11. Kunjungan Mendadak
-oOo-
ADA kemurungan yang menyapanya kala Daru terbangun pagi itu. Dia tidak tahu pasti apa sebabnya. Barangkali karena kepalanya masih berat sehabis dilanda demam, barangkali karena hatinya gelisah atas perkataan Senja yang menginginkannya untuk rehat sejenak dari kesibukan.
Ingatan-ingatan itu, semakin dipikirkan semakin menggali lubang di benaknya, mengisinya dengan berbagai pertanyaan tidak terjawab dari masalah hidupnya selama ini.
Selagi Daru masih diam merenung di tempat tidur, Hita masuk ke kamar. Di sampingnya, ada makhluk kecil jelek berwarna cokelat yang mengikuti.
"Mas, udah bangun?" tanya Hita.
"Mm-hm."
"Badannya masih panas, enggak?"
Daru membalas sambil menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Iya, panas banget, Ta. Kayaknya kita harus beli kipas angin baru."
"Ih, Mas, seriuuus!"
Dengan suara plak-plak mungil dari kakinya yang membentur lantai, Hita menghampiri Daru dan langsung menempelkan telapak tangan pada dahi abangnya. Rautnya berkerut-kerut tidak jelas, berpura-pura menjadi dokter.
"Oh, ini sih udah turun. Suhunya delapan puluh derajat celcius!"
Daru tergelak kecil.
"Ta, kalau suhunya sebesar itu, Mas pasti sudah enggak ada di sini."
Hita menelengkan lehernya. "Terus di mana?"
"Udah dikubur di tanah."
"Maaass!" Hita memukul-mukul bahu Daru, mengundang semburan tawa dari si pemuda.
Karena gemas dengan sikap polosnya, Daru langsung setengah bangkit dari tempat tidur dan mengangkat Hita supaya naik ke kasur bersamanya. Dia memeluk Hita seperti memeluk bantal guling, kemudian mengusak pipinya di hidung Hita.
"Gemes, gemes, gemes banget Mas sama kamu!" katanya seraya menghujani wajah Hita dengan ciuman.
"Mas bauuu! Sikat gigi duluuu!"
Namun Daru malah semakin jail. Alih-alih melepas rangkulan, dia malah menggigit pipi Hita sampai adiknya berteriak tidak terima.
"MAS! LEPASIN, AAAAGH!" Anak itu meronta sambil tertawa geli, pasalnya Daru juga menggelitik pinggang Hita.
Inaw yang melihat kehangatan mereka berdua tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi. Kucing itu melompat ke kasur dengan dua kaki belakangnya, menggosokkan bagian samping kepalanya ke pergelangan kaki Daru seperti ingin ikut bermain.
"Meeooong~"
Ikuuutt~
"Hush! Sana pergi, Inaw!"
Daru mendadak geli ketika Inaw melompat naik ke kasur. Pemuda itu langsung melepas si adik dari rengkuhannya, sekonyong-konyong berlari ke kamar mandi. Meninggalkan Hita dan Inaw bermain sendiri di ranjang.
Ketika sang abang sudah masuk ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong, Hita duduk di kasur sambil mengelus punggung Inaw. Dengan pakaian yang kusut dan rambut acak-acakan seperti kain pel, Hita membisikkan kata-kata hangat di telinga kucingnya, "Sabar, ya, Naw. Ada aku yang sayang sama kamu, kok!"
Kucing itu menyandarkan kepalanya di pangkuan Hita, mendengkur di sana. Matanya yang biru jernih memandang anak perempuan itu dengan lembut. "Meoong."
Segala aktivitas pagi itu berhenti kala Inaw naik ke kasur, seolah-olah keberadaannya merusak suasana. Daru, yang diselimuti oleh pemikiran itu, mengusap wajahnya yang sudah dibasuh air dan mematut lewat kaca. Benaknya berusaha menyingkirkan rasa sebalnya pada si kucing peliharaan.
Padahal Daru sudah berjanji untuk tidak jahat dengan Inaw, padahal dia sudah berjanji agar berdamai dengan masa lalunya, tetapi terkadang ingatan peristiwa beberapa tahun silam itu masih mengguncang hatinya.
