23. Menyembunyikan Beban

-oOo-

SAAT Daru dan Senja menginjakkan kaki di depan rumah Pak RT, mereka langsung disambut oleh Pak Wiraya yang sudah lebih dulu datang bersama istrinya―Bu Garwita.

"Loh, kalian kenapa?" Wajah Pak Wiraya mengerut cemas tatkala memperhatikan pakaian Daru dan Senja yang kusut dan agak kotor.

"Tadi jatuh dari sepeda, Om," balas Senja sambil tertawa, berusaha menyiratkan bahwa di atas kekacauan ini semuanya baik-baik saja. Bu Garwita menanyakan apakah ada yang luka, tetapi mereka berdua kompak menggeleng. Senja yang memiliki keahlian mencairkan suasana, membuat seolah-olah kecelakaan sepeda yang dialaminya adalah hal yang memalukan sekaligus lucu. Dia bahkan menolak tawaran Bu Garwita untuk memanggil tukang pijat.

"Yakin enggak papa? Takutnya ada yang keseleo."

"Enggak papa, Te. Kita baik-baik aja, kok. Iya, kan, Mas?" Senja mendongak sambil menyenggol lengan Daru, lalu cengirannya luntur saat menatap ekspresi Daru yang masih loyo dan pucat. Kelihatannya, tatapan pemuda itu bahkan tak fokus. Alih-alih merespons Senja, Daru malah berkata pada Bu Garwita, "Bu, saya boleh ke kamar mandi sebentar?"

"O-oh, iya. Masuk aja. Ada di belakang, dekat dapur. Bu RT juga lagi di sana, nanti kamu izin langsung ke orangnya, ya."

Kemudian Daru mengangguk dan langsung masuk rumah. Senja memperhatikan Daru berjalan membungkukkan badan melewati Pak Wiraya dan bapak-bapak lainnya yang duduk santai di lantai ruang tamu, kemudian menghilang di ambang lorong dapur. Saat gadis itu masih menebak-nebak apa yang terjadi, Bu Garwita menuntunnya masuk sambil menjelaskan acaranya, "Hari ini ada jamuan kecil-kecilan dari Ibu dan Bapak RT. Terus nanti mungkin bakal ada rapat ... katanya Pak Bupati mau datang ke desa kita buat masang Wi-Fi gratis ...."

Senja tidak begitu mendengarkan apa kata Bu Garwita, sebab kecemasannya masih mendarat pada Daru yang tiba-tiba memisahkan diri dan pergi ke kamar mandi, seolah-olah orang itu mau kabur dari sesuatu―entah apa. Sambil menjejalkan dirinya duduk di antara para warga yang berbincang satu sama lain, Senja kepikiran sesuatu. Apakah sebaiknya dia bercerita pada Bu Garwita tentang keanehan yang dilihatnya sore tadi? Mengingat Bu Garwita sangat dekat dengan Daru, bukankah seharusnya dia mengetahui alasannya walaupun sedikit?

Tidak, tidak. Ekspresi dan reaksi Daru tampaknya menyiratkan bahwa dia tak ingin membuat masalahnya membengkak menjadi bahan kekhawatiran. Senja pun berpikir bahwa sebaiknya dia menunda untuk menanyakan hal ini, setidaknya sampai Daru membiarkannya tahu sendiri.

-oOo-

Begitu pintu kamar mandi terkunci, Daru langsung membuang napas panjang.

Dengan langkah berat dan gontai, pemuda itu beristirahat sebentar di kloset duduk dan berusaha menenangkan pikirannya yang beberapa menit lalu sempat kacau. Telapak tangannya masih bergetar, lantas Daru memeganginya erat dengan tangan satunya.

