- 𝐒𝐈𝐍
(𝐧.) 𝐒𝐢𝐧
/sin/
noun
an immoral act considered to be a transgression against divine law.
❝ 𝐘𝐨𝐮 𝐥𝐨𝐨𝐤 𝐚𝐟𝐫𝐚𝐢𝐝. ❞
❝ 𝐈'𝐦 𝐚𝐟𝐫𝐚𝐢𝐝 𝐨𝐟 𝐦𝐲 𝐬𝐢𝐧. ❞
Makhluk hidup ciptaan Tuhan pastilah pernah membuat kesalahan, bahkan orang yang disebut 'orang suci' sekalipun. Kesalahan takkan pernah terpisahkan dari kehidupan manusia, yang membuat kesalahan tersebut berkembang dan menjadi suatu dosa.
Dosa terlahir dari suatu kesalahan yang sangat berat, sehingga dosa melahirkan calon penghuni neraka yang tak bisa didefinisikan berapa banyak jumlahnya. Namun, bukan berarti memiliki dosa tidak mau menebusnya.
Entah dosa mana yang (Name) lakukan, sehingga mimpi buruk yang menjadi ketakutan terbesarnya terasa begitu nyata. Rasanya pundak mungil ini begitu berat, seperti membawa harapan orangtua. Belum lagi ia ini adalah anak pertama, tak ayal ia bisa merasakan bebannya bertambah dari waktu ke waktu.
"Berhenti berjalan ke sana kemari seperti orang stress, (Name) bodoh." Suara bariton seorang pria menyadarkan lamunannya, membuat ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah suara pria yang memanggilnya. "Oh.." Sadar apa yang ia lakukan, wanita 31 tahun ini mengusap rambut pirangnya bingung. Entah mengapa dan bagaimana ia bisa berakhir begini.
Aidyn Carrington tak mengharapkan wanita yang lebih tua darinya bergelagat seperti ini. Terlebih lagi, sudah 2 jam gadis itu bolak-balik ke sana kemari seperti orang linglung yang tersesat dan buta map.
"Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, tetapi.." Aidyn diam sesaat, sebelum kaki jenjangnya berjalan mendekati (Name), menarik dagunya agar Evergarden menatap mata hijau zaitun nya. "Jika ada yang mengganjal, katakan saja. Bagaimanapun juga kita sudah bersama di sini selama 13 tahun, dan aku sangat hafal dengan semua perilakumu."
Wanita ini termenung. Benar juga apa kata Aidyn. Mereka berdua sudah tinggal bersama selama 13 tahun, menjalani hubungan selayaknya adik dan kakak yang melengkapi satu sama lain. Namun, (Name) bisa merasakan arti yang dalam dari balik mata zaitun milik Aidyn. "Kau sudah menyeretku ke neraka ini, dan aku takkan membiarkanmu jatuh lebih dalam seorang diri."
Helaan nafas keluar dari bibir pucatnya. (Name) menganggukkan kepalanya, mengulas senyuman tipis di wajah cantiknya yang mirip dengan boneka. "Kau benar. Maafkan aku, Aidyn. Lain kali aku akan membagikan beban pikiranku padamu. Terimakasih ya," ucap wanita berkepala tiga ini dengan mata berliannya yang menatap Aidyn dengan lembut.
Dada Aidyn berdesir hangat, merasakan sensasi aneh dan menghangatkan di dadanya. Bukan pertama kali dia merasakan sensasi ini saat bersama (Name), tetapi tak dapat dipungkiri bahwa pria 26 tahun ini menyukainya. "Ekhem.. y-ya, tentu saja." Aidyn memalingkan wajahnya, merasakan kedua pipi pucatnya terasa hangat usai mrndengar ucapan dari wanita yang lebih tua itu. Rasanya Aidyn benar-benar kebingungan, tapi rasa gembira tak terelakkan.
Namun, hal yang tidak disadari Aidyn adalah, bagaimana rasa posesif dan keinginannya kepada (Name) semakin berkembang tiap waktunya. Dan tentu saja, cepat atau lambat Evergarden akan menyadari perubahan hal tersebut.
"Katakan saja bila kau membutuhkan diriku, Lady Carrington."
Hari ini Kota Norwich lebih padat dari biasanya. Aktivitas dagang dan industri terus berjalan di tengah-tengah kepadatan penduduk, sehingga (Name) merasa kesulitan saat hendak mencari alamat karena terlalu ramai.
Bola mata birunya mengamati sekitar, mencari-cari alamat rumah penerima surat yang harus ia antar. "Susah banget jadi tukang pos di zaman ini, apalagi ga ada Google Maps. Manaan gua tinggal di ujung kota, wajar aja kaga tau anying." Helaan nafas kasar lolos dari mulutnya, membuat (Name) pusing tujuh keliling lantaran tak menemukan alamat rumah. 'Sepertinya aku tanya seseorang saja.'
