20. Kelalaian yang Tidak Disengaja
-oOo-
NAPAS Daru terengah-engah ketika dia tiba di depan rumah. Namun, selongsong kelelahannya memudar laksana asap, terutama setelah dia melihat, di undakan teras rumahnya yang gelap dan dingin, dua orang perempuan dan seekor kucing pemalas tengah tertidur di sana.
Senja bersandar di tiang teras rumah, sementara itu di pangkuannya, Hita menumpangkan kepalanya sambil tertidur pulas seperti bayi. Kedua tangan mereka bergenggaman erat seperti tidak mau dipisahkan. Saat Daru melangkah lebih dekat, Senja membuka mata dan menatapnya memicing dari kegelapan.
"Mas Daru udah pulang?" Senja berujar lirih sambil menahan kuap. Suaranya membangunkan Inaw, tetapi kucing itu malah hanya berganti posisi dengan malas dan kembali tertidur.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Daru berlutut di depan mereka, mengecek keadaan Hita, lalu bernapas lega ketika tak mendapati masalah. Tatapannya kemudian merambat naik, terpaku pada Senja.
"Mbak Senja enggak kedinginan?" tanyanya cemas.
Entah mengapa, gadis itu merasa pipinya justru menghangat ketika ditatap begitu dekat oleh Daru.
Senja menggeleng canggung, "Enggak, Mas."
Daru yang tidak percaya begitu saja lantas menyentuh kening Senja untuk memeriksa suhu badannya, seketika membuat gadis itu menahan napas, nyaris terbakar malu karena terkejut.
"Ini agak hangat," kata Daru. "Mbak jangan bohong kalau lagi enggak enak badan. Nanti jadinya kayak saya beberapa waktu lalu."
"Sumpah, aku enggak papa, Mas!" Senja menjadi lebih panik, pasalnya dia yakin wajahnya baru terasa panas setelah Daru menghujaninya dengan perhatian lembut begini. Ini gara-gara kamunya kelewat perhatian!
Akhirnya Daru berdiri dan langsung membuka kunci pintu rumahnya. "Mbak kenapa enggak masuk rumah? Hita kan bawa kuncinya."
"Aku enggak berani bangunin dia, Mas. Makanya kami tidur di sini dari tadi."
"Maaf ya, Mbak."
Daru menghela napas, merasa lebih bersalah kepada Senja. Seharusnya tadi dia memberikan kunci rumahnya pada gadis ini, tetapi kepanikan situasi membuatnya lupa.
Lantas pemuda itu mengangkat Hita pelan-pelan dari pangkuan Senja. Anak itu bergerak kecil dalam tidurnya, tetapi masih lelap. Saat si adik sudah berada sepenuhnya dalam gendongan Daru, Senja langsung meregangkan tangannya ke samping tubuh. Daru yang melihat hal itu langsung tersenyum samar.
"Makasih banyak ya, Mbak. Belakangan ini saya selalu ngerepotin Mbak Senja."
"Aku juga bakal ngerepotin Mas Daru kalau lagi ada masalah," Senja membalasnya dengan cengiran tipis.
"Ayo masuk dulu. Mbak pasti kedinginan," kata Daru, dan gadis itu bergeming sejenak. Sebetulnya dia ingin pulang karena sudah larut malam, ditambah lagi tidak enak dengan tetangga kalau sampai ada yang melihatnya bertamu di rumah laki-laki. Namun, dia harus bercerita kepada Daru tentang wanita bernama Kasmirah itu.
"Sebentar aja ya Mas," akhirnya Senja berkata. Gadis itu masuk, lalu duduk di karpet hangat ruang tamu. Sementara Daru menuju kamar tidur Hita. Mula-mula dia menidurkan adiknya di ranjang, melepas sepatu, jaket, dan menghamparkan selimut di tubuhnya. Kemudian, Daru bergegas ke dapur dan tenggelam bersama suara kelontang peralatan masak. Lima menit setelahnya, dia kembali sambil membawa secangkir teh hangat.
