saptadasa

Durja pucat dilapisi tirta. Disusul netra emas yang kini setengah tertutup tatkala tetesannya jatuh pada ujung pelupuk. Surai kini mengikuti gravitasi. Karantala sentuh material dingin. Mematikan sumber air. Kemudian kakinya melangkah menuju wastafel, tak peduli dengan jejak yang ia tinggalkan.

Sang adam pandangi refleksi diri pada kaca. Air yang menetes kini menyapa permukaan durja. Dingin menyerang tatkala daksa masih basah, menolak berpakaian. Menusuk pori-pori kulit, persis seperti jarum.

Shuji menyisir rambutnya ke belakang dengan jari. Memandang dengan tatapan yang kini berubah tajam.

Keputusan telah dibuat.

Yakin telah ada dalam hati. Meski meragu apakah diri dapat kembali, tapi setidaknya ia ingin mencoba. Dibandingkan dengan adiratna yang telah hancur namun tetap bertahan, berjuang melawan Kisaki Tetta tampaknya bukan apa-apa.

"Hah ... sudah waktunya."

Helaan napas keluar dari celah labium. Ragu terselip dalam dada yang kini bergemuruh.

"Apa dia akan datang?"

•••

Kepalanya terasa berdenyut semenjak lembar ketiga dibuka. (Name) bertanya-tanya apakah Shuji sedang memamerkan kepintarannya atau bagaimana. Dia tahu Shuji pintar, namun bukan maksudnya untuk memaki bila diberikan teka-teki seperti ini.

Sebab semakin lama semakin sulit. Mulai dari hanya permainan kata biasa, lalu apa-apaan dengan angka serta huruf ini?

Helaan napas terdengar saat diri mulai pasrah. Sang laksmi lantas mengaduh pelan. Memilih untuk menginjakkan kaki pada ubin lantai, disusul langkah yang mendekat. Menuju pintu kemudian membukanya. Menatap pria yang baru saja menelan pil di atas sofa.

"Uhh, Sanzu-san! Apa kamu tahu IA1 itu apa? Kode kah?"

Tidak peduli dengan Haruchiyo yang sedang mengonsumsi ganja, (Name) dengan lara pada durja mendekat. Memilih untuk berdiri di samping Haruchiyo dengan lembaran kertas di tangan.

Haruchiyo lantas menaikkan sebelah alis. Memasang wajah bingung sebelum akhirnya balas menatap. Tidak tahu ada angin apakah tiba-tiba adiratna yang selalu dijaganya menanyakan perihal fisika—yang diapun tidak mengerti sama sekali.

"Tidak tahu. Saat SMA, kerjaanku hanya tawuran."

Bertanya pada Haruchiyo tampaknya adalah suatu hal yang sia-sia.

(Name) menghembuskan napas lelah dari celah labium. Lantas memilih untuk memutar dan duduk di hadapan Haruchiyo. Kembali memperhatikan lembar kertas dengan kening berkerut—dia harus memecahkan ini secepatnya. Kemudian, membakar kertas ini sebelum Manjiro lihat. Itu adalah hal terbaik yang dapat dilakukannya saat ini.

"Ini apa ... ? Aku tidak sepintar itu untuk mendapat jawaban dengan mudah."

(Name) menggaruk kasar mahkotanya. Memperhatikan tiap bagian huruf serta angka. Mengulang dari ujung ke ujung. Meski tak ada yang baru, namun diri berharap mendapatkan jawaban dalam kalbu.

"Tunggu—rasanya ini pernah dibahas. Kriptografi?"

Karantala berhenti mengacak surai. Kini beralih menyentuh permukaan kertas. Menyapu kata dari ujung kiri.

"Atau tabel periodik?"

Netra bergulir ke bawah. Memperhatikan enam digit angka.

"Lalu yang dibawahnya apa? Mirip seperti tanggal. Apakah tanggal lahir? Tapi tanggal lahir Shu bukan itu ... "

Menemukan sebuah ide, (Name) tersenyum. Lantas menyapu pandang pada taruna di hadapan.

"Sanzu-san, pinjam ponsel!"

Haruchiyo menaikkan sebelah alis. Terdiam sejenak guna memasangkan masker hitam pada wajah. Kembali memblokir jalan pandang pada durja—menutupi luka pada kedua sudut bibir.