Kaki jenjang yang terbalut sepatu boot coklat tua melangkah ke depan, memilih untuk bertanya pada seseorang dibandingkan harus susah payah mencari yang tak membuahkan hasil
Mata birunya menangkap sosok pria tinggi berambut biru gelap, dibaluti jas yang selaras dengan rambutnya. Rasanya (Name) tak asing melihat pria ini.. tanpa pikir panjang, tangan mungil yang dilapisi sarung tangan coklat tua itu menepuk pundaknya dan berkata, "permisi, Tuan."
Pria itu merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya, alhasil dia membalikkan tubuhnya yang jangkung dan menatap orang yang memanggil dia. "Ada apa, Nona? Kau membutuhkan sesuatu?" tanyanya dengan nada acuh, tapi mata biru tua itu tak bisa berhenti mengamati (Name) dari atas hingga ke bawah.
Diam. Evergarden terdiam di tempat, usai melihat pria yang ia panggil. Keringat dingin membasahi tangannya yang terbalut sarung tangan coklat tua. Perasaan tak nyaman dan gugup datang begitu saja, padahal pria ini tak melakukan apapun. 'BANGSAT! ! Kenapa bungsu Holmes ada di sini!? Jangan bilang kalau.. MORIARTY BERSAUDARA JUGA ADA DI SINI?!!'
Jantung (Name) berdetak kencang lebih dari biasanya. Ia masih diam, terus mematung di tempat. Tangannya berkeringat dingin, sedangkan ia merasa pusing. Beruntung bila wajahnya selalu memiliki ekspresi polos bagai boneka, sehingga ia tak perlu membuat ekspresi apapun.
'Sialan, bajingan! Njur aku kudu piye!? Sieun, kumaha lamun aya kulawarga Moriarty? Khususna upami Sherlock parantos terang Liam, éta tiasa parah pisan..'
(Aku harus apa!? Takut, bagaimana kalau ada keluarga Moriarty? Apalagi kalau Sherlock sudah kenal dengan Liam, ini sangat buruk.)
Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan apa yang akan ia lakukan saat panik seperti sekarang. Sherlock Holmes, hanya bisa diam dan kebingungan tatkala wanita yang memanggil dirinya malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Hei, Nona. Kau tak dirasuki hantu Ratu Henry VIII, 'kan?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Sherlock, kala mengamati mata (Name) yang terlihat gelisah.
Wanita muda ini menelan ludahnya gugup, yang membuat kerongkongannya terlihat bergerak. Sherlock yang mengamati (Name) secara intens, lantas mengangkat sebelah alisnya. 'Mengapa ia terlihat begitu takut denganku? Seakan-akan ia adalah penjahat yang baru saja ditangkap. Sangat mencurigakan,' pikir Sherlock yang masih mengunci pandangannya pada (Name).
Sepertinya hidup (Name) akan terasa lebih berat dibadingkan kemarin. Wanita ini harus lebih siap, atau mungkin ia akan terikat oleh hal-hal yang tidak diinginkannya.
Hidup kadang-kadang, kadang juga kidding kidding. Albert sebenarnya tak mengharapkan berita mengejutkan dari kedua adiknya, usai mengurus pekerjaannya sebagai seorang abdi negara. Matanya terpaku dengan kertas dan beberapa foto yang berisikan laporan tentang seseorang yang mereka cari selama ini.
"(Name) nee-san.." Lirihan penuh rasa sakit serta rindu yang dilontarkan Albert membuat jantung William terasa diremas. Entah perasaan apa yang singgah dalam kalbunya, tapi dia merasa sedikit tak nyaman mendengarnya. Dia segera menyingkirkan pikiran seperti itu, menatap saudara tercintanya dengan tatapan lembut. 'Hanya perasanku saja.' William masih belum bisa tenang, walau dia tengah berusaha.
"Kita akan segera menemukannya, Nii-san." Tangan William menggenggam punggung tangan Albert, menatapnya dengan tatapan yakin bahwa mereka bisa menemukan seseorang yang mereka cari selama ini.
"William nii-san benar, Albert nii-sama. Cepat atau lambat, kita akan menemukannya kembali." Tanggapan dari bungsu Moriarty membuat Albert terhenyak dalam pikirannya, mengunci pandangan pada genangan teh dalam cangkir.
Senyuman tipis merekah di bibir William, membuat ketampanannya meningkat 101% yang bisa memikat wanita manapun. Matanya terkunci pada wajah Albert, kala melihat ekspresi dibalik mata kakaknya yang dipenuhi keraguan sekaligus kerinduan. "Nii-san, apa kau ingat apa yang dikatakan Nee-san saat kita putus asa?"
