10. Catatan Rutinitas Monoton

-oOo-

DARU membiarkan dirinya bermalam di klinik. Saat bangun keesokannya, Senja sudah tidak ada. Sebagai gantinya, dia mendapati seorang perawat sedang memeriksa tabung infus.

Diliputi perasaan malu dan segan, Daru akhirnya memberanikan diri membuka pertanyaan mengenai biaya klinik yang menjadi beban pikirannya sejak kemarin.

"Biayanya sudah dibayar lunas, kok."

Mata Daru membola terkejut. "Apa?"

"Ibu dan bapak yang nganter Mas ke sini kemarin. Mereka sudah bayar tagihannya waktu Mas masih tidur. Sekarang Mas enggak usah khawatir. Istirahat saja sampai demamnya sembuh, ya." Sang perawat tersenyum membesarkan hati, lalu pamit ke bilik selanjutnya untuk memeriksa pasien lain.

Setelah lama termangu, Daru akhirnya duduk dan mengusap wajah, sekonyong-konyong merasa lebih tidak enak dengan situasi ini. Lagi-lagi Bu Garwita dan Pak Wira menolongnya. Sudah berapa banyak waktu dan tenaga yang mereka kerahkan untuk membantunya? Daru merasa malu dan berutang budi.

Ketika sedang memikirkan cara untuk membayar utang (yang berisi gagasan untuk merogoh tabungan atau memotong gaji toko), tiba-tiba terdengar langkah kecil mendekat dari luar tirai biliknya. Daru mendongak saat seseorang menyibak tirainya dengan keras.

"Mas Daruuuuu!"

Hita, yang menatapnya dengan wajah sedih dan cemas, langsung menghambur memeluk pinggang Daru dengan erat. Anak itu menekankan wajah pada perut si abang, sejurus kemudian terdengar rengekan tangis.

Daru langsung mengusap kepala Hita untuk menenangkannya, diam-diam menahan dirinya sendiri agar tidak ikut menangis.

"Hita, Mas enggak papa, jangan nangis gitu, dong."

Pelukan adiknya semakin erat. Hita memprotes bercampur isakan. "Kan udah kubilang ... tidur aja di rumah ... jangan kerja ... Mas nakal!"

"Iya, maaf, ya," kata Daru dengan nada menenangkan.

"Nanti kalau Mas meninggal ... aku sama siapa?"

Astaga.

Ketika mendengar betapa frustrasi Hita, hati Daru patah. Kesedihannya pun tumpah. Pemuda itu mengusap air mata di sudut mata kanannya dengan perasaan sakit dan terharu.

"Mas enggak bakal ke mana-mana, sayang. Maaf, ya. Cup-cup."

Sang abang lantas membalas pelukan Hita lebih erat, mencium puncak kepalanya sebagai ungkapan penyesalan dan minta maaf. Tidak ada yang menyebabkan Daru menangis selain adiknya sendiri.

Bu Garwita, sementara itu, berdiam diri di depan tirai bilik rawat sambil menyaksikan Daru dan Hita. Wanita itu sedikit tersentak saat Daru melihatnya.

"Oh, Bu Wita," Daru buru-buru menghapus air mata karena malu tertangkap basah sedang menangis.

"Gimana badanmu, Dar?" Bu Garwita bertanya dengan lembut, merasa tidak enak karena sudah mengganggu momen abang-adik ini. Dia meletakkan sebuah kotak nasi di atas nakas.

"Alhamdulillah, sudah sehat, Bu," kata Daru, sementara Hita beringsut merangkak ke atas ranjang sambil terus memeluk perutnya, persis seperti monyet kecil yang enggan berpisah.

"Ini dimakan dulu, Ibu bikin bakwan jagung sama telur petis, kesukaanmu."

"Makasih, Bu," kata Daru, lalu langsung membuka tutup bekal. Dengan luapan senang, dia berpaling pada Hita.

"Ta, lihat, nih," katanya ceria, seraya memperlihatkan isi kotak makan. "Suapin Mas, ya?"

Si adik langsung melepas pelukan. Setelah mengusap matanya yang berair dan bengkak, dia menerima kotak makan dari tangan Daru dan langsung menyendok isinya. Hita menyuapinya sambil sesekali terisak, tetapi abangnya berusaha memasang wajah penuh minat.

"Mmmh... enakh hanged!" komentar Daru dengan mulut penuh, lalu menunjuk-nunjuk lauk telur di dalamnya, "Hambah hagi! Hambah hagi!"

Bu Garwita senyum-senyum melihat pemandangan itu.

