33. Minggatnya Sang Ibu
-oOo-
HARI demi hari berlalu. Kedatangan bayi Hita di rumah itu telah mengubah dunia Daru dalam sekejap.
Anak itu barangkali akan menamainya nasib buruk. Sebab bisa dibilang, semenjak Hita menjadi daftar sumber perhatiannya yang baru, Daru menjadi semakin kewalahan mengurus bayi yang menangis tanpa henti setiap malam.
Yang lebih parah lagi, ibunya berhenti bekerja dari rumah majikannya dan mulai fokus mengurus keluarganya. Mulanya Daru pikir, keadaan akan berubah ke arah yang lebih positif, pasalnya dia mengharapkan ibunya akan terlibat membantunya untuk mengurus keadaan rumah yang sudah cukup merepotkan. Namun, justru sebaliknya, ibunya semakin sering memarahi Daru untuk kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukannya.
Seperti sekarang.
"Tadi Ibu bilang apa? Masukkan air hangatnya dulu baru susu bubuk!"
Anak itu hanya meringis kecil, mengambil kembali botol susu yang dibuang di karpet oleh Ibu, lantas mengocoknya cepat supaya cairan susunya tercampur merata.
Hita, sementara itu, mulai merengek-rengek tak terkendali. Ibu menggendong Hita sambil berusaha mendiamkannya. Badan Ibu sendiri berkeringat, rambutnya terburai lepek dari karet ikat, dan keringnya udara bukan main. Hita barangkali merasa kepanasan, jadi bayi itu meraung-raung kencang sampai membuat telinga sakit.
"BAJINGAN! MATAMU KE MANA?"
Di sela keributan ibu dan anak itu, Bapak berteriak-teriak heboh di ruang televisi sambil menonton siaran ulang pertandingan sepak bola. Pria itu mengutuk keji saat tim harapannya gagal menjebloskan gol.
Sementara Nenek pun melakukan hal tidak berguna. Semakin hari, kata-kata yang dikeluarkannya melantur tak tertata seperti anak kecil yang mengomentari banyak hal tidak penting. Kadang-kadang sang nenek membuat rumah berantakan, dan untuk beberapa hal, kondisinya nyaris tidak tertolong lagi―di pertengahan bulan Agustus, Daru menangkap basah neneknya membunuh anak-anak kucing yang baru lahir. Sang ibu berteriak-teriak histeris melihat bangkai kucing yang disembunyikan di kolong tempat tidur, sementara Daru mendapat trauma memandang kekacauan itu. Induk si kucing―Ninis, kelihatannya mengalami depresi setelah anak-anaknya dibunuh dengan keji. Ninis pun mati tidak lama setelah kehilangan keempat anak-anaknya.
Serangkaian peristiwa buruk itu melanda rumah Daru bagaikan guncangan badai yang tak kunjung reda. Pada akhir tahun, Daru rasanya tidak kuat lagi. Telinganya sakit dan seluruh konsentrasinya buyar melihat situasi ricuh di keluarganya. Dia merasakan luapan pedih mendobrak matanya, membuatnya ingin berlari keluar dari rumah sampai kakinya patah dan tak bisa dibuat berjalan lagi. Dia ingin meringkuk kembali menjadi janin dan berharap tak pernah dilahirkan lagi di dunia ini.
Bising itu selalu berlangsung sampai malam hari. Ketika semua orang mulai tenang setelah perutnya terisi dengan makan malam, Ibu menyuruh Daru untuk pergi ke kamar menjaga Hita. Dia melakukannya dengan patuh, sebab hanya pada situasi inilah dia bisa melarikan diri dari wajah-wajah menyebalkan keluarganya.
Ketika Daru sampai ke kamar, dia melihat tubuh mungil Hita yang belum tertidur diletakkan di tengah-tengah kasur. Ada bantal kecil yang mengapit tubuhnya supaya tak berguling ke luar. Daru merangkak naik ke kasur dan merebah di samping Hita perlahan-lahan.
Hita menatapnya dengan dua mata bulatnya yang mirip boneka beruang. Sambil mengecap-ngecapkan bibir, tangannya yang kecil dan mungil tergenggam rapat di depan wajah Daru. Bayi itu mengeluarkan suara-suara lenguhan dan gumaman tak jelas.
Daru menggamit tangan Hita dan membiarkan bayi itu meremas jemarinya yang lebih besar. Rasa hangat dan lembab seketika menyapa kulit si bocah laki-laki, meresap ke dalam pori-porinya, membuainya dengan kenyamanan dan ketenangan.
Merasakan hal itu, Hita berkedip pelan padanya. Kemudian, entah bagaimana dia tersenyum lebar hingga memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Daru yang memperhatikan hal itu menjadi gemas sendiri dan akhirnya ikut tertawa.
