14. Wanita yang Mematung di Depan Pintu

-oOo-

SIANG di Wiramart cukup lembab dan suram, lantaran awan mendung menggelayut di langit sejak pagi. Setelah berhari-hari diguyur gerimis sampai badai, kemalasan di antara para pegawai toko dan masyarakat desa mulai nyata terasa, menyerang serupa kantuk dan lamunan-lamunan yang panjang dan menjemukan.

Senja sedang menatap kosong pemandangan di luar saat Bu Garwita menangkap basah dirinya.

"Jangan ngelamun terus, nanti kesurupan."

Kalimat itu membangunkan Senja seperti pecutan cambuk. Dia buru-buru menegapkan punggung dan menatap Bu Garwita sambil cengar-cengir.

"Lagi mikirin apa, sih?"

"Enggak ada, tuh."

Bohong.

Selepas kunjungan terakhirnya di rumah Daru beberapa hari lalu, Senja tidak bisa menampik fakta bahwa dia ikutan uring-uringan dengan masalah Daru. Ingatan menyedihkan yang pemuda itu lontarkan terasa bertolak belakang dengan ekspresi enteng ketika mengatakannya; "Nenek memasukkan induk dan anak kucing itu ke dalam karung, lalu memukuli mereka sampai mati."

"Apa itu yang bikin Mas jadi benci binatang?" Senja teringat pertanyaannya kala itu.

"Bukan benci, tapi enggak mau terlalu berurusan. Setiap melihat kucing saya jadi merasa bersalah dan kadang-kadang takut."

Astaga. Gelar orang jahat yang Senja sematkan pada Daru tampaknya harus bergeser untuk nenek-nenek satu itu. Sejak kemarin Senja berusaha untuk tidak menghakimi apa pun sebelum dia tahu cerita yang asli, tetapi dia tak bisa benar-benar mengabaikan welas asihnya untuk urusan binatang.

"Tante," Senja tahu-tahu berceletuk. "Mas Daru ke mana? Dari tadi enggak kelihatan."

Bu Garwita, yang sedang menata cokelat batangan di etalase bawah, menjawab tanpa repot-repot menoleh ke Senja, "Lagi ambil galon di rumah Pak Mudir."

"Oh," Senja bereaksi cepat. Lalu tanpa berpikir lagi, bertanya, "Omong-omong  Tante Wita udah kenal Mas Daru lama, ya?"

"Dulu yang sering ngurus kecilnya Daru ya Tante," Bu Garwita berdiri, lalu duduk di samping Senja. Wanita itu menggulung lengannya lalu membetulkan ikatan rambut cepolnya.

"Loh, masa, sih?" Senja membelalak tak percaya. "Makanya kalian akrab banget, kayak ibu dan anak."

"Ya ... namanya sudah kenal lama, pasti sudah dianggap keluarga sendiri. Tante juga anggap Daru sebagai anak. Kalau ada apa-apa, biasanya dia bilang ke Tante dulu."

"Kalau gitu, Tante nganggap Hita anaknya juga?"

"Iya, dong. Udah Tante anggap kayak saudara perempuannya Ganesh. Mereka itu dari TK sama-sama terus, kayak sandal jepit." Bu Garwita tertawa kecil, lalu menoleh pada Senja sambil mengerutkan kening, "Kamu kenapa, toh? Kok tanya-tanya kayak gini?"

"Cuma mau tahu aja. Aku penasaran kenapa Mas Daru tinggal berdua doang sama Hita. Padahal kemarin Mas sempat cerita ke aku soal neneknya."

"Oh, iya, itu dulu." Bu Garwita mendongak sambil mengingat-ingat, "Nama neneknya, Mbah Erwa. Kalau enggak salah ... meninggal waktu umurnya Daru tiga belas. Terus setelah itu mereka tinggal sama bapaknya, tapi cuma sampai tiga tahun, soalnya bapaknya meninggal setelah itu."

"Oh, ya ampun," Senja mengangguk prihatin mendengarnya. Dia sedikit membayangkan bagaimana rasanya ditinggal orangtua di usia yang belum cukup dewasa. Daru pasti merasa memikul tanggung jawab lebih besar di saat yang tidak semestinya. Pantas saja ikatan dua orang itu kuat sekali. Alih-alih seperti abang dan adik, mereka lebih terlihat seperti papa dan anak perempuannya. "Bapaknya meninggal kenapa, Te?"

"Sakit."

