29. Tidak Mau Pulang
-oOo-
"RUMAH itu dulunya adalah neraka bagi Daru."
Suara Bu Garwita terdengar suram dan pedih, persis seperti sengaja menakut-nakuti lawan bicaranya. Namun, Senja tahu tantenya tidak sedang mengada-ada. Keseriusan itu menyala dalam matanya, seterang rembulan yang bersinar di tengah gelapnya malam.
"Ibunya bernama Asmina, yang merupakan anak bungsu dari juragan beras yang tinggal di suatu tempat, jauh dari sini," Bu Garwita menjelaskan pelan-pelan sambil berusaha menata kalimatnya. "Tante sendiri enggak tahu di mana tepatnya rumah Asmina. Daru belum pernah memberitahu apa-apa soal itu, atau mungkin dia sendiri juga enggak tahu. Pokoknya, setelah Asmina menikah dengan seorang pria bernama Rusidi, Asmina diusir dari rumahnya."
"Diusir?" Senja mengernyitkan kening. "Maksudnya, pernikahan mereka enggak direstui?"
Bu Garwita mengangguk berat.
"Terus enggak lama setelah itu, kehidupan Asmina berubah. Dari yang mulanya anak juragan, dia harus menelan nasib menjadi ibu rumah tangga yang serba kesulitan. Efek ini berakibat pada mentalnya. Kadang dia kelihatan seperti orang enggak waras, kadang dia kelihatan normal, dan kadang kelihatan seperti berada di ambang keduanya. Kami enggak tahu apa-apa tentang masalah kejiwaan yang dialami Asmina sampai Daru sendiri menjadi korbannya."
"Mas Daru ... jadi korban?"
Bu Garwita kembali menatap Senja dengan sorot pengasihan. "Daru itu dulunya korban kekerasan. Hampir setiap hari dia mendapat perlakuan buruk dari ibunya."
Kalimat terakhir itu memukul dada Senja sehingga dia merasa ada yang jatuh ke dasar perutnya.
Saat Senja masih mencerna berita mencengangkan itu, Bu Garwita melanjutkan, "Lalu adiknya datang dan membawa perubahan besar untuknya. Setelah bertemu Hita, ibunya Daru minggat, entah ke mana. Tante dan Om yang saat itu mengetahui bahwa Hita bukan adik Daru yang sebenarnya, berusaha membujuknya agar kita sama-sama mencari siapa orang tua kandungnya. Tapi siapa disangka, kami malah melihat banyak perubahan positif yang terjadi dalam diri Daru sejak dia bersama Hita. Anak itu menjadi lebih tenang, seolah-olah beban masa lalu yang dulu dialaminya enggak pernah terjadi. Saat itu, Tante merasa sangat berdosa bila memisahkan Daru dari Hita, tapi ... di sisi lain Tante tahu dia enggak bisa selamanya tinggal dengan adiknya."
Fakta dari cerita ini menyerang Senja bertubi-tubi, sampai-sampai gadis itu merasakan dadanya berdenyut sakit. Kendati cerita itu benar, Senja masih tak bisa menyangka bahwa selama ini Daru menyimpan masa lalu sekelam itu. Korban kekerasan? Bagaimana mungkin? Senja mengingat saat pertama kali bertemu Daru, dia malah menuduh Daru sebagai pelaku kekerasan pada binatang, padahal yang terjadi sebetulnya adalah sebaliknya. Mustahil bila Daru tidak merasa terpukul atas perkataannya. Senja bahkan sempat mengutuknya supaya hidup Daru sengsara. Astaga. Membayangkan kesalahannya yang dulu membuat Senja semakin merana.
"Itulah sebab mengapa Tante khawatir dengan Daru," Bu Garwita melanjutkan prihatin. "Kalau sampai Hita harus dipisahkan dengannya, Tante enggak yakin Daru sudah siap. Selama ini dia memang kelihatannya baik-baik aja, tapi bisa aja sebenarnya Daru belum sepenuhnya pulih dari luka, kan?"
Atensi Senja kemudian bergeser pada mobil milik Bu Kasmirah yang terparkir di luar toko. Benak gadis itu praktis membayangkan apa yang sedang dibicarakan Daru di dalam sana. Apakah Bu Kasmirah betul-betul mengaku sebagai ibu kandung Senja? Dan bila benar, bagaimanakah reaksi Daru atas berita ini? Senja membayangkan kembali momen-momen yang selama ini dilaluinya bersama Daru. Pemuda itu selalu terlihat normal, setidaknya sampai Senja tiba-tiba menangkap basah Daru yang mengalami serangan panik ....
Senja kini tak bisa berdiam lagi. Kalau ingin Daru selamat, dia harus meminta pertolongan, bukannya malah dipendam sendiri.
"Tante," kata Senja. "Beberapa hari lalu, aku ngelihat ada yang aneh sama Mas Daru."
