27. Pemuda Tidak Bertanggung Jawab
-oOo-
MIMPI itu merupakan satu di antara sederet kenangan yang traumatis bagi Daru.
Dia tidak tahu sudah berapa musim yang menyeretnya ke hari-hari yang kosong tanpa kehadiran ibunya, tetapi dia tahu pasti bahwa hatinya masih belum padam dari cengkeraman masa lalunya yang gelap.
Pada musim panas, rumahnya panas menyengat karena sinar matahari tumpah melalui jendela yang belum dipasangi kerai. Bau amis membuat cuping hidung Daru mengerut. Anak laki-laki itu berlutut di dekat lemari pendek yang terbuka. Di hadapannya, ada kardus berisi pakaian-pakaian neneknya yang sudah bebercak darah. Dan, di antara timbunan pakaian itu, ada tiga ekor makhluk mungil yang memejamkan mata, sedang tertidur nyenyak.
Anak-anak kucing.
Mereka bertiga tampak sangat kecil, tenang, dan rapuh. Bulunya berwarna putih bertotol-totol hitam. Daru menyentuh badan salah satu kucing, yang masih lengas oleh air ludah induknya, lalu menyungging senyum―terpesona dengan keajaiban kelahiran ini.
"Buang kucingnya."
Suara itu tiba-tiba terdengar dari belakang Daru. Lirih, tapi penuh ketegasan, seperti pukulan logam yang keras. Anak itu berpaling dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu kamar neneknya yang terbuka.
Tubuh Ibu jangkung dan kurus, sementara wajahnya menatapnya kosong, tanpa ekspresi. Warna asli mata Ibu terpapar sengatan panas dari luar jendela, sehingga menyiratkan sesuatu yang membuat Daru pening. Seperti darah, meleleh di pupilnya yang menyempit. Bibir ibunya terdiam, tapi suaranya terdengar lagi. "Buang kucingnya, Daru."
"Jangan, Bu. Masih kecil," kata Daru, lalu pelan-pelan mengangkat kardus berisi anak kucing tersebut ke pelukannya. "Biar aku yang rawat sampai besar."
"Kamu enggak bisa." Ibunya perlahan mendekat. "Kamu enggak bisa jaga bayi perempuan itu."
"Bayi perempuan?"
Daru menuduk, lalu kardus berisi anak kucing yang sedang direngkuhnya telah berubah menjadi seorang bayi perempuan.
"Sini kasihkan bayinya ke Ibu."
Tahu-tahu saja ibunya sudah berdiri di hadapan Daru. Anak itu membeku oleh ketakutan dan kecemasan. Mustahil memercayakan bayi rapuh ini kepada ibunya. Lantas, Daru mundur pelan-pelan hingga punggungnya membentur dinding. Namun, Ibu tetap mendekat padanya, dengan tangan terjulur seolah meminta bayi perempuan itu dari Daru. Dua manik mata Ibu bersinar merah, menjeritkan nafsu aneh yang liar. Wanita itu berkata lagi, "Kalau ketahuan Mbah, bayinya bisa dipukul. Kayak kucing-kucing itu."
Daru menoleh ke samping kanan. Dia melihat, di dekat kakinya, sebuah karung mencurigakan teronggok begitu saja di lantai. Permukaan karung tersebut tampak berlumuran darah bercampur pasir―kelihatannya seolah ada seseorang yang memukuli isi di dalamnya sampai kempis.
Napas Daru tercekat, lalu kembali mendongak. Wajah Ibu dekat sekali dari ujung hidungnya. Dia mendapati ibunya menyeringai, menampakkan deretan gigi tajam yang membuat parasnya berubah menjadi iblis.
Lalu wanita iblis itu berteriak murka, "BERIKAN BAYINYA PADA IBU!"
Kemudian tubuh Daru tersentak seperti disengat listrik. Kelopak matanya terbuka lebar seperti baru saja melihat hantu.
