36. Memperhatikan Dalam Diam

-oOo-

TERIAKAN Hita sore itu akan selamanya menjadi pengingat Senja tentang musibah Daru.

Jantung Senja bertalu kencang ketika mendengar anak perempuan itu meraung sambil memanggil-manggil nama abangnya. Saat Senja memeriksa apa yang terjadi, dia melihat Daru sudah berbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi. Sementara Hita berlutut di dekatnya, menangis seraya mengguncang-guncang tubuh Daru. Kekhawatiran Senja semakin memuncak ketika melihat seragam sekolah Hita di bagian dada, sampai kedua lengannya belepotan darah.

Kejadian berikutnya terjadi serupa kilasan singkat―atau begitulah yang mampu Senja ingat; dia menelepon rumah sakit, menunggu ambulans datang, lalu berjuang menyeret Daru untuk merebahkannya di karpet ruang tamu. Darah yang belepotan di pakaian dan tangan Hita rupanya berasal dari luka di kening Daru yang terbentur keramik. Senja harusnya tak perlu khawatir, sebab robekan kecil di kepala memang selalu mengucurkan darah lebih banyak dari yang seharusnya, tetapi kondisi Daru yang tidak sadarkan diri membuat apa yang terjadi padanya tampak serius. Selama menanti ambulans, Senja juga harus menenangkan Hita yang menangis menjadi-jadi lantaran ketakutan melihat darah sebanyak itu.

Lima belas menit berikutnya, keadaan tertangani dengan baik. Seorang petugas ambulans memberitahu Senja bahwa luka yang diderita Daru tidak begitu serius, tetapi dia harus dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Selepas kekacauan mereda, tersisalah Senja yang duduk di samping ranjang Daru dalam keadaan letih dan kewalahan. Gadis itu turut memangku Hita yang baru saja bisa tertidur setelah seorang perawat membantu menenangkannya.

"Senja?"

Seruan dari balik tirai yang disibak membuat Senja menoleh. Rupanya Bu Garwita telah datang bersama suaminya. Raut mereka berdua berkilat dengan kecemasan dan prihatin.

"Gimana keadaan Daru?"

"Masih belum sadar. Tapi kata dokter, Mas Daru baik-baik aja." Senja membiarkan Bu Garwita menyela maju untuk melihat sendiri kondisi Daru. Wanita itu menekan pipi Daru dan mengusap plester luka yang menutupi keningnya. Selama beberapa saat, tercipta momen hening di antara keduanya, seolah Bu Garwita mencoba memanggil-manggil Daru dari alam bawah sadar.

Bu Garwita berpaling pada Senja beberapa saat kemudian.

"Kenapa bisa sampai seperti ini?"

"Maaf, Tante," Senja berkata lirih. "Tadi aku kurang awas. Aku lagi beresin baskom kompresan di kamar waktu Hita tahu-tahu teriak. Katanya sebelumnya ada suara keras dari dalam kamar mandi, tapi aku sama sekali enggak denger... andai waktu itu aku ada di dekat Mas Daru, mungkin ... uh...."

"Kamu enggak salah," Bu Garwita menyentuh pundak Senja dan membiarkan gadis itu menyandarkan sisi kepala di perut tantenya. Senja menutup mata, dan setetes air mata merembes ke pipi kanannya―hasil dari rasa lelah yang membengkak dan kekhawatiran yang ditahannya sejak tadi. Bu Garwita yang mendengar isakan Senja langsung mengusap kepala sang puan untuk menenangkannya.

"Tadi aku takut Mas Daru kenapa-kenapa ... soalnya ada darah di mana-mana." Suara Senja berubah menjadi bisikan bercampur isakan.

"Sudah, sudah. Sekarang kan Daru enggak papa." Bu Garwita merengkuhnya lebih erat. "Makasih karena sudah menyelamatkan Daru, ya, Senja. Kalau enggak ada kamu, mungkin situasinya bakal lebih buruk."

