18. Kehilangan Jejak
-oOo-
DARU sedang melahap sesendok nasi goreng ketika Senja tahu-tahu berceletuk;
"Mas hari ini enggak lupa sama ulang tahunnya Hita, kan?"
Mulutnya penuh, masih mengunyah dengan pelan. Jadi, Daru hanya mengangguk saja.
Sementara itu, Senja kembali menatap nasi goreng di hadapannya yang masih mengepul hangat. Beberapa menit lalu Bu Garwita membelikan makan malam setelah meminta mereka untuk merekap barang-barang yang baru datang dari pabrik. Sekarang, di penghujung jam delapan, di tengah acara makan yang diselingi suara jangkrik dan dengung kipas angin, Senja mendadak kepikiran Hita. Kalau anak manis itu ulang tahun, bukankah seharusnya Daru pulang lebih cepat untuk merayakannya?
"Mas enggak papa pulang malam gini?" Senja iseng bertanya lagi. "Enggak ngerayain ulang tahun gitu, sama Hita?"
"Enggak papa. Tahun lalu waktu Hita ulang tahun, saya juga kebetulan lembur di sini," kata Daru sambil memotong-motong telur ceplok dengan sendok. "Anak itu enggak pernah ngerayain ulang tahunnya gede-gedean, Mbak. Malah enggak suka sama kayak gituan."
Senja manggut-manggut. Kemarin Hita juga bilang hal yang sama.
Kemudian, gadis itu teringat sesuatu yang penting, sampai-sampai membuatnya hampir berdiri dari tempat duduk. Daru yang melihat lecutan reaksi itu langsung berkata, "Ada apa, Mbak?"
"Mas enggak lupa beneran? Bukannya kemarin Hita bilang mau ke pasar malem?"
Sendok yang sudah hampir masuk ke mulut Daru, berhenti di depannya. "Hah? Masa sih, Mbak? Hita enggak ngomong apa-apa ke saya."
"Kemarin waktu aku rumah Mas Daru, Hita gambar-gambar pasar malem gitu. Dia bilang hari ini mau datang sama Mas."
Pikiran Daru mundur di hari kemarin, mencoba mengingat apakah dia melewatkan sesuatu dari perkataan Hita. Rasa-rasanya adiknya tak pernah memintanya merayakan ulang tahun di pasar malam, tetapi ... kenapa firasat Daru tidak enak? Pemuda itu meletakkan sendoknya sebentar dan lebih berkonsentrasi. Kalau tidak salah, sebelum dirinya tidur siang kemarin, Hita memang sempat mengganggunya dan mengatakan sesuatu ....
Oh. Astaga.
Daru menundukkan kepala dan mengusap wajah dengan tangan, sementara bahunya melorot turun lantaran dia baru ingat apa yang dikatakan Hita sesaat sebelum pikirannya lelap dibawa mimpi. Senja, yang menyadari reaksi Daru, bertanya pelan, "Mas ... kenapa?"
"Mbak," Daru buru-buru menegapkan punggung. Ekspresinya langsung berubah seolah dia merasa menyesal. "Ini kita sudah selesai, kan? Aku pulang dulu, enggak papa, ya?"
"Aaa, iya." Senja mengangguk, tiba-tiba ikut merasa cemas. Sepertinya Daru betul-betul kelupaan soal Hita. Gadis itu menengok sebentar ke arah pintu ruang pegawai. Bu Garwita sedang solat Isya, jadi tidak mungkin Daru bisa berpamitan. "Mas segera pulang aja. Nanti biar aku yang bilang ke Bu Garwita. Ini makanannya dihabisin dulu."
"Saya bawa pulang aja, Mbak."
Lalu Daru cepat-cepat membungkus kembali nasi gorengnya yang baru habis setengah. Dia menjejalkan semua barangnya ke dalam tas dan beringsut keluar dari bilik kasir. Tatapannya terpaku pada Senja. "Makasih banyak, Mbak. Assallamuallaikum."
Senja membalas salam, lalu percakapan mereka putus begitu saja lantaran Daru langsung berlari keluar toko dan menuju sepedanya.
