32. Kedatangan Bayi Hita
-oOo-
BEBERAPA minggu setelahnya, suasana di rumah mendadak saja berubah.
Perubahan ini terlihat paling mencolok dari surutnya kebrutalan Ibu dalam menghadapi kekacauan rumah. Entah dimulai sejak kapan, sepulang dari rumah majikannya, Ibu seakan tak memiliki energi untuk marah. Dia hanya mengurung diri di kamar, makan lebih sedikit, dan tampaknya tak berselera untuk membuka obrolan kecuali menyuruh-nyuruh dengan pendek saja.
Bapak yang biasanya menjadi partner adu mulutnya, kini didiamkan. Nenek yang biasanya menjadi sumber gerutuan, kini diperbolehkan untuk melakukan apa saja yang dia mau. Daru yang biasanya menjadi sasaran kekerasan, kini lebih sering dibiarkan sendiri.
Tak ada yang betul-betul mengerti apa yang telah terjadi pada Ibu. Mereka semua diam-diam menebak, dari skenario paling sepele; kemungkinan bahwa Ibu mulai jenuh dengan pekerjaan sebagai pembantu, sampai skenario paling menakutkan; Ibu akan dipecat karena suatu alasan. Namun, tampaknya dugaan mereka keliru, setidaknya ....
... setelah Daru tidak sengaja mendengar percakapan Ibu dan Bapak di dalam kamar.
Malam itu sudah larut. Gerimis kecil turun di luar, meninggalkan ceruk sungai mungil di jendela yang sudah buram dan tak terurus. Daru kala itu terbangun dari tidur dan hendak mengambil minum ketika dia mendengar, dari arah kamar orangtuanya, gumam lirih perdebatan antara dua orang.
Dia tahu tindakannya termasuk lancang, tetapi malam itu pertama kalinya Daru mendengar suara gelisah ibunya setelah beberapa lama ini hanya menerima suruhan-suruhan pendek. Maka, diselingi rasa penasaran, anak itu menguping dari dinding yang tipis.
Suara bapaknya, samar terdengar bagai derak kebingungan di tengah gelegar guntur di luar, "Emang enggak ada pekerjaan lagi selain itu?"
"Enggak ada, Pak!" suara ibunya sedikit meninggi. "Menurut Bapak, demi siapa aku harus terima tawaran ini? Demi kalian!"
Daru dari balik dinding kamar mencengkeram birai pintu dengan kuat sampai-sampai kuku jarinya memutih. Apa yang sedang dibicarakan orang tuanya? Kedengarannya mereka punya masalah amat serius. Anak itu menebak-nebak dengan merana. Dia memaksa diri mendengar perdebatan itu lebih banyak.
"Tapi enggak ngurus bayi orang lain juga kali, Bu. Emangnya orang itu pikir rumah kita panti asuhan?"
Daru meremang di tempatnya.
Bayi?
"Mau gimanapun juga, pokoknya aku tetap ngurus bayi itu. Nanti biar Daru yang bantuin aku. Anak itu nurutin semua kata-kataku."
Terdengar desah napas tertahan diikuti makian kecil, "Daru lagi, Daru lagi. Apa kamu enggak sadar kamu ini menggantungkan harapan pada siapa? Dia itu cuma bocah, Bu!"
Kemudian mendadak ibunya meledak murka, "Terus gimana mau Bapak? Kalau kutolak, emangnya Bapak mau gantiin aku kerja? Situ aja udah nganggur bertahun-tahun! Utang di mana-mana, bisanya nipu orang lain!"
"Kan udah kubilang, rumahnya temenku belum laku, Bu!" Suara Bapak terdengar membentak. Daru menahan napas secara spontan, sementara sang bapak melanjutkan dengan murka, "Nanti kalau rumahnya sudah dapat pembeli, aku bakal dapat persenan gede, dan kamu juga kecipratan! Utangku ke masmu bakalan kubayar! Daru bakal kusekolahin ke kepolisian, terus rumah kita ini bakal kureno―"
"Halah, tai busuk!" Ibu memotong dengan keji. "Sejak muda, kamu itu bisanya cuma janji manis doang! Enggak inget sudah berapa orang yang kamu tipu? Bahkan orang tuaku sendiri kamu kecewakan, sampai mereka ogah lihat kita lagi! Kamu yang nyeret aku ke kehidupan kayak gini, Rusidi! KAMU YANG NGERUSAK RUMAH TANGGAMU SENDIRI!