Setelah pelukan itu dilepas, Senja mengusap wajahnya yang berlumur air mata. Gerakan tangannya membuat Hita yang tidur di pangkuannya melenguh kecil. Gadis itu menepuk-nepuk punggung Hita agar anak itu tidak terbangun lagi. Sementara Pak Wiraya, yang merasa kasihan melihat betapa terpuruk keponakannya, pelan-pelan mengambil alih Hita dari pangkuan Senja dan membawa bocah itu keluar.

Sekarang hanya ada Bu Garwita dan Senja yang menunggu di bilik rawat Daru. Mereka mengobrol sebentar tentang apa yang terjadi sebelum insiden itu, lalu percakapan berlanjut dengan berita yang dibawa Bu Garwita.

"Sebelum ke sini tadi, Bu Kasmirah telepon Tante, katanya malam ini beliau mau datang ke rumah Daru untuk mendiskusikan soal keinginannya membawa Hita," Bu Garwita memulai. "Tante terpaksa bilang kalau Daru untuk sementara waktu dirawat di rumah sakit. Bu Kasmirah kedengarannya tekejut setelah tahu berita itu, tapi katanya dia akan tetap datang buat menjenguknya."

"Loh, Mas Daru masih sakit, Te," kata Senja. "Nanti kalau Mas lihat Bu Kasmirah, takutnya dia keingat lagi sama apa yang terjadi tadi pagi."

"Tante sudah bilang supaya Bu Kasmirah enggak membahas hal itu dulu di depan Daru. Beliau setuju, tapi beliau tetap menunggu penjelasan ke Tante tentang apa yang sebenarnya terjadi, soalnya gara-gara kejadian tadi pagi―waktu Daru keluar dari mobil dan langsung kambuh, Bu Kasmirah sudah menebak bahwa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Dia curiga ini menjadi alasan mengapa Daru enggan sekali buat melepas Hita."

"Tebakannya emang bener," kata Senja setelah membuang ingus ke selembar tisu. "Belum pisah sama Hita aja Mas Daru udah kayak gini, gimana kalau sudah pisah beneran?"

"Kamu tahu kan yang dialami Daru itu masalah serius?"

Senja mengangguk. "Tadi Mas Daru sudah nyeritain semuanya ke aku. Setahuku, trauma itu ada untuk disembuhkan, bukan untuk disembunyikan. Tapi yang bodoh adalah respons Mas Daru yang seolah menggampangkan apa yang terjadi sama dirinya. Dia selalu menutupi masalah, ngerasa baik-baik saja, dan menganggap sakitnya hanya sementara. Siapa yang menyangka bakal terjadi seperti ini?"

Kemudian Senja berpaling pada wajah Daru. Atensinya merambat turun, berhenti pada tangan si pemuda yang terhampar di sisi tubuh. Ingatan beberapa menit lalu mengusiknya.

"Tadi aku nemuin rambut di tangan Mas Daru," kata Senja lirih. Suaranya berat dan kental dengan rasa sakit. "Ada banyak rambut ... dan aku ragu kalau itu akibat rontok. Ini cuma tebakanku aja, tapi ... gimana kalau Mas Daru enggak sekadar kepleset di kamar mandi? Gimana kalau sebelumnya dia sengaja nyakitin diri sendiri dan benturin kepalanya ke bak keramik?"

"Senja...." Bu Garwita memandang Senja dengan tampang luar biasa khawatir. "Jangan nakut-nakutin, ah."

