28. Permohonan Paling Tulus
-oOo-
SENJA sedikit-sedikit menjulurkan leher ke jendela kasir, bermaksud mengintip mobil milik Bu Kasmirah yang kini terparkir tak jauh dari toko.
Beberapa menit lalu, wanita itu tiba-tiba saja datang dan mengajak Daru untuk berbicara sebentar. Katanya ada sesuatu yang penting, entah apa. Berita apa pun yang dibicarakan Bu Kasmirah, pastilah menyangkut sesuatu yang darurat bagi Daru, sebab pemuda itu langsung meminta izin padanya untuk meninggalkan konter kasir sebentar. Senja dapat menangkap raut gugup di wajah Daru, seolah ada seseorang yang secara terang-terangan mengancamnya dengan pisau. Dan, kini gadis itu turut diliputi rasa penasaran yang menjadi-jadi. Apa gerangan yang membuat Daru menjadi sedemikian tegang?
Dari kejauhan sini, tidak kelihatan apa-apa selain mobil yang pintu dan jendelanya tertutup rapat. Senja menghela napas dalam-dalam dan memutuskan untuk kembali sibuk menjaga konter kasir. Dia sedang menghitung jumlah cokelat batang yang tertata di ceruk meja di depannya ketika tahu-tahu Bu Garwita datang dari arah pintu masuk.
"Ja, di luar mobil siapa?" Bu Garwita langsung menodonginya pertanyaan. Dari tampangnya yang membelalak penasaran, Senja bisa menduga bahwa Bu Garwita pun terpesona dengan mobil mahal yang jarang-jarang bisa dilihat di kawasan pedesaan sepi seperti ini.
"Mobilnya Bu Kasmirah," jawab Senja, lalu dia ingat bahwa Bu Garwita tak tahu apa-apa soal ini. Gadis itu pun menjelaskan apa adanya, "Mas Daru izin sebentar buat ninggalin kerjaannya. Dia ada di dalam mobil itu sama Bu Kasmirah."
"Hah? Daru di dalam sana sama siapa?" Bu Garwita kelihatannya menanggapi berita ini secara kelewatan. Rautnya langsung berubah panik seperti ibu-ibu yang dilanda khawatir. "Pacarnya, ya?"
"Dih, bukan!" Senja langsung membalas dengan nada membentak, seketika membuatnya sadar bahwa reaksinya berlebihan. Gadis itu berdeham kecil untuk mengontrol nada suaranya. "Sama Bu Kasmirah, kenalannya."
"Kenalan? Tante enggak kenal tuh."
"Ya kan kenalannya Mas Daru, bukan Tante."
"Semua kenalannya Daru pasti Tante kenal, orang dia enggak pernah jauh-jauh mainnya dari sini. Dulu juga kalau ada apa-apa larinya ke Tante. Emangnya kamu tahu siapa Bu Kasmirah?"
Pertanyaan Bu Garwita membuat Senja kebingungan sejenak. Dia sendiri tidak tahu siapa Bu Kasmirah, dan apa hubungannya perempuan itu dengan hidup Daru maupun Hita. Satu-satunya hal yang Senja tahu adalah fakta bahwa perempuan itu sempat membawa adik Daru jalan-jalan sampai larut malam.
Karena Senja pun ingin mencari bukti untuk memastikan sesuatu, dia lantas memberitahu Bu Garwita tentang apa yang selama ini terjadi. Senja berharap Bu Garwita mengetahui sesuatu dari keanehan ini, yang bisa menyumbang informasi sekecil apa pun demi kebutuhan penyelidikannya. Dan, rupanya cara ini membawa hasil.
"Bu Kasmirah sampai beliin Hita hape dan mantel baru?" Bu Garwita membelalak terkejut setelah mendengar penjelasan Senja.
Senja mengangguk-ngangguk semangat. Sudah lama dia tak bergosip begini seru dengan orang lain. "Iya, aneh, kan? Makanya aku penasaran beliau itu siapa. Mas Daru kayaknya ogah beritahu aku soal ini. Atau mungkin dia belum siap aja."
Kening Bu Garwita mengerut khawatir. Mendadak saja wanita itu duduk dengan lesu di kursi kasir sambil memijat pelipisnya seperti orang lelah. Senja yang menangkap pemandangan tidak terduga ini langsung menodonginya dengan pertanyaan, "Kenapa, Te?"
"Tante takut terjadi apa-apa sama Daru."