Hita menjadi lebih tenang saat Daru sengaja memakan sarapan dengan semangat. Dia bahkan menyendok nasi hingga kelihatan seperti gunung mungil, lalu memaksa menyuapkannya ke mulut Daru. Abangnya berusaha tidak protes apa-apa dan tetap melahap walau makanan sebelumnya belum habis.

"Ta, pelan-pelan kalau nyuapin," Bu Garwita memberitahu dengan segan.

Hita langsung menahan suapan berikutnya dan menunggu abangnya menelan makanan dengan sabar. Masih ada sisa air mata menempel di dekat pelupuk mata adiknya, jadi Daru mengusapnya dengan ibu jari.

Dia berbicara setelah menelan makanan. "Nah, Hita jangan nangis lagi, ya?"

"Mas jangan sakit lagi." Hita membalas sambil mencebik. Matanya berkaca-kaca hendak menangis.

"Enggak, kok. Janji!"

Daru mengulurkan jari kelingkingnya, lalu Hita langsung menyambut dan menariknya dengan kencang.

"Aduh, kelingking Mas patah!" Sang abang berpura-pura kesakitan sambil memegangi kelingkingnya. "Tiup! Tiup! Biar enggak sakit!"

Hita yang polos mematuhinya.

Setelah Daru menghabiskan setengah kotak sarapannya, Bu Garwita pamit pergi ke Wiramart, sebab tidak enak meninggalkan Senja bekerja sendirian. Sebelumnya dia juga sudah memberitahu Daru agar tetap berada di klinik sampai demamnya benar-benar turun (tentu saja melibatkan perhatian Hita agar anak itu ikut mengawasi kakaknya; "Pokoknya kalau Mas Daru nakal, segera laporkan ke dokter!" begitulah perintah Bu Garwita, sementara Hita mengangguk patuh seakan baru saja menerima mandat komandan perang).

"Mas?" Hita, yang kini sudah duduk di kursi, tiba-tiba berceletuk.

"Mm?"

"Kalau sakit jangan diam aja."

"Iya, Ta."

"Hita takut sendirian kalau Mas Daru enggak ada."

Daru merasakan pijar panas membanjiri rongga dadanya, membuat jantungnya meleleh dengan rasa sakit yang tidak bisa ditahan. Ekspresi sedih itu, suara kecil itu, membuat hancur hatinya dalam waktu singkat. Dia begitu menyayangi Hita, tetapi dia tidak bisa berjanji untuk berada di sisinya selamanya.

Terutama bila Hita mengetahui apa yang menunggunya di depan sana.

-oOo-

Pada sore harinya, Daru diperbolehkan pulang karena demamnya sudah turun. Kali ini Senja datang menjemput bersama Pak Wira. Di dalam mobil, selain Hita, Ganesh juga ikut.

"Pak," kata Daru kepada Pak Wira yang menyetir di bangku sopir. "Terima kasih sudah nolong saya kemarin, ya. Bu Garwita juga, mohon maaf karena saya malah bikin ricuh toko."

"Enggak papa, Nak. Yang penting sekarang kamu baik-baik aja." Bu Garwita menoleh sedikit dari jok sebelah sopir lalu menyungging senyum.

"Terus gaji saya bulan depan bisa dipo―"

"Loh, loh. Stop, dulu. Enggak usah ngomongin itu!" Bu Garwita menekankan jari telunjuk di bibirnya, tiba-tiba ekspresinya berubah. "Kamu ini kayak orang lain aja. Dari dulu kan kamu udah sama Bapak dan Ibu. Enggak perlu ada itung-itungan!"

"Tapi ...."

"Daru," Pak Wiraya membalas seraya menatap spion di atas. "Kalau kamu mau balas budi, cukup balas dengan menjaga kesehatan aja. Bapak dan Ibu ikut seneng kalau lihat kamu semangat tiap harinya. Jangan banyak pikiran. Paham, ya?"

"Iya, Pak."

"Nanti kalau banyak pikiran, kamu drop lagi kayak dulu itu. Mau emangnya?"

Kalimat barusan membuat Senja mengernyit penasaran. Namun saat ingin menimbrung sesuatu, dia justru melihat Bu Garwita mengusap lengan suaminya seolah ingin menghentikannya bicara lebih jauh. Sebagai gantinya, Bu Garwita langsung mengubah topik, "Daru, lain kali kalau ngerasa sakit, enggak usah masuk kerja. Omong-omong kamu udah diceritain Senja enggak tentang kejadian pas kamu pingsan kemarin?"

"Sudah, Bu."

