19. Pemilik Restoran yang Meresahkan
-oOo-
KEADAAN rumah Daru di malam hari tampak sepi dan suram. Penerangan di teras dan halaman belum menyala, sehingga Senja kesusahan melangkah di tengah bayang-bayang pepohonan yang gelap. Selepas sampai di undakan teras, dia duduk dengan sabar. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu.
"Meong!"
Inaw muncul dari pekarangan belakang, menghampiri Senja dengan lompatan riangnya yang berlebihan. Senja mengusap-usap punggungnya sementara kucing itu memutari si gadis sambil mengendus-endus penasaran.
"Aku enggak bawa makanan, Naw. Kamu tuh cuma nyium bau keringat kalau ngendusin aku terus!" Senja menggerutu sambil menahan wajah Inaw yang hendak menjilati jarinya. Kucing itu memahami pesannya dengan baik. Dia duduk di samping Senja sambil mengayunkan ekornya.
"Naw, Hita belum pulang, ya?"
"Meong!"
Makan!
"Kamu tahu enggak anak itu ke mana?"
"Meong!"
Makan!
"Mas Daru udah nyari dia, tapi enggak ketemu. Ke mana ya anak itu?"
"Meong! Meong!"
Makan! Makan!
"Iya, iya, aku tahu kamu pasti khawatir sama Hita, kan?" Senja menghela napas seraya mengusak bulu di leher dalam Inaw. Suaraya bernada pasrah kali berikutnya, "Entah kenapa firasatku bilang kalau Hita pasti bakal pulang. Dia pasti ada di sekitar sini. Anak itu enggak bakal biarin abangnya kerepotan kedua kalinya."
Senja memandangi pekarangan depan yang gelap dan penuh rumput liar yang belum dipangkas. Suara gesekan sayap jangkrik dan ranting yang menggaruk dinding pagar menutupi kesunyian malam itu. Ketika gadis itu menjejalkan tangan di saku celana untuk mengambil ponsel, mendadak saja dia dikagetkan dengan suara keriat pagar yang dibuka dari luar.
Gadis itu langsung berdiri dan menyipitkan mata untuk melihat siapa yang barusan datang. Apakah Daru sudah menemukan Hita?
Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban lantaran Senja melihat sosok seorang perempuan muncul dari balik bayang-bayang pepohonan.
Wanita itu mengenakan blus putih tulang berlengan panjang yang tampak elegan dan mahal, disertai rok span berwarna mauve yang memperlihatkan dua tungkainya yang jenjang. Sementara rambutnya yang merah kecokelatan disanggul rapi, sangat tertata dan licin. Senja melongo, tercabik oleh dua fakta yang mengganggu pikirannya; (1) orang itu adalah ibu-ibu muda yang tempo lalu datang kemari, dan―yang paling mengejutkan―(2) saat ini Hita ada dalam gandengannya.
"HITA!"
Hita menghambur ke pelukan Senja. Bocah itu datang sambil mengenakan jaket wol baru berwarna kuning pastel, Dia memeluk leher Senja begitu erat, sambil tersedu-sedan dalam pelukannya. Lalu mengucap maaf berkali-kali, "Maaf, Mbak ... Maafin aku baru pulang sekarang ...."
Senja menepuk-nepuk punggung Hita, berusaha menenangkannya. Dia lantas mendudukkan anak itu di undakan tinggi teras. Dengan kejengkelan yang masih berkobar-kobar, Senja menghadap kembali pada wanita itu.
"Jadi Ibu yang bawa Hita pergi sejak tadi?" Senja tidak bisa menyembunyikan nada tidak terima dalam suaranya. "Apa Ibu enggak mikir, kami kalang-kabut nyari Hita ke mana pun? Abangnya bahkan sampai enggak istirahat dan masih keliling desa selarut ini!"
Sementara itu, si wanita berdiri layaknya batu karang yang menantang gelombang laut. Polesan make up di wajahnya malah memberi kesan dingin, mirip tatapan sinis aristokrat yang cantik tetapi angkuh. Tatapannya hampa ketika menunduk memandangi Hita yang duduk di teras sambil menautkan jari-jemarinya yang mungil.
