25. Pilihan untuk Minggat
-oOo-
PUKUL 14.27 WIB, di kota Sidoarjo yang panasnya menusuk bagai retihan abu rokok.
Daru berdiri di area parkir sebuah restoran megah yang terletak di dekat kawasan alun-alun kota. Namanya Mozin. Fasiknya seperti bangunan klasik berlantai dua di zaman kolonial yang bernuansa putih dengan pilar-pilar cokelat mengisi bagian teras depan yang luas. Terlihat menawan sekaligus megah―yang memilikinya pasti bukan sembarang orang. Daru memikirkan hal itu dengan cemas, pasalnya dia datang kemari bukan tanpa alasan.
Seketika realita ini mengirimkan denyut perih di perutnya. Akhir-akhir ini, entah bagaimana kesehatannya mulai terganggu. Barangkali karena Daru tidak bisa melepaskan stress yang belakangan sering mengganggunya, terutama tentang masalah yang menyangkut Hita dan Bu Kasmirah. Apa yang mau dibicarakan wanita itu padanya? Kalau semua yang terjadi di masa lalu itu benar terjadi, apakah Bu Kasmirah hendak mengambil Hita darinya?
Daru memikirkan masalah itu berlarut-larut sampai dia tak bisa tidur tenang. Tahu begitu, tadi dia mengajak Senja kemari saja. Gadis itu selalu punya kata-kata bagus untuk menenangkan hatinya. Dia juga cekatan dan bernyali besar ketika berurusan dengan masalah, tidak seperti Daru yang cenderung banyak berpikir dan skeptis. Di situasi begini, Senja pasti bisa membantunya agar tak salah dalam mengambil keputusan.
Pemuda itu melangkah ke dalam restoran dan disambut seorang pelayan laki-laki berwajah ramah. Sebelum pelayan itu membuka mulut, Daru langsung memberitahu maksud kedatangannya.
"Ibu Kasmirah?" kata pelayan itu.
"Iya. Saya mau ketemu Bu Kasmirah. Dia yang punya restoran ini, kan?"
"Mohon maaf, boleh saya tahu maksud kedatangan Mas?"
"Bu Kasmirah sendiri yang memanggil saya kemari. Mas bisa tanyakan ke Bu Kasmirah. Nama saya Asraf Dewandaru."
"Begini, Mas," Si pelayan menatap Daru dengan cermat dan diam-diam menilai penampilannya yang biasa saja; hanya mengenakan kaus polos berlapis jaket dan celana jins―jelas bukan penampilan orang penting. "Ibu Kasmirah saat ini sedang keluar. Beliau jarang ada di restoran ini kecuali ada urusan-urusan yang mau dibahas. Kalau Mas mau bicara dengan beliau, Mas harus membuat janji dulu, tidak bisa langsung ketemu seenaknya."
"Tapi Bu Kasmirah ngasih kartu nama ini ke saya," kata Daru sambil menyodorkan kartu berwarna emas tersebut. "Katanya saya disuruh segera datang. Enggak ada pemberitahuan harus bikin janji dulu." Sambil menahan jengkel, dia memberi saran, "Atau gini aja. Mas bisa menghubungi Bu Kasmirah untuk segera datang ke restoran, sementara saya nunggu di dalam sana. Perjalanan dari rumah ke sini jauh, Mas. Enggak mungkin saya bolak-balik."
Si pelayan terdiam sejenak. "Siapa nama masnya tadi?"
"Asraf Dewandaru."
"Baik, kalau gitu tunggu sebentar, ya, Mas Asraf." Pelayan tersebut kemudian pamit dan menghampiri pelayan lain yang berdiri di sudut lain restoran. Mereka mengobrol singkat, kemudian salah satunya mengeluarkan ponsel dan terlihat menelepon seseorang. Jantung Daru mendadak berdebar, takut kalau-kalau yang ditelepon dua pelayan itu adalah polisi. Namun, sepertinya dugaannya keliru. Sebab seorang pelayan wanita tahu-tahu menyeruak maju mendekati Daru.
"Selamat pagi, Mas Asraf. Mari saya antar ke ruangan tunggu."
Daru mengikuti pelayan wanita itu ke lobi restoran, kemudian masuk ke sisi lain koridor pendek yang lebih sepi. Keletuk sepatu hak tinggi sang pelayan bergema meningkahi denyut jantung Daru yang berdebar lebih cepat semenjak dia memberanikan diri masuk kemari.