Senja langsung membelalakkan mata. "Tante, jangan ...."

Akan tetapi Bu Garwita terburu menyahuti;

"Dia telepon Ibu sambil nangis-nangis kayak anak kecil, katanya kebingungan pas lihat kamu tiba-tiba jatuh."

Daru sedikit terkejut mendengar jawaban itu. Dia langsung melirik Senja yang duduk sambil memangku Ganesh di sebelahnya. Wajah Senja tiba-tiba saja merona semerah kepiting rebus.

"Senja khawatir banget sama kamu, Daru. Takut kamu kenapa-kenapa, terus―"

"Tante udah, enggak usah cerita!"

"―terus waktu Tante datang ke toko, Senja enggak ninggalin kamu sedikit pun. Dia duduk di lantai sambil mangku kepalamu, sementara badanmu sudah diselimuti pakai jaketnya dia, dan dikasih plester penurun demam."

Senja mengusap wajah dan langsung melengos menatap jendela, bersikap seolah-olah tidak mendengar perkataan Bu Garwita yang menurutnya tidak penting, sekaligus mengabaikan tatapan Daru yang terasa canggung.

"Makanya, Daru," kata Bu Garwita. "Kemarin Ibu lega karena ada Senja. Syukur dia tahu gimana cara nanganin orang sakit. Yaa ... walaupun minusnya masih cengeng aja."

"Bukan cengeng, Tante! Kemarin itu aku panik, soalnya sebelumnya enggak pernah nolong orang pingsan di depan mata." Senja tahu-tahu menyahut, tetapi ogah berpaling dari jendela.

"Loh, pas SMA kan kamu anggota PMR." 

"Yang tugasnya bikinin teh anget doang."

Pak Wiraya ikut tertawa mendengar sahutan Senja. "Masih mending, daripada ngadem di UKS buat ngehindarin upacara."

"Sebenernya itu salah satu proyek kerjaku selama jadi anggota PMR."

Giliran Daru yang menyembur tawa mendengar jawaban Senja. Si gadis langsung mengerucutkan bibir seolah tidak percaya dengan reaksi barusan. Ini orang cuma ngerasa lucu atau malah ngeledek?

"Makasih, ya, Mbak," Daru berkata di sela tawanya. "Lain kali saya mau coba teh anget buatan Mbak."

"Mau pingsan lagi emang?"

"Bikinin doang. Di toko kan ada dapur kecil buat karyawan."

"Oke. Entar kalau tehnya asin jangan salahin aku."

"Ya jangan ketuker antara garam sama gula."

"Sengaja kutuker biar Mas hipertensi gara-gara nyuruh aku ngerjain sesuatu di luar job desk."

Daru dan yang lainnya tertawa.

"Daru, besok kamu jangan masuk kerja dulu," kata Pak Wira tiba-tiba, sementara mobil mereka berbelok di tikungan dekat perbukitan, "Istirahat di rumah saja sampai sehat total."

"Iya, Pak." Daru yang duduk di belakang bersama Hita menyahut lirih. Walau di mulut menyetujui, sebetulnya hatinya tidak. Pasalnya dia harus tetap bekerja agar bisa mengisi tabungan pendidikan Hita. Daru berpikir-pikir untuk masuk saja besok.

"Kalau tetap maksa masuk, aku yang seret dia supaya pulang," mendadak Senja menyahut. Daru menengok ke seberang kursi dan menemukan gadis itu memandanginya dengan sorot sinis―matanya berkilat oleh lapisan kekesalan yang membuat bulu kuduk merinding.

Setiap kali mendengar ancaman Senja, Daru jadi ngeri sendiri. Gadis satu ini betul-betul akan berbuat sesuatu kalau dia bertindak di luar batas.

Akhirnya dia memilih berpaling memperhatikan pemandangan yang bergerak cepat di jendela. Langit malam membuat segalanya tampak gelap, tetapi Daru bisa menangkap kelebatan pepohonan bukit yang memancarkan rona hijau dari sinar lampu sen. Sepi, sunyi, dan tenang.

Pak Wira berceletuk, "Daru, Bapak tahu kamu punya semangat yang tinggi untuk bekerja, tetapi kalau sampai mengabaikan kesehatan, apalagi sampai terpuruk di klinik, kamu enggak ada ubahnya seperti membuang garam di laut. Paham maksud Bapak?"

"Iya, Pak."