"Saya berjanji pada Hita untuk mengantarkannya pulang," katanya kepada Senja. Bahasa yang dia gunakan sangat formal dan tertata, wibawanya seolah melekat dalam setiap kata-kata yang dia pilih. Namun, nada suaranya mengingatkan Senja dengan kabut pagi yang dingin dan membekukan.
"Ya dia seharusnya pulang, karena ini rumahnya!" Senja membentak.
Si wanita terdiam sebentar, lalu pandangannya mundur pada dinding-dinding bercat kusam yang seolah berdiri terpaksa di balik tubuh Senja. Ekspresinya berubah kecut, hampir seperti meremehkan.
"Hita tidak pantas tinggal di rumah seperti ini," kata wanita itu. "Tadinya saya ingin mengajak Hita ke tempat saya, tetapi anak itu tidak mau. Dia bilang dia harus segera pulang karena takut dimarahi abangnya."
"Ibu ngomong apaan, sih?" Senja mengerutkan kening, meledak-ledak oleh amarah. "Ibu baru aja menyiratkan mau nyulik anak ini, loh! Mau dibawa ke mana dia? Bentar, saya viralin wajah Ibu buat dilaporkan ke polisi!" Kemudian gadis itu merogoh ponselnya di kantong celana. Namun, kegelapan membuat segalanya kacau. Ponsel itu malah jatuh ke dasar undakan dan terbenam di rerumputan. Saat Senja hendak memungutnya, Ibu itu berkata;
"Soal itu, saya minta maaf karena tidak minta izin terlebih dahulu." Anehnya ekspresi wajahnya tidak seperti orang yang menyesali perbuatan, "Saya hanya ingin menghibur anak ini karena dia terlalu sedih menanti abangnya yang tidak kunjung datang, padahal katanya mereka berdua sudah berjanji mau merayakan ulang tahun."
"Mas Daru cuma lupa," kata Senja, lirih seperti habis disudutkan. "Mas Daru tadi masih lembur di tempat kerja."
"Saya mengkhawatirkan keadaan Hita. Abang macam apa yang tega meninggalkan anak sekecil ini menunggu seharian di rumah, mematahkan janji untuk pergi merayakan ulang tahun, dan tidak meninggalkannya ponsel untuk berkabar? Bahkan katanya ini bukan sekali saja. Tahun lalu dia juga melakukan kesalahan yang sama. Kalau Mbak bisa melihat sisi yang benar, semestinya ini semua salah abangnya yang lalai."
"Jangan sembarangan bilang gitu, Bu," Senja menggeram. Kemarahan mendobrak dadanya, membuatnya berang dan ingin melempar tinju ke wajah si wanita. "Ibu enggak tahu apa yang dilakukan abangnya untuk merawat Hita sampai sebesar ini."
"Saya rasa itu semua belum cukup."
"Keluarga Hita enggak ada hubungannya sama Ibu," Senja berujar tegas.
"Dan bagaimana bila ternyata saya adalah satu-satunya yang layak merawat Hita?"
"Ibu ini siapa sebenarnya?"
Perasaan Senja telah teraduk-aduk oleh kebingungan yang besar. Wanita ini jelas memiliki niat yang tidak main-main mengenai maksud perkataannya. Apakah dia sanak saudara? Tetapi mengapa Daru menyatakan bahwa dia sama sekali tak mengenal wanita ini?
Namun, bukannya menjawab pertanyaan Senja, wanita itu malah tersenyum kecut. Dia merogoh sesuatu dari dalam tas tangannya yang mahal dan memberikan sebuah kartu untuk Senja. "Berikan ini pada Asraf Dewandaru. Saya menunggu untuk bertemu dengannya."
Senja memperhatikan kartu nama berlapis emas yang diberikan oleh wanita satu ini. Namanya adalah Kasmirah Atma Bhanuwati, dan yang lebih mengejutkan lagi, dia adalah pemilik Mozin―restoran besar yang sangat populer di pusat kota dan sudah mendirikan cabang di beberapa kawasan. Senja membelalakkan mata, pasalnya dia tahu Mozin adalah salah satu tempat yang diam-diam menjadi saingan dari restoran milik ibunya.
