16. Enam Buku Menjadi Satu

-oOo-

DI Minggu pagi yang cerah, situasi mulai tenang. Daru kembali menjadi abang bawel yang terlalu banyak melemparkan protes, sementara Hita tidak pernah absen memberi Daru sakit kepala akibat kecerobohannya.

"Kan udah Mas bilang, baju yang kayak gini jangan dicampur di seragam putih. Jadinya luntur, Ta," gerutu Daru sambil memindahkan cucian basah ke bak yang lain. Baju seragam Hita yang terendam di dalamnya menjadi luntur karena Hita sembarangan memasukkan kaus bekas pakai ke dalam ember, lalu meninggalkannya semalam suntuk. Anak itu berdiri di samping pintu kamar mandi sambil menatap abangnya yang berjongkok di tempat cuci-cuci. Eskpresinya seperti biasa saja, tetapi sebenarnya Hita merasa bersalah dan kebingungan mau bicara apa.

"Kamu minggir dulu, jangan petantang-petenteng di depan pintu."

Anak itu menurut saja dan pergi dari tempat cucian. Daru, sementara itu, tidak henti menggerutu sambil membilas seragam putih Hita yang sudah tak tertolong. Benaknya digenangi pikiran bahwa sebentar lagi akan ada biaya lagi untuk membereskan semua ini.

Saat Daru sudah menyelesaikan pekerjaannya, dia kembali ke ruang tengah dan melihat Hita sedang bermain dengan Inaw. Tiba-tiba kemarahannya muncul lagi saat melihat Inaw mencakar-cakar keset handuk yang baru diganti, pasalnya kucing itu membuat serabut keset jadi berantakan dan mengotori lantai. Padahal lantainya baru disapu beberapa menit lalu.

Namun Daru terlalu capek untuk meletupkan amarah. Dia takut suasana hatinya yang berantakan akan membuat keadaan rumah menjadi semakin tegang dan tidak nyaman. Jadi, sambil bersusah payah menahan protes, pemuda itu masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur, mencoba melarikan diri dari Minggu yang penat dan melelahkan.

Dia sudah setengah berlayar di alam mimpi ketika samar-samar merasakan perih di kulit kepala, seperti ditarik-tarik.

"Ta?" Daru yang menenggelamkan setengah wajah di bantal berkata lesu, "ngapain sih kamu?"

"Lagi main boneka," kata Hita. Anak itu rupanya sedang menguncir rambut di kepala belakang Daru dengan karet kecil-kecil. "Bonekaku sudah botak semua, jadi aku pinjem rambutnya Mas, ya."

"Sakit, Ta." Daru hanya merintih sambil menahan jengkel. Kepalanya berat sekali dan pemuda itu mengantuk setengah mati, tetapi Hita malah memaksanya berpura-pura menjadi boneka yang bisa didandani sesuka hati. Adiknya tidak merespons apa-apa selain bersenandung sebuah lagu. Daru akhirnya mencoba membiarkan Hita melakukan apa yang dia mau. Pemuda itu memejamkan mata untuk kembali tidur.

"Mas?"

"Hmm...," gumamnya sambil terkantuk-kantuk.

"Besok kan tanggal enam Mei. Aku ulang tahun, loh!"

Daru sudah tahu kalau besok Hita ulang tahun. Sejak seminggu lalu, dia sudah menyiapkan hadiah untuk adiknya, yang diyakininya akan membuat Hita senang bukan kepalang. Selagi Hita mengoceh ini-itu tentang ulang tahunnya, Daru yang dilapisi kehendak ingin tidur merasa bahwa ini bukan pembicaraan penting. Dia biarkan kepalanya mengangguk kecil untuk memberi tanda bahwa dia mendengar.

Lalu, tertidur.

"Mas, besok ke pasar malam, yuk? Hita udah lama enggak ke sana."

Daru diam saja. Hita mengerutkan kening. Anak itu mengguncang punggung Daru dengan keras. "Maaaasss!"