Tempat yang dilintasinya sepi, tetapi saat berpaling ke kanan, Daru melihat dapur restoran yang hanya dibatasi dengan kaca. Di baliknya, semua koki masak kelihatan sibuk; seorang pria terlihat menumis sesuatu menggunakan wajan yang mengeluarkan api besar, sebagian yang lain sedang memotong bahan-bahan makanan dan mencuci sayur di wastafel yang mengalir. Ada yang keluyuran sambil mendorong troli berisi makanan yang hendak disajikan, ada pula yang sedang menghias keik-keik kecil beraneka rupa di atas baki.
Daru menerka-nerka sebanyak apa uang yang dihasilkan para koki profesional ini dengan kesibukan seperti itu, dan membandingkan dirinya sendiri yang selama ini bekerja menjadi pramuniaga toko tanpa keahlian khusus, serta hanya mengandalkan hidup dari beberapa sumber penghasilan tambahan yang tidak besar―seperti menjadi guru mengaji bagi anak-anak desa, atau menerima pekerjaan-pekerjaan sederhana dari para tetangga yang membutuhkan―tetapi dari semua pengalaman itu, dia masih saja kesulitan menabung untuk memiliki kendaraan sendiri.
Seketika Daru membayangkan apakah suatu saat dirinya juga bisa menjadi pekerja profesional seperti para koki itu, yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menekuni bidang pekerjaan yang disukai dan menerima gaji lebih dari cukup untuk menabung.
"Mas?"
Suara pelayan wanita tadi memecahkan lamunan Daru. Pemuda itu baru sadar bahwa sejak tadi dirinya berdiri mematung melihat pemandangan di dapur.
"Silakan masuk kemari."
Sang pelayan mempersilakan Daru memasuki ruangan kecil yang memiliki plakat bertuliskan Head of the Restaurant, di bagian atas pintu.
"Bu Kasmirah akan datang dalam lima belas menit. Silakan Mas tunggu di dalam. Saya ada di dekat sini kalau Mas butuh sesuatu."
Setelah ditanggapi sopan, Daru ditinggal sendiri. Pemuda itu mengembuskan napas panjang untuk mengatasi kegugupan yang bersarang dalam hati. Bagian dalam tempat ini tidak begitu luas, tetapi cukup nyaman dan dekorasinya elegan. Ada sentuhan properti meja dan kabinet kecil yang terbuat dari kayu berkualitas, sehingga menambah kesan klasik zaman kolonial yang anggun dan berkelas. Diam-diam, Daru menelusurkan jemarinya pada sandaran kursi tunggunya yang licin dan dingin.
Sekitar lima belas menit kemudian, pintu di sampingnya terbuka. Bu Kasmirah datang tepat waktu sesuai janji karyawan perempuan tadi.
"Selamat pagi, Dewandaru," kata Bu Kasmirah, melangkah masuk ke ruangan bersama pelayan wanita yang membawa nampan berisi minuman dan kudapan. Daru berdiri dan menunduk kecil menanggapi salam Bu Kasmirah.
Dia memperhatikan wanita itu masuk ke balik meja kerja dan menunggu sampai pelayan pergi dari ruangan. Setelah pintu terayun menutup, barulah Daru bisa berkonsentrasi tentang apa yang dia hadapi selanjutnya.
Bu Kasmirah kali ini pun mengenakan busana batik modern yang terlihat cerah dan rapi. Kuku-kukunya tidak lagi bercat merah, tetapi berwarna natural dengan rona pink lembut. Dengan penampilan seperti ini, dia terlihat lebih muda―seperti masih ada di awal tiga puluhan, mungkin sepantaran dengan Bu Garwita.
"Saya ingin tahu apa maksud Ibu membawa Hita pergi jalan-jalan tanpa seizin saya," kata Daru tanpa basa-basi.
"Daru, secara teknis, saya tidak perlu meminta izin kamu, karena Hita adalah buah hati saja." Pernyataan itu dilesatkan Bu Kasmirah tanpa aba-aba.
Daru mematung sebentar di tempatnya dan berusaha memproses jawaban ini.
Buah hati.