"Neneknya juga?"

"Iya."

"Neneknya ada kelainan nggak, Te?"

"Hush! Kamu ngomong apa, sih?" Senja langsung mengatupkan mulut karena baru sadar dia telah salah bicara. Akibat kata-kata Daru waktu itu, dia jadi berpikir ada yang salah dengan neneknya.

"Kalau ibunya Daru gimana, Te? Meninggal juga?"

Bu Garwita langsung menatap Senja dengan cipratan jengkel. "Kamu ini kok nanya terus, sih? Penasaran banget, ya, sama hidupnya Daru?"

"Ih, bukan gitu ...."

Senja merasa sedikit sebal karena si tante menuduhnya yang tidak-tidak. Dia kira semua masyarakat desa suka bergosip dan lebih mudah dalam menceritakan sesuatu, tetapi Bu Garwita tampaknya adalah pengecualian. Atau jangan-jangan ... tantenya malah menyembunyikan sesuatu? Senja tak mau berpikiran aneh-aneh, hanya saja dia merasa keketusan yang dilontarkan Bu Garwita terdengar agak panik.

Ah, barangkali itu cuma perasaannya.

Obrolan mereka tiba-tiba berhenti begitu saja karena seorang wanita memasuki toko. Bu Garwita pamit sebentar ke ruang istirahat, sementara Senja menunggu di meja kasir dengan tenang. Beberapa saat kemudian, pembeli itu menuangkan banyak sekali jajanan anak-anak di meja kasir. Senja sedang menghitung belanjaan dengan hikmat ketika mendadak pintu toko terbuka lagi. Rupanya Daru datang sambil membawa dua galon kosong.

"Terima kasih," Senja berkata sembari memberikan beberapa lembar uang kembalian. Gadis itu langsung menyapa Daru selepas pembeli itu keluar toko. "Udah makan siang, Mas?"

"Sudah, Mbak," kata Daru, yang mendudukkan dirinya di samping Senja. Dia menyugar poninya yang jatuh ke dahi sambil bergumam lirih, "Tadi agak lama, soalnya Pak Mudir minta saya benerin lampu kamar mandi. Mbak dari tadi kerja sendiri, ya? Nggak capek, kan?"

Senja, yang membeku sepersekian detik saat melihat cara Daru menyugar rambut, tiba-tiba langsung gagu, "O-oh, enggak. Tadi aku ditemenin Bu Garwita."

Tepat setelah Senja mengatakannya, guntur tiba-tiba menggelegar. Gadis itu langsung memekik sambil menutup kupingnya sendiri. Daru mendongak menatap keadaan langit yang gelap, lalu menggumam, "Wah, semoga hujannya turun setelah kita semua balik pulang. Nanggung soalnya, bentar lagi shift kita habis."

"Iya. Mas."

"Eh, iya, Mbak." Daru menatap Senja dengan raut terkejut. "Mantel Mbak Senja masih ada di saya."

"Oh, iyaa. Enggak papa, Mas."

"Terus nanti kalau hujan, Mbak pulangnya gimana?"

Senja terdiam sejenak. "Bareng mobilnya Bu Garwita mungkin? Tapi itu artinya aku bakal nungguin sampai tokonya tutup."

"Saya bonceng sepeda aja, Mbak. Saya bawa mantel yang bisa dipakai dua orang, kok."

-oOo-

Tiga puluh menit kemudian, Senja sudah dibonceng di sadel belakang sepeda Daru sambil mengoceh ini-itu. Sedikit yang Daru ingat, dari caranya bercerita yang heboh, gadis itu berkomentar tentang jalanan di desa yang bolong dan berkerikil tajam ("Kalau ada kendaraan yang lewat, kan, bahaya! Bannya bisa rusak. Masak harus nunggu insiden ban kempes dulu baru ditangani?"), atau tentang pelanggan minimarket yang mengusik perhatiannya, ("Tadi sebelum Mas Daru datang ke toko, ada pelanggan wanita yang kelihatannya habis nangis. Dia beli cokelat sama permen banyak banget, sampai habis dua ratus ribu. Kayaknya bener, deh. Cewek itu sedihnya bisa hilang kalau digelontor jajan.") dan sekelumit keluhan tentang Ganesh—satu-satunya bahan obrolan yang membuat Daru tertawa geli, ("Kok ada sih anak setengil itu. Kerjaannya bikin repot orang lain! Tiap mau ngerjakan PR, selalu ngerusuhin aku.")

