2. Keluarga Kecil Abang dan Adik

-oOo-

DARU adalah seorang pramuniaga di sebuah minimarket―Wiramart―yang terletak di daerah perbatasan antara desa Jayastu dan pinggir kota. Karena menjadi satu-satunya toko paling lengkap di desa, Wiramart selalu ramai dikunjungi pembeli, terutama karena lokasinya dekat dengan halte, sekolah, dan tempat pariwisata air terjun. Daru sendiri sudah berbakti di toko tersebut selama setahun, semenjak dia lulus SMA.

"Assallamualaikum."

Saat Daru masuk ke toko, seorang ibu-ibu muda yang menata sabun batang dagangan di rak paling depan menengok padanya.

"Waallaikumsalam, Daru. Kok tumben kelihatan lesu?"

Daru yang merasa tersindir langsung menegapkan punggung dan memasang wajah sumringah supaya tidak terlihat loyo lagi. Namun, dia membalas sungguh-sungguh pertanyaan Bu Garwita, si pemilik Wiramart, "Biasa, Bu. Hita lagi susah diajak damai."

"Loh, kali ini kamu apakan lagi dia?" Bu Garwita terkekeh sambil menjejalkan sabun batang terakhir ke dalam rak. Dia bangkit berdiri dari posisi berlututnya dan mendekati Daru.

"Enggak saya apa-apain, kok, Bu. Cuma agak sensi aja dianya hari ini."

"Terus kamu marahin dia?"

"Iya, Bu. Dibilangin baik-baik enggak mempan, soalnya."

Bu Garwita melangkah ke sisi toko dan membuka lemari pendingin, lalu mengambil sekotak susu cokelat dari sana. "Nih, minum dulu biar kepalanya seger."

"Makasih, Bu." Daru menerima dengan senang hati.

Seraya menyelinap masuk ke konter kasir, Bu Garwita menasihati dengan lirih, "Anak-anak seumuran Hita, memang lagi masuk ke masa-masa memberontak dan emosional. Sebagai abangnya, kamu harus hati-hati untuk memperlakukan dia. Terlalu kasar bisa membawa masalah, tapi terlalu lembut juga enggak baik."

"Saya marahin dia sebagai bentuk penegasan aja, kok, Bu. Dia memang tambah nangis, tapi setelah saya diamin beberapa saat, berhenti sendiri nangisnya."

"Sesudah berhenti nangis, jangan lupa buat nanyain keadaan dia, ya, Daru. Anak yang enggak pernah ditanya kondisinya, akan tumbuh jadi anak yang suka memendam perasaan. Sekarang mungkin enggak kelihatan, tapi nanti gedenya ... dia bakal kesusahan sendiri."

"Iya, Bu," sahut Daru. Sejak dulu, Bu Garwita sering menasihati Daru tentang urusan mengasuh anak. Walaupun kesannya seperti diceramahi, tetapi Daru selalu bersikap patuh. Bukan karena Bu Garwita adalah istri bos pemilik toko, melainkan karena sejak dulu, nyonya besar itu memang selalu memberi perhatian besar kepada Daru, seolah dia adalah anak laki-laki malang yang butuh uluran tangan dan kasih sayang.

"Kamu ada kesulitan ngurus Hita sejauh ini?"

"Enggak, lah, Bu. Masa ngurus adik tersayang aja merasa kesulitan."

"Takutnya kamu sebetulnya capek, tapi dikuat-kuatin. Apalagi kan kalian cuma tinggal berdua aja. Enggak ada orang tua yang bisa mengawasi."

"Saya ini abang sekaligus orang tua bagi Hita, Bu. Saya sudah ngurus Hita sejak dia belum bisa merangkak," kata Daru setelah meneguk susu cokelat pemberian Bu Garwita. "Cuma dia keluarga yang saya miliki di dunia ini. Enggak mungkin saya merasa capek atau tertekan. Saya yang bisa gila kalau Hita tiba-tiba hilang dari sisi saya."

Bu Garwita mengusap punggung Daru dengan lembut. "Kamu ini penyayang betul, Daru. Ibu bangga sama kamu. Tapi kamu jangan memaksakan diri, ya. Kalau ada kesulitan, titipkan aja Hita ke Ibu. Ajak dia main ke rumah, kan ada Ganesh."

"Iya, Bu. Pasti." Ganesh adalah putra dari Bu Garwita, dan merupakan sahabat Hita di sekolah juga. Daru tentu hanya mengiyakan tawaran Bu Garwita tanpa sungguh-sungguh melakukannya. Dia merasa tidak enak kalau harus menitipkan Hita di rumah Ganesh terus-menerus. Rasanya seperti menjadi abang tidak bertanggung jawab.

