Waktu Mas ke kamar mandi sore ini, apa yang Mas lakuin sampai bisa jatuh begitu?"

Daru ingin beralasan singkat saja, menjawab sesepele dia terpeleset atau ceroboh. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Senja yang seolah tak mengizinkannya mengatakan hal itu. Barangkali gadis ini memang memiliki efek magis untuk membuatnya jujur, atau mungkin Daru sudah memercayai Senja untuk mendengar sisi dirinya yang rapuh dan berantakan.

Hanya saja, ketika Daru sudah membuka mulut, tiba-tiba semua jawaban itu lenyap ke balik lidah. Daru tidak bisa mengatakan apa pun sehingga yang dia lakukan, saat semua pertahanannya runtuh, adalah menangis.

Senja memberikan tisu pada Daru dan membiarkan pemuda itu terisak-isak pelan di atas kasur ruang rawat. Tidak ada kata-kata yang keluar untuk menghibur ataupun menghentikan tangisannya, sebab Senja tahu, yang pemuda itu butuhkan saat ini adalah ruang untuk melepaskan semuanya. Daru yang biasanya kuat, kini terlihat lemah. Daru yang biasanya bersuara tegas namun kalem, untuk pertama kalinya menangis dan menggerung seperti anak kecil. Dewandaru bukannya berubah. Hanya saja, jiwa anak-anaknya yang selama ini bersembunyi di balik cangkang dewasa, kali ini meminta untuk muncul lantaran tak kuasa menahan luka.

Bilik rawat itu melebur dengan suara isakan dan rintihan. Senja memberikan beberapa lembar tisu dan memastikan Daru merasa nyaman atas apa yang terjadi pada dirinya. Setelah beberapa saat, ketika tangisannya mereda, Senja memegang tangan Daru dengan lembut. Dia membelai buku-buku jari Daru sambil berkata hal-hal menenangkan.

"Sekarang udah lebih baik?" tanya Senja lirih.

Daru mengangguk. Matanya masih bengkak dan memerah. Ekspresi lemahnya tidak lagi disembunyikan. Di saat-saat seperti ini, entah bagaimana Daru tampak lebih muda sekaligus sangat rentan.

"Mbak," Seruan Daru nyaris berbisik. Terselip nada permohonan di dalamnya. "Usapin kepala saya, boleh?"

Senja terhenyak sebentar, tetapi dia tak menolak permohonan itu.

"Nyaman, ya, Mas?" tanya Senja seraya membelai rambut di dekat kening Daru dengan lembut.

Kelopak mata Daru mengedip pelan, seperti anak usia lima tahun yang hampir mengantuk karena dibuai dengan sentuhan. "Nyaman, Mbak."

Senja tersenyum, dan Daru melanjutkan lirih, "Dulu Ibu pernah ngusap kepala saya seperti ini."

"Oh, ya? Kapan tuh, Mas?"

"Waktu saya masih SD," balas Daru. "Tengah malam, Ibu masuk ke kamar dan ikut berbaring sama saya yang sebetulnya belum tidur. Dia peluk saya dari belakang sambil ngusap kepala saya. Ibu bilang sesuatu ... yang saat itu enggak bisa saya lupakan."

"Apa itu, Mas?"

"Ibu bilang dia sayang sama saya," kata Daru.

Sambil terus membelai kepala Daru, Senja merasakan hatinya patah mendengar kalimat itu. Dia mendengarkan Daru berbicara tentang masa lalu ... tentang percikan kehangatan yang pernah dirasakannya bersama Ibunya dulu―sesuatu yang anehnya terasa ganjil di tengah-tengah memori neraka masa kecilnya.

"Kalau dipikir-pikir ... dulu yang terluka bukan hanya saya, tapi juga Ibu. Kami sama-sama enggak punya tempat untuk bercerita, enggak bisa minta tolong, enggak bisa memperbaiki keadaan. Ibu mungkin memilih jalan yang salah untuk membebaskan rasa sakit itu, yaitu dengan cara menyakiti saya. Sampai di suatu titik, akhirnya dia memilih menyerah dan meninggalkan keluarganya. Mulanya saya berpikir kalau ibu semata-mata adalah manusia paling jahat, tapi ketika saya mencoba menyelami kehidupannya lebih dalam ... saya sedikit tahu, Ibu saya sebenarnya juga korban. Ibu saya ... sebenarnya juga butuh bantuan."