Daru mengingatnya. Karung yang berlumur darah. Mata keruh Nenek yang memandanginya tanpa iba.
"Kucing yang seenaknya melahirkan di rumah orang itu harus dibunuh."
Dia segera mengusir ingatan itu dari kepalanya.
Diliputi perasaan gelisah karena ulah Inaw dan fakta sedih bahwa hari ini dirinya terpaksa libur dari pekerjaan, Daru masuk ke dapur dan membuka tutup panci di kompor. Dia sudah hampir berpikir hendak membuat apa untuk sarapan pagi ini, tetapi rencananya terhenti saat melihat sup jamur di dalamnya mengepulkan uap hangat.
"Woah ...."
Daru melongo terpana, lalu menunduk dan mencium aromanya, sekonyong-konyong merasa lapar. Kok tiba-tiba ada sup jamur?
"Mas Daru tidur aja. Biar aku siapin sarapannya."
Mendadak saja kalimat itu terlontar dari belakangnya.
Daru langsung berputar ke sumber suara dan melihat Senja yang berdiri di ambang lorong dapur, balas menatapnya. Gadis itu mengenakan kaus biru langit dan training gombrong, kelihatan santai sekali.
"Mbak Senja?"
"Kenapa, Mas?"
"Mbak beneran ada di rumah saya?"
"Emangnya siapa lagi yang Mas lihat? Maskot Mixue?" Senja membalas terheran-heran. Gadis itu menghampiri Daru dan mendorong bahunya supaya menyingkir dari kompor. "Minggir bentar. Aku ambilin sup."
Daru hanya terpekur diam sambil memandangi Senja yang menyendok isi sup ke dalam mangkuk. Setelah beberapa detik, dia baru sadar sesuatu. Pemuda itu menunduk dan melihat dirinya hanya mengenakan kaus kutang longgar dan bokser pendek di atas lutut yang bagian bokongnya berlubang.
Daru langsung menjatuhkan rahang.
Oh, kampret.
Tangannya merambat menutupi bagian depan dan belakang. Lalu, tanpa menarik perhatian, Daru keluar dapur dengan berjalan miring seperti kepiting. Ketika sudah sampai ambang lorong, Senja mendadak menengok padanya.
"Mau ke mana, Mas?"
Daru menelan ludah gugup. Tidak bisa menjawab. Matanya hanya berkedip linglung. Sementara Senja yang mulanya hanya menatap lurus-lurus, kini merasa curiga. Pandangan gadis itu merambat ke bawah dan memperhatikan ke mana tangan Daru mendarat.
Sontak saja, gadis itu menyembur tawa kecil.
"Sa-saya mau ganti baju," Daru mencicit, dan ketika tawa Senja berubah menjadi gelak yang membahana, pemuda itu langsung berlari tunggang-langgang ke kamarnya.
-oOo-
"Kenapa Mbak Senja datang ke sini?
Pertanyaan Daru terlontar begitu saja di tengah suhu lembab yang melingkupi rumahnya.
Senja melihat raut wajah Daru masih berlumur rasa malu. Barangkali karena tadi pagi dia mendapati pemuda ini berlari kabur ke kamar karena pakaiannya kurang sopan. Yah, bukan salah Daru sebetulnya. Siapa suruh Senja datang kemari tanpa bilang-bilang?
"Tante Wita nyuruh aku ngelihat keadaan Mas di sini, sekalian masakin makanan buat sarapan dan makan siang nanti," kata Senja, sementara di hadapannya tersaji semangkuk sup untuk masing-masing kepala; Hita, Daru, Senja, dan juga ... Ganesh.
Astaga, bocah tengil satu ini juga datang.
"Setelah sarapan, aku mau ke toko. Hita juga bakal berangkat sekolah sama Ganesh."
"Hitaaaa, hari ini kita berangkat sekolah bareng! Kamu kugonceng pakai sepedaku, yaa~" Ganesh menyahut dari kursinya, yang dibalas anggukan semangat dari Hita.
"Makasih, Mbak Senja," kata Daru tulus.
"Nanti aku mampir sini lagi sepulang dari Wiramart," timpal Senja.
"Iya, Mbak," kata Daru. "Tapi Hita nanti bisa pulang sendiri, kok. Enggak usah repot-repot dijemput."