Bu Garwita menatapnya dengan raut heran. "Aneh gimana?"
"Mas Daru ... dia pernah kena―"
Kalimat Senja mendadak terpotong karena gadis itu menangkap kelebat bayangan pintu mobil yang terbuka dari kejauhan. Daru keluar dari dalam mobil, tetapi kali ini dia terlihat tidak sehat. Langkah pemuda itu sempoyongan saat menuju toko. Senja seketika melupakan pembicaraan dengan tantenya dan buru-buru menyusul ke luar. Dia memegangi lengan Daru tepat sebelum pemuda itu ambruk ke lantai.
"Mas Daru? Mas Daru kenapa?"
Senja menyentuh pipi Daru yang berkeringat, memeriksa paras si pemuda yang pucat pasi. Napasnya memburu, seolah dia baru saja berlari kencang karena dikejar setan. Ketika diperhatikan lebih cermat, tampang Daru begitu kacau. Wajahnya memerah, air mata membasahi pipinya, dan bibirnya gemetaran. Daru meremas pergelangan tangan Senja seolah-olah dia sedang berpegang pada tali penyelamat, sementara Senja mengenyitkan kening karena cengkeraman jemari pemuda ini kelewat keras.
"Mas Daru? Mas!"
Senja, bawa Daru ke ruang istirahat," Bu Garwita tahu-tahu muncul dari belakang Senja dan membantu memapah Daru masuk ke dalam.
Senja menyempatkan diri menengok dari balik pintu kaca toko. Dia melihat Bu Kasmirah sedang berdiri di samping mobilnya sambil mengawasi Daru dengan tampang keheranan bercampur bingung. Gadis itu lantas berusaha menyingkirkan asumsinya yang aneh-aneh tentang wanita itu dan berupaya menenangkan Daru terlebih dahulu.
-oOo-
Beberapa menit lalu, Senja dan Bu Garwita kerepotan menenangkan Daru yang gemetaran sekujur tubuh. Air matanya tak berhenti mengalir kendati Daru sudah tidak menangis lagi. Pemuda itu dibaringkan di atas karpet yang digelar di ruang istirahat, sementara Senja menunggu di sampingnya sambil menuntunnya untuk bernapas pelan-pelan.
Upaya itu, beruntung saja berhasil membuat Daru lebih tenang. Sekarang, Daru masih berbaring lemas, tetapi pucat di wajahnya sudah lenyap. Sebelum keluar tadi, Bu Garwita tak lupa menyalakan kipas angin supaya ruang yang sempit ini tetap memberi Daru kenyamanan.
"Gimana, Mas? Udah baikan?" Senja mengusap kening Daru yang berkeringat dengan selembar tisu.
"Sudah, Mbak," kata Daru lirih.
"Belakangan ini sering kambuh, ya?"
Daru hanya menatapnya tak mengerti, dan Senja melanjutkan, "Serangan panik. Sama persis waktu aku lihat Mas jatuh ke parit waktu itu. Kok bisa terulang lagi, Mas?"
"Oh," Pemuda itu membuang muka dan melihat dinding di dekatnya dengan tatapan muram. "Saya juga enggak tahu kenapa bisa begini, Mbak."
Senja melihat ada jejak air mata yang masih membekas di pipi Daru, jadi dia menyekanya dengan tisu. Perlakuan ini sepertinya membuat Daru lebih malu, sebab dia semakin menarik mukanya menjauh, lalu berusaha menutupi matanya yang bengkak dengan lengan yang ditekuk ke atas.
"Jangan lihat saya, Mbak," Daru berkata lirih.
Sepanjang hidupnya, Senja memang jarang melihat seorang laki-laki menangis. Namun sekarang, saat menyaksikan sendiri gejala panik yang dialami Daru, Senja berpikir bahwa sakit yang dirasakan Daru pastilah begitu hebat, sampai-sampai dia lepas pertahanan dan air matanya keluar tanpa dia minta. Senja sama sekali tak melihat ini sebagai kejadian yang memalukan, dan dia menjadi sedih karena Daru barangkali berpikir Senja menganggapnya lemah.
Ketika Senja memperhatikan lebih lama, napas Daru mulai tak teratur lagi. Gadis itu lantas menurunkan lengan Daru sambil menenangkannya, "Wajahnya jangan ditutup kayak gitu, Mas. Nanti enggak bisa napas."
Daru akhirnya menurut, tetapi dia masih enggan menatap Senja dan beralih memandangi dinding di sampingnya.
Senja membuang napas dalam-dalam dan menengok sebentar ke belakang. Pintu ruang istirahat pegawai sengaja ditutup oleh Senja, sebab dia tahu di luar sana Bu Garwita sedang berbicara dengan Bu Kasmirah perihal apa yang terjadi. Senja sedikit cemas menanti tantenya bercerita padanya, tetapi untuk saat ini dia tak ingin gelagat kecemasannya ini terbaca oleh Daru.