"Kau mau katana bersarang di lehermu?" Haruchiyo kini bingung sesaat, dikala diri dapati laksmi yang mulai gelisah. "Apa sih?"

"Uh ... aku mohon. Untuk memecahkan teka-teki—"

Disaat jemari kurus hendak menyentuh ujung kemeja putihnya, Haruchiyo dengan refleks memilih mundur. Memasang wajah seolah iritasi dengan sang puan kemudian mengeluarkan ponsel dari saku. Melemparnya dengan asal ke arah depan, yang untungnya ditangkap oleh (Name).

"Hah, jangan lama-lama."

Senyum merekah. (Name) segera mengangguk. Kemudian beralih dan mengotak-atik ponselnya. Sedikit menyipit—saat tahu kalau intensitas cahaya milik ponsel Haruchiyo tak baik untuk mata. Silau.

"Lalu, hm ... golongan IA dengan nomor atom 1 ... H? H itu apa? Hai? Oh, Hidrogen. Kalau semuanya jadi—HASSI?"

(Name) menghela naapsnya perlahan. Lantas kembali menatap Haruchiyo yang kini berdiri lalu dengan iseng membelah meja kecil—puan tidak peduli, melainkan mengabaikannya dan kembali bertanya.

"HASSI itu apa ... Sanzu-san, apa kamu tahu, HASSI itu apa?"

Haruchiyo sedikit mengibaskan katananya. Menghilangkan debu yang sempat singgah, lalu memutar tubuhnya. Beralih untuk duduk di tangan sofa dan menatap sang puan.

"Hah? Hashi?"

Permata jingga melebar. Lantas setelahnya gumaman keluar dari celah bibir.

"... hashi? Jembatan?"

Dengan segera jingga perhatikan barisan kata. Abaikan taruna yang kini menatap aneh, melainkan kembali tertegun setelah sadar akan sesuatu.

Angkat di bawahnya adalah sebuah tanggal.

•••

Sang laksmi pandangi langit yang tampak serasi. Merah telah pudar, tatkala kuas tambahkan warna baru. Ciptakan gradasi yang memanjakan mata. Membuat dua insan tak dapat alihkan pandang. Terkunci. Lantas bergeming dengan tuan yang memorak-porandakan hati puan.

Apakah wajar bila ia kembali jatuh cinta?

"Shu, kamu mengajakku bertemu dengan mengirimkanku teka-teki seperti itu," lantas kekehan meluncur dari labium merah muda. Ciptakan kurva tipis pada durja sang adam—sesungguhnya dalam hati tengah memuja paras di hadapan. "Susah tahu."

Hangat menjalari hati dua manusia. Disinari sinar hangat tatkala senja bersuara. Tatapi durja rupawan meski diri tetaplah segan. Dalam diam. Enggan berbicara jujur bahwa sesungguhnya cinta masih ada dalam dada.

"Ujungnya kamu bisa tuh," mata sedikit menyipit. Shuji pandangi adiratna yang selalu berlarian dalam kepala—mengetuk pintu hati serta membuyarkan segala. "Yang penting kita bertemu."

Bulu mata bergetar ketika saling bertubruk. Lantas permata jingga yang terbuka, kini pandangi paras sempurna ukiran Tuhan. Nyaman dipandang mata. Seolah dapat mengalahkan eloknya bumantara. Mungkin sang laksmi yakin bahwa adam di hadapan dapat menang sekalipun bersanding dengan swastamita—ini juga yang sebenarnya dipikirkan oleh Shuji.

"Oh, bagaimana kamu bisa tahu ini jembatan yang dimaksud?"

"Ini adalah satu-satunya jembatan yang pernah kita kunjungi bersama," senyum merekah pada wajah. "Terpikirkan begitu saja olehku. Terlebih, tempat ini tepat di samping danau yang waktu itu kita datangi bersama. Rupanya kamu masih ingat. Shu."

"Tidak juga."

"Bohong. Padahal ini tempat kau mengajakku pacaran waktu itu."


Shuji bergeming. Tidak membuka mulut untuk kembali bertanya, maupun mengatakan maksud dari pertemuan.

"Jadi," adiratna tidaklah bodoh untuk mengetahui bahwa Shuji datang untuk sesuatu yang penting. "Apa yang ingin kau bicarakan, Shu?"

•••

15 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top