1. Kutukan Seorang Gadis

-oOo-

"DASAR orang jahat! Kusumpahin hidupmu sengsara!"

Sumpah serapah yang dilontarkan gadis bermantel kuning itu entah bagaimana membuat Daru kepikiran. Padahal, dia bukan tipe orang yang memercayai hal-hal gaib semacam kutukan, tetapi mengingat kejahatan apa yang dia lakukan sebelum pertemuannya dengan orang asing itu malah membuatnya ketar-ketir sendiri.

Menyiksa binatang, katanya? Daru tidak pernah memukul atau menendang binatang. Namun bila membuang binatang adalah bagian dari penyiksaan, barangkali gelar orang jahat memang layak disematkan kepada dirinya. Dan, barangkali, kutukan gadis itu juga akan berdampak untuknya.

"Mas, kok diem aja? Supnya enggak dimakan?"

Pertanyaan itu datang dari seorang bocah manis berumur tujuh tahun―Reswara Hita, yang saat ini duduk di meja makan dapur rumah mereka yang bobrok. Sesi makan siang ini jadi terganggu karena sejak tadi Daru malah melamunkan kejadian kemarin.

"O, iya," kata Daru, lalu kembali menyuapkan sup ke dalam mulutnya. Sup ayam jamur ini enak sekali, tidak seperti buatan Daru yang rasanya aneh-aneh. Memang jarang sekali takaran bumbu masakannya cocok di lidahnya sendiri. Kalau tidak keasinan, pasti hambar.

"Ini supnya enak, ya, Ta. Tadi kamu dapat ini dari mana, deh?"

"Tadi waktu main di rumah Ganesh, aku dikasih sup sama tantenya Ganesh. Namanya Mbak ... Mbak siapa, ya? Kayaknya tadi lupa nyebut nama."

"Kok manggil Mbak? Ya Tante, dong."

"Soalnya masih muda banget, Mas. Orangnya sendiri yang minta dipanggil Mbak."

Daru manggut-manggut saja, lalu Hita melanjutkan mengoceh. "Terus mbaknya cantiiik banget. Kulitnya putih, rambutnya hitam sebahu. Matanya besar, tapi agak naik kayak gini." Hita mengangkat sedikit sudut matanya seraya memperlihatkannya pada Daru. "Katanya mulai saat ini, mbaknya tinggal di rumah Ganesh."

Loh, tunggu, tunggu ....

Dari penjelasan barusan, rasanya Daru bisa membayangkan siapa gadis yang dimaksud Hita.

Mirip seperti ... cewek enggak sopan yang ketemu di pelataran toko kemarin ....

Enggak. Dia segera menyingkirkan bayangan itu. Mana mungkin bisa kebetulan begini? Lagi pula kemarin Daru tidak melihat jelas wajahnya. Jadi, itu pasti orang lain. Di kampung ini toh ada banyak juga gadis berkulit putih dan berambut hitam sebahu.

"Ini sup mbaknya juga yang bikin?" tanya Daru, mengalihkan kecurigaannya.

"Iyaaa. Enak, ya?"

"Enak," kata Daru, lalu menyelipkan lelucon, "Tapi enakan masakan Mas yang biasanya."

Sepertinya yang bisa merasakan keganjilan rasa masakannya hanya dirinya sendiri. Hita, sang adik yang tidak memedulikan banyak hal seperti dirinya, tampak tidak repot-repot membalas candaan tersebut. Entah karena Hita tidak peduli dengan rasa masakan buatan Daru, atau karena dia tidak keberatan dengan makanan apa pun yang dihidangkan. Sejak kecil, anak ini memang jarang rewel soal makanan.

Tapi kalau soal kucing peliharaan, rewelnya setengah mati.

"Eh, Mas, Mas, aku dari kemarin enggak lihat Inaw, loh. Ke mana ya dia?"

Daru sudah tahu bahwa Hita akan menanyakan soal ini kepadanya, dan dia juga sudah menyiapkan jawaban-jawaban untuk membuat adiknya tenang. Pokoknya, Hita tidak boleh sampai tahu kalau kemarin Daru telah membuang Inaw di bukit lantaran sudah tidak tahan dengan tingkah nakal kucing tersebut.

"Main kali, Ta. Namanya juga kucing," dusta Daru.

"Kan biasanya dia main di dekat-dekat sini. Tadi pagi aku cari dia sampai ke warung sebelah, enggak ada, loh."

"Mungkin lagi musim kawin, jadi mainnya agak jauh."

"Musim kawin?"

"Musim di mana semua binatang keluyuran buat nyari jodoh." Daru menyingkirkan tulang ayam ke pinggir piring. Sementara Hita mulai memasang wajah serius sambil berpikir-pikir. Tampaknya dia punya pertanyaan penting perihal penjelasan ini.

