13. Anak yang Tidak Tahu Bersyukur
-oOo-
TIGA puluh menit akhirnya habis untuk drama rumah sakit amatiran. Karena Senja tenggelam dalam perannya sebagai dokter (dia bahkan berpura-pura menempelkan stetoskop ke kening Daru sambil mengoceh segala hal tentang penyakit palsu; "Ini sih bahaya, sepertinya otaknya juga terjangkit virus zombie ... harus segera disuntik, kalau enggak, dia bisa memangsa kita semua!") akhirnya Daru membiarkan dirinya pasrah dikata-katai. Pemuda itu hanya berbaring saja sambil menutup matanya, berusaha tenggelam dalam tidur panjang sekalian.
"Mas Daru? Bangun!" Hita mengguncang pundak kakaknya. "Mbak Senja, Mas jadi zombie beneran!"
Mata Daru langsung terbuka. "Apa, sih."
"Mas Daru diam aja. Jangan-jangan lagi berubah jadi zombie!"
Akhirnya, Daru bangun dari kasur dengan ogah-ogahan. Diliputi firasat aneh, dia meraba keningnya sendiri, lalu mengelupas beberapa stiker bentuk binatang yang ditempelkan di sana.
"Hehe, anggap aja itu plester penurun demam," kata Senja sambil nyengir lebar. Hita dan Ganesh yang berkumpul di kasurnya ikutan mengikik geli.
"Kalian tuh ya, orang sakit kok dikerjain."
"Loh, tadi siapa yang katanya sudah sehat?" Senja melempari Daru dengan stiker bekas. Diikuti tawa kedua bocah yang riang, Daru akhirnya senyum-senyum juga. Dia pikir tindakan ini menggelikan sekaligus hangat sekali. Tidak biasanya rumahnya menjadi seramai ini karena kedatangan dua makhluk baru yang super ceria dan kekanakan. Dia menggulung kecil stiker-stiker itu dan menaruhnya di nakas terdekat.
"Mas, aku laper!" Mendadak saja Hita berseru pada Daru.
Senja yang mendengarnya langsung disentil kesadaran. "Oh, iya. Sup tadi pagi kan masih ada. Kalian ambil di meja dapur, ya!"
Hita mengeluarkan ringisan senang, kemudian menarik tangan Ganesh ke dapur. Senja, sementara itu, tertawa kecil saat melihat punggung dua bocah itu meliuk girang melewati ambang lorong.
"Enak, ya, jadi anak kecil. Tiap hari ketawa mulu," komentar Senja sambil geleng-geleng kepala. "Enggak kayak kita yang udah tahu capeknya jadi orang dewasa. Tiap hari isinya ngeluh."
"Mbak mau balik jadi anak kecil?" Daru bertanya dengan nada meledek.
"Iya, pengin. Supaya tiap hari bisa main tanpa perlu khawatir sama beban masa depan."
Saat Daru tak menjawab apa-apa, Senja bertanya lagi, "Mas mau balik jadi kecil lagi, enggak?"
"Enggak, Mbak."
"Kenapa?"
"Masa kecil saya enggak enak."
"Loh, kok bisa?" Senja mengerutkan kening tak percaya, lalu Daru menaikkan bahu tidak peduli. Bibirnya mengerut ke bawah sambil berusaha memasang tampang ya-gitu-deh, tetapi Senja menyahut protes, "Mas jangan-jangan udah kena sindrom gila kerja, ya? Kok bisa sih enggak kangen masa kanak-kanak!"
"Emangnya Mbak enggak suka hidup di masa ini?"
Senja membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Eskpresinya perlahan berubah muram, lalu gadis itu mengembuskan napas berat. "Bukan enggak suka. Tapi lebih ke ... bingung aja."
"Kenapa bingung?"
"Idih, Mas kepo, ya?"
"Enggak. Tapi kalau mau cerita, saya bakal dengerin."
Senja menggigit bibirnya dan terdiam sejenak. Atensinya bergeser pada pemandangan pekarangan yang lembab di luar jendela, lalu benaknya terseret lagi ke luka-luka yang pernah didapatnya di masa lalu. Gadis itu mengingat kemarahan papa-mamanya yang menyinggung betapa tidak bersyukurnya Senja menerima berkah dalam hidup. "Kamu harusnya hidup di desa aja sekalian, biar tahu gimana susahnya cari uang!"