Daru memutar sepedanya ke sebuah belokan sempit yang diapit parit dan pohon-pohon. Sambil terkekeh, dia membalas keluhan Senja, "Mungkin Ganesh aslinya kesepian dan pengin main sama Mbak."

"Ya kan sudah puas main di sekolah."

"Biasanya di rumah juga butuh teman, Mbak. Cuma Ganesh aja yang enggak pernah bilang."

"Gitu, ya? Kalau Hita gimana? Di rumah juga sering ngerusuhin Mas?"

"Kadang-kadang, sih." Daru terkekeh. "Anak itu masih suka rewel, tapi untungnya bisa dinasihatin baik-baik. Kuncinya ya harus pintar milih kata-kata supaya dia enggak merasa disudutkan, dan sedikit diakalin supaya dia mau disiplin."

"Gimana caranya, Mas?"

Lalu Daru menceritakan tentang pengalamannya selama membesarkan Hita, termasuk yang baru-baru ini; mengajak Hita untuk menentukan sendiri model hukumannya agar dia bisa lebih bertanggung jawab. Senja tidak henti nyengir kagum lewat cara Daru bercerita―pemuda itu tidak pernah meledak murka pada adiknya, sangat berbeda dibandingkan hubungan Senja dan Ganesh yang selalu diiringi tanda-tanda senioritas mirip seorang kacung dan babunya.

Lalu saat mereka masih asyik mengobrol, tetes pertama dari langit turun menghunjam pegangan kemudi sepeda Daru.

"Yah, hujan, Mbak!" Daru memekik kecil, sementara hujan semakin deras. Senja mendongak pada langit yang kelabu pekat dan membiarkan tetes kecil air jatuh menimpa wajahnya.

Jalanan di hadapan mereka hanyalah jalan setapak kosong yang kanan-kiri diapit sawah. Karena tidak ada tempat cocok untuk memasang mantel, Daru berseru, "Mbak Senja, pegangan yang erat. Kita ke rumah saya dulu, mumpung sudah dekat!"

Perintah itu dituruti oleh Senja begitu saja. Mulanya dia ragu memeluk Daru dari belakang, tetapi ketika pemuda itu mengayuh sepeda lebih kencang, Senja nyaris saja terjungkal. Refleks, dia cepat-cepat melingkarkan lengannya pada pinggang Daru, meremas pakaian si pemuda dengan genggamannya yang kuat, lalu membiarkan dirinya terseret bersama roda sepeda yang menggelinding cepat.

Sore yang gelap. Angin yang melecut kencang. Percakapan mereka melarut di tengah siraman hujan yang deras.

-oOo-

Hujan mengganas ketika Daru telah sampai di depan pagar rumahnya. Di kejauhan, dia menyadari, dari balik tirai kelabu hujan yang pekat, pagar kayunya yang usang dan gompal sudah terbuka begitu saja seolah ada seseorang yang masuk. Daru tidak akan mengira itu Hita, sebab adiknya selalu patuh untuk menutup pagar. Lantas, siapa yang datang ke rumahnya?

Daru memarkirkan sepeda di dekat teras dan membiarkan Senja turun. Dia menatap punggung seseorang berdiri menatap pintu rumahnya; Wanita. Dilihat dari jenis pakaiannya, barangkali berusia di awal tiga puluh tahun. Sosok itu menaungi dirinya dengan payung merah, membeku tidak bergerak seperti patung.

"Ada yang bisa dibantu, Bu?"

Seruan Daru lebih keras dari suara hujan. Sang wanita menoleh dengan cepat.

Daru berdiri tepat di hadapannya. Dari sini, dia bisa melihat raut wajah si wanita dengan jelas. Dia tidak mengenalnya, tetapi wanita ini jelas memiliki penampilan mirip ibu-ibu muda kaya raya; gerak-geriknya elegan, tatanan rambut ringkas dan mahal, dan riasan lembut di wajahnya yang tidak pernah absen perawatan. Ekspresinya terkejut, seolah tidak menyangka Daru menangkap basah dirinya.

"Ini rumah Reswara Hita?"

Satu pertanyaan itu membuat perut Daru seperti tergelincir ke bawah.

"Ibu siapa?"

Wanita ini tampak teguh. "Apa benar ini rumah Hita?"

