24. Jangan Janji untuk Kedua Kalinya

-oOo-

JAM sudah bergerak di angka tujuh ketika Daru tiba di rumahnya, bersama Senja yang membuntuti di belakang. Selepas pintu dibuka, wajah manis Hita menyambutnya dari dalam.

"Assallamualaikum, Ta," kata Daru seraya melangkah masuk. Begitu Hita membalas salamnya, Daru langsung dikejutkan dengan keadaan ruang tamu yang berantakan―meja lipat dipenuhi krayon dan buku gambar yang sudah dicoret-coret, kabel-kabel pengisi daya terbelit di lantai dan dicampakkan begitu saja, sajadah yang tersingkap, dan mukena yang dibiarkan teronggok seperti kain pel. Inaw bahkan tidur mendengkur di atas mukena tanpa merasa bersalah.

"Kok berantakan gini, Ta?" Daru langsung memunguti apa pun yang bisa segera dibereskan, sementara Hita membalas dengan nada enteng di belakangnya;

"Iya, Mas. Tadi aku kejar-kejaran sama Ganesh. Tuh, anaknya lagi tidur." Lalu jemarinya yang mungil menunjuk gundukan tebal selimut yang berbaring meringkuk di dekat pintu. "Aku suruh pindah ke kamar, enggak mau."

Senja pergi membangunkan Ganesh untuk mengajak anak itu pulang, sementara Daru yang ditinggalkan berdua dengan Hita, langsung bertanya pada anak itu, "Tadi enggak ada orang yang datang ke sini, kan?"

Hita menggeleng. "Enggak, Mas."

"Ada orang yang hubungin kamu di hape?"

"Enggak."

Mendengar jawaban itu, Daru lega. Setidaknya dia tahu Bu Kasmirah tidak berusaha mengusiknya lagi setelah insiden ulang tahun lusa lalu.

Setelah kegiatan bersih-bersih kilat selesai, Senja sudah bersiap pulang bersama Ganesh, yang tampaknya masih ngantuk berat dan loyo. Anak laki-laki itu menggosok-gosok mata sambil menguap lebar, tak memedulikan kebawelan Senja yang sejak tadi repot sendiri membereskan barang-barangnya, "Kamu ini semenjak ada aku jadi tambah males, ya, Nesh. Apa-apa harus dibantuin. Ke mana-mana minta dianter, kalau tidur telat terus, dan bangunnya kesiangan."

"Itu artinya Ganesh nyaman kalau ada Mbak Senja," Daru menanggapi sambil tersenyum samar. Dia lantas membantu Ganesh merapikan kerah jaket yang dikenakannya, "Iya, kan, Nesh? Coba dulu sebelum ada Mbak Senja, kamu kan rada kesusahan kalau mau ke mana-mana. Harus nungguin bapaknya pulang kerja dulu. Palingan mainnya kalau enggak di rumah ya di toko."

Ganesh mengangguk-angguk sambil mencebikkan bibir. Senja yang gemas langsung mencubit bibir keponakannya yang maju. Setelah puas, dia mendorong Ganesh lembut ke pintu keluar. Gadis itu menyempatkan diri mendongak pada Daru.

"Makasih ya, Mas. Maafin Ganesh karena rumahnya jadi berantakan."

"Enggak papa, Mbak. Yang penting enggak sampai kebakaran," kata Daru, lalu Senja mendengkus tertawa.

"Mas istirahat yang baik, ya. Jangan sampai kayak tadi lagi. Aku pulang dulu, assallamualaikum."

Selepas menjawab salamnya, Daru memperhatikan punggung Senja dan Ganesh yang keluar dari pintu dan menaiki sepeda untuk pulang. Pemuda itu masih berdiri mematung sampai Hita mengguncang-guncang pakaiannya, "Mas, Mas, emangnya tadi kenapa?"

Daru menunduk pada Hita, "Hah, apa?"

"Kata Mbak Senja, 'jangan sampai kayak tadi'. Emang Mas Daru kenapa di rumah Pak RT?"

Daru membungkuk, lalu tanpa aba-aba menggendong Hita ke pelukannya. Dia mengajak adiknya pergi ke dapur untuk makan malam, "Tadi Mas sama Mbak Senja jatuh dari sepeda."