"Hah? Kok bisa?" Senja mengernyit. Sontak pandangannya langsung terseret pada mobil hitam yang masih terparkir hikmat di luar toko, lalu kembali lagi pada tantenya. "Bukannya yang seharusnya dikhawatirin itu Hita? Sampai sekarang status ibu-ibu itu belum jelas, loh. Gimana kalau dia tiba-tiba ngaku sebagai ibunya Hita?"
Kata-kata itu terlontar mantap dari mulut Senja karena dia entah bagaimana mempunyai firasat bahwa Bu Kasmirah sedang berusaha meyakinkan Daru bahwa dia adalah ibu Hita. Dan, kalaupun firasat itu benar, Senja tidak akan kaget, sebab Senja diam-diam pun mempertanyakan alasan mengapa kedua orang itu―Bu Kasmirah dan Hita―sekilas terlihat mirip secara fisik.
Bu Garwita kelihatan murung. Wanita itu menatap Senja lamat-lamat. "Yang harus dikhawatirkan itu Daru, sebab anak itu masih belum bisa jauh dari Hita."
Ada hening yang menjeda kalimat itu. Senja membiarkan kepalanya berputar menggali maksud dari perkataan tantenya, lalu bertanya ragu, "Bukannya ... itu hal wajar? Mas Daru kan abangnya Hita. Sudah pasti dia enggak bisa lepasin Hita."
"Bukan sesuatu yang seperti itu, Senja," kata Bu Garwita. Wanita itu lantas duduk tegak, seolah ingin menyiapkan diri memberitahukan sesuatu yang penting. Senja yang menangkap peningkatan keseriusan ini akhirnya merundukkan kepalanya beberapa sentimeter, memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan kalimat lanjutannya; "Daru sayang banget sama Hita bukan hanya karena anak itu adalah adiknya, tapi karena selama ini Hitalah yang menguatkan Daru untuk tinggal di rumah itu."
"Emang kenapa sama rumah Daru?"
"Kalau Tante beritahu, kamu harus janji enggak menceritakan hal ini ke sembarang orang," kata Bu Garwita. "Tante mau membagi hal ini karena Tante percaya kalian teman yang rukun."
"Iya," Senja mengangguk, mata menatap yakin tanpa berkedip.
Lalu Bu Garwita membalas lirih, "Rumah itu dulunya adalah neraka bagi Daru."
-oOo-
"Saya tahu permohonan ini sulit, tapi saya memohon agar kamu mengerti, Daru."
Kalimat Bu Kasmirah membuat Daru terdiam seribu bahasa. Sejak lima belas menit yang lalu, dia sudah berada di dalam mobil ini dan mendengarkan dengan takzim seluruh permintaan Bu Kasmirah, bahwa wanita ini ingin mengajak Hita kembali tinggal bersamanya sebagai ibu dan anak yang asli, bukan sekadar orang asing yang berpura-pura tak memiliki hubungan darah.
"Mengambil Hita dari saya?" Daru menatap Bu Kasmirah dengan sorot kosong yang sayu. "Setelah delapan tahun, tiba-tiba Ibu datang dan seenaknya mau memisahkan saya dengan Hita? Apa Ibu pikir saya rela begitu saja melepaskannya?"
"Daru, saya minta maaf karena sikap saya kemarin menyinggungmu," Bu Kasmirah berusaha menyampaikan dengan lembut. "Setelah saya pikir lebih lanjut, saya baru sadar bahwa seharusnya saya berterima kasih karena selama ini kamu sudah merawat anak saya walaupun kamu tidak tahu dari mana asal-usulnya. Kemarin saya dirudung kemarahan hingga saya menyalahkanmu tanpa tahu cerita yang asli. Namun kini saya khilaf. Maka dari itu, saya ingin mengambil Hita darimu secara baik-baik. Saya tidak akan melupakan jasamu sebagai seorang abang yang selama ini merawat Hita. Saya tidak akan meminta dua ratus juta itu kembali, karena saya tahu itu sama sekali bukan salahmu. Sebaliknya, saya justru akan memberikanmu imbalan sebesar apa pun yang kamu butuhkan."
Imbalan? Seolah-olah Daru membutuhkannya. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam sambil menggigit bagian dalam pipinya. Ini bukan soal imbalan. Ini soal arti keberadaan Hita bagi Daru.
