34. Titik Balik Kehidupan

-oOo-

TITIK balik kehidupan Daru dimulai ketika ibunya memutuskan minggat dari rumah.

Walaupun telah mendapatkan surat yang berisi pesan perpisahan, anak itu tak pernah kepikiran untuk memberitahu orang lain tentang apa yang terjadi pada keluarganya. Bukan karena dia merasa kasihan terhadap pelaku kekerasan, melainkan karena Daru terlalu bingung bagaimana cara memulainya.

Rasanya, terbebas dari cengkeraman ibunya adalah hal yang paling dia inginkan sepanjang hidup. Jadi ketika seminggu yang lalu ibunya telah minggat dan meninggalkannya bersama dua penghuni neraka lain, walaupun keadaan itu tidak memperbaiki kondisi hidupnya secara total, setidaknya Daru tak pernah merasakan pukulan dan tendangan lagi.

Bagi Daru, hal itu saja sudah cukup.

Akan tetapi, Tuhan sepertinya tak puas dengan pilihannya.

Jemari petugas ruang kesehatan menyingkap lengan pakaian Daru dan menemukan lebam gelap yang sudah lama ada di sana. Matanya langsung membelalak terkejut.

"Nak, ini luka karena apa?"

Anak itu hanya duduk terpaku di sisi tempat tidur ruang kesehatan. Tak berani berkata apa pun saking terkejutnya dengan pertanyaan wanita ini.

"Nak, ayo jawab Ibu."

Daru memilin jemarinya di pangkuan, sementara keringat mengucur di punggungnya. Tatapan petugas di hadapannya membuatnya semakin gusar dan cemas. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa semuanya ketahuan secepat ini? Andai saja Daru tidak datang ke ruang kesehatan untuk meminta plester luka, dia pasti tak akan ada di situasi terjebak begini.

Petugas kesehatan―Bu Nayla―terlihat iba sekaligus curiga. Wanita berdagu lancip itu segera bangkit dari kursinya dan bertanya pada siswa laki-laki lain yang mengantar Daru kemari.

"Tadi kamu ngapain temanmu sampai dia luka kayak gitu?"

Siswa laki-laki tersebut langsung memasang tampang terkejut. Wajahnya yang mulai ditumbuhi jerawat akibat pubertas tampak kepalang resah dan takut. "Ki-kita ada penilaian lempar bola di lapangan, Bu. Tadi Daru jatuh, terus sikutnya lecet. Itu aja. Saya cuma disuruh guru ngantar dia kemari buat minta hansaplast."

Bu Nayla memalingkan muka lagi pada Daru. Ekspresinya seperti menduga-duga sesuatu.

Sebetulnya, kecurigaan Bu Nayla mendadak muncul selepas dia melihat lebam hitam membekas di sekitar leher dan lengan atas Daru yang terbuka. Mengapa dia tak menyadari hal ini sebelumnya? Apakah anak remaja ini dirundung oleh teman-teman sekelasnya?

Diilhami oleh asumsi tersebut, Bu Nayla segera berlutut di dekat Daru, bertanya pelan-pelan, "Daru, jujur pada Ibu. Apa kamu dirundung di dalam kelas? Apa teman-temanmu menghajarmu sampai lebam begini?"

Daru menggeleng cepat. Dia melirik pada Iqbal, teman laki-laki yang mengantarnya kemari. Tatapannya diliputi kebingungan, seolah dia tak tahu mengapa dirinya diseret dalam situasi ini.

"Enggak, Bu."

"Terus luka ini karena apa?"

Daru yang tak kunjung menjawab semakin membuat Bu Nayla jengkel. Wanita itu berkata dengan nada sedikit mendesak, "Buka baju olahragamu. Ibu mau lihat sebentar."

Anak itu terpaksa melepas kaus olahraganya demi menuruti perintah Bu Nayla.

Dan, wanita itu membelalak ngeri ketika melihat lebih banyak lebam dan bilur kehitaman tercetak di perut dan punggung Daru. Sebagian besar sudah nyaris hilang digerus waktu, tapi bekasnya masih tampak mengenaskan. Sebagian kecil berbentuk lecet-lecet seperti tergores kuku atau benda tajam.

Apa yang terjadi sebenarnya?

"Iqbal," kata Bu Nayla tanpa repot-repot berpaling ke belakang. Suaranya sedikit bergetar karena khawatir;

"Panggil wali kelas kalian kemari."