Air mata Senja entah bagaimana mengaliri pipi kanannya, lalu gadis itu mengusapnya dengan punggung tangan. Betapa hebat efek kalimat itu membuatnya terharu sekaligus ironis.

"Tapi Mas Daru waktu itu cuma anak kecil yang enggak tahu apa-apa," kata Senja. "Mas Daru enggak layak untuk diperlakukan seperti itu."

"Iya, Mbak." Daru menatap langit-langit ruangan. "Saya juga enggak sepenuhnya bilang kalau Ibu enggak salah. Kendati Ibu juga korban, Ibulah yang membuat saya jadi begini."

"Setiap orang memang punya sisi gelapnya masing-masing, Mas," Senja menyugar rambut Daru dan memijat lembut sisi kepalanya. "Tapi yang lebih penting, Mas Daru harus bisa melepaskan semua memori buruk itu dan fokus sama hari ini."

"Saya inginnya begitu, Mbak. Tapi sulit."

"Memang butuh waktu lama untuk sembuh, kok, Mas."

"Tapi sampai kapan saya harus menderita begini, Mbak?"

"Tergantung semangat Mas Daru untuk sembuh." Senja menatap mata Daru lurus-lurus. "Dokter yang tadi memeriksa Mas sepertinya bisa baca tanda-tanda kalau Mas Daru ada konflik dengan masa lalu. Tante Garwita soalnya cerita ke dokter tentang gejala panik Mas yang tadi pagi sempat kambuh. Selesai ini, kalau Mas Daru sudah merasa lebih baik, aku temenin buat konsultasi sama dokter, ya, Mas? Nanti pasti Mas Daru dapat rujukan untuk cek kesehatan di psikiater."

Daru termenung sebentar, tampak berpikir-pikir. "Gimana kalau enggak sembuh, Mbak?"

"Loh, belum dilakuin kok udah nyerah duluan?"

"Saya takut kalau disuruh menyelami masa lalu lagi... saya enggak kuat... saya pengin bisa sepenuhnya lupa tanpa nyentuh masa lalu, Mbak."

Senja tersenyum menguatkan, kemudian menangkup tangan Daru dengan erat. "Untuk awalnya memang sakit, Mas. Tapi ... percayalah, masa lalu itu memang harus dihadapi kalau Mas Daru ingin normal lagi. Kabur terus-terusan enggak akan pernah menyembuhkan luka yang sudah tertanam di sini." Jemari telunjuk Senja lantas menekan dada Daru pelan.

Diamnya Daru mendadak mengetuk kesadaran Senja tentang apa yang dia lakukan. Gadis itu menarik kembali jemarinya, lalu nyengir malu-malu.

"Maaf ya Mas, udah pegang-pegang."

"Saya juga minta maaf karena minta dipegang."

"Hah, eh...." Pipi Senja mendadak memerah karena kata-kata itu. Sekejap kemudian dia sadar bahwa maksud Daru adalah perihal permintaannya yang ingin dibelai di kepala. Senja tersenyum kikuk, dan lebih malu lagi karena sejak tadi dia menangkup dan mengusap jemari Daru. Pelan-pelan, gadis itu menarik tangannya yang nakal agar kembali anteng di pangkuan. "Enggak papa, Mas. Supaya Mas Daru merasa tenang."

"Mbak Senja enggak capek hadapin saya?"

"Enggak, tuh." Senja menggeleng mantap.

"Saya bisanya cuma bikin repot dan khawatir orang lain. Maaf, ya, Mbak?"

"Kata siapa bikin repot? Aku justru senang bisa kenalan sama Mas Daru. Menurutku ... enggak semua bisa punya akses menjadi tempat cerita atau mengadu untuk orang lain. Dan saat Mas Daru membuka semua masa lalu itu ke aku, aku merasa jadi orang yang bermanfaat."

"Mbak memang punya ... sesuatu yang bikin saya terbuka dan percaya sama Mbak."

Senja terpaku, meresapi kalimat itu lebih lama. Maksudnya apa ngomong begitu? Dipikir bagaimanapun, rasanya seolah dia sedang mendengar pernyataan cinta dari seseorang. Namun, mengingat kondisi Daru yang tidak bisa dibilang sehat, Senja berusaha menganggap kalimat itu hanya ungkapan kelegaan saja, bahwa ada orang di luar sana yang peduli dengan masalah Daru. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan tersenyum lebih lebar. "Syukur Alhamdulillah kalau itu bikin Mas Daru terbantu."

