26. Tangisan Dini Hari
-oOo-
Hita:
Mas Daru, hati-hati di jalan, yaaa~
Cepet pulang, nanti aku kangen! 😘
10.02
Mas Daru:
Iya, Ta
10.04
Hita:
Mas, aku kangen
Kapan pulang? 😞
10.18
Mas Daru:
Ya gusti ini belom ada 20 menit
berangkat dari rumah.
Masih naik gojek ini.
10.29
Hita:
Lama banget perginya
Mas keluar ke mana sih?
Mau ketemu siapaaaa
😫😫😫😫
10.40
Hita:
Mas udah selesai???
Ayo pulaaaaanggg
11.04
Hita:
Mas Daru kok
nggak dibalessss
☹️☹️☹️
11.22
Hita:
Mas...
Huu Mas Daru....
11.30
-oOo-
HITA menatap layar ponselnya sambil cemberut, pasalnya sejak satu jam lalu, Daru tidak kunjung membalas pesannya yang terakhir. Dibaca pun tidak! Apa yang abangnya lakukan, sih? Pagi tadi dia memang sempat pamit untuk mengurus sesuatu. Katanya mau mampir ke suatu tempat dan bertemu kepala di sana. Tidak ada detail lain dalam informasinya sehingga Hita pun dirudung pertanyaan besar. Tumben sekali Daru pergi ke kota tanpa mengajaknya?
Berusaha tidak memikirkan kegelisahan itu, Hita memilih lanjut menggambar wajah perempuan cantik di buku gambarnya. Beberapa hari lalu, Senja mengirimkan video-video tutorial menggambar karakter manga agar Hita bisa belajar sendiri di rumah. Anak itu senang bukan main―secara heboh menyematkan kepada Senja gelar pahlawan sejati. Daru yang turut senang karena Hita menjadi lebih serius dalam menjalani hobi, praktis memujinya sebagai anak rajin.
Namun, itu tetap tidak mengurangi kejengkelan Hita atas bungkamnya sang abang untuk jadwal rutinitasnya hari ini. Huh, chat enggak dibales. Awas aja nanti kalau pulang... aku mau pura-pura marah!
Saat Hita sedang berkonsentrasi membubuhkan alis di gambarnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara berisik dari luar. Anak itu langsung berlari dan mengintip dari jendela terdekat. Matanya membelalak ketika melihat Daru akhirnya pulang!
"Mas Daruuu!"
Hita berlari ke pintu dan membukanya dengan lebar. Bibirnya masih merengus jengkel sambil memperhatikan Daru yang membuka kedua sepatunya, lalu masuk ke rumah sambil menyerukan salam dengan lirih. Seperti anak ayam, Hita membuntuti Daru sampai kamar. Dia mendongak dan berjinjit saat berusaha mengajak Daru bicara, "Mas ke mana aja, sih? Kok di-WA enggak dibales?"
Sang abang masih sibuk melucuti jaketnya, lalu membuka kausnya yang lengas oleh keringat akibat udara panas. Hita melipir sedikit ke dekat lemari, dan tidak sengaja melihat wajah Daru yang terefleksi dari cermin rias.
Abangnya kelihatan murung.
"Mas Daru, kenapa?" Hita melunakkan nada suaranya. Rencananya untuk pura-pura marah sudah lenyap dikikis oleh kekhawatiran.
Daru menatap Hita lewat cermin, kemudian pemuda itu berputar dan menghadap padanya. Aneh bin ajaib, tiba-tiba wajahnya kembali sumringah. Cengirannya muncul seperti baru saja disihir dengan tongkat ibu peri. "Ta, mau makan enak, enggak? Mas masakin telur campur tahu sosis kesukaanmu."
Hita terdiam sejenak sambil memperhatikan raut Daru yang berseri-seri. Bujukan tentang menu masakan tadi, dalam sekejap membuat suasana hatinya yang labil mudah tergerak. Bocah itu mengangguk dengan mata berbinar-binar. "Mauuu!"
"Ya udah, tunggu di luar, ya. Mas mau beres-beres kamar dulu."
"Siaaap!" Kemudian Hita lari keluar kamar. Saat melewati pintu, dia masih sempat-sempatnya berseru kencang, "AKU MAU SOSISNYA YANG BANYAAAK!"
Dalam sekejap, tubuh mungil adiknya menghilang ditelan lorong rumah yang sempit.
Daru langsung membuang napas panjang sepeninggal Hita.