Sudah lama, pikirnya ketika melihat kehangatan yang terpancar di mata Hita.
Sudah lama Daru tak merasa sedamai ini.
-oOo-
Dua tahun kemudian, hari-hari menyeret Daru ke dalam nestapa yang menyedihkan. Dia hampir tak memiliki waktu untuk bersekolah dengan tenang. Walaupun nilainya masih terbilang bagus, semua teman di SMP-nya menjauhinya perihal sikapnya yang terlalu muram dan pendiam. Ditambah lagi, semua masalah yang bersangkutan dengan Ibu dan Bapak di rumah membuatnya sakit kepala dan sakit badan.
Daru masih belum bebas dari perlakuan kasar Ibu yang sering menjambak, mencubit, mencakar, ataupun memukuli badannya dengan gagang sapu. Pada fase-fase gilanya, tidak jarang Daru mendapat pecutan keras di punggung dengan penebah rotan, atau tendangan yang menyasar perutnya. Daru selalu merasa kesakitan berhari-hari, takut membayangkan isi di dalam tubuhnya remuk karena terlalu sering dihajar. Akan tetapi setiap kali dia menangis dan meminta ampun untuk berhenti, ibunya selalu mengatainya cengeng dan tidak berguna. Kalau Daru tidak berguna, kenapa Ibu mau melahirkannya di dunia ini? Pertanyaan itu selalu merambati pikirannya tiap kali Daru merenung sendirian. Namun sayang, tidak ada yang sanggup menjawab kebingungannya.
Satu-satunya hal yang dapat mengobati lelahnya adalah interaksinya bersama Hita. Selepas pulang sekolah dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, Ibu selalu menyuruh Daru menjaga Hita atau membawa adiknya jalan-jalan ke taman. Dia begitu menikmati momen ini karena hanya pada saat itulah Daru bisa menghirup udara segar tanpa kena marah atau pukul.
Sore itu begitu mendung. Di area taman yang lenggang, Daru duduk di ayunan, sementara Hita, yang kini telah berusia dua tahun lebih sedikit, duduk di atas pasir bermain sambil menumpuk kerikil dan batu-batuan menjadi menara. Sesekali anak itu tengadah menatap Daru, lalu tertawa-tawa sambil mengucapkan kalimat sederhana sepotong-potong.
"Mein pasil ...! Mein Ita!"
Daru menatap sorotnya yang polos, lalu tersenyum. Anak itu bangkit dari dudukan ayunan dan menghampiri Hita di lahan berpasir, menemani adiknya memunguti dan menumpuk batu-batuan menjadi menara mungil.
Selama beberapa saat, mereka tidak mengatakan apa-apa. Daru terus berjongkok seraya menundukkan kepala hingga dagunya menyentuh lutut. Dia menepuk-nepuk permukaan batu dari pasir, meletakkannya di atas menara yang berantakan. Memunguti batu lagi, menumpuknya lagi.
Satu batu. Dua batu.
Menara roboh. Hita tergelak keras. Bayi perempuan itu mengumpulkan batu dan menumpuk kembali.
Tangan Daru telah kotor dan berlapis debu, tetapi dia masih membisu, diam dan rapat seperti tiram.
Menara roboh lagi untuk kedua kalinya.
Hita tertawa.
Lalu air menetes ke atas pasir.
Tanpa berkata apa-apa, Daru mengusap matanya. Menyedot ingus di hidung, lalu menepuk-nepuk batu di genggamannya hingga bersih.
Air menetes ke atas pasir saat Daru menumpuk batunya yang ketiga.
Roboh lagi. Suara tertawa anak bayi.
Memunguti, menumpuk. Terus berulang.
Kemudian, Hita mendengar suara isakan kecil dan lirih. Anak itu tengadah dan melihat abangnya menunduk dalam-dalam sambil menggenggam batu erat-erat.
Air menetes ke atas pasir.
Namun, kali ini lebih banyak.
-oOo-
"Hujannya tambah deres."
Suara bapaknya menggema di ruang tengah yang sepi dan dingin. Anak-anak sudah tidur, istrinya pergi entah ke mana, sementara ibunya yang sudah tua renta duduk menemaninya di dekat meja sambil mengunyah kue serabi pemberian tetangga.
Bapak menyalakan rokok dengan pemantik apinya, mengisapnya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asapnya ke dalam ruangan yang sempit.
Ibunya yang duduk di sampingnya berkata, "Le, jangan ngerokok lagi, toh."
"Ini yang terakhir, kok, Bu."
