15. Cinta Orang Tua Tidak Masuk Akal
-oOo-
SETELAH menangkap basah seorang ibu-ibu yang berdiri membeku di teras, hari selanjutnya tidak berjalan baik di rumah Daru.
Tampaknya kecemasan telah menggerogoti benak Daru sampai-sampai dia tidak sadar sudah mencemari pikiran Hita untuk bersikap kelewat waspada kepada siapa pun yang datang ke rumah; "Siapa pun yang ngetuk pintu rumah, pokoknya kalau enggak ada Mas, jangan dibuka!" kata Daru sambil menudingkan jari telunjuk ke wajah Hita, diiringi dengan peringatan lain yang bernada tuntutan, "Kalau ada yang naruh makanan di luar, jangan diambil. Tunggu sampai Mas pulang," beserta serentetan komando lain yang membuat Hita kepalang pusing juga jengkel. Habisnya, sejak kemarin, sang abang menjadi tidak asyik dan kelewat serius untuk urusan-urusan sepele. Hita tidak tahu apa yang terjadi pada Daru. Masa karena didatangi tante-tante saja langsung semarah itu? Bisa jadi tante itu cuma salah alamat saja, kan?
"Ta, kamu dengar kata Mas, enggak?"
Tuh, kan.
"Iya, Maass~" Hita membalas dengan nada menggerutu. "Aku itu bosen karena Mas Daru selalu nasihatin soal itu-ituuuu aja. Kan Aku bisa denger. Kupingku ada dua ini, loh ...." Anak itu menarik-narik kedua telinganya dengan gaya marah dibuat-buat.
Daru, yang sedang menata poni Hita dengan sepasang jepit stroberi, membalas, "Ya supaya kamu inget. Kamu itu susah dibilangin soalnya."
"Enggak, ih. Mas Daru aja yang lebay."
"Mas cuma lindungin kamu dari orang-orang mencurigakan."
"Kayak tante kemarin?"
"Mm-hm."
"Emangnya dia siapa, sih, Mas? Hita lihat dari jendela, tante itu ngetuk-ngetuk pintu terus."
"Enggak tahu, Ta. Makanya kita anggap aja dia orang aneh."
Setelah selesai dengan hasil pekerjaan mendandani Hita, pemuda itu memutar badan si adik dan memperhatikan parasnya dari dekat. Hita kelihatan berkali-lipat lebih menggemaskan dengan jepitan ringkas di batas kening. "Manis banget kamu kayak gula," kata Daru sambil mencubit-cubit pipi Hita dengan lembut.
Hita mematut dirinya di hadapan cermin kamar. "Mas, ini kok jepitnya kanan kiri kok enggak lurus, sih?"
"Lurus, ah. Itu mah perasaan kamu aja."
"Tapi kan―"
"Udah, Ta, kamu tetap cantik mau digimanain kayak apa juga. Sini cium dulu," Lalu Daru menarik Hita ke dekatnya dan mencium keningnya sampai menimbulkan suara kecup basah. Hita, seperti biasa, meringis geli. Anak itu pasrah-pasrah saja didandani dengan sembrono oleh abangnya.
Setelah kejadian kecil di pagi hari ini, Daru akhirnya bisa berangkat ke Wiramart dengan tenang. Dia bertemu Senja yang langsung menyambutnya di meja kasir. Wajah gadis itu tampak sumringah seperti biasa―mengingatkan Daru dengan bunga kecil yang mekar di tengah-tengah padang rumput yang serba hijau. Tampaknya, kehadiran Senja juga berarti sama. Dia selalu muncul menyambut Daru dengan ekspresi ceria, padahal Daru nyaris jarang tersenyum lebar setiap kali ketemu orang.
"Tumben hari ini agak asem, Mas." Senja berkomentar selagi Daru sudah siap menjaga toko dengan seragam beige-nya.
"Eh, aku bau kecut, ya?" Daru buru-buru mencium ketiaknya sendiri. Wajahnya merona merah dengan cepat karena tiba-tiba disinggung soal bau badan. Senja yang melihat tingkah paniknya langsung tertawa.
"Aduh, bukan bau keringat, Mas. Maksudku ... pagi ini Mas kelihatan enggak mood gitu. Biasanya kan langsung nyahut atau senyum waktu kusapa." Senja menggaruk lehernya sambil tertawa malu. Menurutnya, kepanikan yang dialami Daru barusan malah terlihat lucu dan sedikit mengherankan. Pasalnya, tidak seperti sikap Daru yang biasanya terlalu serius dan pendiam, kali ini Daru menjadi lebih mirip anak muda normal yang mudah panik di hal-hal sepele, seperti persoalan bau badan. Senja sampai lupa kalau aslinya usia Daru bisa dibilang sebaya dengannya.
