12. Nilai 100 untuk Senja
-oOo-
KENANGAN itu muncul dalam benak Daru bagai mimpi buruk yang keruh.
Wajah bayi Hita yang berada dalam jarik gendongannya kelihatan buram dan kabur, menguning seperti tinta yang meleleh oleh waktu. Gambar-gambar berkelebat seperti kilasan film yang diputar―serbuan hujan bagai hunjaman tombak, percikan genangan air yang terinjak, coreng-moreng lumpur di pakaian, tangisan bayi yang mengiris-ngiris.
Lalu, suara Nenek.
"BUANG AJA ANAK SETAN ITU!"
Kelopak mata Daru terbuka lebar.
Pemuda itu bangkit duduk, lalu melepas peci di kepalanya dan mengusap keningnya yang berkeringat. Dia menyapu pandang pada kamar yang temaram oleh lampu neon berdaya rendah, kemudian pada sajadah yang digelar di bawah kaki. Kesadarannya berangsur-angsur kembali.
Cuma mimpi, benaknya yakin. Pasti ketiduran habis zuhuran.
Kenangan itu masih bercokol dalam hati Daru, dan akan terus muncul setiap kali dia menatap wajah Hita yang sedang tertidur atau menangis. Adiknya yang manis dan patuh, adiknya yang tersayang, yang rasa cintanya terhadapnya tak bisa digantikan oleh apa pun di dunia ini ....
Dia tidak bisa meninggalkan Hita. Setidaknya, saat ini dia belum siap.
Diliputi kemuraman, Daru melipat kembali sajadah dan menyampirkan sarung di belakang pintu, mendadak memutuskan untuk melupakan mimpi tadi dengan mandi air dingin. Namun, suara berisik anak-anak yang asalnya dari luar tiba-tiba mengusiknya.
Dengan gontai, pemuda itu keluar dari kamar yang masih berantakan oleh buku album dan pakaian bekas. Daru melongok dari luar pintu dan mendapati Ganesh datang ke rumahnya menaiki sepeda ontel. Hita, sementara itu, berdiri di pedal belakang sambil mengayun-ayunkan pesawat kertas. Suaranya melengking khas bocah ketika dia berteriak;
"Terbang! Terbang tinggi! Pesawatku terbang tinggi!"
"Mas Daru! Mas Daru!" Ganesh berseru-seru riang. Dia memarkirkan sepedanya tepat di muka halaman, kemudian berlari menghampiri Daru. "Mas! Tadi Hita menang lomba gambar di kelas, loh!"
Daru langsung memasang tampang terkejut. "Oh, ya?"
"Iya!" Hita membalas antusias. Anak perempuan itu langsung meletakkan pesawat kertasnya di sadel sepeda dan menjatuhkan tas ranselnya ke permukaan teras, lalu mengobrak-abrik isinya. Dia menyambar segulung kertas gambar yang sedikit penyok lalu membukanya lebar-lebar.
Pipinya gembul memerah karena terbakar semangat. "Ini gambarku!"
Daru memperhatikan gambar sebuah tempat wisata kebun bunga matahari. Tahun lalu, dia pernah menonton sebuah film berlatar bunga matahari bersama Hita, dan adiknya sempat melontarkan keinginan agar suatu saat bisa pergi ke sana. Mata Daru menyipit kala menangkap versi mungil dirinya yang dilukis memakai krayon―sedang berdiri di tengah-tengah kebun bunga matahari yang menjulang, bersama seorang gadis kecil yang tak lain adalah Hita.
"Aku gambar Mas Daru juga," kata Hita sambil menunjuk potret dirinya di tengah-tengah ladang. "Bu Yasmin ngasih aku nilai 98!"
Gambaran Hita memang lebih indah dibandingkan dengan teman-teman seumurannya. Dia lebih senang memakai warna-warna pekat bergradasi untuk memberikan kesan berani dan ekspresif. Pemilihan warna di gambarnya kali ini juga sungguh kontras―biru langit, kuning kunyit untuk mahkota bunga, dan warna cokelat gelap untuk mengisi bagian tengah bunga matahari.
Cita-cita menjadi komikus itu sangat layak untuk didukung.
"Itu nilai tertinggi di kelas!" Ganesh menyahut sambil cengar-cengir senang. "Hita dikasih es krim Magnum sama Bu Yasmin!"
"Woah, enaknya!" Daru membelai puncak kepala Hita dan Ganesh. "Kalau Ganesh sendiri dapat nilai berapa?"
