21. Ulang Tahun Membuat Patah Hati
-oOo-
KEESOKANNYA, Hita terbangun pukul tujuh, dan hal pertama yang dirasakannya adalah rangkulan sang abang yang meliputi tubuhnya.
Hita mendengar desau napas lembut Daru menerpa rambut di puncak kepalanya. Secara perlahan, anak itu menggeser tubuh lebih dekat, menenggelamkan wajah di dada abangnya yang nyaman. Dia membetulkan letak kepalanya di lengan atas Daru dan mulai memejamkan mata, membayangkan kembali masa-masa itu.
Saat Hita berusia lima tahun, abangnya selalu menemaninya sebelum tidur malam. Posisinya persis seperti ini. Daru biasanya akan menceritakan dongeng yang berasal dari imajinasi ngawurnya tentang hal-hal yang ada di sekitar; payung dan teko yang bisa berbicara, boneka yang mendoakan pemiliknya, bahkan mitos-mitos tentang dewi khayangan yang hidup di bukit belakang sekolah. Kisah itu sebetulnya diceritakan berulang dengan alur yang sama, tetapi Hita tak pernah mempermasalahkannya. Yang dia suka dari tindakan abangnya bukanlah karena dia mendengar dongeng sebelum tidur, tetapi kenyataan bahwa Daru selalu ada di sisinya, menemaninya hingga lelap.
Kenangan itu abadi dalam benak Hita, terpatri bersama sekotak tawa dan harapan yang selalu dilemparkan Daru setiap kali dia selesai bercerita;
"Mas nanti mau jadi penulis dongeng anak-anak," kata Daru dengan wajah sumringah dan mata berbinar-binar. "Kalau Hita mau jadi apa gedenya?"
"Mau jadi pelukis," jawabnya.
"Kenapa?"
"Supaya bisa nggambar buat buku dongengnya Mas."
Daru mendengkus karena merasa gemas dengan jawaban adiknya.
"Kalau Mas Daru kenapa mau jadi penulis dongeng anak-anak?"
Tangan Daru ditumpangkan ke selimut yang menutupi separuh tubuh Hita, lalu pemuda itu menjawab lembut, "Karena Mas mau mendongeng setiap hari buat Hita."
"Setiap hari?"
"Iya!"
"Sampai aku besar?"
"Sampai kamu jadi nenek-nenek!"
Kemudian mereka berdua cekikikan sambil berusaha merendahkan suaranya. Daru mengecupi pipi Hita seperti hendak memangsa anak itu, membuat Hita semakin terkekeh geli karena bibir lembab sang abang merayap di sekujur kulit wajahnya.
Kelebatan memori itu kemudian pudar bagai debu yang tersapu angin, digantikan oleh sekelumit kisah semalam ketika Hita duduk manis di dalam mobil Kasmirah yang sedang melaju membelah jalan raya di malam hari.
Tante Kasmi beraroma seperti citrus segar. Setiap gerak-geriknya terkesan anggun dan tertata, seolah dia mempelajarinya dalam suatu ilmu pasti. Kuku jemarinya yang runcing dipoles dengan cat berwarna merah, menyiratkan kesan elegan dan kuat, seolah hanya dengan mengibaskan satu jarinya, dia dapat mengeluarkan sinar untuk menyihir sesuatu.
Oh, yang terakhir itu tentu saja hanya ada di bayangan Hita. Faktanya, anak itu terlampau terpana ketika memandangi jemari Tante Kasmi yang menggenggam kemudi mobil. Kukunya merah terang, dan buku-buku jarinya putih halus, tidak bernoda lecet-lecet dan kasar seperti milik Daru. Hita bertanya-tanya bagaimana rasanya membelai jemari itu. Apakah seperti mengusap sutra mahal?
"Kenapa?" suara Tante Kasmi memecah kesunyian di dalam mobil. Hita tersentak kecil, lantas memalingkan wajah dengan malu karena tertangkap basah memperhatikan diam-diam.
"Hita mau ngomong sesuatu?" Tante Kasmi bertanya lagi.
"Mm, makasih buat hari ini, Tante." Suara Hita kecil dan mencicit. Dia memandangi kaca jendela di hadapannya yang menampakkan kerlap-kerlip malam kota Sidoarjo, lalu melanjutkan, "Tante ngasih banyak hadiah ... aku enggak tahu gimana balesnya ...."