Keteledorannya tidak bisa dimaafkan, begitu pikir Daru ketika dia mengayuh sepedanya dengan ngebut, melewati jalan setapak berkerikil yang membuat tubuhnya berguncang. Hita mungkin akan marah besar kepadanya. Sebab itulah, Daru berusaha mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk. Mungkin bocah itu akan ngambek, menangis, atau tidak mau berbicara dengannya seharian penuh. Itu sudah bisa ditebak karena ini bukanlah pertama kalinya Hita marah kepadanya. Namun, terlepas dari serangkaian pengalaman tragis dimusuhi Hita, Untuk kali ini saja Daru ingin meminta maaf yang tulus kepada adiknya.
Kurang dari sepuluh menit, Daru sudah sampai rumah. Dia menjeblak pagar dan langsung membuka kunci pintu. Satu sapaan salam diteriakkan, tetapi tidak ada yang menjawab. Daru menyusuri lorong, memeriksa kamar Hita, kamarnya sendiri, dapur, dan kamar mandi. Tidak ada siapa pun di dalam rumah, kecuali Inaw yang tidur melingkar di dekat meja lipat penuh peralatan gambar yang berceceran.
"Meeooong," Inaw mengibaskan buntut, menatap Daru dengan malas.
Daru menatap dua mata biru Inaw yang tidak berkedip. Pemuda itu hanya berdecak kesal, lalu buru-buru keluar untuk menggapai sepeda kayuhnya lagi.
-oOo-
Senja memukul meja dengan keras.
"Ini udah enam kali!"
Ganesh menciut di kursi belajarnya. Tangannya yang mungil ditautkan cemas di pinggiran meja, sementara matanya tak berani bersiborok dengan mata Senja yang berkilat-kilat marah. Gawat. Tante sihir ngamuk!
"Ganesh!" Suara Senja terdengar bagai sambaran petir. Matanya melotot berbahaya kepada Ganesh, seolah dari tatapannya saja dapat menguliti bocah itu hidup-hidup. "Kamu paham sama materi ini atau enggak?"
"Ampun, Mbak, jangan teriak kayak gitu ...." Ganesh merasakan suaranya sendiri mencicit seperti tikus. Sungguh kesialan besar bahwa malam ini dia harus mengerjakan PR Matematika bersama Senja yang super pemarah dan menyebalkan. Andai saja dia tak telat bangun siang, dia pasti memilih pergi saja ke rumah Hita dan mengerjakan tugasnya di sana.
"Kamu ini," Senja memijat pelipisnya dengan tekanan keras, sungguh tak habis pikir dengan kemampuan kognitif Ganesh. Bagaimana mungkin anak ini masih tak paham materi pembagian meskipun sudah diajari enam kali? Ini bukan kesalahannya, Senja yakin itu. Ganesh-lah yang berotak udang!
"Mbak itu udah ngajarin kamu pakai bahasa bayi, loh. Masa belum paham sampai sekarang?" Senja nyaris merengek, menunjuk-nunjuk buku catatan yang berisi deretan angka puluhan, lalu ke coret-coretan yang tadi dia pakai untuk menghitung manual. Ganesh sendiri hanya meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Susah, Mbak," ujarnya terus terang. "Biasanya aku langsung paham kalau dijelaskan guru di sekolah. Hita aja bisa loh ngajarin aku. Enggak tahu kenapa kalau sama Mbak Senja jadi jadi gini."
"Maksudmu aku enggak bisa ngajar, gitu?"
"Ya berarti Mbak yang enggak paham."
"Kurang ajar!" Senja sudah siap menoyor kepala Ganesh, tetapi adiknya mencegahnya duluan dengan menutupi kepalanya memakai kotak pensil besi.
"Terus maumu gimana? Masa PR-nya enggak dikerjakan?"
"Ke rumah Hita aja yuk, Mbak," Ganesh meminta dengan ragu.
"Ini udah malem, Nesh. Hita pun sekarang lagi ada acara sama abangnya. Kamu jangan ganggu mereka berdua."
"Justru itu, Mbak," Ganesh mencebikkan bibir ke depan, seperti anak manja yang merayu supaya dibelikan mainan. "Aku mau ikutan ke sana buat ngerayain ulang tahunnya. Biar rame, hehe."