"Hita masih tidur?" tanya Senja sementara dia menangkupkan tangannya yang dingin pada permukaan cangkir. Kehangatan menguar dari sana, membuatnya mendesah lega.
"Masih, Mbak. Kayaknya bakal tidur sampai besok pagi."
"Tadi Hita pulang sambil nangis," kata Senja.
Daru menatap Senja dengan tak sabar, "Tadi dia pulang sama siapa, Mbak? Dia enggak diapa-apain di jalan, kan? Apa tadi ada luka?"
"Tenang dulu, Mas. Aku bakal cerita pelan-pelan," ujar Senja, lalu Daru menciut di tempatnya karena malu setelah terdengar panik. Dia mendengar seluruh cerita gadis itu dengan sabar, menahan diri untuk tidak memotong apa pun.
Setelah Senja selesai bercerita, gadis itu merogoh sesuatu dari kantong piyamanya dan memberikan kartu nama Kasmirah pada Daru.
"Tadi ibu itu nitip ini sama aku. Katanya dia mau ketemu Mas secepatnya."
Daru menerima kartu itu dengan enggan, lalu membaca nama yang tertera di permukaannya seraya berpikir-pikir.
Kasmirah Atma ....
Sekelebat ingatan memasuki benaknya; momen pertamanya bertemu Kasmirah adalah ketika hujan deras datang menggempur kawasan rumahnya. Wanita berpenampilan aristokrat itu berdiri di depan teras sambil membawa payung kuning.
"Apa benar ini rumah Reswara Hita?"
Daru menepis ingatan itu. Dia meletakkan kartu nama pada meja di hadapannya, kemudian berpaling pada Senja yang sedang menyesap minuman hangat pelan-pelan.
"Mas Daru kenal siapa Bu Kasmirah?" Senja bertanya.
"Enggak."
"Bukan saudara?"
"Bukan."
"Yakin? Saudara jauh, mungkin?"
"Enggak, Mbak. Satu-satunya saudara saya yang masih hidup cuma Pakde aja. Tapi dia udah enggak kelihatan lagi sejak saya masuk SD. Saya yakin enggak punya saudara yang namanya Bu Kasmirah, apa lagi yang dandanannya kayak orang kaya seperti itu."
"Kalau gitu, bukannya ini aneh? Kenapa Bu Kasmirah seolah mengincar Hita? Apa perlu kita lapor aja ke polisi?"
Daru menggeleng ragu. Dia tahu wanita ini bukanlah sosok sembarangan, jadi melaporkan hal semacam ini pada polisi tanpa kejelasan bukti bisa-bisa malah menjadi bumerang untuknya.
"Saya bakal datangin restorannya dan tanya dulu apa maunya," kata Daru.
"Mas harus hati-hati," kata Senja dengan tampang cemas. "Ibu itu kelihatannya bukan tipe orang yang bisa bersabar. Waktu ngobrol sama aku tadi, nada suaranya ketus dan kesannya memaksa."
"Mbak yakin Hita enggak terluka waktu bareng ibu itu?"
Senja mengangguk. "Hita bilang sendiri, kok. Ekspresinya enggak bohong. Malah Hita bilang tante itu baik sama dia."
Daru tercenung di tempatnya. Tanpa sadar, dia mengingat jaket wol baru berwarna kuning yang tadi dikenakan Hita. Pasti Bu Kasmirah yang membelikan untuknya.
Dan, kenyataan ini malah membuat hatinya sakit sekali, pasalnya Daru sadar diri bahwa dirinya terlalu miskin untuk membelikan Hita pakaian mahal seperti itu.
Senja tampaknya memahami perubahan ekspresi Daru. Gadis itu kembali bertanya, "Mas Daru lupa lagi ya sama ulang tahunnya Hita? Dan ini bukan pertama kalinya terjadi, kan?"