"Enggak papa, Mbak. Tadi saya buru-buru aja," Daru beralasan seadanya. Sebetulnya sampai hari ini Daru memang tidak mood karena sejak kemarin pikirannya disibukkan dengan alasan di balik kehadiran ibu-ibu misterius itu. Daru tidak mau memberitahukan apa pun kepada Senja, sebab ujung-ujungnya gadis ini pasti akan bertanya lebih banyak dan membuat Daru takut bila kelepasan berbicara. Semua ini bukan kebetulan. Ibu-ibu itu bukan orang yang salah alamat, dan Daru menyimpan sesuatu yang tidak diketahui semua orang. Perihal masa lalunya dan masa lalu Hita.
"Mas?"
Daru mengerjap. "Ya?"
"Ngelamun aja." Senja berkomentar kecil ketika mereka sedang menjaga toko di tengah siang bolong yang panas. Setelah hari-hari di pedesaan diguyur dengan hujan dan separuh badai, awan mendung mulai mengambil istirahat panjang dengan bersembunyi entah ke mana. Senja berkali-kali mengusap lehernya yang berkeringat karena Wiramartya tak menyediakan pendingin ruangan. Dia merasa aneh karena sejak tadi Daru sama sekali tak merasa gerah.
"Emang enggak panas, ya, Mas?"
"Panas kayak gini sih biasa, Mbak. Kalau Mbak tidur di rumah saya, setiap malam lebih gerah dari ini."
"Oh, jadi maksudnya ngajakin aku nginep, nih?" Senja bertanya dengan nada jail. Daru kembali salah tingkah―sekonyong-konyong sadar bahwa kalimatnya barusan berbahaya sekali. Kepanikan atas sikapnya itu terbayang di kupingnya yang langsung semerah kepiting.
"Bu-bukan gitu, Mbak."
Selagi Senja tertawa karena melihat betapa lucunya reaksi Daru, gadis itu langsung meminta maaf dan memastikan bahwa dia hanya bercanda. Daru tampaknya tidak mau meninggalkan kesan yang aneh-aneh, jadi dia buru-buru membalas, "Di rumah saya kipasnya lagi rusak. Saya belum sempat mau beli lagi, makanya gerah banget. Lebih gerah dari ini."
"Enggak bisa dibenerin emang, Mas?" Senja berusaha melonggarkan suasana dengan melupakan percakapan yang tadi.
"Enggak bisa, Mbak. soalnya itu kipas sudah ada sejak saya umur sebelas tahun. Bisa bertahan sampai saya segede ini aja udah hebat."
"Awet banget, loh!" Senja membelalak heran, kemudian dia menunjuk sepatunya sendiri. "Kalau aku malah kebalikannya. Enggak pernah awet sama barang. Sepatu ini baru kubeli sebulan lalu, tapi bagian tumitnya belum-belum udah robek gara-gara kena paku."
"Sama kayak Hita, dong. Anak itu juga enggak pernah awet kalau punya barang."
"Oh, ya? Terus kalau rusak, sama Mas dibeliin lagi enggak?"
"Kalau ada uang biasanya langsung saya belikan."
"Widih, abang yang baik," Senja memuji sambil bertepuk tangan, kemudian pikirannya mendarat pada gagasan yang selama ini disimpannya. "Omong-omong aku tuh aslinya kagum, loh, sama Mas Daru. Di usia segini udah bisa ngurus Hita sendirian, bahkan sampai mengorbankan waktu dan tenaga yang enggak dikit. Waktu aku masih kuliah di kota, cowo-cowok yang kukenal kalau enggak anak mami ya badboy. Kerjaannya bikin onar―balapan, ngabisin duit, mabuk-mabukan, main cewek, sampai pakai obat-obatan. Mas jangan kaget gitu, dong." Senja mengernyit melihat ekspresi Daru yang sedikit melongo. Pemuda itu buru-buru mengatupkan rahang.
"Saya enggak kaget, Mbak. Cuma heran aja membayangkan kehidupan di sana," kata Daru.
"Penasaran sama kehidupan orang-orang di sana, ya? Mas mau coba tinggal di kota, enggak?"
Lalu Daru menggeleng. "Terus terang aja, dulu saya penasaran gimana rasanya menetap di kota, tapi kemudian saya mulai tahu kalau orang-orang di kota punya cara sendiri untuk menikmati hidup―ya seperti kata Mbak tadi. Jadi saya berpikir, saya enggak akan cocok untuk tinggal di sana, berbaur bersama orang-orang yang tuntutan hidupnya tinggi dan segalanya bergerak cepat. Saya lebih nyaman ada di sini."
"Mas takut hidup di kota gara-gara hal itu?"