"Dapat 65," jawab Ganesh, lalu bocah laki-laki itu mengeluarkan gambarannya juga dari dalam tas. Tidak seperti Hita yang menggulung kertas gambarnya, Ganesh melipat-lipat gambarnya menjadi bentuk segitiga kecil dan diselipkan di kantong tasnya paling depan. Daru tersenyum melihat kebiasaan unik anak itu.
"Nih, aku gambar Kak Senja waktu makan!"
Daru tergelak ketika melihat sosok perempuan yang agak abstrak sedang duduk dengan satu kaki diangkat di kursi meja makan. Senja digambarkan sedang membuka mulut lebar-lebar untuk melahap bakmie, sementara matanya sibuk menonton layar ponsel di tangan kirinya.
"Bagus, kan?" kata Ganesh dengan dada membusung. Dia menjelaskan gambar perempuan itu memang agak aneh karena tidak bisa menggambar kaki dengan benar.
"Iya, bagus. Kamu pinter nggambar juga, Nesh," Daru memuji.
"Ini mau kukasihkan ke Mbak Senja, supaya Mbak bisa tahu gimana guruku menilai penampilannya."
Mendengar kalimat Ganesh, Daru kembali tergelak. Bagaimana mungkin bocah ini tahu kalimat apa yang sedang dia bicarakan? "Aduh, Ganesh, jangan bilang aneh-aneh ke Mbak Senja," dia memberi saran sambil tak bisa menahan semburan ketawanya.
Ganesh menatap polos dengan dua mata beruangnya yang bulat dan lugu. "Loh, emang kenapa?"
"Yang dinilai gurumu kan gambarmu, bukan Mbak Senja yang asli."
"Kalau gitu, orang lain yang harus menilai Mbak Senja sendiri?"
Daru merapatkan bibirnya. "Mm, gimana, ya ...."
Kemudian, Ganesh menyahut lagi, "Kalau menurut Mas Daru sendiri, Mbak Senja diberi nilai berapa?"
"Eh, apa?"
"Katanya harus menilai orangnya langsung!" kata Ganesh, kemudian berpaling pada Hita di sampingnya. "Ta, Ta, menurutmu berapa nilainya Mbak Senja?"
"Seratus!" Hita memekik riang, tertawa-tawa sambil mengayunkan badannya ke kanan dan kiri. "Mbak Senja cantik dan baik hati! Kalau buatku, nilainya seratus!"
Ganesh mengangguk setuju. "Kalau Mas Daru gimana? Berapa nilai Mbak Senja?"
"Ganesh," kata Daru dengan pelan. Dia mendudukkan diri di undakan teras, kemudian melipat kembali kertas gambar Ganesh. "Menilai manusia berbeda dengan menilai gambar atau lukisan. Enggak bisa dinilai dengan sederhana memakai angka."
"Kalau begitu menilainya pakai apa?"
Untuk pertanyaan satu ini, Daru tak bisa menjawabnya. Dia tak tahu harus menilai dengan cara bagaimana, pun tolak ukur apa yang digunakan untuk menyebut apakah manusia memenuhi standar bagus atau buruk. Dia berdeham kecil sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Daru ingin menjawab bahwa dia tak bisa menilai Senja dengan angka, tetapi karena Ganesh dan Hita belum memiliki kapasitas yang baik untuk menerima penjelasannya, akhirnya dia mengikuti saja keinginan Ganesh. Dengan cengiran lembut, Daru menjawab lirih;
"Mbak Senja nilainya seratus."
Pandangan mata Ganesh berbinar-binar. "Kenapa nilainya seratus?"
"Karena Mbak Senja cantik dan baik hati."
Dan, Ganesh langsung tersenyum lebar. Dia berjoget kecil di hadapan Daru untuk menunjukkan rasa puasnya, mengundang Hita tergelak geli. Bocah perempuan itu juga mengikuti gerakan pinggul Ganesh.
Daru tertawa sambil menggelengkan kepala. Dia hendak masuk ke rumah lagi ketika melihat Senja yang baru pulang dari Wiramart memasuki pekarangan menggunakan sepeda. Gadis itu memarkirkan sepeda di depan gundukan tanah gembur dan semak-semak, dengan raut tanpa petunjuk, memandangi Ganesh dan Hita.
"Wah, kok pada joget-joget?" tanya Senja, lalu atensinya berpindah pada Daru yang berdiri bergeming di atas undakan teras. "Kenapa, Mas?" Senja memperhatikan Daru sambil mengerutkan kening curiga.
