panca vimsati

Tuhan mengabulkan doanya. Kini beliau telah mengutus penjaga. Guna mengulurkan tangan, menjemput sang adiratna. Calon bidadari, yang kelak bahagia di nirwana. Tak lagi tersiksa, juga terikat dengan dunia fana. Hanya akan ada bahagia, tanpa kegilaan serta sesak yang membuat pengap.

Tuhan telah menyuruhnya. Dan batara melakukannya. Mencabut kembali panah, serta bebaskan dari derita. Memilih untuk membantu puan kembali ke surga, bersama sang penguasa dan tak lagi menangis setiap malam.

Namun, mengapa harus sekarang?

Rengkuhan mengerat. Mengapa pula, ini harus terjadi di hadapan makam sang kakak? Mungkinkah, Keisuke tak rela dan memilih untuk turun tangan secara langsung? Menjemput sang adik guna abadi bersamanya.

"Aku tidak ingin mati, sungguh. Aku tidak ingin pergi sekarang ... "

(Name) tak dapat berbohong bahwa ia tengah kalut. Takut yang merayap dalam hati, tahu apabila racun yang ditaruh Tetta begitu kuat. Percuma bila pergi sekarang, tubuh adiratna telah mati rasa. Untuk berbicara barang sepatah katapun telah terasa sesak.

"Aku masih ingin bersamamu ... "

Bisikkan lirih itu bagaikan bait sihir yang mengutuk Shuji. Seolah satu kata berikutnya akan membuat dia mati.

Shuji lantas mengangguk pelan. Menyentuh tangan sang puan, ditaruh pada pipi kemudian diusap perlahan. Tersenyum tipis, memandangi rupa yang kerap muncul dalam angan. Terbayang pada setiap malam. Didamba serta membuat kacau segala.

"Aku belum sempat meminta maaf. Aku belum memohon ampun padamu. Tolong, jangan sekarang," kali ini, Shuji mengeratkan rengkuhannya. "Aku menyesal, (Name). Aku sungguh menyesal."

Shuji tak berbohong. Bersumpah, dia sungguh menyesal. Akan segala durjana serta serpihan dosa yang telah ia lakukan. Baik sekarang maupun masa lampau. Dengan segala tangisnya ia memohon akan ampunan puan. Serta, meminta pada Tuhan.

Tuhan, apakah waktu dapat diputar? Apakah Shuji dapat kembali?

Ke masa dimana semuanya masih baik-baik saja. Masa dimana dia dapat tersenyum lebar, menggandeng tangan kekasihnya dan menari di bawah rinai langit. Tertawa dengan begitu kencang ketika dapati raut kesal adiratna.

Apakah bisa?

Tidak, dia tidak meminta. Dia tidak memaksa. Dia tidak rela.

Shuji memohon.

"Shu ... Kisaki-san, bagaimana dengan dia?"

Taruna mengangguk. Kemudian mencium lama karantala puan. Lantas digenggam dengan erat. Menyalurkan kehangatan pada raga yang terasa begitu dingin. Ini tak benar, padahal (Name) memakai pakaian panjang, serta tertutup. Seharusnya, dia merasa hangat.

Namun, mengapa ini begitu dingin?

"Bila yang diminumnya adalah benar racun itu, maka esok dia akan mati," senyum terukir pada durja sang adam. "Bukankah kau harus melihatnya? Kematian dia, penderitaan dia. Sebab semua berakar dari dia."

Bagi (Name) yang kini begitu senang sebab dalang telah diketahui. Apalagi mengetahui Kisaki Tetta akan mati esok hari sebab racun. Dengan dua puluh empat jam penuh derita, sebab racunnya berkontraksi. Seolah organ serta ususnya dipelintir, membuat ludira seolah berhenti mengalir.

Menderita perlahan dari dalam.

Aneh, namun dia bahagia. Merasa senang bila pria itu menderita.

Kurva tipis terukir pada durja pucat. Bersirobok netra dengan tuan rupawan yang meneteskan tirta. Menuju pipi puan, disusul basah pada wajah.

"Mengapa kau menangis?"

Shuji menggeleng. Tak menyetujui akan larik tanya nona dalam dekapan.

"Aku tidak menangis."

Puan mulai lelah. Dengan taruna keras kepala yang masih menyangkal, meski tetesan tirta asin telah jatuh dari kelopak.

"Kau menangis."

Shuji belum sempat berkata serta membisikkan kata cinta pada tuan. Belum juga memeluk penuh kasih sayang serta mencium kening dengan hangat. Dipeluk erat, lantas menyambut sesama kala fajar telah datang.