"DIAM, ASMINA!" Daru mendengar gebrakan keras di meja. Dia mundur perlahan dari pintu, tetapi tidak menyingkir sepenuhnya. Suara mereka masih terdengar bersahut-sahutan.
"Udah kubilang kamu itu lebih baik kerja aja di sekitar sini, Pak! Jadi sopir, kuli, atau di bengkel. Kerja yang halal, bukannya nipu! Aku udah sabar jadi tulang punggung keluarga kita sampai saat ini. Tabunganku ludes, warisan dari papaku juga habis buat bayar semua utang-utangmu. Tapi apa balasanmu? Kamu malah makin gila ngumpul sama kawan-kawan bajinganmu itu―main judi, nipu sana-sini, sampai dikejar-kejar polisi. Kamu enggak malu sama anakmu, Pak? Enggak malu sama aku? Dulu kamu tuh enggak kayak gini!"
"Aku melakukan itu demi keluarga kita, Asmina!" Bapak membentak tak mau kalah. "Kalau aja kamu enggak diusir dari rumahmu, kita bisa hidup lebih baik. Rumahmu itu masih bisa dijual. Ibumu juga punya tanah dan sawah, tapi kenapa bukan kamu yang ngurus? Kita jadi kesulitan ekonomi juga gara-gara kamu!"
"Oh, jadi selama ini kamu nikahin aku cuma karena doyan hartaku aja?"
"Namanya orang berkeluarga harus saling bantu antara istri dan suami, bukan berat sebelah!"
"LIHAT APA YANG UDAH KULAKUKAN BUAT MEMPERTAHANKAN RUMAH INI, RUSIDI!" Kemarahan ibu lantas disusul dengan gebrakan meja dan gedebuk bunyi perkakas yang dilempar. Daru membayangkan orang tuanya saling memaki dan melempar. Ibunya menjerit histeris dan menangis seperti bayi yang kehilangan susu. Mulutnya melempar serapah dan rentetan kata-kata kotor yang menyasar bapaknya. Daru sendiri terpaku di depan pintu selama beberapa lama―mungkin sepuluh menit, atau bahkan setengah jam, sampai kemudian pertengkaran itu surut dengan sendirinya. Sang ibu tidak marah-marah lagi, dan sang bapak pun terdiam seribu bahasa, seolah-olah kemarahan yang tadinya tergenang di tempat ini tiba-tiba dicabut laksana akar.
Daru menelan ludah dengan gugup. Dia masih kebingungan bagaimana harus bereaksi, tepat setelahnya pintu di hadapannya mendadak saja terbuka lebar.
Daru mendongak menatap wajah ibunya berdiri menjulang di ambang pintu. Sinar kuning dari bohlam mengecup garis wajah Ibu hingga membuatnya tampak berkali-kali lipat lebih kurus dan kaku.
"Daru?" ibunya memanggil dengan nada dingin dan tidak berperasaan. Di wajahnya ada sisa air mata yang Daru duga adalah bekas tangisannya beberapa menit lalu.
Daru membeku di tengah-tengah lorong, lalu dia memejamkan mata seolah tidak siap menerima pukulan lagi. Tangannya diangkat ke atas kepala sambil memohon dengan suara mencicit;
"A-ampun, Bu...."
Namun, alih-alih pukulan yang keras, dia justru merasakan tangan Ibu yang hangat membimbing pundaknya agar berdiri tegak.
"Masuk kamar," kata Ibu. Anehnya suaranya terdengar tercekat di tenggorokan, seperti orang yang sedang menahan tangis.