Pemuda itu mengunci pintunya rapat, lalu kembali ke kasur dan duduk di tepinya dengan loyo. Tiba-tiba saja, suasana rumah yang sebelum ini gegap oleh teriakan Hita berubah menjadi sesunyi mimpi yang padat dengan kemurungan. Daru menumpukan kedua sikunya di lutut, menangkup wajah dengan tangan. Ingatan beberapa jam lalu menyela kembali dalam benaknya....
"Ibu saya enggak mungkin membawa kabur uang sebanyak itu!"
"Terus kamu pikir saya berbohong? Daru, saya punya bukti bahwa Asmina telah menerima uang sebesar itu dari saya!"
"Tapi kalau sampai itu terjadi ... ini artinya ...."
"Ibumu seorang penipu."
"Ibu saya bukan penipu!"
"Lihat betapa busuknya rencana wanita itu. Dia tak ubahnya ular yang meracuni sarangnya sendiri. Anak saya menjadi korban kelicikan iblis seperti ibumu. Tahukah kamu betapa besar nilai itu untuk menyediakan makanan dan pakaian terbaik untuk buah hati saya? Dia membawanya kabur dan menikmatinya sendiri, bahkan menelantarkan anak malang sepertimu yang kurang kompeten dalam mengurus hidup. Apa yang kamu beri pada Hita selama ini? Apa bahkan kamu mencukupi gizinya seperti yang saya harapkan?"
Kata-kata itu menusuk kepala Daru. Tidak jelas apa yang dirasakannya sekarang selain perasaan takut, bersalah, dan sebonggol kemarahan nyata yang ingin dia luapkan pada sesuatu. Pemuda itu merenggut jaket yang teronggok di dekatnya dan membantingnya ke pintu. Sambil terengah-engah, Daru menjambak rambutnya sendiri dan berjuang menelan jeritan-jeritannya yang sudah di pangkal lidah. Efek menahan ledakan ini membuat dadanya pedih, dan napasnya sesak. Namun, di antara rasa sakit itu, kekecewaan menyeruak jiwanya dengan tajam dan tanpa ampun, membuatnya putus asa dan tak berdaya.
Ibunya telah membawa kabur uang orang asing ... ibunya telah membohonginya ... ibunya telah melakukan kejahatan yang tak pernah terlintas di benaknya ....
Pemikiran mengenai ibunya membuat Daru kembali kewalahan menghadapi bayangan sosok wanita itu. Dia merasakan kembali sakit yang membakar seputaran perutnya, lalu Daru membungkuk rendah hingga tubuhnya merosot letih di lantai. Air matanya pun turun melelehi wajahnya yang pekat dengan kesedihan.
Selama beberapa menit yang menyakitkan, dia membiarkan rasa sakit itu bergabung dengan kemarahan yang mencabik-cabik. Daru melipat kedua lututnya, merundukkan kepala dalam-dalam, dan tenggelam dalam kubangan tangisannya sendiri.
-oOo-
"Mas?"
Suara Hita menyadarkan Daru dari lamunan kosong. Pemuda itu mendongak dan menatap Hita yang duduk di seberang meja makan. Sejak tadi anak itu memperhatikannya dengan paras khawatir. Nasi dan omelet sosis di piring Hita sudah habis setengah, tetapi punya Daru bahkan belum tersentuh sedikit pun.
"Kok enggak dimakan nasinya?" tanya Hita.
Daru menggeleng, memaksa tersenyum, "Mas enggak laper, Ta."
"Tadi katanya mau makan enak," Hita menyodorkan piring Daru lebih dekat kepadanya. Setelah beberapa detik tak dijawab, anak itu membujuknya lebih keras, "Kusuapin ya, Mas? Kalau dingin enggak enak nanti."
"Enggak papa, Ta," Daru kemudian meletakkan omeletnya yang masih utuh ke piring Hita. "Mas aslinya sudah makan tadi, jadi masih kenyang. Ini kamu habisin aja, deh."
"Loh, kok gituuu?"
"Maaf, ya, Ta."
"Mas sakit?"
"Enggak. Udah kenyang aja."
Hita terdiam lama, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Daru yang tidak ingin adiknya khawatir, akhirnya langsung berdiri dari kursi dan berlutut di depannya. "Mas enggak papa, Ta. Tapi hari ini Mas ngantuk banget, pengin lanjut tidur. Nanti habis makan, kamu main sama Inaw dulu, ya. Apa mau Mas anterin ke rumah Ganesh biar bisa main juga di sana?"