"Daru," kata Bu Kasmirah, yang tampaknya bisa menangkap geletar keheranan dalam wajah Daru. "Sesungguhnya saya kebingungan dengan reaksimu. Bukankah seharusnya kamu sudah tahu kalau Hita adalah anak saya? Apa Asmina tidak memberitahumu soal ini?"
Saat nama Asmina disebut, Daru merasakan perutnya menegang, seolah-olah dia baru saja kelewatan menuruni satu anak tangga.
"Ibu saya enggak bilang apa-apa tentang Anda," kata Daru setelah berusaha menguasai diri.
Bu Kasmirah menatapnya lurus-lurus, seolah-olah dia sedang mencari celah kebohongan dalam mata Daru, tetapi dia tak menemukannya.
"Maksudnya, selama ini kamu kira Hita adalah adik kandungmu?"
"Bukan seperti itu," Daru menepis ragu. Akhirnya, hari ini datang juga.
Pemuda itu menarik napas pelan-pelan dan berusaha bicara tanpa terbata-bata. "Saya tahu kalau Hita bukan adik kandung saya, tapi ... ibu saya enggak pernah bicara apa pun soal asal-usulnya. Ibu cuma berpesan kalau saya harus menjaga Hita seperti adik sendiri."
Bu Kasmirah kelihatan tidak habis pikir. Wanita itu menekan keningnya dengan jari. Sambil mengernyitkan kening, dia menggumam kecewa, "Asmina ... orang itu ...."
"Apa tujuan Anda?" Daru lantang bertanya. "Tiba-tiba muncul di depan saya dan mengajak Hita jalan-jalan, ngasih dia hadiah mahal, lalu menyuruh saya datang kemari. Apa tujuan Ibu yang sebenarnya?"
"Tentu kamu sudah tahu. Saya mau mengambil Hita."
"Mengambil?"
"Mengajaknya tinggal bersama saya di rumahnya yang sebenarnya."
"Tapi Hita sudah bersama saya sejak dia masih bayi."
"Saya tahu, dan itulah yang saya bingungkan dari ceritamu." Bu Kasmirah tahu-tahu berdiri dari meja kerja dan maju mendekati Daru. Wajahnya berlumur dengan keheranan bercampur kemarahan. "Seharusnya Asmina memberitahumu tentang siapa orang tua kandung Hita, agar kelak kamu dapat mengembalikannya kepada saya di waktu yang sudah perempuan itu janjikan. Tapi sampai lima tahun lalu, dia tidak pernah muncul di hadapan saya. Asmina tidak meninggalkan apa pun―nomor telepon, alamat rumah, bahkan sanak keluarganya pun saya tidak tahu. Yang saya tahu hanyalah fakta bahwa Asmina memiliki seorang putra bernama Dewandaru. Sulit sekali melacak nama kalian berdua hanya untuk menemukan di mana keberadaan anak saya. Itu memang kecerobohan saya karena tak berpikir jauh ... saya pikir ... Hita sudah dibawa kabur dan tak akan kembali lagi pada saya ... tapi belakangan ini orang suruhan saya akhirnya menemukan jejak-jejak lama yang nyaris terkubur. Dia menemukan rumahmu dan mengintainya selama beberapa bulan. Dia menemukan nama-nama yang cocok dengan orang yang selama ini saya cari-cari, dan ...."
Penjelasan Bu Kasmirah membuat Daru pusing karena kepalanya terjejali dengan banyak informasi. Pemuda itu mengangkat tangan untuk meminta Bu Kasmirah berhenti berbicara, lalu dia bertanya pelan-pelan, "Kalau Hita adalah anak Anda, kenapa Anda membiarkan ibu saya mengambilnya?"
Bu Kasmirah terdiam, lama sekali. Namun kecanggungan di ruangan itu kalah oleh ketegangan yang tercipta di antara keduanya.
"Kamu tidak perlu tahu alasannya. Itu adalah perjanjian di antara saya dan ibumu," katanya tegas.
"Tapi saya perlu bukti bahwa Hita adalah anak Anda!" Daru kepalang tidak sabar sehingga nada suaranya berubah membentak. "Kalau enggak ada bukti, saya bisa perkarakan kasus ini ke polisi."