Lalu satu kalimat itu mendorong Senja melepaskan segalanya―kuliahnya, teman-temannya, tempat-tempat favorit untuk dikunjungi dan segala kemewahan yang hanya bisa dia rasakan di kota. Barangkali saat itu Senja terlalu marah hingga dia kehilangan akal untuk berpikir jernih. Barangkali Senja terlalu sembrono dan nekat sehingga dia minggat ke desa ini, bersembunyi di balik punggung Tante Garwita, dan berpura-pura bahwa hidupnya selama ini baik-baik saja.
"Kadang aku mikir ... apa aku memang seburuk itu jadi manusia?" Senja tahu-tahu berceletuk. Daru memperhatikan nada suara Senja menjadi lirih dan tercekat, lalu dia bertanya-tanya apakah gadis itu sedang menahan tangis. "Yang dibilang Ganesh itu benar. Aku memang lagi ada masalah sama orang tuaku."
Daru diam saja karena dia tahu Senja sedang berusaha menguasai emosi.
"Waktu Mas tanya apakah kuliah itu enak, sebenarnya aku mau jawab jujur. Tapi aku takut Mas memandangku seperti orangtuaku."
"Gimana maksudnya, Mbak?"
"Sebenarnya aku benci kuliah," kata Senja, tertawa miris. "Aku enggak minta untuk jadi dokter, tapi papa dan mamaku maksa masukin aku ke fakultas kedokteran. Mereka rela bayar mahal-mahal supaya aku bisa kuliah di tempat itu. Aku sulit beradaptasi, enggak bisa ngikutin materi dan praktik, lalu keteteran. Di titik itu aku memutuskan buat berhenti, tapi Papa dan Mama marah. Mereka bilang, kenapa aku baru bilang sekarang, saat mereka sudah terlanjur menggelontorkan dana besar buat biaya pendidikanku. Aku sudah berusaha meyakinkan orangtuaku sejak dulu, tapi omonganku enggak dianggap. Eh, tahu-tahu aja aku udah lulus SMA, dan mereka mendorong aku ke situasi sulit. Aku enggak bisa apa-apa selain menuruti permintaan mereka."
Senja menatap Daru, lalu cengirannya timbul lagi. Gadis itu menghalau tangannya di udara, "Wah, aku jadi kebablasan cerita, deh. Malu-maluin."
"Enggak papa, Mbak, saya sedikit tahu perasaan Mbak," kata Daru, membesarkan hati.
Setelah diam beberapa saat, Senja meneruskan, "Mama bilang aku kurang bersyukur. Katanya, aku harus ngerasain jadi orang susah dulu baru bisa ngerti gimana rasanya buang-buat duit kuliah. Jadi dalam keadaan marah, aku minggat ke sini dan kerja di tokonya Pak Wira, sekalian belajar untuk lepas dari tanggung jawab orangtua. Aku pengin buktiin kalau apa yang Mama katakan ke aku itu salah. Terakhir kalinya, Mama tahu aku kabur, jadi dia marah-marah di telepon dan ...." Senja menahan napas sejenak. Suaranya terdengar seperti cekikan perih, "dia bilang aku udah gila."
"Apa?" Daru mengernyitkan alis.
"Maksudnya ... aku tahu Mama enggak benar-benar bilang gitu ke aku, tapi kayak... ekspresi orang yang enggak habis pikir, tahu kan? Coba bayangin, di depan meja ada stik sapi, tapi aku malah milih tempe. Kok bisa? Cuma orang gila yang pilih menu tempe, kira-kira itu yang dipikirkan Mama."
Daru tanpa sadar tertawa mendengar perumpamaan Senja. Gadis itu mengerutkan kening dan berkata dengan nada menuduh, "Kok ketawa? Aku serius loh bilang gitu."
Pemuda itu jadi merasa bersalah sendiri dan mencoba menghiburnya dengan cara lain, "Lalu Mbak gimana perasaannya sekarang?"