Jadi, gadis itu berusaha menghibur pemuda di dekatnya, "Mas sudah makan apa belum? Aku bawain nasi, ya?"
Daru menggeleng berat.
"Ya udah, kalau gitu minum dulu, nih," Senja menyodorkan segelas air mineral yang tadinya sudah diberi sedotan oleh Bu Garwita. Karena ujung sedotan itu sudah menyentuh bibir Daru, mau tak mau pemuda itu mengangkat kepala dan menyesapnya sedikit, lalu berbaring lagi sambil membuang napas. Senja tersenyum lega karena kelihatannya Daru sudah jauh lebih baik daripada tadi.
Tiba-tiba saja, Senja jadi kepikiran lagi tentang cerita Bu Garwita mengenai ibu Daru. Benak gadis itu tergoda untuk bertanya lebih dalam mengenai kekerasan macam apa yang pernah dialami Daru di masa lalu, tetapi Senja berhasil menahan diri untuk tak membuat masalah menjadi semakin runyam. Akhirnya, dia hanya duduk diam sambil memperhatikan Daru yang menatap dinding dengan sorot kosong. Sesekali Senja akan bertanya apakah Daru masih sadar.
Beberapa saat kemudian, pintu di belakang Senja terbuka. Bu Garwita masuk dan langsung berlutut di dekat Daru. Sebelum wanita itu mengucap sepatah kata, Senja menyodok pelan sisi perutnya pelan dan mengirimkan lirikan mata yang bernada menuntut, bermaksud menanyakan apa yang tadi tantenya bicarakan dengan Bu Kasmirah.
Bu Garwita hanya merapatkan bibir sambil berkedip cepat dua kali. Entah apa maksudnya, tetapi Senja menganggap itu sebagai komando untuk diam.
"Daru," Bu Garwita memegang lengan Daru, membuatnya tersentak kecil. Pemuda itu lantas memaksa diri untuk duduk, dan Bu Garwita membantunya. "Gimana keadaanmu, Daru?"
"Udah sehat, kok, Bu."
"Kamu pulang dulu, ya, Dar. Istirahat di rumah."
"Jangan, Bu," Daru menolak dengan gerutuan lemah. "Ini kan masih pagi. Saya mau kerja."
"Mas Daru pulang aja." Senja mengernyit menanggapi betapa keras kepala orang ini. "Gimana kalau nanti kambuh lagi, terus tiba-tiba pingsan?"
Bu Garwita menarik lembut pergelangan tangan Daru, tetapi Daru menepisnya keras-keras. "Saya enggak mau pulang, Bu. Saya mau di sini aja!"
Dengan raut tersinggung bercampur prihatin, Bu Garwita tetap memegang pergelangan tangan Daru seraya menatapnya lamat-lamat. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, tetapi sorot matanya mampu membuat Daru menciut.
Kemudian, seperti disihir, semua beban yang Daru sembunyikan selama ini seolah ditarik keluar dari rongga dadanya. Mata Daru mendadak berkaca-kaca, dan Bu Garwita yang menangkap hal itu langsung menariknya dalam pelukan. Sejurus kemudian, pemuda itu menangis lagi dalam dekapan Bu Garwita.
"Udah, udah, kamu jangan memaksakan diri kayak begini," Bu Garwita mengusap punggung Daru seperti menenangkan anak kecil yang menangis, sementara wajah Daru terkubur di pundaknya sambil terisak pelan. "Sekarang kamu pulang dulu, nanti malam Ibu datang ke rumahmu buat bicarain semuanya, ya."
"Saya enggak mau pulang," Nada suara Daru seperti bisikan memohon. "Saya takut sendirian, Bu ...."
Senja yang melihat hal itu menjadi terperenyak. Dia merasakan desakan untuk ikut menangis saat melihat betapa rapuh dan tidak berdayanya Daru. Seberapa parah beban yang ditanggungnya sehingga pemuda ini enggan menginjakkan kaki di rumahnya sendiri?
Menyadari apa yang dibutuhkan Daru, Senja pelan-pelan mendekatkan wajah di telinga Bu Garwita lalu berbisik sesuatu.
Selepas bisikan itu selesai dilesatkan, Bu Garwita memberitahu Daru dengan lembut, "Daru, Senja bakal nemenin kamu di rumah. Mau, ya? Senja enggak akan pergi sebelum Hita pulang sekolah, kok."
Selama beberapa saat, mereka menunggu pemuda itu menimbang-nimbang bujukan barusan.
Akhirnya Daru mengangguk kecil.[]
-oOo-
.
.
.
Dari sini angst-nya lumayan intens. Nantikan chapter selanjutnya beshooq 😃👍🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top