Daru mengerjap murung. "Iya, Mbak."
Oh, rasanya Daru ingin kembali ke masa lalu dan memarahi dirinya sendiri agar kembali ke rumahnya tepat waktu, sebelum segalanya berubah menjadi kacau begini. Bila dipikir lebih jauh, segala musibah yang terjadi pada Hita selalu berawal dari ketidakpeduliannya kepada anak itu. Sejak insiden Inaw yang hilang sampai pengabaian janji ulang tahun. Mengapa Daru baru sadar kalau dirinya sungguh kelewatan?
"Di toko tadi Mas bilang, katanya tahun kemarin Mas juga lembur di hari ulang tahun Hita. Berarti Mas sudah mengulangi kesalahan dua kali. Gitu, kan?"
"Iya, Mbak. Tapi kali ini saya benar-benar lupa."
"Terus kalau tahun kemarin gimana? Lupa juga?"
"Tahun kemarin Hita enggak janji apa-apa ke saya."
"Jadi atas alasan itu, Mas Daru menganggap bahwa sah-sah aja ninggalin anak kecil tinggal di rumah sampai larut malam?"
Daru terdiam, bukan karena dia tak bisa menjawab pertanyaan Senja, melainkan karena dia mengiyakan kebenaran itu dan merasa sangat malu untuk mengakuinya. Sejak kecil, lantaran telah terbiasa hidup dalam pilihan hiburan yang terbatas, adiknya tidak pernah pilih-pilih soal perayaan ulang tahun. Hita cenderung menerima dan mengikuti apa kata abangnya. Sekarang, insiden ini membuat Daru sadar bahwa selama ini dia terlalu meremehkan masalah bocah yang tidak protes. Dia tidak tahu bahwa Hita pun sebenarnya menyimpan rasa sedih karena ulahnya.
Daru menatap Senja yang memberinya ekspresi kecewa. Hanya dengan tatapan seperti itu, dia merasa menjadi seorang abang yang tidak bertanggung jawab.
"Saya minta maaf," kata Daru. "Saya enggak akan mengulanginya lagi. Saya janji."
"Jangan minta maaf ke aku, Mas. Minta maaf sama adiknya," kata Senja. "Terus, jangan sembarangan mengucap janji kalau Mas Daru masih enggak yakin bisa menepati. Otak anak kecil itu tajam. Mereka mudah terluka dan mudah mengingat hal-hal mengecewakan yang terjadi di hidupnya."
Kalimat Senja bagai pisau tajam yang memuntir perut Daru dari dalam. Pemuda itu menggenggam erat pakaiannya, meredakan nyeri yang mendadak muncul seperti disobek-sobek. Setiap kali stres, selalu saja perutnya menegang sakit.
"Mas Daru kenapa?" Senja menangkap ada yang salah dari sikap Daru. "Perutnya sakit, ya?"
Pelan-pelan, Daru melepas tangannya yang sedari tadi menekan perutnya.
"Maaf, Mbak ... udah enggak papa, kok."
"Beneran? Mas Daru habis kenapa? Tadi salah makan?"
Daru menggeleng, dan Senja hanya menatap Daru lamat-lamat. Pemuda di hadapannya terlihat pucat dan tegang, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Betapa anehnya, padahal sebelum ini Daru selalu terlihat seperti seorang abang yang tegas dan serius setiap kali menangani masalah tentang adiknya. Namun, malam ini Daru malah terlihat rapuh dan letih, seperti kucing yang terserang demam dan bisa ambruk kapan saja. Apakah kedatangan Bu Kasmirah membuatnya merana? Apakah justru kata-katanya yang membuat Daru tertekan sampai perutnya sakit?
"Maafin aku kalau ada salah kata, Mas," Senja berujar sungguh-sungguh. "Aku enggak bermaksud menyinggung atau ikut campur urusan Mas ...."