Pemuda itu lekas-lekas duduk, mengatasi rasa terkejut yang baru saja menyerangnya teramat sadis. Dia merasakan keringat melumuri sekujur tubuhnya. Bantal dan penutup kasur yang terselip di bawahnya basah, seolah baru saja kena tumpahan air. Mimpi barusan bukan sembarang mimpi, benaknya berujar yakin. Itu adalah gabungan ingatan berbahayanya tentang perilaku sinting keluarganya di masa lalu, yang keji dan tidak termaafkan.
Daru merasakan kelelahan mendera otot-ototnya, hingga membuatnya lemas dan pening. Dia menyugar rambutnya dengan jemari dan menyeka keringat lebih banyak di wajah.
Saat pemuda itu hendak turun dari dipan ranjang, terdengar keriat pintu lirih yang didorong terbuka. Daru mendongak dan melihat wajah Hita mengintip dari celah pintu kamarnya.
"Mas Daru?"
"Ta, masuk sini," Daru berkata lirih. Sang adik membuka pintu kamar lebih lebar dan masuk dengan langkah buru-buru. Wajah Hita menekuk muram. Bukan karena lesu akibat baru bangun tidur, melainkan karena alasan lain yang membuat Daru turut bertanya-tanya cemas.
"Kamu kenapa kelihatan murung gitu?" Daru meraba kening adiknya dan tidak menemukan tanda-tanda demam. Jemarinya lantas menyugar rambut Hita supaya rapi kembali, sementara ibu jarinya memijat pelan pipinya yang gembil dan agak kemerahan. "Sakit kamu? Hm?"
Hita menggeleng. Kelihatan seperti menyimpan sesuatu.
"Mas Daru enggak papa, kan?"
Pertanyaan itu membuat Daru terdiam sebentar. "Iya, enggak papa."
"Tapi Mas Daru kelihatan capek," kata Hita, lalu melingkarkan lengannya ke seputaran pinggang Daru, memeluknya erat. "Enggak usah berangkat kerja, ya. Aku temenin di rumah aja."
"Mas baik-baik aja, kok," Daru mengusap puncak kepala Hita, merasa sedikit aneh dengan perilaku adiknya yang mendadak sentimentil seperti ini. Apa Hita salah makan? Rasanya dia jarang melihat adiknya khawatir padanya kecuali pada saat-saat darurat. "Kamu kan harus sekolah, enggak boleh bolos. Sudah solat subuh belum?"
Hita mengangguk, tapi kelihatan muram.
"Mas, sini, deh," kata Hita sambil melambaikan tangan, bermaksud menyuruh abangnya menunduk. "Siniii, kurang deket."
Tanpa petunjuk apa-apa, Daru menunduk lebih dekat, hingga wajahnya kini berhadapan dengan Hita. Telapak tangan Hita tahu-tahu mendarat di keningnya. Adiknya memasang wajah berkerut-kerut seperti berpikir.
"Kayaknya agak panas, deh," gumamnya sambil memberengut ragu. Belum percaya dengan hasil diagnosisnya, Hita menekan keningnya sendiri dan membandingkannya. "Eh, kok sama kayak aku."
"Duh, dibilangin Mas enggak papa. Kamu ini aneh, deh. Tiba-tiba masuk ke kamar dan ngomong kayak gini. Emang Mas kelihatan sakit?"
"Habisnya aku tadi denger sesuatu," Hita cepat-cepat menyahut. "Mas ngomong sendiri waktu tidur. Aku kira Mas ngigo gara-gara demam."
Pernyataan Hita barusan membuat Daru membeku. "Ngomong sendiri?"
"Tadi, sebelum Mas bangun tidur. Aku denger Mas ngomong ... 'jangan, jangan' gitu. Terus waktu aku mau masuk, Mas sudah duduk di kasur. Badannya Mas keringetan, ya? Kasurnya kok agak basah? Mas mimpi buruk?"
Penyelidikan Hita membuat Daru ragu anak ini mengetahui lebih banyak dari yang dia duga. Sang abang yang tidak mau terlihat lemah, langsung menghalangi Hita yang berusaha meraba-raba kasur tempatnya tidur. Karena dihantam panik, Daru tanpa sadar menyerukan larangan dengan agak membentak, "Ta, udah. Kalau Mas bilang enggak ada apa-apa ya enggak ada apa-apa."