"Udah mau jam sepuluh. Gila kamu." Senja berdecak kesal. Adiknya adalah definisi makhluk pengganggu yang lumrah dicubit bokongnya supaya kapok. Padahal kemarin sudah puas bermain di rumah Hita, tetapi sekarang dia masih mencari-cari alasan supaya bisa ikutan berpesta. PR ini pun pasti hanya pancingan saja agar dia diperbolehkan keluar malam-malam.
"Kubilangin mamamu loh ya kalau pergi jam segini," Senja mengancamnya sungguh-sungguh.
"Ya udah kalau gitu telepon aja." Ganesh merengut kecewa. Anak itu menatap buku PR di hadapannya dan diam-diam merasa gelisah juga karena tugasnya sama sekali tidak diselesaikan. Habisnya gadis satu ini tidak seperti mama atau papanya yang mau-mau saja disuruh mengisi jawaban. Senja malah memaksanya untuk menghitung jawaban sendiri. Ganesh kan malas belajar.
"Beneran, Mbak," kata Ganesh dengan nada memohon. "Aku mau tanya ke Hita tentang PR. Mbak ada nomornya Mas Daru, kan?"
Baru saja Senja hendak menolak, ponselnya berbunyi. Gadis itu menyambar ponsel di atas meja belajar lalu memeriksa nama yang tertera di ponselnya.
"O, pas banget. Orangnya nelepon," kata Senja.
Ganesh membuang napas lega, sementara Senja langsung mengangkat panggilan. Tanpa ucapan salam atau apa pun, gadis itu menyahuti panggilan Daru dengan ceria, "Halo, Mas. Gimana nih pesta ulang tahunnya Hita?"
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar berisik musik dan tawa kejauhan yang bersahut-sahutan. Senja bisa menebak Daru ada di mana.
"Loh, masih di pasar malem, ya, Mas?" tanyanya sambil cengar-cengir. Hita pasti puas sekali bermain sampai hampir larut malam begini.
"Mbak Senja ...."
Suara di seberang terdengar seperti orang kehabisan napas.
Senja menjauhkan ponsel dari telinganya. Matanya menyipit sambil menatap layar. Terburu-buru dia menempelkan ponsel di telinganya lagi.
"Mas? Kamu kenapa?"
Keseriusan dalam suara Senja sontak membuat Ganesh yang duduk di dekatnya langsung menegakkan punggung.
"Hita, dia―"
Terdengar jeda panjang. Kemudian, nada suara pecah;
"―kayaknya diculik."
-oOo-
Lewat panggilan itu, Daru menceritakan segalanya pada Senja―tentang tempat-tempat yang dia kelilingi demi mencari Hita yang keluyuran seorang diri tanpanya. Anak itu tidak ditemukan di mana pun―pasar malam, Nawarma, rumah-rumah tetangga, sampai kembali lagi ke pasar malam. Sepertinya Daru sudah terlalu panik dan lelah hingga pemuda itu bisa ambruk kapan saja. Suaranya gemetar, entah karena kedinginan atau cemas. Senja menyuruh Daru untuk menunggunya sebentar.
Pemuda itu menjawab bahwa dia hendak pergi ke pos polisi yang ada di dekat pasar. Senja meyakinkan Daru bahwa dia akan segera menyusul.
Gadis itu sampai lima belas menit kemudian dengan kondisi ngos-ngosan. Biarpun rambutnya terburai-burai dari karet ikat dan badannya berlumur keringat, dia tidak peduli. Senja tetap turun dari sepeda dan berlari memasuki pos polisi Jayastu, yang tampak mungil, sepi, dan terkesan apa adanya.
Dia melihat Daru duduk di sebuah bangku panjang, sementara seorang polisi yang bertugas sedang mengutak-atik mencoret-coret sesuatu di atas lembaran kertas.
"Mas Daru, gimana?"
Daru berpaling menghadap Senja. Sontak, gadis itu terhenyak menatap raut Daru yang kuyu dan masam. Kekhawatiran dalam ekspresinya tidak bisa disembunyikan.