"Saya tanya dulu, Ibu siapa?" Daru membalas lebih dingin. Dia merasakan bara api memanas dalam dadanya. Penampilan dan gelagat wanita ini begitu mencurigakan, dan Daru nyaris kehilangan kendali untuk berpikir jernih.

"Kamu ... kalau enggak salah ... Daru, kan? Anaknya Asmina." Si wanita bertanya sambil mengernyit.

Daru diam saja. Dia tidak mau menjawab pertanyaan orang ini.

Wanita itu hendak membuka mulut lagi, tetapi sorotnya pelan-pelan bergeser pada sosok gadis muda di belakang Daru. Keningnya mendadak saja mengernyit.

"Eh," Senja menyipitkan mata, memastikan matanya tak keliru melihat, "Ibu kan ...."

Si wanita, entah berpikir situasinya tidak tepat, atau sudah kehilangan selera menghadapi betapa keras kepalanya Daru, akhirnya memilih menutup mulut. Dia membuang napas, lalu berkata pendek, "Saya akan kembali lagi kapan-kapan."

Kemudian wanita itu pergi menjauh. Sepatu hak tinggi yang dipakainya terbenam di rerumputan basah dengan mantap. Bahkan dari belakang, caranya berjalan menunjukkan kekhasan ningrat yang tidak biasa.

Senja berdiri mematung, tidak jelas dengan perasaannya sendiri. Benaknya bertarung memikirkan hubungan wanita itu dengan orang yang pernah dilihatnya sebelum ini. "Mas Daru kenal sama ibu itu?"

Daru menatap Senja yang memeluk kedua lengannya dengan gemetaran, lalu kejengkelan yang tadi sempat membengkak karena menghadapi wanita itu langsung mengempis. Menyisakan selongsong rasa cemas yang kental.

"Masuk dulu, Mbak. Di sini dingin." Daru menarik lembut tangan Senja agar naik ke teras. Lalu dia memutar kunci rumah dan mendorong pintunya ke dalam. Sontak saja, cahaya lampu dari lorong langsung membanjiri penglihatannya.

Dari ujung lorong, Hita bersama Inaw di sampingnya, berlari menghampiri mereka.

"Mas Daru!"

Daru menangkap tubuh Hita dan setengah memeluknya. Sementara Inaw mengendus-ngendus Daru sambil mengibaskan ekor. Sambil mengobrol, mereka semua pergi ke ruang tengah. "Mas, Mas, tadi ada tante-tante yang datang. Dia ngetuk pintu rumah, tapi aku enggak berani buka," keluh Hita.

"Kamu udah bener. Jangan buka pintu rumah kalau lagi sendirian," kata Daru, entah bagaimana kelewat ketus, seolah masih tidak bisa memaafkan keanehan ibu-ibu tadi.

"Emangnya tadi itu siapa, sih?"

"Yang pasti orang aneh."

"Jangan-jangan orang gila, ya, Mas?"

"Kayaknya gitu."

Ini rumah Reswara Hita?

Daru buru-buru menyingkirkan perasaan cemas dalam benaknya dan langsung pergi ke kamar untuk menyambar pakaian dan handuk yang dilipat di dalam lemari. Dengan langkah lebar, dia kembali ke ruang tengah, menghampiri Senja.

"Mbak Senja, ganti baju dulu pakai ini," kata Daru sambil menyodorkan setelan kaus olahraga berwarna hitam pada Senja, sementara Hita langsung berlari keluar untuk melihat cuaca.

"Eh, enggak usah, Mas. Aku enggak terlalu basah, kok." Senja membalas sungguh-sungguh. Gadis itu bangkit dari karpet dan mematung sejenak, kemudian berujar dengan nada pelan dan ragu. "Oh ya, Mas Daru, tadi itu ...."

"Kenapa, Mbak?"

"Ibu-ibu yang tadi kemari," gadis itu menelan ludah dengan gugup. Tepat ketika dia hendak meneruskan kalimatnya, Hita tergopoh-gopoh berlari dari arah pintu sambil mengayun-ayunkan sebungkus plastik di atas kepalanya.

"Mas Daru! Mas Daru! Lihat, deh! Tante yang tadi ninggalin banyak cokelat dan permen di depan pintu!"

Dan, Senja membiarkan kalimat berikutnya meluncur bersamaan dengan raut wajah Daru yang mengerut terheran-heran.

"Ibu tadi adalah pengunjung toko yang tadi kuceritakan, Mas."[]

-oOo-

.


.


.



Hayooo, siapa yaa ibu-ibu muda tadi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top