"Sakit, enggak?"

"Sakit, Ta. Di sini."

Daru menyentuh lecet kecil di pipinya. Hita mengusap luka itu dengan lembut, lalu mengecup singkat pipi Daru.

"Udah kuusir sakitnya," kata Hita.

Daru terkekeh, kemudian memberikan pipi satunya, "Yang ini juga sakit, Ta."

Hita mencium pipi yang satu lagi.

Daru yang kurang puas, ganti menyentuh tengah keningnya. "Terus ini sakit juga."

Namun, bukannya dicium seperti tadi, Hita malah menepuk kening Daru sambil menggerutu, "Nakaaaal!"

Sikap marahnya yang menggemaskan itu langsung mengundang cengiran Daru.

Sang abang menaruh Hita di kursi makan, kemudian membuka bungkusan makanan yang tadi dibawanya dari rumah Bu RT. Selagi Daru menyiapkan makan malam, Hita tiba-tiba berceletuk, "Mas?"

"Hm?"

"Mbak Senja sama Ganesh itu kayak ibu sama anak ya kalau dilihat-lihat."

"Haha, bisa aja kamu, Ta."

"Terus kata Ganesh, waktu dia lihat Mas Daru jalan sama aku, kita berdua kayak bapak dan anak."

Daru menaruh beberapa potong ayam kecil-kecil di piring Hita sambil mengantisipasi ke mana pembicaraan ini bermuara. Selang beberapa detik kemudian, Hita berceletuk sambil memasang wajah polosnya, "Kalau Mas Daru sama Mbak Senja disatuin, kita jadi satu keluarga, loh! Mas Daru jadi bapak, Mbak Senja jadi ibu, terus aku sama Ganesh jadi kakak-adik!"

Kata-kata itu membuat Daru tersenyum tipis sambil menggeleng maklum. Dia menyodorkan piring berisi nasi dan lauk ke depan Hita, lalu ikut duduk di depannya sambil menunggu Hita makan. Sambil menatap gerak-gerik Hita yang menjejalkan nasi putih dengan lahap, Daru membalas, "Kalau kamu sama Ganesh jadi kakak-adik, Mas enggak bakal kuat ngurus kalian berdua. Rumah jadi berantakan tiap hari!"

"Khan nanti Mbak Senja bwisa bwhantu bweres-bweres," kata Hita sambil menggerogoti daging di tulang ayam, "Oh, nanti aku wanggilnya bwhukan Mbak lagi, deng. Tapi Mwamwa! Mwamwa Senja!"

"Udah, ah," entah bagaimana Daru merasa canggung saat Hita menyebut Senja dengan sebutan Mama. Seandainya di sampingnya ada Senja, Daru yakin pipinya akan memerah seperti kepiting rebus dan tidak sanggup berkata-kata. "Makan, Ta. Jangan ngomong terus."

Setelah menyelesaikan makan malam, Daru menyuruh anak itu menyikat gigi, sementara dirinya mencuci piring. Sang abang masih sibuk di depan bak cuci ketika beberapa menit kemudian, Hita kembali dari kamar mandi dan berceletuk, "Mas, aku boleh tanya, enggak?"

"Ya tanya aja, ngapain minta izin segala."

"Sebenarnya aku punya orang tua enggak sih?"

Daru yang baru meletakkan piring bersih ke dalam rak, membeku sejenak. "Ya punya, lah. Semua orang di dunia ini pasti punya orang tua."

"Terus kenapa aku enggak pernah ketemu mereka?"

Daru berpaling ke belakang dan mendapati sang adik duduk kembali di bangku makan. Sinar lampu dari dapur terpapar di puncak kepala Hita, menutupi sebagian wajahnya dengan bayangan lebih gelap. Daru tidak bisa memeriksa ekspresi Hita dari posisi berdirinya, tetapi dia bisa mendengar suara Hita yang berlumur kesedihan;

"Waktu aku nanyain soal Ibu, Mas Daru selalu marah. Sampai-sampai gambarku dirobek. Emangnya ibu orang jahat, ya?"