Ketika Senja kembali mendongak, wanita itu sudah menghampiri pagar pintu depan. Gadis itu berseru, "Tunggu, Bu―"
Tapi seruannya tidak dihiraukan. Dalam bayang-bayang kegelapan, Senja mendengar suara keriat pagar dibuka, lalu beberapa saat kemudian sunyi.
Senja terdiam begitu lama untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Lalu, mendadak saja, kesadarannya seperti dihantam sesuatu. Dia cepat-cepat memungut ponselnya yang jatuh di semak-semak dan langsung menelepon Daru.
Pada sambungan pertama, panggilannya diangkat.
"Mas Daru di mana?"
"Di persimpangan alun-alun. Hita belum ketemu, Mbak. Bentar lagi saya―"
"Pulang, Mas. Hita ada sama aku."
Seketika hening.
Kemudian, Senja mendengar helaan napas lelah yang panjang dari seberang sambungan, dan gadis itu membayangkan Daru melorot lega di sepedanya.
"Adik saya beneran udah pulang?" Nada Daru terdengar memohon.
Senja merasakan matanya panas karena tak kuasa menyampaikan berita ini.
"Iya, nanti kuceritakan semuanya kalau Mas udah pulang."
"Dia enggak papa, kan?"
"Baik-baik aja, Mas." Lalu Senja kepikiran dengan keadaan Daru. "Mas Daru enggak papa, kan? Kenapa suaranya lemas?"
"Saya ... capek, Mbak. Jantung saya deg-degan dari tadi ...."
"Mas Daru pulang ke sini pelan-pelan aja, Mas," kata Senja khawatir. "Aku takut Mas kenapa-kenapa di jalan."
"Iya, Mbak."
Daru mengucapkan salam, setelah itu panggilan ditutup. Senja berputar menghadap Hita dan memegangi pundak anak itu.
"Hita" katanya lembut. Dia mengusap air mata yang melelehi pipi Hita yang kemerahan karena udara dingin, "Tadi kamu pergi ke mana aja sama orang itu?"
Hita masih sesenggukan, tetapi dia berhasil menjawab dengan terbata-bata; "Ke pasar malam, terus aku diajak ke restoran, terus keliling mal ...."
"Kamu kan tahu dia itu orang yang sama dengan yang datang ke sini lusa kemarin?"
Hita sesenggukan, tetapi anak itu mengangguk kecil.
"Kalau udah tahu, kenapa masih diterima ajakannya? Mas Daru kan sudah melarang."
Hita kebingungan menjawab. Dia hanya menangis sambil meracau menyesal, "Ma-maafin aku ... aku enggak sengaja buka pintu, te-ternyata itu Tante Kasmi ... hu ... maafin aku...."
Senja memeluk Hita, mengusap puncak kepala anak itu.
"Lain kali jangan langsung terima mentah-mentah ajakannya," kata Senja di dekat telinga Hita, "Kami khawatir banget sama kamu, Hita. Mas Daru sampai lapor ke pos polisi."
Hita meracau minta maaf lagi.
Senja menarik Hita, menangkup wajah si anak yang sudah kuyu dan penuh air mata. "Kamu tadi diapain aja sama ibu itu? Kamu luka? Dimarahi? Dibentak?"
Hita menggeleng cepat. "Tante Kasmi baik. Dia ikut nungguin Mas Daru di rumah, tapi karena Mas Daru enggak datang-datang ... Tante ngajakin aku pergi, katanya mau merayakan bersama supaya aku enggak sedih ...."
"Terus sekarang kenapa kamu nangis?"
"Aku takut Mas Daru marah ... soalnya―" Hita menarik ingus, "―pulang kemaleman."
"Nanti minta maaf sama Mas Daru, ya."
Hita mengangguk, lalu tangisannya kembali kencang. Senja memeluk Hita dengan erat seraya bergumam rendah untuk menenangkannya.
Inaw, sementara itu, menumpangkan kepala di pangkuan Hita sambil memandangi kegelapan malam dengan dua matanya yang bersinar biru. Suara tangis majikannya entah mengapa mengikis rasa laparnya yang semula membengkak dan kini menggantinya dengan kesedihan yang menggunung.[]
-oOo-
.
.
.
Aku double update gaes. Langsung scroll ke chapter berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top