"Ya sedih, Mas. Aku juga bingung setelah ini mau ngapain. Aku benci ada di situasi dimana kita dipaksa memikirkan masa depan dan menganggap seluruh keistimewaan yang ada itu adalah kesempatan yang harus diambil. Padahal enggak semua kesempatan itu cocok sama kita. Sama kayak aku yang enggak cocok dengan kedokteran."
"Jadi itu yang bikin Mbak kepengin balik ke masa kanak-kanak?"
"Iya. Dulu waktu aku masih SD, Papa sama Mama enggak bawel-bawel amat. Duh, kok ketawa lagi, sih?"
Daru buru-buru mengusap bibirnya agar dia berhenti tertawa. Sebetulnya sejak tadi dia merasa lucu saja melihat raut Senja yang berkerut murung―mengingatkannya pada Hita waktu sedang ngambek. Sadar bahwa tingkahnya tidak sopan, Daru lekas-lekas menegapkan punggung dan berkata serius, "Mbak mau minta saran dari saya? Saya tanya begini karena enggak mau Mbak salah paham dulu. Entar dikiranya saya sok nasihatin orang yang lagi kesusahan."
"Sebetulnya aku cuma ingin Mas dengar sambatanku aja, habisnya selama ini aku pendam sendirian. Aku belum mau cerita ke Tante dan Om karena mereka pasti bakal ceramahin aku habis-habisan."
"Sekarang udah lega, Mbak?"
"Sudah, hehe." Senja nyengir sedikit, dan pipinya memerah.
Daru bertanya-tanya mengapa ekspresi Senja yang malu-malu itu membuatnya terlihat semakin manis, tetapi dia buru-buru menyingkirkan pikiran itu. "Saya percaya kok kalau Mbak bisa membuktikan ke orangtua tentang keinginan Mbak."
"Oh, ya? Kok yakin banget?"
"Saya yakin aja. Emang Mbak sendiri enggak yakin?"
"Aku cuma takut gagal," kata Senja. "Soalnya di atas ambisi pembuktian itu, aku masih enggak tahu mau berjalan ke mana atau jadi apa. Aku sih penginnya lanjut kuliah, tapi bingung mau jurusan apa."
"Ambil aja yang paling menarik hati Mbak."
"Enak ya kalau ngomong." Senja tertawa sambil menggeleng tidak habis pikir.
"Hidup manusia juga sejatinya enggak ada yang tahu ujungnya ke mana, Mbak. Banyak yang kuliahnya di jurusan A, tapi pekerjaannya malah di bidang B. Jadi saya pikir, daripada kebingungan sendiri, lebih baik ikuti kata hati. Karena masa depan kita mau gimana pun ya Tuhan yang menentukan, bukan didasarkan pilihan kita semata."
Senja terdiam, dalam hati berpikir bahwa kata-kata Daru mungkin benar.
"Kadang Mas ada benernya juga, ya. Nyesel aku karena dulu sempat berpikir Mas itu orang jahat yang tahunya cuma nyiksa binatang doang."
Daru terkekeh kecil, merasa kaget sekaligus heran dengan pengakuan Senja. Dia memang sempat menyangka bahwa Senja akan berpikir yang tidak-tidak soal motivasinya membuang Inaw, tapi tidak menyangka bahwa gadis itu akan mengutarakannya terang-terangan begini.
"Saya buang Inaw juga ada alasannya, Mbak. Dan saya enggak nyiksa binatang. Saya cuma pengin menghindar aja."
"Kalau gitu apa alasannya?"
Daru berdengung sebentar untuk memikirkan jawaban, "Dulu mbah saya pernah melakukan sesuatu yang buruk ke kucing liar."
Senja menelengkan kepala dan mengernyit―kentara terdorong untuk mendengar lebih jauh. "Ngelakuin apa, Mas?"
"Ada kucing liar yang melahirkan di dalam lemari kamar saya," kata Daru sambil merenung membayangkan masa lalu. "Karena kesal dengan suaranya yang berisik, Mbah memasukkan anak kucing itu ke dalam karung, lalu memukuli mereka sampai mati."[]
-oOo-
.
.
.
.
Bentar lagi sisi gelap Daru bakalan terungkap. Bersiaplahhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top