"Hita enggak perlu membalasnya," kata Tante Kasmi, tersenyum ramah. "Kalau Hita mau, di rumah Tante nanti kamu bisa mendapatkan yang lebih dari ini."
Hita menelan ludah dengan gugup. Ini sudah ketiga kalinya Tante Kasmi berkata seperti itu, dihitung dari saat dia mengajak Hita ke restorannya sampai larut malam begini. Hita merasa tidak nyaman sekaligus penasaran. Mengapa kata-kata tante ini seperti meyakinkan sekali? Memangnya siapa dirinya yang berhak mendapatkan hadiah lebih banyak? Memangnya apa alasannya dia diperbolehkan tinggal di rumahnya? Hita ingin sekali bertanya lebih jauh, tetapi dia takut mendengar jawaban Tante Kasmi. Bagaimana bila orang ini ternyata mau menculiknya?
Ah, kenapa dia jadi takut sekarang, sih? Dari tadi ke mana saja?
Pikiran-pikiran itu memenuhi kepalanya sampai Hita tahu-tahu mendengar celetukan Tante Kasmi yang mengejutkan;
"Hita, kamu boleh memanggil Tante dengan sebutan Mama."
Hita sekonyong-konyong mendongak sambil melongo polos. Apa yang baru saja dia dengar?
Tante Kasmi berpaling sedikit untuk melihat Hita, tetapi dia hanya membalas tatapan bingung itu dengan senyum lebar. Satu tangannya dilepas dari setir kemudi dan membelai rambut Hita, "Nanti istirahat yang nyenyak di rumah, ya. Kapan-kapan kita bakal ketemu lagi."
Hita menjadi lebih bingung dan malu. Tadi dia tak salah dengar, kan? Tante Kasmi ingin agar dirinya memanggilnya Mama. Tapi buat apa? Ibunya Hita kan sudah minggat jauh, dan Mas Daru menyuruhnya untuk melupakan wanita itu, bahkan melarangnya bertanya apa pun soal ibunya.
"Ta?"
Suara itu mendadak saja membuyarkan ingatan Hita tentang semalam. Anak itu menarik napas dan mendongak, menatap wajah abangnya yang rupanya sudah terbangun dari tidur.
"Mm, ngantuk, Mas," lenguh Hita. Begitu polosnya, sampai-sampai Daru ingin menggigit pipi bocah ini karena terlalu gemas melihat ekspresi bangun tidurnya. Pemuda itu mengusap puncak kepala Hita, lalu mengecupnya lama.
"Ayo bangun, bentar lagi sekolah."
"Mas," kata Hita, mendadak mencekal lengan Daru yang melingkari pinggangnya. Anak itu berhenti sejenak seolah kebingungan berbicara. "Aku ... minta maaf." Akhirnya dia hanya melesatkan tiga kata itu dengan bibir mencebik seperti mau menangis.
"Ta, Mas Daru yang seharusnya minta maaf karena udah lupa sama janji kemarin," Daru membalas tulus. "Mas semalam dinasihati sama Mbak Senja, dan Mas sadar betul kalau tindakan kemarin nyebelin banget. Hita bisa marahin Mas sepuasnya, deh."
"Enggak mauuu. Anggap aja kita impas," tolak Hita, kemudian anak itu mengeratkan pelukannya pada Daru, menguburkan wajahnya pada dada abangnya yang beraroma sabun cuci pakaian. Mmh ... aroma sabun lebih enak daripada parfum Tante Kasmi!
"Oh, ya, Ta, kamu mau cerita tentang kemarin sama Mas?" Daru bertanya pelan-pelan.
Hita menggigit bibir bawahnya. Rasanya dia tak mau menceritakan semua pada Mas Daru, apalagi bagian mengejutkan yang dia dengar di dalam mobil Tante Kasmi. Nanti abangnya bisa murka dan melakukan yang tidak-tidak ....
"Kemarin Tante Kasmi ngajak aku jalan-jalan," kata Hita, berusaha terlihat biasa saja. "Aku keliling-keliling ke pasar malem, terus ke restoran ... makan es krim sama hamburger. Terus ... sama Tante dibelikan hadiah ulang tahun juga!"
Hadiah.
Daru termenung di dalam hati memikirkan kata itu. Tatapannya diam-diam jatuh pada jaket wol tebal berwarna kuning yang dia gantungkan di balik pintu kamar.