"Bukan gitu, Ta."

Daru tercekat, kebingungan untuk menjelaskan. Ingatannya kembali ke saat pertama kali Hita dibelikan buku gambar pertamanya. Anak itu langsung mengisi lembar kosong pertama untuk menggambar wajah sang ibu yang dia temukan di album lama. Daru yang menangkap basah hal itu langsung kehilangan kendali dan merebut buku gambar dari tangan Hita. Dia tak ingat setan macam apa yang merasukinya kala itu, tetapi yang pasti ... Daru sudah membuat Hita terguncang karena dia merobek gambar buatannya dengan kasar.

"Itu ... itu ibunya Mas," kata Daru. "Yang waktu itu kamu gambar adalah ibunya Mas, bukan ibunya Hita."

"Berarti yang ada di foto album itu bukan ibunya aku juga?"

Daru mengangguk.

"Sama kayak Pak Rusidi, dong. Pak Rusidi kan juga bukan bapaknya aku. Dia bapaknya Mas Daru."

Kemudian anak itu menunduk sambil mengetuk-ngetukkan jemari telunjuknya di permukaan meja. Nada suara Hita pecah dalam tangisan saat mengatakannya, "Terus sebenernya orangtuanya aku siapa? Aku kan juga pengin punya bapak ibu sendiri. Masa semuanya punya Mas Daru semua ...."

Kalimat itu saja sudah membuat hati Daru hancur.

Dulu sekali, sang abang telah berjanji bahwa suatu hari nanti dia akan menceritakan pada Hita tentang apa yang dia ketahui mengenai asal-usulnya. Akan tetapi, semakin banyaknya waktu yang terlewati di antara mereka, rasa sayang Daru semakin tumbuh dan mengakar, sehingga dia pun mulai tak tega untuk menjelaskan kebenaran itu lebih awal. Benaknya dipenuhi ketakutan bahwa setelah pengungkapan itu, adiknya tidak akan memandang keluarganya saat ini dengan cara yang sama, atau menahan-nahan diri untuk tidak mencari keluarga asli di tengah kenyamanan hidup berdua.

Dan, Daru selalu menyebut dirinya seorang pengecut setiap kali dia memilih menghindari pembicaraan itu.

Merasa ditekan secara halus oleh tatapan menuntut adiknya, Daru menyudahi cuci piringnya dan kembali ke bangku makan. Bukankah kini dia sudah tak bisa berkelit lagi?

"Hita juga punya orangtua, kok. Hanya aja sekarang memang enggak tinggal di sini."

"Terus di mana?"

"Mas juga enggak tahu. Tapi nanti kalau Hita udah besar, kita cari bapak-ibunya Hita bareng-bareng. Oke?" kata Daru.

Daru dapat melihat sorot kesedihan bersemayam dalam mata Hita. Lantaran tidak kuat dengan rasa pedih yang mendobrak hatinya, Daru berdiri dari kursi dan menggendong Hita ke pelukan. Dia mengusap pipi Hita yang basah karena air mata sembari berujar lembut, "Udah, cup-cup-cup. Nanti kamu capek kalau nangis terus."

Daru membaringkan Hita ke kasur. Dia menyelimuti Hita sampai sebatas dagu, lalu duduk di tepi kasur sambil menunggu adiknya tidur.

"Mas Daru."

"Hm?"

Hita memegang tangan Daru seperti menggandeng lengan boneka, "Orangtuaku bakal ketemu kan kalau dicari?"

Pertanyaan itu digaungkan dengan nada mengharap. Daru menyingkirkan helaian poni Hita yang menutupi matanya, lalu membalas pelan, "Iya, pasti ketemu. Nanti Mas temanin cari."

"Janji?" Hita mengangkat kelingkingnya.

Jangan sembarangan mengucap janji kalau Mas Daru masih enggak yakin bisa menepati. Otak anak kecil itu tajam. Mereka mudah terluka dan mudah mengingat hal-hal mengecewakan yang terjadi di hidupnya.

Daru mengabaikan nasihat Senja dan malah mengaitkan jarinya pada kelingking Hita.

"Janji."[]

-oOo-


.



.



.



Double update nggak nie?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top