Insiden sepeda jatuh tadi melunturkan pertahanan Daru yang selama ini susah payah dia bangun―menceburkannya dalam perasaan separuh malu dan sedih, sebab ada orang lain yang melihatnya dalam keadaan rentan dan kacau. Daru tahu reaksi anehnya tadi pasti menyebabkan Senja curiga, tetapi dia bisa apa? Daru pun sudah lama mengalami kondisi seperti ini, dan dia tak yakin bagaimana cara menyembuhkannya.

Dengan tangan yang masih belum berhenti gemetar, pemuda itu mengangkat pakaiannya ke atas dan melihat perutnya yang telanjang. Sontak saja, kenangan saat kaki Senja jatuh menimpa perutnya membuatnya merasakan kesakitan semu. Daru melingkarkan lengannya di perut, membungkukkan badan, dan memejamkan mata.

Ingatan itu kembali lagi tanpa permisi, kali ini lebih jelas dan mengerikan. Tubuhnya seperti diceburkan ke masa lalu yang gelap dan kelam, diikuti dengan teriakan-teriakan tak lazim yang menusuk relung memorinya ... suara-suara menyentaknya seperti pecutan cemeti ... kepadatan ruangan yang membuatnya gerah dan pening ... pukulan dan tendangan ....

Daru tahu-tahu tersadar bahwa wajahnya sudah banjir air mata.

Pemuda itu buru-buru mengusap pipinya yang basah, tetapi air matanya tidak kunjung berhenti, justru semakin banyak dan tidak terkendali. Dalam sepersekian menit, jantungnya mendadak berdebar lagi dan membuatnya diserang ketakutan. Terdengar bising suara di luar kamar mandi―celotehan orang-orang, gelak tawa yang bersahutan. Suara langkah kaki mondar-mandir dan bayangan kemeriahan orang-orang yang bergairah seperti menyambut pesta. Mendadak saja, benak Daru dipenuhi ketakutan untuk keluar dari bilik mungil ini.

Gawat, gawat, gawat. Tidak ada yang boleh tahu kondisinya. Tidak ada yang boleh melihatnya menangis, bahkan mendengar suara napasnya yang terengah-engah.

Daru menyandarkan punggung di tangki air kloset, mendongakkan wajah sambil menutup mulutnya erat-erat. Tangan satunya menekan dada, seolah-olah menahan agar rusuknya tidak meledak saking kerasnya debaran jantungnya. Kepala Daru pening, dan pandangannya buram. Dia yakin sebentar lagi dirinya akan merosot ke bawah bila tak kunjung tenang.

Di sisi lain, Senja sudah tak bisa bersabar lagi. Sudah hampir lima belas menit Daru tak kembali dari kamar mandi. Apa yang orang itu lakukan? Selagi para warga di sekelilingnya heboh mengobrol dan berbicara dengan nada keras, Senja menyempatkan diri untuk menyingkir sejenak. Syukurlah dia tak berpapasan dengan Bu Garwita atau Pak Wiraya, lantaran dia malas harus membuat alasan untuk mengecek kondisi Daru.

Ketika gadis itu sudah sampai di kamar mandi, dia melihat seorang bocah sedang berdiri di samping pintu dengan gaya seperti menahan pipis.

"Dek, orang yang di dalam belum keluar?" Senja bertanya khawatir. Anak laki-laki itu menggeleng sambil memasang wajah berkerut-kerut, sementara tangannya sejak tadi masih mengetuk-ngetuk pintu dengan sopan.

Astaga, Mas Daru! Senja membatin. Gadis itu langsung menyela sang bocah dan mengetuk sendiri pintu kamar mandi, dengan ketukan yang keras dan agak panik. "Mas Daru! Ini aku, Senja. Buka pintunya, Mas!"

Tampaknya, teriakan Senja membuat orang-orang di sekitar dapur yang sedang menyiapkan jamuan menjadi penasaran. Bu RT mereka―Bu Teguh, menghampiri Senja sambil bertanya dengan lembut, "Mbak, ada apa?"