Itu yang kini dia dambakan. Apakah terlalu sulit?

Namun, bila benar waktu yang diberikan Tuhan padanya adalah sesingkat ini, maka tolong biarkan Shuji berbicara dengan tulus serta menyambung tali kama yang telah putus.

Ribuan kalimat yang ada dalam kepala tak sanggup dijabarkan dalam kata. Shuji mengatupkan labium, mencoba mencari larik sempurna untuknya bicara. Lantas, hanya satu patah kata yang berhasil ia ucapkan. Dengan pita suara yang bergetar serta tangis yang menggelegar.

"Maaf."

Shuji tersenyum tipis. Kali ini melonggarkan genggaman pada lengan yang terjatuh. Beralih memeluk serta menenggelamkan durja pucat dalam dada. Dicium perlahan keningnya dengan begitu lembut, tatkala tetesan airnya jatuh pada ujung pelupuk yang tertutup.

"(Name), aku minta maaf."

Elusan pada daksa tanpa jiwa semakin melemah. Tatkala kenyataan yang menampar telah memaksanya untuk sadar. Kendati begitu, sang adam masih dengan sabar mengelus hawanya.

"Hei, mengapa tidak menjawabku?"

Kali ini, adiratna di atas bertanya pada penjaga. Perihal mengapa menjemputnya. Perihal mengapa harus sekarang.

Adakala ia memohon, untuk Tuhan segera memanggilnya.

Namun, bukan sekarang.

Tidak seperti ini.

Tidak saat semua telah berakhir dan akhirnya ia dapat kembali, ke dalam dekapan taruna yang dicinta.

"Ah, tadi kau bertanyakan, apa aku masih mencintaimu?"

Pahamilah, Shuji. Perihal dosa tak terhitung yang juga telah kau lakukan. Akan tangis serta jeritan yang kau abaikan. Juga adiratna, putri kesayangan Tuhan yang kau tinggalkan.

Ini adalah bayaran. Juga sebuah balasan dari durjana yang kau perbuat.

"Ya, (Name)."

Kau tak akan bisa mengikhlaskannya. Kau tak akan bisa melupakannya.

Senandung serta kekehan kini meluncur dari labium tuan. Disusul tirta yang semakin banyak jatuh menuju durja pucat bernoda merah. Raga yang telah ditinggalkan jiwanya, kini semakin didekap erat.

Tatkala sang pemberi lara dengan gila tertawa. Merengkuh serta membisikkan ribuan kata cnta.

Berharap.

"Aku masih mencintaimu."

Pada laksmi untuk membuka mata.

Dan di setiap malam, ia akan menderita. Mengingat segala teror serta kenangan manis bersama nona yang telah tiada. Bersama kuas yang melukiskan rasa di atas kanvas. Serta terjalinnya benang kama, yang nyatanya telah putus.

Kini, adalah adiratna yang bertanya. Berlutut dengan penjaga yang merengkuh. Malaikat yang memeluk, mengelus pipinya kemudian tersenyum. Ibu tercinta yang dengan haru mengecup. Menatap hangat, memberikannya segala bahagia.

Sebab dia telah menderira. Dia telah berusaha.

Kini, jingganya berpaling. Guna keluarkan larik tanya akan hal yang mengganjal.

"Mengapa, hamba harus kembali sekarang?"

Elusan hangat. Rengkuhan erat. Kecupan pada kening serta bahagia yang menanti, kini telah menciptakan pelipur lara pada ia yang kini tiada. Abadi bersama mereka di sana.

Meski masalah serta kematian penjagamu telah terkuak, itu bukanlah sebuah akhir. Sebab itu adalah siklus kehidupan. Dimana masalah tak akan pernah berhenti datang sebagai rintang cobaan mereka yang fana.

Dan tugasmu sudah selesai, putriku.

Kembalilah, abadi di atas kebahagiaan tanpa batas bersamaku.

Istirahatlah.

Sebab dunia fana tak pantas memiliki bidadari sepertimu.




































•••

Tidak semua harus diakhiri dengan sang putri yang menikah dengan pangerannya. Tidak pula dengan kalimat mereka berbahagia bahkan setelahnya.

Ini bukan dongeng yang dibacakan pada anak kecil.

Ini tentang mereka.

Ini adalah akhir mereka.

Sebab setiap buku memiliki akhir, dan disinilah kisah mereka berakhir.

•••
































6 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top