"Bukan takut, tapi enggak mau kerepotan adaptasi. Lagi pula, tetangga saya di desa ini baik-baik semua, apalagi Bu Garwita dan Pak Wira. Belum lagi, hampir semua kebutuhan hidup terpenuhi dari alam. Gangguan terbesarnya paling-paling harus ngusir ular yang gelantungan di katrol sumur," lalu Daru terkekeh.
Senja diam saja sambil memperhatikan Daru yang berbicara. Karena merasa malu ditatap terus, Daru menyahut, "Kok diam aja, Mbak?"
"Oh, enggak," Senja tertawa kikuk, lalu berpikir-pikir sebentar, "Baru kali ini aku ketemu anak muda yang pikirannya sederhana banget kayak Mas. Biasanya, anak muda sekarang kan ambisinya tinggi-tinggi. Maunya pindah ke kota untuk memperbaiki taraf hidup, demi kesejahteraan keluarga yang lebih baik."
"Saya kelihatan kayak orang pasrah sama keadaan ya Mbak?"
"Enggak sama sekali. Mas Daru lebih pantas disebut bersyukur."
Daru merasa sedikit malu karena kata-kata itu. Dia melengos dari tatapan Senja dan berusaha menyembunyikan senyumnya. Sementara sang gadis yang menangkap gelagat tersipu itu berkata lagi, "Enggak banyak loh yang bisa seperti Mas Daru. Di zaman yang serba cepat ini, banyak manusia yang sering merasa kekurangan, padahal keadaan yang mereka alami sebenarnya baik-baik aja. Jangankan nyari contoh orang di luar sana, tempo kemarin kan aku sempat cerita ke Mas Daru kalau mamaku aja bilang aku kurang bersyukur."
"Beda, Mbak, kasusnya."
"Iya, konteksnya memang beda, tapi pada intinya kita sama-sama bicara tentang bagaimana kita merespons keadaan, kan? Mas Daru selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, sementara aku selalu memandang apa yang kualami sebagai cobaan."
"Saya merasa cukup karena saya bahagia dengan keadaan sekarang. Dan kebahagiaan itu datangnya dari sini." Daru menekan dadanya sendiri seraya menatap Senja dengan lembut. "Dari hati, Mbak. Jadi, sebelum kita bicara rasa syukur, kita juga harus dengar kata hati dahulu. Kalau Mbak enggak bahagia masuk fakultas kedokteran, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri lantaran merasa enggak bersyukur atau apa. Justru hati Mbak Senja tahu apa yang membuat Mbak bahagia."
Senja diam saja, tapi sebenarnya dia merasa terharu dengan ucapan Daru.
"Mas Daru tuh, ya," kata Senja lirih, "selalu punya cara manis untuk menghibur hati orang."
"Saya enggak lagi menghibur. Saya bicara sungguh-sungguh." Daru tersenyum. "Kadang kala, bahagia itu enggak harus melulu tentang kemewahan, kehormatan, gelar sarjana, dan sebagainya. Kadang kala kebahagiaan itu bersangkutan sama kehadiran orang lain."
"Mas Daru bahagia karena ada Hita?"
"Dia sumber kebahagiaan saya, Mbak."
Senja tersenyum lebar, lalu menepuk-nepuk pundak Daru seperti seorang sahabat. "Hita pasti seneng banget punya abang yang rasa cintanya kebangetan begini. Tapi jangan jadi bucin, ya, Mas. Kasihan Hita. Nanti yang jadi pacarnya Hita minder kalau ketemu Mas, takut rasa cintanya tersaingi."
Daru tertawa mendengar itu, dan Senja diam-diam merasa senang melihat ekspresi Daru yang lepas. Jarang, atau bisa dibilang, ini pertama kalinya dia melihat Daru sumringah. Cowok yang sering cemberut, sekalinya tertawa bukan main cakepnya.
Senja buru-buru mengusir pikiran liar itu dari benaknya.
"Tapi serius, deh. Mas Daru beneran enggak ada niatan mau pergi ke kota? Sekali aja?"
Daru menggosok leher sambil berpikir-pikir. "Hmm ... pernah, dulu, waktu Bapak saya masih ada. Saya bahkan sempat mencari-cari info untuk nyewa kosan karena berniat melanjutkan SMA di kota, tapi enggak jadi karena saya masih diserang ragu. Setelah dipikir-pikir, saya lebih kasihan kalau ninggalin Hita di desa dan hidup sama Bapak."
Senja lanjut bertanya karena Daru malah terdiam lama, "Kenapa kasihan, Mas? Kan justru bagus kalau Hita hidup sama bapaknya."
"Sebenarnya, saya aja sih yang enggak bisa hidup tanpa Hita."
Jawaban itu membuat Senja mengernyit. Ekspresi tidak habis pikir.
"Mas ... serius?"