Daru tahu betul dengan apa yang terjadi, tetapi anehnya dia tidak bisa berhenti melupakan kebiasaan buruknya. Rasanya seolah seluruh energi dalam tubuhnya perlu dibuang. Daru menyukai rasa lelah yang muncul setelah dia bekerja, sebab ini bisa membuatnya lupa sejenak dengan seluruh pemikiran yang dia simpan. Bisa membuatnya, untuk sebentar saja, merasa bahwa dunia ikut berlari kencang bersamanya.

"Tadi aku nemuin sesuatu," Hita yang sejak diam saja, tahu-tahu berceletuk. Semua orang mendengarkan dengan baik selagi anak itu melanjutkan, "Ada merah-merah yang nempel di sisir yang baru dipakai sama Mas Daru. Itu kayak darah, loh."

Bu Garwita, yang duduk di sebelah bangku sopir, langsung menengok ke belakang karena kaget, "Darah apa, Ta? Kamu nemuin apa?"

Lalu Hita menjelaskan lebih banyak. Daru yang sepertinya tahu persoalan apa yang sedang Hita bicarakan, menjadi semakin malu karena adiknya membocorkan hal yang tidak seharusnya. Sekarang dia harus menerima pandangan mencela dari semua orang.

Senja yang sepertinya tidak betah lagi berdiam diri, akhirnya bicara juga, "Mas habis dari mana kok sampai berdarah gitu?"

Daru kepikiran untuk mengarang cerita lucu tentang ketumpahan cat, tetapi sepertinya orang-orang di sekitarnya sudah kelewat serius. Jadi dia menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi. Sontak, Bu Garwita menggeleng tidak habis pikir, sementara Senja menggosok-gosok tengah keningnya seolah ikut kesal. Dia mulai mengoceh lagi, "Sudah tahu sebelumnya jatuh sampai kepalanya berdarah, nyadar kalau lagi demam, tapi malah ngelewatin sarapan dan masuk kerja. Itu apa namanya kalau bukan bodoh, Mas?"

"Hush, Senja," Bu Garwita melirik tajam. Senja sekonyong-konyong sadar bahwa kata-katanya terlalu kasar, tetapi dia mempertahankan gengsinya dengan berkata pelan, "Aku kayak gini karena aku peduli sama kesehatan Mas Daru. Lagi pula apa susahnya sih libur kerja sehari aja? Kayak enggak punya hal yang lebih baik buat dikerjakan."

Daru menjadi tersinggung sendiri. Dia tidak merasa berhak menjawab pertanyaan itu karena sifatnya agak pribadi. Namun, semua orang terdiam, dan kesunyian ini rasanya menjadi sesak, seolah ada semacam tekanan tak terlihat yang mendorongnya untuk terus berbicara dan menjawab pertanyaan.

Daru akhirnya menjawab sekenanya. "Ya kalau diam aja di rumah rasanya malah kayak orang enggak berguna, Mbak. Sibuk itu lebih baik."

"Mas," kata Senja, melunakkan suaranya. "Terkadang Mas harus berhenti sejenak untuk melihat hidup yang telah Mas jalani sejauh ini. Pasti ada banyak hal yang bisa disyukuri, yang selama ini enggak muncul di permukaan karena Mas menimbunnya dengan kesibukan. Bersenang-senang sedikit itu enggak apa-apa, kok."

Daru terdiam memikirkan kata-kata Senja. Dia tahu apa yang dikatakan Senja sungguh benar, tetapi ... kebiasaan lama sulit hilang. Sejak dulu Daru telah dididik menjadi pengganti bapak sekaligus ibu untuk Hita, dan saking seringnya menomorduakan kebutuhan diri sendiri, Daru tidak begitu tahu dengan apa yang dia inginkan saat ini. Rasanya dunianya menggelinding seperti bola berisi catatan rutinitas yang monoton.

Dia bukannya benci keadaan. Dia hanya tidak memiliki selera untuk mengubahnya.[]

-oOo-

.

.

.

Percayalah, orang tua yang baik, kalau sudah menyangkut urusan anak, segala hal bakalan dia lakuin. Bahkan sekalipun hal tersebut enggak enak buat dirinya sendiri. Sama kayak Daru yang ngasih segalanya buat Hita. Dia merasa menjadi orangtua Hita, makanya bisa serela itu.

Tapi sebagai pembaca, jangan menganggap bahwa watak kasih sayangnya Daru ini sempurna. Sebetulnya dia punya banyak shadow yang bikin dirinya jadi enggak bisa berpikir wajar kayak dewasa seusianya. Ke belakang nanti akan kuperlihatkan sisi lain Daru. Tungguin, terus yak 👍🏼

Btw komen dong para pembacaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top