"Saya belum bisa melepaskannya, Bu," Daru berkata lemah, takjub dengan betapa pasrah suaranya saat mengutarakan ini. "Saya berjanji pada Hita akan mencari orang tuanya yang asli waktu dia sudah lebih besar. Enggak secepat ini...."
"Kita bisa sama-sama memberitahunya. Saya yakin Hita sudah siap menerima cerita ini."
Perasaan Daru terpilin oleh ketakutan saat membayangkan Hita akan diambil darinya, yang artinya dia akan tinggal sendirian di rumah yang memberinya alasan untuk mati lebih cepat. Daru tidak ingin bayang-bayang masa lalu itu merampas ketenangannya lagi. Dan untuk alasan itulah, pemuda itu kini mati-matian menyembunyikan tangannya yang mulai gemetaran di pangkuannya.
"Bu," kata Daru dengan nada memohon. "Bagaimana kalau saya meminta Ibu untuk membiarkan Hita tinggal sama saya? Hanya sementara waktu. Saat dia sudah besar, saya janji akan mengembalikan Hita ke Anda."
Giliran Bu Kasmirah yang terdiam lama. Wanita itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di setir mobil. "Kenapa?" tanyanya lirih. "Kenapa kamu tidak mau melepaskan Hita?"
"Bukannya itu sudah jelas? Saya sudah merawatnya sejak kecil. Saya sayang sama dia."
"Kalau kamu sayang sama Hita, seharusnya kamu tahu yang terbaik untuk anak itu sekarang adalah tinggal dengan ibu kandungnya," Bu Kasmirah membalas tegas. Jawaban itu sontak seperti memecut hati dan pikiran Daru dengan keji, membuatnya meragukan dirinya sendiri.
"Daru," kata Bu Kasmirah, "bukannya saya meremehkan kamu, tapi kamu tahu anak kecil seperti Hita butuh lingkungan yang bagus untuk menunjang tumbuh kembangnya. Saya bisa menyediakan apa pun yang dia butuhkan. Saya bisa menuntunnya merencanakan masa depan yang lebih baik dan terarah. Sementara kamu ... kamu masih terlalu muda. Kamu bahkan belum genap dua puluh tahun untuk dibebani tugas mengurus Hita. Sayalah yang akan merasa menjadi ibu tidak bertanggung jawab bila menyerahi kewajiban saya padamu. Jadi, tolong mengertilah. Keadaan ini bukan hanya memusingkan kamu, tapi juga Hita dan saya. Apa kamu tega membiarkan anak itu tinggal di sini sampai besar? Apa kamu bisa menjamin kebahagiaan Hita?"
"Saya bisa menjaminnya!" Daru menyahut dengan suara yang terdengar gemetaran. Semua kata-kata Bu Kasmirah menyerangnya bagai serbuan anak panah, membuat pikirannya berpusing panik dan resah. Bagaimana bila Hita betul-betul akan dibawa pergi? Daru tidak mau dipisahkan secepat ini. Dia belum sanggup menginjakkan kaki di tempat itu tanpa Hita ....
"Menjamin kebahagiaan dengan cara memisahkan seorang anak dari ibu kandung yang amat mencintainya. Kamu pikir itu bisa membuat kebahagiaan Hita utuh?"
Daru mengepalkan tangannya erat-erat. Seketika mulutnya terkunci rapat karena dia kalah telak. Sementara Bu Kasmirah, yang melihat betapa kacau Daru, menjadi semakin curiga dengan gelagatnya. Rasanya ada yang salah dengan pemuda ini. Dia tidak terlihat sebagai abang yang posesif, tetapi mengapa dia begitu enggan melepas Hita? Dia terlihat rapuh sekaligus egois di saat yang bersamaan, persis seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"Daru, jawab dengan jujur," kata Bu Kasmirah. "Kamu tidak mau melepaskan Hita karena terlalu menyayanginya, atau ada alasan pribadi lain yang saya tidak tahu?"
Daru menatap Bu Kasmirah, dan wanita itu tercengang saat mendapati mata Daru berkaca-kaca. Ketika dia memperhatikan dengan cermat, dia pun terkejut melihat raut Daru sudah sepucat kertas, seolah-olah dia melihat hantu yang melayang di hadapannya.
"Daru?" Bu Kasmirah berseru tak yakin. "Kamu kenapa?"
"Bu, saya mohon," Satu tetes air mata meleleh di pipi Daru. "Jangan ambil Hita dari saya ...."[]
-oOo-
.
.
.
Kemungkinan hari ini double update yaakkk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top