Sehabis berganti seragam pramuniaga, Daru berkutat mengelap pintu kaca. Pada pagi hari begini, toko masih sepi, jadi banyak waktu untuk berbenah. Ketika menyeka pintu bagian atas, Daru merasakan seseorang menghampirinya. Mengira itu adalah pelanggan pertama, Dia berputar dan mengucap salam.

"Selamat datang di Wiramart."

Pengunjung kali ini adalah seorang gadis, yang bila Daru tidak salah mengartikan ingatannya, dia pernah bertemu dengannya. Tepatnya di pelataran toko kemarin, saat hujan badai―tubuh mungil yang tenggelam dalam mantel hujan berwarna kuning; gadis pemarah yang mengutuk hidupnya sengsara!

"Loh, Mas kan yang kemarin!" kata si gadis dengan kening berkerut.

Tatapan gadis itu beralih menatap seragam toko yang dikenakan Daru, dan rahangnya pelan-pelan terbuka seiring sebuah pemahaman memasuki benaknya.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?"

Daru memilih untuk berpura-pura tidak kenal. Lebih cepat melayaninya lebih baik, begitu menurutnya. Tidak ingin terlibat perbincangan lebih panjang, dia membukakan pintu dan mempersilakan gadis tidak sopan ini agar masuk.

Si gadis tampak bingung, tetapi belum sempat bertanya, dia memilih masuk toko. Bu Garwita melangkah keluar dari rak makanan seraya tersenyum lebar.

"Halo, Senja. Akhirnya kamu datang juga!"

"Halo, Tante!" Gadis itu bersalaman dengan mencium punggung tangan Bu Garwita. "Maaf ya, agak telat. Tadi aku masih ditelepon Mama pas mau ke sini."

Daru, yang jelas tidak mengerti apa-apa, sepertinya menangkap gelagat keakraban dari keduanya sehingga membuatnya curiga. Jadi, gadis ini dipanggil Senja? Bu Garwita jelas menunjukkan gelagat keakraban yang memunculkan firasat buruk dalam benak Daru.

Pemuda itu berdeham kecil untuk meminta perhatian.

"Oh, Daru, kenalkan," Kata Bu Garwita, peka dengan dehaman itu. Dia menghampiri si gadis dan mendorong punggungnya lembut agar menghadap Daru. "Ini Temaram Senja, saudaranya Ibu yang selama ini tinggal di Surabaya―alias tantenya si Ganesh. Untuk sementara waktu, Senja bakal membantu kita dengan bekerja di toko ini juga."

Kening Daru tidak bisa mengerut lebih dalam lagi. Senja rupanya adalah saudara dari pemilik minimarket sekaligus tantenya Ganesh, teman bermain Hita.

Lebih parahnya, gadis ini jugalah yang menjadi saksi kejahatannya membuang Inaw.

-oOo-

"Mbak sudah tahu jenis-jenis dan merek rokok?"

"Udah."

"Sudah hafal letak seluruh produknya?"

"Sebagian besar, iya."

"Kalau gitu saya minta Dunhill."

Senja langsung berputar menghadap etalase besar di belakang konter dan meraih rokok merek Dunhill tanpa perlu mengingat-ingat dulu letaknya.

"Oke, cukup," kata Daru, mengangguk tanpa ekspresi, lalu, "Kembalikan."

Senja merutuk dalam hati seraya menghindari bertatapan dengan Daru. Agaknya, definisi "batu" cocok dengan cowok ini―tidak peka, dingin, dan keras pendirian. Sebab selain seenaknya memerintah Senja, Daru juga tidak punya niat baik untuk perkenalan basa-basi atau sekadar berbicara padanya dengan nada membimbing yang lembut. Bagaimana mungkin orang menyebalkan begini menjadi seniornya?

Oh, andai Bu Garwita tidak memintanya untuk lebih menghormati Daru, Senja pasti sudah menyemprotkan kata-kata telak untuknya.

"Ada yang harus aku hafal lagi?"

"Pastikan melakukan pengecekan di komputer setiap shift selesai, seperti yang sudah saya ajari tadi."

Senja menggumam, "Mm-hm."

"Dan pengecekan produk berumur sehari seperti paket makanan. Kalau masih ada sisa, pegawai boleh membawanya pulang, asal jangan untuk dijual kembali."

"Yep."

Daru benar-benar tidak terusik dengan balasan angkuh Senja. Sebagai gantinya, dia keluar dari konter kasir dan mengatakan pada Senja bahwa pelajarannya hari ini telah usai. Gadis itu bisa memulai bekerja dengan menunggu kasir dahulu, sementara Daru akan melanjutkan mengepel lantai.

"Saya ada di luar kalau-kalau Mbak masih mau tanya sesuatu," kata Daru.

"Makasih, tapi aku bisa sendiri."

Senja mengharapkan ekspresi tersinggung atau reaksi apa pun yang menyiratkan sakit hati dari Daru, tetapi pemuda itu malah melengos tidak peduli dan langsung keluar toko.