"Jadi kalau musim kawin, hewan-hewan pada main keluar?" tanya Hita.

"Iya. Termasuk kucing. Makanya, Inaw mungkin gitu juga."

"Terus kapan Inaw balik?"

"Yaaa, tergantung. Bisa seminggu, dua minggu, atau ... enggak balik selamanya."

"HAH?"

Teriakan Hita nyaris saja membuat Daru tersedak tulang rawan. Pemuda itu langsung menegapkan punggung dan menatap Hita dengan sorot menegur.

"Apa, sih, Ta?"

"Aku enggak mau kalau Inaw sampai enggak pulaaang!"

"Ya udah, mau gimana lagi. Namanya juga binatang."

Wajah Hita berkerut-kerut jengkel. Daru mulai kerepotan menghadapi adiknya yang bersikap lebay hanya karena seekor kucing.

Memang, sekitar lima bulan lalu, sejak berhasil memungut dan merawat seekor kucing kampung yang terluka, Hita dikuasai delusi bahwa dia adalah manusia terpilih yang diberi berkat Tuhan untuk menjinakkan binatang. Setiap harinya, anak itu tidak pernah lepas pembicaraan dari pembahasan soal Inaw, sampai kuping Daru pengar mendengarnya. Belakangan ini, nilai-nilai Hita di SD juga merosot. Guru wali kelasnya mengadu kepada Daru bahwa Hita kadang-kadang tidur di dalam kelas. Setelah ditelusuri sebabnya, rupanya anak itu sering menyisakan lauk bekal untuk dibawa pulang lagi dan diberikan ke Inaw, makanya sehabis istirahat perutnya selalu kosong dan membuatnya mengantuk.

"Inaw enggak pulang sehari aja aku sedih. Masa dia enggak pulang selamanya? Aku enggak mau. Aku sayang Inaw," Hita mulai protes lagi. Tingkahnya bukannya membuat Daru gemas, tetapi malah jengkel. Soalnya yang dikhawatirkan Hita justru kucing peliharaan yang tidak berguna.

Duh, ingin sekali Daru mengatakan kepada Hita bahwa Inaw telah dia buang dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini selamanya.

"Ayo nyari Inaw, Mas," rengek Hita.

"Enggak usah dicari, nanti dia juga balik sendiri."

"Kalau enggak balik gimana? Masa Inaw mau sendirian di luar sana? Apalagi sekarang kan sering hujan. Nanti kalau kucingnya sakit gimana?"

Daru berusaha menghindari tatapan Hita dan lanjut makan seolah tidak mendengar keluhan tersebut. Dia merasa bersalah karena telah menyingkirkan Inaw dari kehidupan adiknya, dan rasa bersalah itu kini meradang menjadi penyesalan yang setiap hari semakin membesar.

Bagaimana bila Hita mengetahui tindakan jahatnya?

-oOo-

Ketika Daru terbangun keesokan harinya, dia menemukan Hita menangis tersedu-sedu di undakan teras rumah. Pipinya yang merah dilelehi air mata dan membuat wajahnya agak bengkak. Adiknya mungkin sudah menangis sejak subuh tadi.

"Udah, tenang aja. Inaw kan tahu di mana rumahnya. Dia bakal balik," kata Daru, lalu cepat-cepat mengganti topik agar Hita melupakan sedihnya. "Sarapan dulu, yuk, Ta. Sup kemarin masih ada, kan? Mas ambilin, ya."

"Enggaaak!" Hita sedikit menaikkan nada, sontak membuat Daru terkejut. Adiknya mengelap pipinya yang basah dengan kasar, "Aku mau makan sama Inaw! Pokoknya mau nungguin dia pulang dulu!"

"Lebay kamu. Ini kan baru dua hari Inaw enggak pulang."

"Tapi Inaw enggak pernah keluar lama-lama. Gimana kalau enggak balik lagi?"

"Ya, nanti ...." Daru berpikir sebentar. "Nanti Mas cari dia, deh."

Tangan Hita meremat pakaiannya sendiri. Sang abang merasa lebih bersalah lagi saat melihat pundak adiknya bergetar menahan gelombang kesedihan. Dia tahu semestinya tidak melakukan perbuatan itu, tetapi membuang Inaw adalah pilihan terbaik demi masa depan Hita. Adiknya paling-paling hanya menangis dalam beberapa jam saja, bukan?

"Mas Daru janji bakal cari Inaw, ya?" Hita mengangkat kelingkingnya yang mungil di depan wajah Daru.

Mulanya Daru tidak mau berjanji. Namun, demi meredam kesedihan Hita, akhirnya dia mengaitkan jari kelingkingnya pada Hita. "Iya, janji."

"Pokoknya harus sampai ketemu."

Daru kehilangan kata-kata. "Itu ...."

"Ayo janji, Maaas!"

"Kita kan enggak tahu Inaw di mana, Ta. Jangan maksa Mas gitu, ah."