"Aku enggak nakut-nakutin, Tante. Tapi ... yang dialami Mas Daru memang serius. Belakangan aku sadar kalau Mas Daru itu agak aneh. Hidup dan matinya seolah diberikan buat Hita seorang. Kupikir mulanya itu cuma perasaan cinta abang ke adik, tapi ternyata ... alasan yang melatarbelakanginya jauh lebih rumit. Kalau diteruskan kayak gini aja, ketergantungannya enggak bakal hilang. Bukannya sembuh, Mas Daru semakin terjebak di suatu kondisi dimana dia menganggap Hita adalah alasan satu-satunya buat hidup. Kalau Hita pergi dari sisinya, bisa aja Mas Daru menganggap sesuatu dicuri darinya... lalu kekosongan di hatinya akan menjadi alasan masa lalu untuk mengambil alih kewarasannya. Dan itu semua berujung ... ke rasa marah dan takut yang meluap-luap." Senja mendongak menatap Bu Garwita lamat-lamat. "Tante pernah lihat gimana hebohnya anak kecil yang tantrum? Kalau terlalu marah dan emosi, mereka bisa hilang kendali, iya, kan? Hal yang sama juga bisa terjadi pada orang dewasa, walaupun reaksinya berbeda satu sama lain. Aku takut Mas Daru pun sempat mengalami hal yang mirip seperti ini sebelum dia pingsan. Misalnya seperti menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosinya."

"Kenapa kamu bisa tahu sedetail ini, Senja?"

"Aku sedikit paham soal kesehatan mental, Tante. Aku sempat masuk kedokteran walau cuma beberapa semester di awal," kata Senja mengangkat bahu, lalu berpaling dari Bu Garwita dan kembali memperhatikan raut Daru. "Lagi pula, kasus kayak Mas Daru sebenarnya banyak terjadi di luaran sana. Terkadang memang ada orang yang sulit untuk mengekspresikan perasaan, apalagi memperhatikan soal kondisi mentalnya sendiri. Ini bisa disebabkan banyak hal, salah satunya itu tadi ... trauma masa lalu yang belum sembuh."

"Tante kurang paham sama hal kayak gitu. Tante selama ini selalu mengira bahwa berada di samping Daru aja sudah cukup." Lalu Bu Garwita mengusap matanya yang berkaca-kaca dengan lengan pakaiannya. Senja memegang pergelangan tangan Bu Garwita yang bebas, berusaha mengirimkan ketenangan.

"Bukan salah Tante kalau Mas Daru menanggung beban segini berat. Tante sudah melakukan yang terbaik buat selalu ada di sisi Mas Daru."

"Tapi Andai Tante tahu lebih cepat, semuanya enggak akan menjadi kacau kayak begini, Senja. Andai aja waktu itu Tante lebih memaksa Daru buat mencari dan mengembalikan Hita ke orang tuanya yang asli, mungkin Daru enggak akan tumbuh jadi orang yang ketergantungan. Biar bagaimanapun, ini salah Tante dan Om karena malah menunda hal yang seharusnya dilakukan. Daru pasti kecewa pada kami, Senja...."

"Rasanya kurang adil kalau kita cuma menyalahkan orang lain yang sejak awal memang enggak tahu apa-apa. Menurutku, Tante dan Om enggak usah berlarut-larut mikirin masalah ini. Toh enggak semua dari kita diberi kelebihan untuk menilai, apalagi memahami kondisi mental orang lain. Sisa waktu yang diberikan saat ini lebih baik digunakan untuk memperbaiki alih-alih saling menyalahkan." Senja lantas menarik lembut tangan Bu Garwita dan menyatukannya dengan tangan Daru di atas ranjang. Gadis itu tersenyum menguatkan. "Tadi Mas Daru sempat bilang ke aku kalau Tante dan Om adalah orangtua bagi Mas Daru, tapi versi yang jauh lebih baik. Mana mungkin Mas Daru tega menyalahkan orang yang selama ini sudah membantunya lepas dari perisiwa masa lalu itu?"

Mendengar kalimat Senja, Bu Garwita tidak kuasa menahan air mata. Dia menunduk lebih dalam dan membiarkan tangisannya memecah pembicaraan di antara mereka. Senja menarik Bu Garwita dalam rengkuhannya, menepuk pelan punggungnya yang terguncang karena gelombang tangis, berusaha menyalurkan kekuatan dari sana.

Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, Daru telah siuman, dan memperhatikan keduanya tanpa kata-kata.[]

-oOo-

.

.

.

.

Tinggal beberapa chapter lagi, tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top