Menyaksikan hal itu, bibir Senja seketika berubah menjadi segaris tipis penuh kejengkelan. Dia memandang punggung Daru yang menjauh dan mengutuk dalam hati tentang sikapnya yang luar biasa buruk.

Pada jam makan siang, Senja sudah melayani hampir dua puluh pengunjung yang keluar-masuk toko. Sejauh ini tak ada masalah tentang efektivitas kerjanya. Untuk ukuran pegawai baru, dia lumayan cekatan, gesit, dan memahami kebutuhan pembeli. Akan tetapi, bila disuruh menyebut satu kendala, Senja punya pertanyaan tentang mengapa dirinya harus menjadi junior seorang cowok yang keramahannya bisa diukur pakai jempol kaki.

Kenyataan ini mengganggu pikirannya, bahkan saat ini, ketika Bu Garwita tahu-tahu datang menyapanya, Senja sama sekali tak menyahut atau bahkan menoleh. Atensinya yang penuh kemarahan terus terpaku pada Daru yang sejak tadi masih sibuk bersih-bersih di teras depan.

"Senja," seruan Bu Garwita kali ini membuat gadis itu terperanjat dari tempat duduk. "Lihatin luar terus kamu. Penasaran ya sama si Daru?"

Mata Senja membelalak lebar, kepalang jijik dengan tuduhan itu.

"Lagi nungguin pembeli, Tante. Apaan sih, kok tiba-tiba nyasar ke dia!"

Bu Garwita terkekeh, kemudian membalas dengan pertanyaan lain, "Omong-omong gimana rasanya kerja di sini? Kamu ada kesulitan?"

"Sejauh ini enggak. Kayaknya aku berbakat jadi kasir." Senja memandangi layar komputer sambil mengedikkan bahu, antara ingin sombong atau benar-benar tidak peduli.

Bu Garwita yang bisa membaca sedikit kepribadian Senja, hanya nyengir saja sambil menata tumpukan batang cokelat yang dipajang di atas konter. "Bagus, deh, kalau betah. Siapa tahu nanti kamu malah menetap di desa ini seterusnya."

"Kalau betah sih kayaknya enggak."

Jawaban itu membuat Bu Garwita mendongak, "Loh, kenapa? Kamu ada masalah?"

"Tante, bisa enggak sih kalau aku ambil shift malam aja?" Tiba-tiba Senja memohon dengan nada merengek kekanakan. Kalau di hadapan Bu Garwita, sikap manja dan semaunya sendiri itu selalu muncul.

"Loh, kan kamu sendiri yang mau ambil shift pagi sampai sore!" gerutu Bu Garwita dengan tampang mengernyit, seolah Senja baru saja berkata hal konyol. Memang konyol, sih. Soalnya yang sejak awal menuntut ingin kerja di pagi hari itu Senja sendiri.

"Duh, jadi enggak bisa, nih?"

"Ya enggak bisa, Senja. Kita bakalan kekurangan orang di shift pagi kalau kamu tiba-tiba mundur begini. Mau tukar pun enggak bisa. Kan pegawai lainnya sudah sejak awal menyepakati kontrak masing-masing."

Bibir Senja melengkung, jelas menunjukkan kekecewaan.

"Kenapa sih kamu jadi lesu gini?"

Senja merapatkan rahang. Bingung bagaimana menanggapinya. Masa sudah mengajukan pindah shift di hari pertama kerja hanya karena benci dengan seseorang? Walaupun Bu Garwita adalah orang yang dekat dengannya, Bu Garwita tampak akrab sekali dengan Daru. Kenyataan ini membuat Senja ragu berkali lipat.

"Ya udah kalau enggak mau cerita. Awas aja kalau kamu butuh apa-apa, enggak usah cari Tante lagi."

"Aku kayaknya enggak suka sama Mas Daru, Te." Akhirnya Senja mengaku.

"Dewandaru, maksudmu?"

"Iya, siapa lagi di sini yang dipanggil Daru!" Senja mencebik kesal.

"Memang Daru melakukan apa ke kamu?"

Senja bergeming, memandang mata tantenya yang berkilat khawatir. Entah kenapa sepertinya Bu Garwita merasa perlu untuk mengetahui masalahnya.

"Habisnya dia ketus banget. Enggak ada ramah-ramahnya jadi orang. Seenaknya kalau nyuruh aku ini-itu, udah kayak bos aja!" protes Senja.

"Walau kalian berdua seumuran, Daru itu memang senior kamu. Sudah sepantasnya dia nyuruh kamu lakuin sesuatu."

"Tetap enggak membenarkan sikapnya!"

"Kamu serius dia kayak gitu, Ja?"

"Apa wajahku kelihatan bohong?"