"Oh, ya?" Namun Daru mencoba membuat segalanya terdengar ramah, sebab semalam dia berjanji tak akan membuat Hita sedih lagi. "Kalian cuma jalan-jalan aja?"
"Iyaaa. Tapi seru loh. Sayang Mas Daru enggak ikut."
"Iya, nanti jalan-jalan berikutnya sama Mas."
"Janji, loh."
"Hu-um. Kalau perlu nanti Mas catet di kalender biar enggak lupa lagi."
Hita mengangguk-angguk semangat.
"Oh, ya, Ta. Selamat ulang tahun, ya!" Daru memberinya pelukan yang lebih erat dan kecupan manis di pipinya, lalu berbisik pelan, "Semoga kamu tumbuh jadi anak pinter!"
"Dan cantik," kata Hita.
"Dan cantik," kata Daru, lalu mengecup dahinya.
"Dan kaya raya!"
Daru terkekeh, "Dan kaya raya." Satu kecupan lagi di ujung hidungnya.
Mereka berdua tenggelam cukup lama dalam gelak tawa geli.
"Mandi dulu, terus sarapan, yuk," Daru akhirnya membujuk.
Hita lantas merangkak turun dari ranjang. Selagi anak itu pergi ke kamar mandi, Daru pergi ke dapur dan menyiapkan lauk untuk dimasak. Saat menunggu gorengan matang, pemuda itu teringat dengan hadiah yang dia belikan untuk Hita seminggu yang lalu.
Langkahnya lebar dan penuh semangat ketika Daru kembali ke kamarnya, lalu berlutut di samping tas ransel miliknya. Dia merogoh sesuatu dari dalam dan menarik sebuah kotak persegi panjang berwarna putih dengan logo suatu merk ponsel di permukaannya.
Senyum seketika terkembang di wajah Daru. Setelah sekian lama menabung, akhirnya dia dapat membelikan Hita sesuatu yang amat berguna. Walau bukan barang baru dan tidak sebegitu canggih seperti punya Senja, tetapi momentum pemberian ponsel ini pas sekali. Belakangan Hita memang selalu kesusahan untuk menghubunginya, bahkan insiden kemarin juga mungkin tidak bakal terjadi kalau sejak awal Daru meninggalkan adiknya dengan ponsel.
Kendati pemakaian ponsel ini akan sangat dibatasi, setidaknya sekarang Daru merasa lega dan puas. Dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk berkabar pada Hita, dan adiknya pasti akan girang setengah mati saat menerimanya.
Sambil membayangkan berbagai macam ekspresi kaget Hita, Daru buru-buru menyembunyikan kotak itu di punggung. Langkah kaki membawanya menuju ruang tengah, tempat Hita duduk manis sambil menanti makan pagi.
"Mas Daru!" Hita memalingkan muka ketika dia menangkap sosok abangnya di ambang pintu. Daru tersenyum, hendak menghampiri adiknya. Namun, langkahnya seketika terhenti saat Hita mengeluarkan sesuatu dari balik meja seraya berkata dengan nada riang.
"Mas, lihat deh. Kemarin aku dibelikan hape sama Tante Kasmi!"
Anak itu memamerkan ponsel baru yang dia lambaikan di atas kepalanya.
Daru langsung terpaku, tak bisa mengontrol senyum yang mendadak luntur dari wajahnya. Pemuda itu lantas menggenggam erat-erat ponsel bekas yang dia sembunyikan di punggung, sekonyong-konyong merasa kebingungan dengan tanggapan seperti apa yang harus dia lemparkan untuk membalas Hita.
Adiknya, sementara itu, melambaikan tangan menyuruh Daru mendekat, "Sini, Mas, ayo lihat bareng. Di dalamnya ada banyak game bagus, loh!" dia menggulir-gulir layar ponsel dengan jemari mungilnya, menunggu Daru untuk segera bergabung di sampingnya.
Luapan perasaan senang di benak Daru mulanya bersinar terang seperti api lilin, tetapi kini dia hampir merasakan cahayanya meredup pelan, lalu mati, ketika dia mendapati ekspresi senang Hita yang semestinya ditujukan untuknya malah teralih pada sebidang layar ponsel mahal yang mencuri hati adiknya.
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Daru tergelincir dalam jurang patah hati yang begitu menyakitkan.[]
-oOo-
.
.
.
Definisi sakit tapi tyda berdarah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top