"Bu, Mas Daru belum keluar dari kamar mandi, saya takut dia―"

Kata-kata Senja terpotong saat dia melihat Daru mendadak muncul dari ambang pintu belakang dapur. Pemuda itu melangkah dari luar sambil membawa baskom berisi lauk jamuan yang asapnya masih mengepul. Di belakangnya, seorang ibu-ibu menepuk-nepuk punggung Daru seperti berterima kasih lantaran mendapat bantuan.

Ketika pandangan keduanya bertemu, Daru mengernyit keheranan menatap Senja, sementara yang ditatap langsung mematung seperti disihir.

"Mbak Senja, ada apa?" Daru bertanya dengan nada bingung.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, pintu kamar mandi di hadapan Senja dibuka dari dalam. Rupanya yang sejak tadi ada di sana adalah Pak Wiraya. Pria berusia akhir tiga puluhan itu menatap Senja dengan pandangan tidak nyaman bercampur jengkel;

"Kamu ini ada masalah apa, sih? Om lagi enak-enak BAB malah digangguin."

-oOo-

"Udah, Mbak, enggak usah dipikirin."

Suara Daru yang lembut membangunkan Senja kembali ke kenyataan. Gadis itu mengerjapkan mata dan kembali mengayun-ayunkan kakinya yang terjulur dari tepi ayunan, berusaha mengusir ingatan memalukan atas insiden tadi sore.

"Semua orang lihatin aku kayak cewek aneh," keluh Senja seraya menerima permen lollipop yang baru disodorkan Daru. Dengan ogah-ogahan, gadis itu membuka bungkusnya dan langsung mengulumnya sambil tetap bersungut-sungut.

Taman bermain yang dibangun di dekat masjid desa menjadi sasaran empuk bagi Senja untuk kabur dari jeratan mata orang-orang yang sejak tadi membuatnya malu setengah mati. Dia pikir dia dapat menenangkan hatinya dengan merenung sendirian di tempat ini, tetapi Daru malah menemukannya dengan mudah. Sekarang, Senja tidak bisa lagi berkelit dari alasan mengapa dia heboh berteriak-teriak di pintu kamar mandi rumah Bu RT.

"Mbak kenapa nyariin saya sampai segitunya?"

Pertanyaan Daru menyerang Senja telak. Sambil mengulum permen, gadis itu berpikir-pikir sejenak. Sepertinya tidak akan masalah kalau untuk kali ini dia jujur saja mengenai kekhawatirannya.

"Mas tadi bikin aku cemas, tahu, enggak? Ditungguin di ruang tamu, enggak nongol-nongol. Kukira Mas Daru kenapa-kenapa di dalam sana."

"Loh, emangnya Mbak kira saya kenapa?" Daru terkekeh tipis. Dia duduk di ayunan di samping Senja sambil mendorong-dorong dirinya ke depan dan belakang.

"Aku kira ...." Senja berpaling menatap Daru, dan merasa gengsi untuk menyatakan lanjutannya. Betapa bodohnya dia mengira Daru kena serangan panik lagi di dalam kamar mandi atau mengalami sesuatu yang lebih buruk. Padahal kenyataannya, orang ini baik-baik saja. Rona kemerahan di wajahnya yang tadinya pucat sudah kembali. Bahkan sekarang dia cengar-cengir melihat Senja.

Duh, malunya. Mau ditaruh ke mana mukaku?

"Enggak tahu, ah. Aku aja yang lebay," Senja akhirnya berkata. Dia membuang muka dan menatap langit sore yang mulai tersadur gelap. Sebentar lagi, magrib akan menjelang.

Sementara itu, Daru sebetulnya paham tentang apa yang dipikirkan Senja. Dia hanya tak bisa membiarkan perasaan senang ini tak berbalas dengan berpura-pura tak tahu apa-apa.

"Makasih, ya, Mbak, sudah khawatirin saya," kata Daru, pelan dan tulus.