Daru menatap mata Senja lurus-lurus dan hampir bisa membaca apa yang dipikirkan gadis itu. Pasti dirinya disangka berlebihan karena terlalu protektif kepada anak kecil.
"Ya intinya saya enggak rela pisah sama adik," Daru membalas asal, kentara tak ingin membahas hal ini lagi.
Senja sepertinya mulai menangkap tanda-tanda Daru yang merasa tidak nyaman, jadi dia menyudahi jawaban itu dan beralih ke pembicaraan awal, "Kalau suatu saat Hita minta pindah ke kota, gimana? Misalnya buat ngelanjutin sekolah atau kuliah? Mas mau ikut dia?"
"Demi Hita, saya bakal pergi."
Senja menggeleng keheranan. "Mas ini aneh, deh. Kalau buat diri sendiri, rasanya susah buat keluar dari zona nyaman. Tapi kalau demi Hita, kok mau-mau aja meninggalkan kenyamanan? Jadi Mas Daru lebih cinta Hita atau diri sendiri?"
Pertanyaan Senja tiba-tiba berakhir dengan keheningan yang canggung. Daru melirik keadaan langit di luar dan sepertinya tidak berminat untuk menjawab.
Senja, sementara si gadis rasanya ingin menampar mulutnya sendiri karena lagi-lagi bertanya hal yang sembrono. "Maaf, Mas," kata Senja hati-hati. "Pertanyaanku salah, ya?"
Daru mendadak berpaling menatap Senja. "Kan saya udah bilang kalau sumber kebahagiaan saya itu adalah Hita. Jadi bagi saya, masa depan Hita lebih penting untuk dicapai."
Sebelum Senja membalasnya, Daru melanjutkan dengan lirih, "Enggak seperti saya, Hita punya tujuan yang jelas dan keinginan yang kuat. Saya bahagia bila bisa memberikan banyak hal untuk Hita―apa pun yang dia butuhkan, asalkan dia bisa melakukan apa yang membuatnya senang. Saya enggak akan rugi apa-apa, karena keadaan seperti saat ini saja sudah cukup buat saya."
Sepoi angin menyapu dedaunan kering di halaman depan toko, menenggelamkan mereka dalam keheningan hikmat yang panjang. Senja melihat ada cahaya yang bersemayam di mata Daru dan menegaskan janji terhadap adiknya. Setelah merasakan ketulusan itu, Senja menjadi sedikit malu. Selama ini dia terlalu sembrono dan memberontak, memimpikan kebebasan tetapi tidak tahu kebebasan apa yang cocok untuknya. Pada suatu titik, Senja merasa tidak tahu diri karena berharap ada orang lain di luar sana yang bisa berbuat hal sama kepadanya seperti Daru yang memberikan segalanya kepada Hita.
"Kok bisa sih ada orang kayak Mas?" Senja berkata sambil menahan sesuatu di tenggorokannya. Dia merasa sentimentil sekali sampai ingin menangis dan mengubur diri dalam-dalam. "Selalu mementingkan kebahagiaan orang lain di atas dirinya sendiri. Gimana bisa ada orang yang rela sampai segitunya?"
"Mungkin Mbak belum pernah merasakan jadi orangtua."
"Apa?" Senja mengernyit. "Maksudnya, Mas itu bapaknya Hita?"
Daru menggeleng sambil tersenyum, "Bukan, Mbak. Maksud saya ... pasti ada banyak orangtua di dunia ini yang rela memberikan nyawa untuk anaknya sendiri. Ini bukan soal mementingkan kebahagiaan orang lain, tapi tentang rasa sayang kita pada orang itu."
Mendengar jawabannya, Senja menggeleng tidak habis pikir sambil berdecak kagum, "Mas ini beneran spek bapak-bapak yang khawatir sama anaknya, ya. Bukan spek abang-abang lagi!"
Saat Senja masih menikmati efek kalimatnya, Daru hanya mampu melihat Senja dan mengulas senyum tipis. Sedikit yang Senja tahu, bahwa Daru menyimpan satu alasan yang jauh lebih dalam daripada sekadar bersikap seperti seorang bapak yang protektif kepada putrinya. Daru tak berani mengatakannya. Belum, atau mungkin tidak akan pernah.
Dia tidak mengatakan pada Senja bahwa satu-satunya alasan dirinya merasa terlalu sayang pada Hita adalah karena Daru tak ingin Hita merasakan masa lalu yang sama dengannya, yang penuh penderitaan dan rasa sakit.[]
-oOo-
.
.
.
.
Orang kayak Daru pasti enggak ada di dunia nyata! Yang beginian cuma ada di cerita fiksi!
Eittss... kalau kalian cari sosok yang kayak Daru, lihatlah ke orang tua kalian sendiri 🥸👍🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top