"Enggak bisa dikatakan penculikan kalau belum dua puluh empat jam," kata Daru muram. "Baru boleh bikin laporan besok. Sekarang cuma bisa nunggu atau cari lagi."
Senja mengernyit, kemudian berpaling galak pada petugas polisi muda yang ada di balik konter layanan. "Anak kecil enggak pulang ke rumah sampai jam sepuluh malam gini, masa cuma disuruh nunggu?"
Daru yang berdiri di belakangnya langsung menahan Senja agar tak berbuat kelewatan.
"Mbak, tenang dulu," kata si polisi muda dari balik konter, "Saya tahu kalian semua khawatir, tapi saya enggak bisa menghubungi polres kalau umur laporannya belum dua puluh empat jam. Ini memang sudah prosedur dari pusat. Lagi pula jam segini, semua kawan saya sudah pulang, Mbak."
"Lah, kok gitu, sih? Ini anak kecil loh, Pak. Gimana kalau terjadi hal buruk karena enggak segera dilaporin? Bapak ini polisi, loh!"
"Kami harus punya bukti yang mengatakan kalau ini adalah kasus penculikan."
Senja berpaling pada Daru, praktis terkejut melihat betapa merahnya wajah pemuda ini, seolah dia dikuasai amarah dan rasa kecewa. Tahu-tahu saja Senja menjadi ikutan jengkel dengan penanganan aparat.
"Coba telepon orang-orang terdekat dulu, Mas," Polisi itu menyarankan dengan nada bosan, seolah-olah dia sudah muak mendengar kasus-kasus yang sama, "Tanya ke guru-guru sekolah, teman-temannya, atau sampaikan pesan ke grup RT/RW lingkungan. Barangkali orang di desa Mas ada yang tahu. Ya saya enggak bisa bantu banyak karena bingung mau menyelidiki lewat apa. Makanya tadi saya tawarin isi data dulu untuk melengkapi prosesnya."
Daru menggertakkan rahang dan hendak mengumpat, tetapi dia urung. Sebagai gantinya, pemuda itu merobohkan tubuh ke kursi terdekat, jelas tidak kuat berdiri lagi. Senja menghampirinya dan mengusap punggungnya pelan, berupaya menenangkan.
"Mas, udah melakukan apa kata bapaknya?" kata Senja di dekatnya.
"Udah, Mbak. Tapi enggak ada yang tahu."
Selepas jawaban itu, kegigihannya kembali muncul. Daru berdiri lagi dan hendak keluar menuju pintu pos. Senja buru-buru menahan lengannya. "Mau ke mana, Mas?"
"Aku mau nyari lagi. Mungkin dia pergi lebih jauh dari sini, mampir ke toko-toko di dekat kota."
"Mas, ini sudah malem banget. Toko-toko udah pada nutup."
"Aku enggak bisa diam aja, Mbak," kata Daru dengan luapan perasaan kemarahan bercampur cemas. Dia memegang pergelangan tangan Senja, lalu nada suaranya berubah seperti memohon, "Saya minta tolong Mbak supaya pergi ke rumah saya dan jaga di sana, ya. Siapa tahu waktu saya pergi, Hita balik ke rumah."
Senja mengangguk mantap dan membiarkan Daru keluar dari pos. Sang gadis berpaling pada petugas polisi yang membereskan berkas laporan, sekonyong-konyong berkata galak, "Kalau sampai ada apa-apa sama adik temen saya, awas aja ya Pak. Saya viralin Bapak di sosmed."
Sang polisi menggeleng tidak habis pikir. Senja yang tidak bercanda dengan ancamannya, terang-terangan membaca tag nama polisi yang tersemat di seragam. Kemudian, tanpa mengucap salam, dia langsung berbalik dan pergi keluar pos, sepanjang perjalanan merutuk kesal karena keluhan Daru ditolak mentah-mentah.
Dasar sial. Laporan dua puluh empat jam apanya? Kalau anak itu benar-benar diculik, melewatkan waktu satu jam aja udah berbahaya![]
-oOo-
.
.
.
Belum2 udah hilang dua kali aja ini anak 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top