"Iya, iya," Ya Gusti, Aku ngantuk banget.

"Besok ke pasar malam!"

"Mmh ... iya ...."

Tapi Daru melupakan permintaan itu secepat kelelahan menariknya dari rasa nyaman. Pemuda itu berguling ke samping dan menghadapkan wajahnya kepada Hita yang sedang duduk di kasur. Dia merapatkan diri ke guling, mengusalkan hidungnya ke puncak bantal seperti seekor kucing.

"Mas ngantuk, Ta ...." Daru bergumam dengan bibir terkubur di bantal. "Kamu ... main Inaw aja ...." Kemudian kalimatnya menghilang, digantikan dengkuran halus yang begitu lirih. Abangnya tidur begitu saja.

Hita menatap wajah Daru yang sedang tidur. Dengan iseng, anak itu menyentuh bulu mata Daru yang berbaris di batas kelopaknya yang tertutup. Abangnya memiliki bulu mata dan alis yang tebal, yang membuat tatapannya terlihat tajam dan cenderung keras kalau melihat orang lain. Namun, Hita tahu bahwa abangnya yang asli tidak jahat.

Jemari Hita mengusap pipi Daru. Gadis kecil itu terkekeh saat melihat kening abangnya berkerut-kerut. Daru Pasti merasa terganggu karena wajahnya disentuh terus.

Karena takut abangnya marah-marah lagi seperti tadi pagi, Hita akhirnya turun dari kasur, bermaksud bermain lagi dengan Inaw. Dia sudah mencapai ruang tengah ketika mendengar suara ketukan dari luar pintu depan.

Daru berpesan pada Hita bahwa dia tak boleh sembarangan membuka pintu, jadi anak itu berlari ke samping dan mengintip dari celah tirai yang dibuka sedikit.

Matanya membelalak saat menyaksikan orang yang berdiri di teras rumahnya.

-oOo-

Dari luar kamar, Hita mengintip Daru yang sedang tidur sambil memeluk guling, lalu anak itu mendongak ke sosok yang berdiri di belakangnya.

"Masih tidur, Mbak," kata Hita pada Senja.

"Tidur dari tadi?"

"Barusan. Aku bangunin lagi, ya?"

"Jangan, jangan. Kasihan, biarin tidur aja. Yuk kita balik." Sambil berbisik-bisik, Senja menggandeng tangan Hita kembali ke ruang tengah, tempat Ganesh duduk bersila di karpet sambil menghadap sebuah tas.

Senja sengaja menyisihkan waktu di Minggu sore ini untuk menemani Ganesh pergi ke rumah Hita karena katanya ada sesuatu yang mau diberikan. Sebetulnya gadis itu sudah mendesak Ganesh agar bicara terus terang, sebab bocah laki-laki itu sejak tadi berlagak sok misterius sambil membawa-bawa tas ransel gendut. Kejujurannya baru terbongkar ketika Ganesh membuka ranselnya di hadapan Hita, lalu mengeluarkan sebuah kotak agak penyok yang dibungkus kado berwarna hitam.

"Selamat ulang tahun!" Ganesh menyodorkan kado itu pada Hita, yang langsung bersikap girang dan melompat-lompat di karpet tanpa mengeluarkan suara keras. Anak itu menerima kotak kado berwarna hitam yang ukurannya mirip seperti bola sepak, mengguncang-guncang isi di dalamnya untuk menebak-nebak.

"Makasih, Ganesh!"

"Loh, loh," Senja, yang tidak tahu apa yang terjadi, merasa dilucuti dengan keadaan membingungkan ini. "Hita ulang tahun?"

"Besok, Mbak," kata Hita. "Tapi Ganesh selalu ngasih aku hadiah sehari sebelumnya."

"Aku mau jadi orang pertama yang ngasih Hita hadiah!" Ganesh yang cengar-cengir senang, berlagak seperti superhero yang membusungkan dada dengan sombong. Senja, sementara itu, malah mengomentari kado Ganesh yang terlihat seperti benda mencurigakan.