Hita langsung terdiam. Matanya yang bulat besar menatap Daru dengan sorot terpukul.
Tanpa Daru sadari, sebetulnya Hita menyimpan sendiri rasa khawatirnya. Anak itu tidak tahu bagaimana menyampaikan keprihatinannya perihal apa yang dilihatnya semalam. Abangnya menangis ketika solat, dan pagi ini Hita mendapati wajah abangnya tampak sangat lelah. Matanya merah, dan sedikit bengkak. Apakah abangnya juga menangis dalam tidur?
"Mas," Hita pelan-pelan berkata, "Aku ada salah sama Mas, ya?"
Daru mengangkat Hita dan mendudukkannya di dipan ranjang di sampingnya. "Enggak ada, Ta."
"Aku kemarin bikin Mas Daru sedih, enggak?"
"Enggak, tuh."
"Aku kemarin ...."
"Ta, ada apa sih, kamu kok jadi aneh begini? Mas Daru sama sekali enggak papa. Kemarin Mas Daru cuma kecapekan aja, makanya tidur cepet. Sekarang udah sehat dan semangat lagi, nih. Tuh lihat." Lalu Daru memamerkan lengan atasnya yang telanjang. Hanya ada lapisan otot tipis di perpotongan pundaknya yang membuatnya kelihatan ramping saja.
Namun, reaksi itu mendorong Hita ke kesimpulan sederhana bahwa abangnya tidak tahu maksud pertanyaannya. Anak itu lantas membuang napas dan mengikuti intruksi Daru untuk segera mandi dan ganti baju, sebab sebentar lagi jam sekolahnya tiba. Maka Hita turun lagi dari kasur, kemudian pergi mandi dan bersiap berangkat sekolah.
Dia melalui sebagian besar waktu pagi dengan tidak mengobrol bersama sang abang.
-oOo-
"Mas Daru, Assallamuallaikum!"
Daru yang sedang mencatat daftar barang-barang toko langsung mendongak. Senja baru tiba di tempat kerja dan berdiri di sampingnya sambil nyengir. Terik matahari yang terpapar dari luar mendarat pada wajah Senja yang menghadap Daru, membuat cengiran Senja yang menampakkan deretan gigi rapinya terlihat lebih bersinar.
Tidak tahan dengan pemandangan memikat itu, Daru langsung membuang muka dan pura-pura fokus dengan catatannya. "Waallaikumsalam. Kok tumben datangnya duluan saya, Mbak?" tanyanya lirih.
"Hehe, maaf ya Mas, agak telat. Tadi waktu mau ke sini, aku masih nerima telepon dari mamaku."
"Oh, ya?" Daru langsung mendongak lagi. Tiba-tiba penasaran dengan cerita Senja. "Sudah baikan sama mamanya di rumah?"
Senja menggaruk lehernya sambil menampakkan raut malu.
"Iya, hehe," lalu gadis itu menggeret kursi di dekatnya dan ikut duduk di samping Daru. Senja meneruskan bercerita dengan semangat, "Mas masih ingat obrolan kita waktu di rumah Mas, kan? Di hari-hari berikutnya aku mulai berpikir lebih serius tentang rencana masa depanku. Aku juga mulai memahami perasaan khawatir orangtuaku, jadi aku coba hubungi mereka duluan. Awalnya Mama masih agak ketus aku minta maaf. Dia masih ngotot nyuruh aku pulang, tapi aku bilang ... aku perlu sedikit waktu lagi di sini. Aku bilang aku mulai betah dan ingin mencari apa yang benar-benar kusuka. Setelah itu, Mama enggak hubungin aku lagi. Kukira Mama masih marah, eh tapi pagi ini Mama malah nelepon aku duluan!"
"Terus tadi mamanya bilang apa, Mbak?"