Daru hanya bisa gemetaran tak terkendali. Tekanan Ibu pada bahunya lembut tapi kuat. Karena takut bila mendadak dia dipukul atau ditendang lagi, anak itu membiarkan tubuh mungilnya dituntun memasuki kamarnya di ujung lorong.
Tanpa diduga, ibunya mengantarkan Daru sampai anak itu benar-benar merangkak naik ke tempat tidur. Wanita itu menyematkan selimut menutupi tubuhnya, lalu berkata kecil, "Tidur. Besok biar Ibu yang masak buat sarapan."
Sarapan.
Anak kecil itu mengerutkan kening dan bertanya-tanya perihal keanehan ini. Apa maksud ibunya? Mengapa dia tidak dicubit atau dipukul seperti biasa? Mengapa dia tidak dihujani oleh makian dan kata-kata kasar lagi? Daru sudah membuka mulut dan hendak bertanya sesuatu ketika dia mendengar ibunya berkata lagi padanya;
"Daru, bentar lagi kamu bakal jadi abang."
Suaranya kebingungan ketika terlontar, "Abang?"
"Nanti akan ada adik perempuan yang tinggal di rumah kita."
Daru tahu ada keanehan yang terjadi di sini. Belum lagi dia sempat mendengar kedua orang tuanya berdebat tentang seorang bayi. Namun, saat itu usianya terlalu muda untuk memahami situasi. Di atas kepalanya seperti ada awan kebingungan yang bergelayut tanpa arah.
Anak itu bertanya-tanya, mengapa mendadak saja ibunya berkata bahwa dia akan memiliki adik? Dari mana datangnya adik itu? Apakah adik itu ada kaitannya dengan seorang bayi yang mereka bicarakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berlangsung di kepalanya, menuntut jawaban yang dia sendiri tak bisa memastikan dengan baik. Daru merasakan tangan Ibu menggenggam tangannya, meremasnya dengan lembut.
Dia melihat ibunya menorehkan seringai ganjil kepadanya, lalu berkata;
"Kamu harus janji sama Ibu buat menjaga adikmu sampai dia besar."
-oOo-
Pukul dua dini hari, ibu Daru baru pulang dari rumah majikannya. Semua orang di dalam menantinya dengan gelisah, pasalnya ini kali pertama Ibu pulang begitu larut dan tak meninggalkan kabar apa-apa.
Yang membuat terkejut adalah, ibunya rupanya tak pulang seorang diri.
"Namanya Reswara Hita."
Di tengah dengung kesunyian, Ibu melontarkan nama itu bagai derik beracun yang mematikan. Rautnya, yang pias dan gemetaran karena kedinginan, menjadi tampak lebih keji dan berbahaya. Sementara itu dalam gendongannya, ada seorang bayi mungil yang sedang tertidur lelap. Daru harus berjinjit sedikit untuk melihat wajahnya.
"Reswara?" cicit Daru lirih.
"Dipanggilnya Hita aja," Ibu mengangguk mantap.
Sang bapak mendesaukan napas frustrasi. Dia muncul dari ambang lorong seraya membawa selimut kering dan bantal. "Sini, taruh di sini," katanya. Daru mendengar nada-nada gelisah dari kedua orangtuanya yang sibuk menghangatkan si bayi, namun dia tak tahu apa-apa. Dia tak bisa menerka apa yang sebetulnya terjadi di sini.
Mengapa ibunya pulang membawa seorang bayi?
"Daru, mulai sekarang ini adikmu," kata Ibu selagi membaringkan bayi mungil itu ke selimut tebal yang hangat. "Ibu sudah pernah bilang ke kamu, kan? Kamu harus menjaga anak ini sampai dia besar nanti."
"Dia anak siapa?" tanyanya polos.
"Sudah jelas anak Ibu. Anak siapa lagi?"
Daru menatap bayi itu lamat-lamat, memikirkan betapa mungil dan rapuh makhluk ini―dia belum bisa berbicara, barangkali juga belum bisa melihat. Namun, dia pasti dapat mendengar semua yang terjadi di sekelilingnya.