"Ini kenapa dibungkus sama kertas hitam, sih, Nesh?"

"Kan Ganesh cowok. Kalau cowok harus macho. Sukanya yang item-item!"

"Lah, gimana sih kamu," Senja menoyor pipi Ganesh dengan main-main, "Kan yang mau dikasih hadiah itu Hita, bukan kamu. Ya pilihin warna yang cerah, kek! Ini mah berasa ngasih bungkusan misterius isi bom."

"Ih, apa, sih!" Ganesh mengusap pipinya sambil mencebik. "Mbak kan enggak ngasih hadiah, enggak usah protes!"

"Soalnya Mbak enggak tahu kalau Hita ulang tahun," Senja membela diri lantaran tidak terima. Dia menatap Hita dan ekspresinya langsung berubah seperti memohon maaf, "Maaf ya, Hita. Tahu gitu Mbak belikan kue ulang tahun pas ke sini."

"Enggak usah, Mbak. Ulang tahunku enggak pernah dirayain gede-gedean, kok," balas Hita sambil nyengir polos. Anak itu kembali duduk sambil membuka bungkusan kado dari Ganesh. Matanya berbinar-binar saat menarik keluar sebuah boneka kucing berwarna cokelat. Mirip sekali dengan Inaw, terutama bagian buntutnya yang tebal dan panjang. Ganesh bercerita bahwa dia memilih boneka ini karena mengingatkannya dengan Inaw, dan Hita senang bukan kepalang.

"Jadi, Hita umurnya berapa besok?" tanya Senja seraya mengepang kecil-kecil rambut Hita. Si anak perempuan duduk membelakangi Senja sambil menggambar sesuatu di buku gambar, sementara Ganesh duduk di dekat Hita dan melakukan hal yang sama.

"Delapan, Mbak," jawab Hita, lalu anak itu memperlihatkan hasil gambarnya pada Senja. "Mbak, Mbak, lihat deh. Ini aku sama Mas Daru. Besok kita mau ke pasar malem buat ngerayain ulang tahunku."

"Wah, bagus," Senja memuji sungguh-sungguh. Hita menggambar Daru sebagai sosok jangkung dengan alis naik seperti orang marah. Di dekat kaki Daru, ada Inaw yang dipasangi tali di lehernya. Sementara Hita memegang ujung tali itu sambil nyengir lebar. Walau terkesan jenaka dan agak kaku, gambaran Hita entah bagaimana terlihat mirip seperti aslinya. Senja jadi terkagum-kagum dan akhirnya mengabadikan gambar itu dengan kamera ponselnya.

"Buku gambarmu tebel banget, Ta. Ini berapa buku yang dijadikan satu?"

"Enam, Mbak," kata Hita. "Itu semuanya digambar waktu aku TK nol besar. Sama Mas Daru katanya enggak boleh dibuang, jadinya dijepret dan dijadikan satu."

"Mbak lihat-lihat bukumu, boleh, ya?"

Setelah diizinkan, Senja membolak-balik buku gambar itu dan menemukan karya-karya Hita yang lainnya. Selagi dua bocah kecil asyik bermain sendiri, Senja menghabiskan waktu lama menatap gambar-gambar buatan Hita yang hampir semuanya tampak menarik. Biasanya, buku gambar anak SD berisi gambar-gambar sederhana seperti matahari terbit yang diapit dua gunung, atau sungai yang melebar di antara sawah dan jalanan beraspal. Namun, objek Hita kebanyakan merupakan tempat-tempat yang tidak terduga, seperti kebun bunga matahari, pemandangan langit dari atap rumah, bumi perkemahan yang lengkap dengan tenda dan api unggun, pasar malam dan bianglala, lalu ....

Senja tidak sengaja membuka lembaran paling awal dan menemukan gambar satu ini, yang kelihatan berbeda karena latarnya bukan di luar ruangan. Melainkan di teras rumah.