"Katanya aku dibolehin tinggal sementara waktu untuk nyari apa yang benar-benar kuinginkan. Mama bilang, selama aku masih bertanggung jawab sama hidup dan masa depanku, Mama bakal mendukungku. Yang terpenting, Mama berpesan supaya aku lebih bisa meredam emosi dan enggak buru-buru ambil keputusan."
"Tuh, meredam emosi," tekan Daru sambil nyengir jail. "Mbak orangnya suka protes, sih."
"Ih!" Senja menyebur jengkel. "Ini namanya kebebasan berpendapat, bukan protes! Emangnya kita lagi di zaman orba, yang apa-apa kudu diem!"
"Lah, kok bawa-bawa orba!"
"Ya Mas gitu, sih! Cari-cari kesempatan buat nyalahin aku!"
Lalu Senja hendak memukul pundak Daru dengan main-main, tetapi pemuda itu berkelit lebih cepat sehingga ayunan tangan Senja tidak mengenainya. Gadis itu malah memukul udara kosong, praktis membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dari kursi. Senja nyaris saja terjungkal ke lantai kalau saja Daru luput memegangi kedua lengannya.
"Ups," Daru berdesis lega sambil menahan bobot tubuh Senja. "Hampir aja, Mbak."
Senja meringis, tercabik antara malu dan menyesal. Gadis itu mendongak, lalu terkejut lantaran jarak wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari wajah Daru. Tatapan mata Senja praktis mendarat pada bibir Daru yang terbuka sedikit.
Aajdnjafnsjfnsjnfjn!
Barangkali apa yang dilakukan Senja berikutnya tak ubahnya hasil dari kepanikan dan salah tingkah. Dengan sembrono, gadis itu mendorong pipi Daru supaya menjauh dari wajahnya. Dia lantas mengomel berapi-api untuk mengatasi beban malu di hatinya, "Duuh, untung aja aku enggak jatuh ke bawah! Mas Daru sih malah ngeles waktu mau kupukul!" Pipi Senja dengan cepat bersemu panas, seketika merasa tak nyaman karena ulah Daru. Kenapa cowok ini selalu saja membuat jantungnya berdebar kencang?
Sementara itu, Daru memegangi pipinya yang baru saja didorong-dorong oleh tangan Senja.
"Kok marah sama saya? Kalau nggak saya tahan tadi, Mbak Senja udah jatuh ke lantai, loh."
"Ya mendingan aku jatuh daripada ditangkap Mas Daru."
"Mbak lebih milih luka-luka dan keseleo daripada dapat bantuan dari saya?"
Senja memperhatikan ekspresi Daru yang menekuk muram. Sepertinya pemuda ini tidak punya petunjuk apa-apa atas bunyi jantung Senja yang bertalu-talu. Dan, fakta ini malah membuatnya semakin jengkel. Benci sekali rasanya bila hanya Senja yang merasakan perasaan rumit ini, sementara pelaku utamanya bebas berkeliaran tanpa dibebani tanggung jawab.
"Enggak tahu, deh! Pokoknya jangan pegang-pegang, soalnya tangan Mas keringetan!" Tanpa sadar Senja malah membalas lebih sinis. Daru menjadi terpukul, tapi lebih banyak perasaan bingungnya. Maka dengan perasaan segan, dia mengusap-usap telapak tangannya pada celana.
Senja masih dihinggapi kejengkelan luar biasa ketika mendadak saja pintu toko terbuka. Seorang pembeli masuk ke dalam dan langsung menuju meja layanan kasir. Daru dan Senja cepat-cepat mengubah posisi siaga untuk menyambut pelanggan pertama yang datang pagi itu. Namun, ekspresi keduanya langsung berubah terkejut ketika menatap sosok yang berdiri di depan konter kasir.
Kekhawatiran yang tadinya mulai meredup, kini kembali muncul. Daru berkata lirih pada orang itu;
"Bu Kasmirah?"[]
-oOo-
.
.
.
Chapter depan bakalan keungkap lebih banyak rahasianya Daru. Kencangkan sabuk pengamanmu, wahai pembacaaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top