Sepanjang siang sang bapak telah pulas tertidur sampai dia tak mengerti jalannya waktu lagi. Kini, jam sudah merangkak ke tengah malam. Makan malam rupanya sudah habis, dan tak ada yang repot-repot membangunkannya. Dia mestinya marah, tapi tenaganya hari ini sudah terkuras karena siang tadi terlalu letih berteriak-teriak ketika menonton balapan motor di televisi. Jadi, alih-alih marah pada piring-piring yang sudah kosong, dia memilih menghabiskan berpak-pak rokok untuk mengendurkan pikiran.
"Bu, Asmina belum pulang, ya?" tanya Bapak. Dia mengusap jendela yang berdebu dan menatap melalui kegelapan di luar. Hujan turun begitu liar dan memilukan. Tak ada tanda-tanda istrinya akan pulang.
"Bu?"
Ibunya hanya menatapnya dengan bingung.
"Asmina, istriku, belum pulang?" Bapak memperjelas ucapannya supaya ibunya bisa mendengar dengan baik.
Ibunya mulutnya yang ompong lebar-lebar untuk melahap serabi, lalu mengunyah dengan suara kecap-kecap keras. "Oh, keluar. Bawa tas gede."
"Hah? Tas gede? Kapan Bu?"
Ibunya geleng-geleng. "Ndak tahu."
Dasar perempuan pikun.
Bapak menghela napas, kemudian bangkit pelan-pelan dari karpet bulukan yang sudah tipis. Dia menyusuri lorong rumah berpencahayaan redup dan menuju kamar anak-anak. Ketika pintunya dibuka, dia melihat Daru bergelung tidur di samping Hita yang sudah nyenyak.
Pria itu menegapkan punggung dan melihat ruangan kamar anak-anaknya dengan mata jelalatan seperti hendak mencuri. Dia memeriksa mainan-mainan bayi yang berserakan di lantai, membuka laci, lalu mengintip pakaian-pakaian Hita di dalamnya yang sudah ditata. Tak menemukan apa pun, Bapak lantas berdiri, menghampiri meja belajar Daru yang dipenuhi perkakas kesenian dan buku-buku sekolah penuh coretan. Dikibas-kibaskan halamannya dan berharap menemukan kepingan atau lembaran uang jatuh dari selipannya.
Tapi nihil.
Kemarahan mulai menggeroti hatinya bagai jamur. Dia berpaling menatap Daru seraya memasang tampang berkilat-kilat marah.
Gelombang lapar mulai datang lagi. Kantongnya kempes karena uangnya ludes untuk membeli rokok. Bapaknya butuh sesuatu untuk memblokir kejengkelan yang meluap-luap ini.
"Daru, heh, bangun." Akhirnya Bapak berseru. Dia menahan-nahan suaranya agar tidak terlalu keras, karena takut si bungsu Hita akan bangun.
Putranya berguling ke depan, tapi masih memejamkan mata karena tidurnya terlalu lelap. Bapak mengguncang bahu Daru dan berkata lebih keras, "Bangun, hei. Bapak laper, bikinin indomie atau buatin apa gitu!"
Suaranya mendadak terpotong ketika pria itu melihat secarik amplop tergelincir keluar dari selipan tubuh Daru. Dengan rakus, bapaknya menyambar amplop yang terjatuh di lantai lalu membukanya tergesa-gesa. Pria itu berharap menemukan uang yang ditinggalkan Asmina untuk Daru. Namun, dia justru melihat selembar surat yang terlipat di sana.
Alisnya mengerut kecewa.
Bapak tetap mengeluarkan surat itu dan membaca isinya dalam hati.
Untuk Daru, anakku.
Maafkan atas segala kesalahan yang selama ini Ibu lakukan kepadamu. Ibu memang seorang pengecut. Ibu adalah penjahat yang lari dari tanggung jawab. Ibu tahu kamu membenci Ibu sama besarnya seperti kamu membenci bapak dan mbahmu. Bersama surat ini, Ibu mau mengucapkan selamat tinggal. Jangan mencari Ibu. Selamanya Ibu enggak akan kembali.
Surat itu berakhir. Begitu ganjil dan menyeramkan. Ujung-ujung jemarinya mulai bergetar tak terkendali, dan napasnya tersendat di tenggorokan ketika pria itu baru saja mengetahui bahwa istrinya, Asmina, wanita yang menghasilkan uang untuk keluarganya selama bertahun-tahun, telah memutuskan minggat dari rumah.
Bapak memandang ke luar jendela yang gelap, memperhatikan hujan yang turun begitu lebat bagai ditumpahkan begitu saja dari ember. Pikirannya berkelana pada satu fakta yang kini akan menimpa dadanya bagai batu nisan yang berat, sekarang dan selamanya.
Tidak akan kembali.
Istrinya tidak akan kembali.[]
-oOo-
.
.
.
.
Hayoloh pak... ditinggal minggat sama istri sendiri 🤧
Btw menurut kalian dalam cerita ini siapa yang paling gede salahnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top