Senja langsung berpaling padanya dan mengerjap terkejut. Gadis itu masih diam seraya menanti Daru melanjutkan kalimatnya.

"Saya tahu, reaksi saya waktu jatuh di parit tadi pasti bikin orang lain cemas, dan saya tersentuh waktu tahu Mbak Senja mengkhawatirkan saya sampai sejauh ini. Tapi sekarang saya mau bilang ... kalau saya udah baik-baik aja." Kemudian Daru nyengir lebih lebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. Senja tersipu saat memandang wajah Daru yang berseri-seri, jadi gadis itu langsung menunduk lagi dan mencoba fokus mengulum permennya.

"Aku boleh tahu alasannya?" Senja tahu-tahu berceletuk. Dia menatap Daru dengan ragu dan berkata lagi dengan suara tegas, "Aku boleh tahu alasan kenapa Mas kena serangan panik di parit tadi?"

Daru terdiam sejenak. Pandangan mereka bertemu, dan Daru bisa merasakan desakan halus dari mata Senja.

"Saya enggak tahu pasti, Mbak," kata Daru, matanya berkeliaran sebentar untuk mencari jawaban. "Maksudnya ... ada banyak hal yang terjadi di hidup saya sampai saya enggak tahu apa yang menyebabkan saya jadi kayak gitu."

"Mas sering seperti ini?"

Daru menggeleng.

"Jarang, sih. Tapi ... sekalinya ada sesuatu yang bikin saya stres, biasanya saya mulai ngerasa ada yang aneh sama tubuh. Kadang saya ngerasa perut perih, kadang pusing dan mual, kadang sesak napas. Bisa juga kesemuanya saya rasakan kalau sudah parah banget."

"Mas," Senja menegapkan diri di kursi ayunan. "Mas perlu periksa ke dokter. Mau aku temanin?"

"Saya baik-baik aja, Mbak, beneran," Daru cepat-cepat menolak. Mendengar kata 'dokter' membuat perasaannya tidak nyaman. Dia takut orang-orang di sekelilingnya akan bereaksi berlebihan seperti saat dirinya jatuh demam dulu. "Kalau saya beneran merasa sakit, saya pasti ke dokter. Tapi sejauh ini saya bisa nanganin sendiri, Mbak. Biasanya kalau dibikin istirahat, bisa langsung sembuh."

"Tapi itu bukan alasan Mas bisa seenaknya diamin gejalanya gitu aja, loh. Kalau tambah parah gimana?"

Daru menatap Senja lamat-lamat, dan untuk alasan tertentu, merasa menyesal sudah mengatakan semuanya pada Senja. Sudah dia duga, kalau orang lain tahu mengenai kondisinya, mereka pasti akan memaksanya melakukan sesuatu yang tidak Daru sukai. Sekarang, kecemasan yang terpatri dalam mata Senja membuatnya sedikit jengkel, sehingga rasanya dia ingin menarik semua ucapannya yang sia-sia.

"Jangan bahas hal itu lagi, Mbak." Kata-kata Daru terdengar seperti memohon alih-alih memerintah. "Saya cuma menyampaikan sampai situ aja, karena Mbak memaksa. Saya lagi enggak mood buat lanjutin obrolan ini lebih dalam."

Senja menangkap gelagat tidak nyaman pemuda ini dari ekspresinya yang suram. Kata-kata Daru begitu tegas dan tidak ditutup-tutupi, sehingga Senja merasa sedikit terpukul karena permintaannya ditolak. Namun, bukankah dia hanyalah orang luar? Rasanya tidak adil bila dirinya menjadi pihak yang memaksa-maksa Daru, padahal Senja belum tahu apa yang sebetulnya terjadi padanya.

Perbuatan paling bijak yang bisa Senja lakukan saat ini adalah mengikuti kemauan Daru.[]

-oOo-

.


.


.


Minggu gini gabut, jadi aku upload double

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top