Hita merengut sebentar, lalu menggeleng. "Aku mau lanjut gambar aja, deh, sambil ditemenin Inaw."
Daru tersenyum sambil mengusap puncak kepala Hita. "Ya udah, kalau gitu. Mas tidur dulu."
Kemudian percakapan itu berakhir begitu saja. Hita melihat sang abang berdiri, lalu melangkah ke luar dapur menuju kamarnya yang letaknya di ujung lorong. Sepiring nasinya yang masih utuh ditinggalkan tak tersentuh di atas meja. Hita bertanya-tanya mengapa abangnya mendadak terlihat agak aneh sepulang dari luar tadi. Padahal biasanya kalau habis sibuk seharian, Daru akan pulang dalam keadaan lapar setengah mati, bukannya murung dan melarikan diri ke kamar seperti ini.
Namun, Hita enggan memikirkan masalah ini lebih dalam, sebab dia tahu semua orang dewasa pikirannya sulit dimengerti.
Dilandasi pemahaman itu, Hita pun menghabiskan jatah omelet sosisnya yang bertambah, demi segera kembali ke ruang tamu dan melanjutkan aktivitas menggambarnya yang sempat berhenti. Anak itu yakin, palingan nanti malam abangnya sudah kembali seperti semula dan menemani Hita main seperti biasa.
Nyatanya, saat malam tiba pun, keyakinan itu tak terwujud.
Hita lupa kapan dia ketiduran. Seingatnya, setelah solat dan mengaji tadi, dia masih menggambar di meja ruang tamu. Namun, saat terbangun beberapa jam setelahnya, Hita rupanya sudah berbaring di kasurnya sendiri, lengkap dengan selimut yang menutupinya sampai dagu. Ini bukan hal baru, sebab sang abang memang selalu menggotong Hita ke kamar kalau dirinya ketiduran di luar.
Hita berpaling ke jam dinding dan melihat waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.
Tidak biasanya Hita terbangun di jam seperti ini. Suasana di rumahnya kalau malam sangat sunyi dan agak mengerikan. Hita mau lanjut tidur, tetapi mendadak ingin pipis. Karena tidak mau mengompol di pagi hari, akhirnya anak itu menyeret dirinya turun dari kasur dan menuju kamar mandi sendiri.
Hita melangkah di lorong rumahnya yang suram dan agak remang. Saat melewati kamar Daru, mendadak saja langkahnya terhenti. Dia berhenti bukan karena melihat pintu abangnya lupa dikunci sehingga terbuka sedikit, melainkan karena mendengar suara seseorang yang menangis dari dalamnya.
Anak itu membeku sejenak, terhenyak di antara kaget dan cemas. Pasalnya dia menyadari suara tangisan itu adalah milik Daru.
Pintu di kamar sang abang terbuka sedikit dan meninggalkan celah selebar ruas jari. Hita tidak berani membuka pintu itu lebih lebar, tetapi dia mendekat untuk mengintip. Melalui keremangan kamar, sosok abangnya yang mengenakan peci tengah duduk di atas sajadah sambil membelakanginya. Punggungnya sedikit membungkuk, dan wajahnya terkubur di kedua tangan yang ditangkupkan di wajah. Pundak Daru berkejat mengiringi gelombang tangis yang menjadi-jadi.
Ini pertama kalinya Hita melihat sang abang berdoa di tengah malam sambil menangis seperti itu. Dia ingin memeluk abangnya dari belakang untuk menenangkannya, tetapi dia tahu momen-momen seperti ini sangat terlarang untuk diganggu. Abangnya sedang berdoa kepada Tuhan, dan itu adalah percakapan sakral antara sang pencipta dan umatnya. Hita tidak tahu doa apa yang Daru panjatkan hingga abangnya sesedih itu. Apakah abangnya bersedih untuk dirinya?
Resah dengan pikirannya sendiri, Hita menjadi merasa bersalah karena mengintip-ngintip seperti ini. Anak itu pun mundur dari pintu walaupun benaknya masih dijejali khawatir pada sosok abangnya yang terluka dan rapuh.
Hita terpaksa melanjutkan niat awalnya ke kamar mandi dan berpura-pura tidak melihat abangnya.[]
-oOo-
.
.
.
Kalau jadi Daru pasti mumet 😔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top