"Ya kan aku yang mau ketemu Mas," kata Senja, lalu saat mata mereka bertatapan, gadis itu jadi salah tingkah, "Ma-maksudnya ... Tante Wita nyuruh aku pantau keadaan Mas, bukannya aku kepengin ketemu." Dalam sekejap, pipi Senja bersemu merah, dan gadis itu menjadi jengkel sendiri karena menjelaskannya dengan berbelit. Dia langsung meredakan rasa tidak puasnya dengan menyeruput sup dari sendok.
Sementara Daru terdiam lantaran merasa amat tidak enak dengan semua bantuan itu. Rasanya dirinya telah berubah menjadi beban bagi orang lain.
Setelah beberapa saat terdiam, Senja menyuruh Daru untuk makan sup lebih banyak. Setelah kemarin berjuang bangkit dari kesakitan, kini perut Daru lapar setengah mati. Dia menyendok isi sup dengan lahap, diam-diam mengundang senyum kecil Senja yang menatapnya senang.
Hita yang telah menelan makanannya, tiba-tiba berceletuk, "Mbak Senja, katanya kuliah di Surabaya, ya?"
"Iya~"
"Ke desa Jayastu mau ngapain, Mbak?"
"Mbak ke sini mau liburan," kata Senja, lalu berpikir sebentar, "Dan sekalian nyobain kerja juga. Makanya bantu-bantu di toko."
"Kata Ganesh, Mbak Senja sedih gara-gara dimarahin papa-mamanya, ya?"
Baik Senja dan Daru langsung terdiam. Senja terpaku lama sebelum dia sadar bahwa dirinya sedang ditatap oleh semua orang. Gadis itu mengumpat dalam hati dan mendelik marah pada Ganesh yang sudah bicara tidak-tidak. Kenapa bocah bandel satu ini bicara yang macam-macam, sih?
"Aku ... eh...."
Senja kebingungan untuk menjawab, dan Daru, yang dapat membaca gelagat muram pada reaksi Senja, buru-buru mengalihkan pembicaraan;
"Ayo makannya dihabisin. Kalian bentar lagi telat, loh."
Hita langsung melupakan pertanyaannya dan makan dengan lahap. Sementara itu, Daru tersenyum pada Senja demi menenangkan hatinya. Gadis itu membalas Daru dengan cengiran lega sebagai bentuk terima kasih.
Kemudian, acara makan berlangsung seperti biasa. Hita tidak henti bertanya-tanya soal kota tempat tinggal Senja, dan menyampaikan harapan agar suatu saat bisa pergi ke sana juga. "Kata Mas Daru, kalau nilai-nilaiku bagus, aku bisa sekolah juga di Surabaya."
"Oh, ya? Wah, nanti jangan lupa mampir ke rumah Mbak, ya!" Senja membalas tidak kalah ceria. "Kenapa tiba-tiba kamu mau pindah sekolah?"
"Biar aku lebih jago gambar!"
"Jago gambar?"
"Iya, katanya di Surabaya ada les-lesan buat belajar gambar."
"Ooh, Hita mau jadi pelukis?"
"Jadi autor komik, Mbak!" Hita berdiri dari kursi dan jingkrak-jingkrak heboh. "Waktu itu Ganesh bawa komik One Piece ke sekolah. Aku pengin bisa gambar kayak gitu!"
Senja nyengir senang melihat betapa menggemaskan sikap Hita yang menggebu-gebu. "Maksudnya mau jadi mangaka, ya? Bukan autor. Tapi Mangaka!"
"Ma-nga-ka!"
Semua orang tertawa melihat Hita. Senja mengusap puncak kepala Hita dan bermain-main dengan rambutnya yang bergelombang bak seorang putri, kemudian mereka saling melempar canda dan tertawa lebar. Daru yang melihat pemandangan itu tidak kuasa untuk tersenyum juga. Pikirnya, Senja lebih cocok menjadi kakak perempuan bagi Hita, sebab mereka berdua punya kesan seperti putri kerajaan yang ceria dan jelita.
Sadar dengan pemikirannya yang di luar kendali, Daru langsung salah tingkah sendiri dan melahap supnya lebih banyak.