"Mbak percaya enggak kalau semua hal di dunia ini hadir untuk suatu alasan?"

"Percaya. Kenapa memang, Mas?"

"Bagi saya, kehadiran Mbak Senja itu spesial," kata Daru.

Tanpa sepengetahuannya, hati Senja menghangat mendengar kalimat itu. Namun, benak gadis itu menginstruksi agar tidak salah tingkah menanggapinya. Daru lantas meneruskan pengakuannya, "Walaupun saya dekat dengan Bu Garwita dan Pak Wiraya, enggak pernah sekalipun terpikir oleh saya untuk bercerita rahasia terdalam tentang trauma yang saya bawa. Saya merasa berutang banyak ke mereka berdua, sehingga saya menahan diri supaya enggak menambah konflik lagi. Saya takut mereka kewalahan menghadapi saya yang belum lepas dari masa lalu ini, makanya saya nutup-nutupin."

Senja mengangguk, diam mendengarkan.

"Tapi waktu saya mulai kenal Mbak," lanjut Daru, "terutama pas kita sama-sama jatuh ke parit, untuk pertama kalinya saya memperlihatkan sisi rapuh saya ke Mbak Senja ... dari situ, mulanya saya merasa panik. Takut kalau-kalau Mbak bakal mengadukan ini ke Bu Garwita. Eh tapi ternyata Mbak malah biasa saja, malah cenderung tenang untuk menghadapi saya. Dari situ saya merasa ... nyaman."

Darah Senja seketika berdesir, lalu kehangatan yang manis merambat ke seluruh tubuh, seolah-olah kata-kata yang dilesatkan barusan memiliki efek magis yang membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan. Senja tak sadar wajahnya sudah memerah menahan malu, sementara Daru yang menangkap gelagat tersipu Senja, sekonyong-konyong sadar atas perbuatannya.

Astaga, kadang-kadang dia memang harus menahan apa yang perlu atau tidak perlu diungkapkan.

"Maaf ya Mbak karena bikin Mbak enggak nyaman," kata Daru. "Saya bukannya bermaksud lancang bilang kayak gitu...."

"Enggak, kok, Mas." Senja buru-buru mengibaskan tangan di udara. Senyumnya jadi kikuk dan suaranya terdengar salah tingkah. "Aku merasa bangga, tahu enggak? Orang tuaku aja enggak pernah terang-terangan bilang kalau aku spesial dan bikin nyaman, hahaha."

Aih, cengiranku pasti kelihatan bego. Senja menggaruk lehernya dan berusaha menampakkan ekspresi normal-normal saja. Jangan konyol, jangan salah tingkah, jangan kayak bocah SMP yang gampang baper!

"Mungkin sayanya aja yang terlalu jujur," kata Daru, lalu terkekeh juga. Ekspresi muram yang sejak tadi membeku di wajahnya kini meleleh, tergantikan dengan cengiran lebar yang menambah porsi ketampanan Daru sampai berkali-kali lipat. Senja nyaris tak tahan untuk menangkupkan telapak tangannya ke muka pemuda satu ini dan menyuruhnya untuk berhenti tertawa. Iihh, dasar cowok! Kamu manis banget kalau ketawa. Aku enggak kuat!

"Mbak," kata Daru, berangsur-angsur membuat Senja terpetik sadar.

"Ya, Mas?"

Daru sedikit mengangkat tangan kanannya dari kasur, seperti mengajak bersalaman, "Makasih atas semua kebaikan Mbak selama ini, ya."

Lalu Senja nyengir lebih lebar dan langsung meraup tangan Daru ke dalam jabatan yang erat. Suaranya yang ceria entah bagaimana membuat jantung Daru ikut berdesir hangat;

"Makasih juga karena sudah percaya sama aku."[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.


Awal chapter 40 ini dibikin sedih, nyesek, eh di akhir chapter dibikin tersipu sama tingkah nih anak berdua. SDNSJFNEJSN bikin iri authornya aja 😔😔😔 Sana deh kalian berdua segera tentukan tanggal menikah, entar aku dateng sambil bawain penghulu 😩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top