Ganesh, yang sudah menghentikan tarian pinggulnya, mendadak berseru keras sekali pada Senja. Membuat gadis itu menunduk melihatnya.
"Mbak, Mbak! Tadi Mas Daru ngasih nilai seratus buat Mbak!"
"Wah! Serius?" lalu Senja berpaling pada Daru. Bola matanya berkilat-kilat seperti permata. "Jangan-jangan aku dapat seratus karena udah jadi pegawai teladan?"
Daru kebingungan untuk menjawabnya, tetapi Hita justru mempermudahnya.
"Bukan," kata adiknya sambil tertawa polos. "Kata Mas Daru, Mbak Senja dapat seratus karena cantik dan baik hati."
Dan, kedua pipi Senja seketika menjadi merah saking malunya.
"A-apa?" Senja meninggalkan geletar terkejut dalam suaranya, lalu merasakan pipinya memanas, seperti terpapar sinar lilin dari dekat. Dia segera menarik napas dan berjuang untuk tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja.
"Haduh, bisa saja!" seru Senja, lalu tawanya berubah canggung. Dengan agak salah tingkah, atensinya terpaku pada Daru yang tak berani menatap matanya. Apa cowok ini serius bilang kayak gitu? Ketenangan dalam sikapnya membuatnya lebih malu lagi.
Kehilangan kata-kata, Senja mengalihkan rasa canggungnya dengan topik lain.
"Oh iya, hari ini gimana?" tanyanya pada Daru. Pemuda itu langsung tersentak seolah seseorang baru saja menamparnya.
"Ya? Eh ...."
"Mas gimana keadaannya? Masih panas badannya?"
"Oh, udah sehat, kok," Daru menggaruk lehernya untuk menyingkirkan dengung aneh dalam perutnya. Setelah mendengar ocehan adiknya yang tidak tepat sasaran, kini dia kesulitan bersikap santai. Benaknya dipenuhi pertanyaan konyol yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan pemulihan diri.
"Mas Daru, kok wajahnya merah gitu?" Hita mendadak berceletuk. "Mas panas lagi, ya?"
Hita yang berdiri di dekat mereka tahu kalau abangnya sedang tidak baik-baik saja. Dia bisa melihat cuping telinga sang abang memerah dan ronanya sudah menjalar sampai ke leher, tetapi anak itu terlalu lugu untuk memahami alasan mengapa Daru bersikap seperti itu.
Dengan gerakan panik ala bocah, Hita langsung naik ke atas undakan teras dan berjinjit untuk memeriksa dahi Daru.
"Astaga! Mas Daru demam lagi! Ini seratus derajat celcius!"
Ganesh yang sejak tadi asyik dengan dunianya langsung berlagak panik dan mendadak saja beralih profesi menjadi dokter. Sambil memasang ekspresi terkejut, dia menarik tangan Daru agar pemuda itu masuk ke dalam. "Darurat 119! Darurat 119! Ayo cepat panggil ambulans! Mas Daru dalam bahayaaa!"
"Mas Daru! Bertahanlah! Hita akan membantu Mas!" lalu Hita menyambar pakaian abangnya dan ikut menarik-nariknya ke dalam rumah, sementara Daru membiarkan tubuhnya pasrah diseret-seret seperti itu.
Senja melihat bagaimana kacaunya panggung drama dadakan yang dikuasai oleh dua bocah SD ini. Lantas, dia tak bisa lagi menahan ketawa. Jantungnya yang sejak tadi jumpalitan karena pujian Daru kini malah melebur menjadi degup kesenangan yang mendorongnya untuk mengikuti aksi drama opera ini.
Tenang semua!" seru Senja sambil melipat kedua lengannya di dada, mendadak saja berakting sebagai tenaga kesehatan profesional. "Aku adalah dokter hebat yang siap menangani pasien! Cepat bawa orang ini kembali ke meja operasi!" Dia memberi perintah sambil mengacungkan jemari.
Hita dan Ganesh langsung terbang ke puncak imajinasinya. Mereka berdua dengan sigap mendorong Daru lebih keras, memaksa pemuda itu masuk ke kamarnya dan memaksanya berbaring.
Inaw, yang sejak tadi bermain bangkai kecoa gepeng di pekarangan, tentu saja tak mau melewatkan momen drama opera yang heboh tersebut. Kucing itu lantas melompati undakan teras dan menguntit di belakang Senja. Ekornya melengkung semangat, sementara langkahnya membal-membal riang.
Dokter! Ada dokter!
Inaw mau ikut![]
-oOo-
.
.
.
Adem banget chapter ini huhu 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top