-oOo-

"Pak Rusidi."

Suara Bu Farah―wali kelas Daru―terdengar begitu kecewa dan prihatin. Wanita itu menatap bapak Daru dengan luapan sakit hati yang sangat besar.

"Apakah Daru menerima kekerasan di rumahnya?"

Pak Rusidi―Bapak Daru―tak berani berkata lebih banyak. Setelah mendapat panggilan darurat dari sekolah, dia segera menitipkan Hita pada salah satu tetangga dan cepat-cepat memenuhi panggilan Bu Farah. Dalam pikirannya, Bapak kira dia akan mendengar keluhan wali kelasnya tentang nilai-nilai Daru yang merosot. Namun, perhitungannya kali ini keliru. Bapak rupanya telah terjebak dalam jerat pengakuan dosa yang disiapkan oleh pihak guru di sekolah putranya.

"Enggak, Bu. Begini, saya ... saya enggak tahu bagaimana itu bisa terjadi." Suaranya ditahan-tahan agar tidak terdengar terlalu panik. Bapak memang suka berbohong, tetapi dia bukan orang yang pintar memanipulasi keadaan. Apalagi sekarang nyalinya ciut ketika diintimidasi oleh orang-orang seperti ini.

Pak Kepala Sekolah yang berdiri di dekat meja ruang kesehatan berdeham kecil. Pria itu melirik Daru yang sedang duduk di samping Bu Nayla. Sang guru perempuan memegangi anak itu erat seolah Daru bisa mendadak hilang kapan saja.

"Pak, kekerasan yang dialami Daru bukan karena ulah teman-teman di sekolah," kata Bu Farah. "Anak itu mengaku pada kami kalau dia terjatuh di rumahnya. Tapi bukankah itu semakin mencurigakan? Bekas lukanya tidak hanya satu atau dua, melainkan menyebar di sekujur perut dan punggungnya. Apa yang sebetulnya Bapak lakukan terhadap anak itu?" Bu Farah menjelaskan hal itu dengan suara tercekat. Matanya sudah berkaca-kaca karena tak tahan melihat murid binaan di kelasnya mengalami hal seperti ini. Ironisnya lagi, dia bahkan baru menyadarinya sekarang. Mengapa tidak dari dulu saja?

"Saya bersumpah, bukan saya yang melakukannya," Bapak akhirnya berujar. Dia menengok pada Daru untuk mencari pembelaan, tetapi anak itu bahkan tak mau memandangnya.

"Kalau begitu siapa? Apakah ibunya?"

"Istri saya ...." Bapak tidak berani melanjutkan, tetapi akhirnya dia mengaku setelah jeda panjang, "Istri saya yang melakukannya. Dia ... dia memukuli Daru setiap kali anak itu berbuat salah."

Sentakan napas terkejut langsung terdengar di seantero ruang kesehatan.

Bu Farah, dengan suara bergetar, menahan diri untuk tidak meledak marah. "Apa Anda kemari bersama istri Bapak?"

Bapak menggeleng cepat. Keringat menetes di pelipisnya. "Istri saya ... istri saya minggat, sudah sejak seminggu lalu .... dia enggak memberi kabar apa-apa."

Bu Nayla yang duduk di tepi ranjang mengeluarkan pekikan tidak habis pikir. Wanita itu buru-buru memeluk Daru sambil mengusap kepalanya. Sementara Pak Kepala Sekolah yang melihat hal itu segera berceletuk, "Pak Rus, saya rasa Anda harus menjelaskan lebih banyak di kantor polisi. Bu Nayla, tolong bawa Daru ke rumah sakit. Dia perlu diperiksa lebih lanjut mengenai kondisinya."

"Ya Gusti," Bu Farah sang wali kelas bangkit dari tempat duduk dan memegangi tepi meja dengan erat. Rona merah terang tersepuh di pipinya, menandakan lapisan kemarahan yang membanjiri dirinya. Dia berpaling murka pada bapak Daru. "Pak, apa selama ini Anda membiarkan Daru disiksa seperti itu?"

"Saya―saya khilaf. Saya sudah mencoba melerai, tapi―"

"Tindakan itu tidak hanya terjadi satu dua kali saja, kan? Kenapa Anda tidak melaporkan pada polisi?" Bu Farah memotong dengan cepat.