"Bukan, Mbak. Ini bukan salah Mbak Senja," Daru berusaha tersenyum. "Saya justru berterima kasih sama Mbak karena akhirnya saya sadar, selama ini saya salah mengurus Hita. Anak itu sudah jadi korban karena kelalaian saya."
"Mas Daru sudah banyak berkorban untuk Hita. Ini bukan berarti Mas salah mengurus adiknya. Mas hanya teledor dalam beberapa hal, jadi jangan terlalu dibuat pikiran, ya." Senja berujar menuntun dan sungguh-sungguh. Daru mengangguk saja, entah kalimat itu manjur atau tidak untuk menenangkan pikirannya yang carut-marut.
Angin dari luar menabrak papan jendela tingkap rumah Daru, menimbulkan suara derak-derak kayu yang mengisi kesunyian malam. Daru merenung lama di tempatnya, membiarkan penyesalan membabat habis dirinya dari dalam, sementara Senja menatapnya diam-diam sambil merasa khawatir.
"Mas, ini sudah malam banget. Aku pulang dulu," kata Senja, seketika mengejutkan Daru. Pemuda itu mendongak dan hanya bisa berkata pasrah.
"Iya, Mbak. Hati-hati di jalan."
Mereka berdua bangkit berdiri, tetapi saat Senja menepuk-nepuk celananya yang kusut, Daru mendadak saja terpaku.
Tatapan pemuda itu mendarat pada dandanan Senja yang hanya mengenakan piyama tipis; dengan rambut berantakan dan mata sedikit sayu karena menahan kantuk. Lalu dia menebak bahwa gadis itu sudah melakukan pengorbanan besar dengan mengkhawatirkan adiknya. Daru sangat bersyukur sekali menerima ketulusan Senja yang begitu dalam, tetapi dia tak bisa menghilangkan getir tidak enak karena sudah terlalu banyak merepotkan gadis ini. Bagaimana mungkin hidupnya sejak dulu hanya menyusahkah orang lain saja?
"Mbak, tunggu sebentar," kata Daru, lalu pemuda itu menghampiri lemari kamar dan menyambar jaket dari sana. Dia bergegas kembali ke ruang tengah dan langsung memberikannya pada Senja.
"Saya enggak mau lihat Mbak Senja sakit," kata Daru dengan tulus.
"Aaa, makasih, Mas," Senja menerimanya dengan segan, kemudian langsung memakai jaket berwarna hijau khaki itu.
Daru membantu Senja merapikan kerah bagian lehernya, dan tindakan ini tentu saja membuat Senja lebih malu lagi. Andai ada cermin di depannya, gadis itu pasti bisa melihat raut wajahnya yang memerah seperti kepiting.
"Kalau gitu aku pulang dulu. Dan Mas Daru ...," Senja menggantung ucapannya, berpikir sejenak, "Mas harus makan dan istirahat yang banyak. Dari tadi Mas kelihatan pucat kayak orang sakit."
"Iya, bentar lagi saya makan," kata Daru, walaupun dia tidak minat.
Kemudian, Senja pamit pulang, sementara Daru kembali ke kamar Hita.
Di balik selimut yang menutup tubuh Hita sampai dagu, Daru menatap raut adiknya yang masih tertidur nyenyak. Ketika mendapati jejak air mata kering yang masih menempel di pipi Hita, dia mengusapnya dengan tekanan lembut seraya tersenyum sedih.
Pemuda itu naik ke ranjang dengan hati-hati, menjejalkan dirinya agar bisa berbaring di samping adiknya. Bibirnya pelan-pelan mengecup dahi Hita, lalu lengannya merangkul tubuh mungil itu dengan lembut, membiarkan rasa lelah malam itu lenyap tersapu oleh kantuk yang menenangkan.[]
-oOo-
.
.
.
Makin ke sini, kesedihannya intens makin terasa yak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top