"Daru anak yang sopan, kok. Dia ramah ke semua orang."

"Kalau gitu dia cuma jahat ke aku."

"Yakin Daru melakukannya tanpa alasan? Siapa tahu sebetulnya kamu menyinggung Daru." Bu Garwita mencoba meredahkan amarahnya.

Giliran Senja yang terdiam. Kalau dipikir-pikir, pertemuan pertamanya dengan cowok itu memang tidak baik. Belum apa-apa, Senja sudah menyumpahinya dengan kata-kata kasar. Namun, dia melakukannya bukan tanpa alasan, melainkan karena Daru punya tanda-tanda atau potensi menjadi penyiksa binatang (walaupun sejak awal Senja tidak benar-benar menjadi saksi kekerasannya secara langsung). Menurutnya, dia tak perlu melihat bukti kejahatan Daru, sebab Senja bisa menebak dosa cowok itu dari sorot matanya yang panik―seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan kesalahan.

Namun, kalau awal mulanya seperti itu, apakah keketusan Daru memang merupakan akibat dari sikap Senja yang kasar padanya?

"Kayaknya aku tahu kenapa dia ketus ke aku," kata Senja lirih.

"Pasti karena kamu menyudutkan Daru duluan."

Mata Senja membelalak kaget. "Loh, kok tahu?"

Bu Garwita mengibaskan tangan ke udara, berkata enteng, "Tante tuh sudah kenal kamu sejak masih kecil. Kamu anaknya emang suka mengoceh dan marah-marah tanpa tahu situasi, ujung-ujungnya menyakiti orang lain atau membuat bodoh dirimu sendiri."

Oh, ya ampun, sekarang Senja tak bisa lebih malu dari ini. Mengapa wataknya sungguh buruk?

"Jadi Tante nyalahin aku?" Senja berkata pelan, tetapi nadanya seperti tidak terima. Rasanya dia ingin memberitahukan kepada Bu Garwita apa yang terjadi di sore berhujan waktu itu. Namun, niatnya urung. Mau sebesar apa bencinya kepada Daru, Senja tidak boleh menyerangnya dengan membicarakannya di belakang begini, apalagi bila tujuannya demi mendapatkan pembelaan dari Bu Garwita. Jadi, gadis itu memilih mengalah, "Ya udah, deh. Kalau dipikir-pikir itu bukan masalah besar. Aku aja yang sukanya heboh marah-marah."

"Memang kalian ada masalah apa, sih?"

"Bukan masalah apa-apa. Enggak guna kalau dibahas." Senja langsung menangkap deretan lauk makanan dan aneka roti di etalase khusus. Mendadak saja dia ingat masalah di luar pekerjaan yang sedang dideritanya saat ini; perutnya lapar.

"Tante, tadi kata Mas Daru, kalau ada makanan umur sehari yang sisa, pegawai boleh mengambilnya. Aku mau cobain paket nasi ayam goreng, boleh, ya?"

"Sebenarnya baru boleh diambil pas toko kita mau tutup, tapi ya udah enggak apa, ambil aja."

Mendengar jawabannya, Senja sumringah. Gadis itu langsung melipir ke etalase makanan untuk mengambil sendiri makan siangnya. Saat Senja hendak membuka etalase, Bu Garwita berpesan lagi, "Ja, sekalian ajak Daru makan, ya. Dia biasanya lupa makan kalau enggak diingatkan."

Senja sekonyong-konyong menoleh pada Bu Garwita sambil memasang tampang ngeri, "Kok aku yang ngajak makan? Ya tergantung kesadaran dia sendiri, dong!"

"Supaya kamu akrab sama dia. Gih, cepet."

Lalu tanpa menunggu persetujuan Senja, Bu Garwita langsung pergi, menghambur ke dalam rak-rak produk di bagian belakang. Sementara Senja hanya membuka rahang sambil menatap punggung Bu Garwita yang hilang ditelan rak―tidak tahu harus merespons bagaimana, Di ujung lidahnya, sudah berlabuh sebuah keinginan yang sedari tadi dipendam-pendam;

Kalau ada hal di dunia ini yang harus kuhindari, nama pertama yang mengisi daftarnya adalah Dewandaru.[]

-oOo-

.

.

.

.

Zhelamaad zhiaannk

Latar suasana di Daruhita ini kebanyakan mendung-gerimis-hujan lebat ges. Jadi kalau di rumah kalian suasananya ada di antara ketiga itu, percayalah, berarti kalian memang ditakdirkan baca novel ini awkwkwk

Tapi kalau cuacanya panas yaa nggak papa sie. Berimajinasilah sebisa mungkin 😃👍🏼

Btw gimana first impression kalian sama Mbak Senja?

A. Really like her. Sassy girl energy🔥
B. Waaw, pretty interesting 😚
C. Not my cup of tea, but let's see 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top