Pada saat itu, keraguan mulai berembus menyelimuti benak Daru. Daru tidak bodoh untuk menangkap kehadiran Hita yang tiba-tiba. Dia mengingat malam ketika ibunya datang ke kamar dan mengatakan hal yang sama tentang keberadaan adik baru. Dia mengingat perdebatan orangtuanya tentang mengurus anak satu lagi. Apakah yang dimaksud adalah Hita? Tapi mengapa? Mengapa tiba-tiba bayi Hita ada di sini? Mengapa Ibu membawanya?
"Bayi itu mau tinggal sama kita?" Daru akhirnya berceletuk.
"Hita. Namanya Hita, bukan bayi itu." Ibunya mengingatkan dengan galak. "Buat sementara waktu, dia akan tinggal bareng kita."
Daru mendongak dengan tampang melongo, "Kenapa Ibu ngambil bayi orang?"
"Kamu enggak usah ngurusin urusan orang dewasa. Sekarang yang penting Hita akan tinggal bareng―"
"Tapi kan dia bukan keluarga kita!" Daru kali ini membalas dengan nada tinggi. Tatapan matanya gelisah dan kebingungan. "Kembalikan ke orang tuanya, Bu! Dia kan masih kecil! Aku enggak mau ngurus bayinya orang!"
Plak! Satu tamparan sekonyong-konyong mendarat keji di pipi Daru.
Ibunya memandanginya dengan raut berang tiada ampun. "Dasar bocah cerewet! Kamu ini terlalu sok tahu dan ikut campur urusan orang dewasa!" Tanpa menunggu sengatan sakit di pipinya reda, Daru mendapat tamparan lagi dan lagi, "Bilang sekali lagi, dan kamu akan terus kena pukul! Ayo, nasihati ibu dengan mulutmu yang sok bijak itu!"
Plak! Plak!
"A-ampun, Bu!"
Ibu menjadi gila. Daru merasakan tubuhnya didorong hingga terjengkang ke lantai, lalu sesuatu yang tumpul dan berat menjejak perutnya. Ibu memukul dan menendanginya tanpa henti. "BILANG MAUMU APA! KAMU MAU NGELARANG IBU, HAH? SIAPA YANG SELAMA INI NGURUS DAN NGASIH MAKAN KAMU?"
Sang bapak datang dari belakang dan langsung menarik istrinya supaya berhenti menghajar putranya. Suasana rumah dalam sekejap menjadi ricuh; suara teriakan, rengekan bayi, dan histeria kemarahan Ibu semakin menjadi. Barangkali para tetangga di luar mendengar mereka, tetapi tak ada yang mau repot-repot menengok apa yang terjadi. Nenek yang semula tidur di dalam kamarnya pun kini berdiri di ambang lorong dengan tatapan kosong, seolah dia terbiasa melihat pemandangan kekerasan ini dan tak berminat melerainya.
Selagi ibunya dicekal agar tak mengamuk, Daru berbaring di lantai dan meringkuk seperti janin. Satu tangannya memegangi perutnya yang ditendangi, satunya lagi menangkup hidungnya yang mimisan. Dia merengek, terbatuk-batuk karena tersedak air liur sendiri. Gemetaran tak terkendali;
Ibu. Ibu. Ibu.
Kenapa aku dihajar terus?
"Daru, kamu ke kamar sekarang!" Sang bapak berkata sambil terengah-engah. Pria itu meringis kecil seraya menahan istrinya yang memberontak tiada henti. Dan, dalam beberapa sekon yang terasa ribuan tahun lamanya, Daru akhirnya bangkit berdiri dan tertatih-tatih menuju kamar. Darah menetes-netes dari celah wajahnya yang tak tertutup tangan. Mengotori lantai. Mengirimkan bau kesedihan yang mencabik udara malam.
Ibu ....
Kenapa aku dihajar terus?[]
-oOo-
.
.
.
Semoga nggak kena mental yaa pas baca ini. Aku jangan ditanya. Pas nulis ini pertama kali, jiwaku kayak disedot keluar... tiba-tiba loyo dan kosong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top