"Daru, kalau kamu perlu bukti, kamu tidak perlu menggalinya sampai sejauh itu," Bu Kasmirah berceletuk sabar. "Saya punya semua bukti yang kamu butuhkan, dari dokumen kelahiran sampai catatan yang saya simpan sejak bertahun-tahun lamanya. Saya punya foto-foto kelahiran Hita dan foto ibumu yang mendampingi saya pada saat itu. Kalau kamu masih menolak dan keras kepala, saya bahkan tidak keberatan untuk tes DNA."
Rentetan jawaban itu menciutkan keberanian Daru. Jangankan tes DNA, sebetulnya Daru pun enggan mengakui fakta bahwa mereka berdua terlihat mirip―Hita dan Bu Kasmirah. Mereka memiliki bentuk bibir dan senyum yang mirip. Ironisnya kenyataan ini malah membuat Daru semakin cemas. Dia tidak mau berpisah dengan Hita. Dia tidak mau ... dia belum siap tinggal sendirian di rumah yang selalu menghunusnya dengan bayang-bayang masa lalu yang mengerikan ....
Pemuda itu menunduk dan menangkup wajahnya dengan tangan. Bu Kasmirah hanya menatap Daru tanpa petunjuk apa pun, sampai kemudian dia melihat tubuh Daru bergetar. Apa anak muda ini menangis?
"Daru," kata Bu Kasmirah. Mendadak saja dia merasa iba dengan anak ini. "Kamu baik-baik saja?"
Daru mendongak, dan Bu Kasmirah terkejut melihat mata Daru berkilat merah, seperti hendak menumpahkan air mata.
"Mana ada yang baik-baik aja setelah mendengar berita ini?"
Pertanyaan retoris itu membuat Bu Kasmirah menahan napas.
"Kenapa Anda menitipkan Hita pada ibu saya?" Daru lagi-lagi bertanya. Kali ini suaranya bergetar. "Ibu saya bukan orang baik. Anda seharusnya enggak percaya gitu aja ...."
Kalimat itu membuat Bu Kasmirah terdiam dan mencerna.
"Bagaimana keadaan Asmina sekarang?" Bu Kasmirah memberanikan diri bertanya. "Apa dia meninggal?"
"Minggat."
"Ke mana?"
Daru menggeleng.
Bu Kasmirah membuang napas berat. Wanita itu kemudian duduk di petak sofa kosong, di samping Daru yang masih terlihat kuyu setelah menerima berita ini.
"Kapan Asmina minggat?"
Daru terdiam sejenak. "Enggak lama setelah dia pulang dan memberikan Hita pada saya. Dia cuma berpesan saya harus menjaga Hita, dan sejak saat itu saya mematuhi perintahnya. Mungkin ... mungkin itu hanya berselang satu bulan, terus ... terus ...." Daru tidak sanggup bercerita karena dia merasa sesak. Pemuda itu memejamkan mata dan mengatur napas pelan-pelan. Jantungnya berdebar kencang, dan dia ingin muntah. Diam-diam Daru meremas penutup sofa di samping pangkuannya untuk menyalurkan rasa tidak nyaman yang berkembang di tubuhnya.
Bu Kasmirah, yang tampaknya tidak begitu perhatian dengan gelagat aneh Daru, mengambil jeda panjang itu untuk berpikir. Jelas ada yang salah di sini. Asmina sepertinya memang sengaja tidak mengemban tanggung jawab yang seharusnya dia lakukan sesuai perjanjian awal. Untuk meyakinkan itu, Bu Kasmirah bertanya lagi, "Apa Asmina ngasih kamu uang?"
"A-apa?" Daru terengah-engah.
"Uang. Apa Asmina meninggalkan kalian berdua dengan sejumlah uang?"
Daru menggeleng.
"Sialan!" Bu Kasmirah mendadak berdiri. Tubuh wanita itu bergetar dengan rasa tidak percaya. Daru melihat kulit wajah Bu Kasmira memerah seolah menahan ledakan murka.
"A-ada apa?" Daru memaksakan diri bangkit dari sofa mendekati Bu Kasmirah. Ada yang tidak beres. Apakah ada sesuatu yang dia tidak tahu?
"Ibumu," Bu Kasmirah menatapnya, dan kalimat berikutnya bagai pukulan cambuk yang menyasar kepala Daru;
"Dia membawa kabur uang perawatan Hita sebesar dua ratus juta."[]
-oOo-
.
.
.
Mulai terungkap dikit-dikit
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top