"Ka-karena saya tidak punya waktu!"

"Tidak punya waktu gimana, Pak? Anda jelas-jelas menelantarkan anak Bapak sendiri!"

Disudutkan seperti itu, raut Bapak menjadi terpilin oleh kecemasan dan ketakutan. Dia menoleh pada Daru yang membeku di dalam pelukan Bu Nayla, kemudian membentak, "Daru! Ngomong, dong! Bapak udah mencoba meleraimu saat itu, kan?"

Tapi Daru hanya diam. Dia merasakan jantungnya bergemuruh cepat sekali. Rasa takut menggerogotinya dari dalam. Bapaknya marah besar. Dia tidak tahu hal apa yang akan dia dapatkan di rumah nanti. Setelah Ibu minggat, apakah Bapak akan mulai memukulinya juga?Apakah Bapak akan menendangi perutnya seperti yang biasa dilakukan Ibu?

Memikirkan hal itu membuat kepala Daru semakin sakit. Anak itu merasakan badannya gemetaran, sementara Bu Nayla memeganginya erat-erat. Petugas kesehatan itu rupanya telah menempelkan ponselnya pada telinga, lantas berbicara dengan nada terguncang, "Halo, ini kantor polisi? Tolong, Pak. Ada anak sekolah yang menjadi korban kekerasan ... tolong datang ke ...."

Kepanikan Bapak melonjak setelah mendengar hal itu. "Tunggu dulu, Bu, biarkan saya menjelaskannya! Saya sama sekali enggak pernah memukul Daru!"

"Anda bisa menjelaskan hal itu di kantor polisi, Pak," Kepala Sekolah berupaya sabar. Pria itu sudah berdiri sambil menghalau tangannya di hadapan Bapak Daru yang kini mulai menunjukkan tanda-tanda kemurkaan.

"SAYA MAU JELASKAN SEKARANG!" Bapak tiba-tiba membentak. Sorot matanya terlampau keji ketika berpaling memandangi Daru. Lalu, "DARU! NGOMONG SESUATU, BAJINGAN! JANGAN DIAM AJA! BILANG KALAU BAPAK ENGGAK PERNAH MUKUL KAMU!"

Daru meremang takut. Dia memandangi bapaknya dan melihat tatapan bapaknya seolah ingin melahapnya hidup-hidup.

"NGOMONG, DARU!"

Kepala Sekolah berdiri di depan Daru, melindungi anak itu, "Pak Rus, tenang dulu!"

Ruangan kesehatan mulai ribut. Bu Farah dengan cepat berlari keluar dan menyuruh beberapa orang di dekat lorong agar memanggilkan satpam sekolah. Sementara itu, Bapak rupanya bergerak lebih gesit. Pria itu berhasil menyambar lengan Daru dan menarik anaknya dari pegangan Bu Nayla. "SINI KAMU, BAJINGAN DURHAKA!"

"Enggak mau!" Daru meraung sampai terjungkal ke lantai. Bu Nayla berusaha melepaskan cengkeraman Bapak di pergelangan tangan putranya. Kuku-kukunya yang panjang menusuk kulit Daru hingga berdarah.

Daru semakin terguncang. Anak itu menjerit hebat, "ENGGAK, PAK! JANGAN PUKUL AKU!"

"PAK, LEPASKAN TANGAN ANDA!"

"DIA PUTRA SAYA!"

Pak Kepala Sekolah menarik Bapak Daru dari belakang. Mereka semua terlibat pergumulan itu selama beberapa saat sampai satpam sekolah akhirnya datang melerai. Sementara itu, Daru meraung tak terkendali sambil mengangkat tangannya menutupi kepala. Bayangan kekerasan itu mendadak saja meledak dalam relung ingatannya, menyerangnya dengan gejala panik yang membuat napasnya sesak.

Dipukul! Dipukul!

Aku pasti dipukul!

"DASAR ANAK BAJINGAN!"

Lalu ingatan ketika Ibu menendang perutnya sekonyong-konyong menyambar benak Daru bagai hunjaman petir. Dalam sekejap, napas anak itu tercekat. Bola matanya berputar dalam rongganya seiring kepalanya terlempar ke belakang.

Tubuh Daru terbanting ke lantai dengan keras.[]

-oOo-

.

.

.


Menurut kalean gimana nasib Rusidi selanjutnya? 🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top