Pertanyaan yang dilontarkan si tengah Moriarty membuat Albert diam, mengingat apa yang pernah wanita ucapkan dahulu. "Harapan akan tetap ada, bahkan ketika semuanya terasa menyedihkan."
Albert diam, sedangkan William dan Louis memberikan senyuman usai mendengar jawaban dari sulung Moriarty. Kalimat penyemangat mereka, dari wanita terkasih yang pernah mendukung mereka di masa lampau. Albert tahu, sangat tahu betul apa yang wanita itu akan katakan saat keadaan mereka dilanda badai.
"Kalian berdua benar, kita akan menemukannya."
Ada kenangan yang tidak dapat dihapus oleh waktu, dan mereka akan mengembalikan kenangan yang pernah ditelan waktu.
"Begitu ya? Kau mencari alamat yang tak ada di kota ini?" Pertanyaan yang diajukan pria ini, Sherlock, membuat (Name) mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia tak ingin berlama-lama dengan pria ini, tetapi demi mengurangi kecurigaannya ia harus melakukannya.
Bola mata birunya berkedip bingung, disandingi eskpresi polos yang tak pernah absen dari wajah cantiknya. "Sungguh? Pantas saja aku mencarinya, namun tak pernah menemukannya." (Name) menggaruk pipinya yang tak gatal, menatap selembar surat berstempel merah di atasnya. Lalu ia harus mencari kemana lagi? Bisa saja ia mengembalikan surat ini ke kantor, tapi tanggungjawabnya sebagai seorang pengantar surat harus tetap dilaksanakan.
"Bukankah kau tinggal di Norwich sudah sangat lama? Harusnya kau mengetahui dengan baik seluk-beluk kota ini."
Ah, bangsat. Rasanya jantung wanita berkepala tiga ini ingin melompat dari tempatnya, ketika mendengar perkataan Sherlock. Pria ini benar-benar mengamati dirinya. Bahkan tanpa perlu memperkenalkan diri, nampaknya pria ini bisa mengetahui asalnya dalam hitungan detik.
"Saya tinggal lama, bukan berarti saya hafal dengan isi kota ini." Bagus, alibi dengan dalih 'buta map'. Tolong lanjutkan bakatmu itu, (Name).
"Ya sudah, terimakasih sudah mau membantu saya. Semoga anda memiliki hari yang indah, Tuan." Ia menundukkan kepala, memberikan salam sebelum beranjak pergi dari tempat Sherlock berdiri. Setidaknya sampai pria itu menghentikan langkah kakinya dan berkata, "alamat itu di Kota Durham."
Kakinya yang telah diangkat untuk pergi, langsung terhenti. (Name) membalikkan tubuh mungilnya yang agak kurus, menatap langsung ke mata Sherlock dan menunggu kalimat yang akan diucapkannya lagi. "Durham?" tanya (Name) mengulang perkataan Sherlock.
"Tepatnya Universitas Durham," lanjutnya. Sherlock diam sesaat, mata biru tuanya mengamati dan mempelajari ekspresi yang akan (Name) berikan. Ekspresi wajahnya masih sama, namun ekspresi gelisah di mata birunya tak terhindarkan.
Sekarang Sherlock jadi penasaran, kenapa wanita pengantar surat yang bahkan tak diketahui namanya ini membuat dia merasa ingin tahu emosi dan ekspresinya lebih jauh?
"Saranku, kau kembalikan saja surat ini ke kantor, dan mereka akan mengirim ulang ke pos Durham sehingga kau tak perlu repot-repot pergi ke sana."
Asap dari rokok yang sempat dia hisap berhembus ke depan dan membuang puntungnya ke sembarang arah, kemudian berpikir saat menatap (Name) dengan tatapan dalam. 'Kenapa aku harus peduli dengan orang yang tak ku kenal?'
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Sherlock membalikkan tubuhnya dan meninggalkan (Name) sendirian yang dilanda keheningan.
Jelas, Sherlock merasakan hal aneh dalam kalbunya. Namun, bagaimanapun juga dia takkan pernah mengakuinya. 'Bukan urusanku.'
Dalam waktu dekat wanita itu akan menjadi urusanmu juga, Sherlock Holmes.
ꔵֺ CHAPTER IV ꓺ ʻ ℎ𝑎𝑣𝑒 𝑏𝑒𝑒𝑛 𝑐𝑜𝑚𝑝𝑙𝑒𝑡𝑒𝑑 ʼ
ִ┊ֺ᭝݊⢾ִ̜̜̜🍊⃞⡷ྀ 𝐏ᦅ͜͡ʝׂᦅ𝗄ׂ 𝕺ɾᧉ꯭۫ᥢᥢ𝆹ִ𝅥𝆭 ꮺ◜ִ۫
mager. gua ga akan lanjut klw gmw vote dan komen. ydh, jgn lp y vote & komen, by bitchez.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top