"Ta, ini siapa?"

Senja menunjuk gambar seorang pria yang tubuhnya sedikit lebih pendek dari Daru. Pria itu memiliki badan kurus dan pipi kempot, hampir mirip seperti orang sakit. Dia digambarkan sedang berdiri bersama Daru di depan pintu rumah. Hita ada di tengah-tengah mereka, tetapi wajahnya tidak dilukis ceria seperti biasa.

"Oh, itu Pak Rusidi," kata Hita, lalu kembali memakan kue kering dan mengajari Ganesh menggambar pohon.

"Siapa Pak Rusidi?"

"Bapaknya Mas Daru."

Senja membuka mulut dan menggumamkan "Ooh" tanpa suara. Benaknya jadi bertanya-tanya sesuatu yang aneh. Kenapa Hita membalas dengan jawaban seperti itu?

"O, bapaknya kalian berdua," kata Senja ragu-ragu. Dia sedang memperhatikan ekspresi wajah Pak Rusidi ketika Hita tahu-tahu membalas;

"Pak Rusidi bukan bapakku. Dia bapaknya Mas Daru."

Mendadak saja, ada kesunyian di ruangan itu. Senja agak sungkan bertanya lebih lanjut karena barusan mendengar nada suara Hita berubah lirih, seolah-olah anak itu menyimpan perasaan emosional lain. Senja berpaling pada Ganesh, yang tampaknya tidak bereaksi apa-apa selain mencoret-coret kertas. Kemudian, gadis itu melihat ke arah lorong, tempat kamar Daru berada.

Senja berpikir-pikir sebentar, lalu akhirnya memutuskan bertanya, "Kok bapaknya Mas Daru aja? Memang bapaknya Hita ke mana?"

Ada jeda sebentar dari kalimatnya yang lirih, "Sudah pergi."

"Pergi ... ke mana?"

Tapi Hita tampaknya tidak berminat untuk menjawab pertanyaan itu.

Senja menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan dramatis. Pak Rusidi bukan bapaknya Hita? Jadi, apakah mereka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri? Alasan ini sepertinya masuk akal, sebab sejak pertama kali bertemu, Senja pernah menyinggung soal wajah kedua abang-adik ini yang tidak mirip.

Oh, sekarang Senja mulai bisa menyusun teka-tekinya.

Sesungguhnya dia merasa tidak enak karena tampaknya Hita tidak berselera untuk diajak mengobrol lebih banyak soal keluarga, tetapi sejak dulu Senja sudah kepalang penasaran, terutama setelah dia mendengar celetukan Daru mengenai neneknya. Setiap kali bertanya pada Ganesh, anak itu sibuk dengan dunianya sendiri dan bersumpah bahwa dia tidak tahu apa-apa, sementara tante dan omnya tampaknya juga enggan menyinggung apa pun yang berkaitan dengan keluarga Daru-Hita. Kesempatan Senja satu-satunya adalah sekarang.

"Mm," Senja membuka-buka lembaran buku gambar itu dan mencari-cari sesuatu. Kemudian, dia bertanya ragu, "Mbak Senja kok enggak lihat gambar ibunya Hita di sini?"

Hita yang sejak tadi membantu mewarnai gambaran Ganesh, mendadak berhenti. Anak itu mendongak dan menatap Senja lurus-lurus, dengan sorot tanpa ekspresi.

"Aku pernah gambar Ibu, kok. Aku tiru wajahnya dari foto album di kamarnya Mas Daru."

Tiru? Apa Hita enggak pernah lihat wajah ibunya?

"Oh," Senja merasakan jantungnya mulai berdebar, entah mengapa. "Terus mana gambar ibu kamu?"

"Udah enggak ada," kata Hita. "Soalnya waktu ketahuan sama Mas Daru, gambarku langsung dirobek."[]

-oOo-


.


.



.



Nah, loh. Siapa ibunya Daru, ya? Dan apakah ibunya Daru juga ibunya Hita? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top