"Soalnya kalau enggak janji, Mas pasti ogah-ogahan nyari Inaw."

"Enggak gitu, Ta...."

Mendadak saja Hita melepas belitan di jari kakaknya. Wajahnya merengek seolah dia sangat terluka atas perkataan Daru. "Iya, pasti ogah-ogahan. Aku tahu Mas Daru, soalnya. Mas Daru kan dari dulu emang paling seneng kalau Inaw enggak ada. Uuuh, padahal aku sayang sama Inaw ... kenapa aku enggak boleh melihara dia? Aku kan cuma pengin punya temen di rumah ...."

Biasanya Daru akan memarahi Hita karena sikap egoisnya, tetapi kali ini pemuda itu mengurungkan niat karena kesedihan Hita memang sudah membengkak sejak kemarin. Bila dipikir-pikir, selama ini Inaw memang selalu bersama Hita, bahkan kadang-kadang menggantikan dirinya yang seorang abang untuk menemani adiknya di rumah. Bagaimana bisa dirinya tega membuang binatang malang itu?

Sial. Daru kan tidak berniat memelihara penyesalan apa pun.

"Mas!"

"Iya, iya, nanti Mas cari Inaw!" gerutu Daru, lalu mengusap puncak kepalanya dan membuat rambut Hita berantakan. "Udah, cup, cup, cup. Sana makan dulu terus ke sekolah."

Hita menurut, walau kelihatan terpaksa. Adiknya masuk ke dapur untuk mengambil piring. Beberapa saat kemudian, mereka berdua sarapan di atas meja makan tua yang satu kakinya sudah miring. Daru yang memperhatikan raut Hita yang menekuk muram sepanjang acara sarapan, sekonyong-konyong merasa kasihan.

"Nih. Kamu kan suka kentang. Makan yang banyak," kata Daru sambil menuang semua kentang dari sup miliknya ke mangkuk Hita.

Biasanya, Hita senang sekali kalau diberi lauk tambahan seperti ini. Namun, saat ini adiknya justru mengaduk-aduk sup dengan tidak minat, sama sekali tidak dimakan. Daru mulanya diam, tetapi lama-lama dia berkata pedas, "Ta, Mas enggak suka ya kalau kamu jadi manja gini. Cuma kucing doang sampai enggak mau makan."

"Inaw itu udah kayak keluarga, bukan cuma kucing."

"Mas cuma mengakui kamu sebagai keluarga, enggak ada yang lain."

Hita memandang Daru dengan terluka. Tatapan itu sebetulnya mencubit hati Daru dengan rasa tidak enak, tetapi pemuda itu keras dengan pendiriannya.

"Makan supnya, Ta," kata Daru tegas.

"Enggak mau." Hita meletakkan sendoknya dengan kasar sehingga kuah supnya menyiprat banyak ke meja.

Daru mulai menarik napas untuk menenangkan kemarahan.

"Terus makanannya mau diapakan?"

"Enggak tahu. Buang aja mungkin."

Rasanya sang abang sudah ingin berteriak pada Hita, tetapi dia mati-matian menahan emosinya agar tidak meledak. Ini masih pagi, masih pagi, masih pagi. Harinya akan kacau kalau dihabiskan untuk murka. Sebagai gantinya, Daru melontarkan ancaman yang lebih kejam, "Dengar, ya, Ta, buang-buang makanan itu sifatnya setan. Mas enggak mau punya adik yang kayak setan."

Hita menunduk, menatap isi dalam mangkuknya yang sudah berbentuk tak karuan. Ucapan abangnya begitu menohok sampai-sampai Hita merasa takut dan malu. Abangnya sangat jarang marah, tetapi sekalinya emosinya tersentil, kata-katanya bisa seperih pecut. Tanpa disadarinya, kesedihan anak itu meluap. Tangisan meledak tanpa disangka-sangka, kali ini semakin menjadi-jadi.

Daru ingin membenturkan kepalanya keras-keras ke meja.

Mendadak saja dia teringat tentang kutukan gadis bermantel kuning tempo lalu; "Dasar orang jahat! Kusumpahin hidupmu sengsara!"

Betul, Daru memang orang jahat. Sekarang lihatlah akibatnya; paginya menyengsarakan.[]

-oOo-

.

.

.

Di sini Daru umurnya 19 tahun yaa. INTJ, dingin dan cuek di luar tapi super lembut di dalam dan bijak pol

Kalau dek Hita 7 tahun. MBTI masih belum ketahuan karena dia masih piyik. Jiwanya bebas dan cenderung ceria. Kepekaannya cukup tinggi di usianya yang masih kecil

Ada beberapa tokoh yang bakalan keluar belakangan. Siap-siaappp!

Dengan perbedaan umur yang jauh ini, kalian punya teori tersendiri nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top