Setelah sarapan, mereka bertiga pamit pergi. Daru ditinggal sendiri di dalam rumah (Senja untuk keseribu kalinya mengingatkan sambil menuding wajahnya; "Awas kalau Mas enggak istirahat!"), sementara Inaw dibiarkan bergulung-gulung di tanah pekarangan dan dilarang masuk rumah. Daru masuk ke kamar dan kembali berbaring. Dalam keheningan udara pagi yang sejuk dan lembab, benaknya mulai sibuk mencari jalan keluar mengatasi rasa bosan.
Atensinya merayap pada tumpukan kardus berisi buku-buku yang diletakkan di sudut kamar. Kardus itu sudah lapuk oleh sisa bocoran air hujan dan berubah menjadi serpihan di sana-sini. Karena Daru tidak punya rak buku, selama ini dia hanya menimbun buku-buku peninggalan orang tuanya di dalam kardus. Sekarang, setelah insiden sakit menghalangi pekerjaannya di luar, dia merasa ini sudah waktunya membereskan barang yang sejak lama belum tersentuh lagi.
Maka, didorong semangat, Daru menghampiri kardus di sisi ruangan dan mulai mengurai isinya. Rupanya di sana tidak hanya berisi buku, melainkan juga beberapa pakaian masa bayi Hita yang dulu sekali sempat diniatkan untuk didonasikan.
Daru membalik kardus dan memuntahkan semua isinya. Dia sedikit terlonjak saat seekor kecoa dan beberapa serangga kecil melompat keluar dari kotak. Sambil berjengit, Daru membereskan kotoran di lantai dengan sapu, membuangnya melewati ambang batas teras.
Inaw yang duduk-duduk di undakan teras senang sekali melihat kecoa yang gepeng karena sebelumnya dipukul sandal oleh Daru. Kucing itu mengendus-ngendus bangkai kecoa, lalu mulai mendorong-dorong dengan tangannya.
Daru kembali ke kamar dan memilah-milah buku serta pakaian yang berhamburan di lantai. Ada album foto milik bapak dan ibunya. Daru membuka halaman pertama, dan langsung disuguhi foto pesta pernikahan orang tuanya yang sederhana.
Bapaknya tampak lebih muda dan bugar―berambut hitam tebal seperti dirinya, tetapi matanya agak kecil dan cengirannya seperti anak nakal. Sementara ibunya paling mirip Daru kalau sedang diam; berwajah menarik, dengan mata tajam dan berhidung mancung. Mereka berdua duduk bersandingan sambil bergandengan tangan. Di bawah foto itu ada sebaris tulisan tangan yang tampaknya diukir oleh tangan Bapak.
27 Maret. Pernikahan dengan Asmina.
Daru membuka beberapa lembar selanjutnya, lalu menemukan foto ibu dan neneknya yang sedang duduk di sofa, bersama Daru yang terapit di tengah-tengah. Di bawah foto itu, ada sebaris tulisan lagi.
04 Desember. Dewandaru susah ketawa.
Daru hanya menatap foto itu tanpa ekspresi.
Pemuda itu menutup buku album dan beralih pada benda lainnya. Kali ini, tersembunyi di bawah tumpukan buku bekas masa SMP-nya, terselip pakaian berwarna merah yang berdebu. Daru menarik pakaian itu dan membentangkannya.
"Oh, punyanya Hita dulu."
Daru memandangi pakaian bayi berusia dua tahun itu dan sekonyong-konyong suasana hatinya berubah lebih ceria. Motif kotak-kotak dengan gambar gajah adalah hal yang paling dia ingat dari pakaian itu.
Namun, sekelebat ingatan mendadak saja muncul di benaknya. Senyum yang terukir di wajah Daru perlahan-lahan pupus lagi, digantikan dengan ekspresi kemuraman yang sulit dijelaskan.
Dia kembali mengingat kata-kata Nenek saat melihat Daru yang sedang menggendong bayi Hita.
"Jangan pelihara bayi orang di rumah ini. Ibunya kayak kucing liar yang melahirkan sembarangan. Mendingan buang aja anak itu!"[]
-oOo-
.
.
.
Ada yang bisa nebak masalah apa yang terjadi di keluarga mereka? 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top