dwi vimsati

Degup jantung yang berpacu cepat kembali reda selepas jingga sadar bahwa Tetta hanya tak sengaja menjatuhkan cangkirnya. Suara aliran samar di atas ubin, kini ciptakan distorsi ringan kala nyenyat merayap ruangan. Lantas mengukir kurva, menatap adiratna seraya berujar dengan pelan.

"Maaf. Tadi tanganku licin."

Shuji berdecih pelan. Mengalihkan pandang seraya bersandar dengan nyaman. Tak berkomentar apapun perihal pria di samping. Agaknya merasa takjub juga. Tetta benar-benar bermuka dua.

"Iya, tidak masalah," (Name) mengangguk dengan pelan. Urungkan niat berlutut mengelap hitam yang mendistorsi lantai, laksmi memilih keluarkan larik. "Nanti saja dibersihkannya. Tapi apa tangan Kisaki-san baik-baik saja?"

Tetta mengangkat dagu. Diam sejenak perhatikan rupa di hadapan. Kemudian mengangguk dalam diam.

"Iya, untungnya tidak terkena tangan."

Jemarinya terangkat. Menyentuh sudut bibir kemudian menyeka sisa kopi. Mungkin hari ini agak sial. Berniat meminum dua teguk malah berujung tersedak, panas. Lantas dengan refleks pegangan melonggar hingga cangkir menghantam lantai. Setidaknya pria ini bersyukur tidak mengenai celana.

Kekehan manis meluncur dari celah labium. Atensi beralih, menatap sumber suara yang membuat candu rungu. Terpaku, menatap jingga dibalik lebatnya bulu mata. Bertanya dalam senandika apakah wanita ini memang memiliki suara manis bila tertawa?

"Baguslah," dengan perlahan lengannya terulur. Menaruh cangkir kopi di atas meja kemudian kembali duduk dengan tegak. Mengangkat kepala, hendak keluarkan larik sebelum akhirnya garis alis mengerut.

Bersamaan dengan taruna lain, yang kini menoleh. Menyapu pandang pria berkulit gelap yang menyentuh kening. Alis berkerut dengan kurva yang kian luntur. Agaknya pun bingung.

"Kisaki-san, ada apa?" surai legam terayun. Tatkala kepala dimiringkan ke kiri, memandang bingung pria dengan kacamata yang bertengger di hidung.

Shuji menaikkan sebelah alisnya. Terlihat bingung sesaat sebelum akhirnya mengulurkan tangan. Dengan enggan. Bertanya dengan bariton malas.

"Hei, kau kenapa?"

Menggeleng pelan. Seolah tengah hapuskan ilusi yang mendadak muncul. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Pandangan terasa kabur serta berkunang-kunang. Tidak sering mengalami ini, Tetta berpikir mungkin efek keseringan tidur larut malam.

"Tidak ada apa-apa. Hanya sedikit pusing."

Adiratna mengukir senyum. Agak gugup namun berusaha menepis pemikiran pesimis. Menolak direngkuh melainkan dirinya yang menjawab tanpa ragu. Mengeratkan kepalan tangan sebelum akhirnya berujar.

"Manjiro sepertinya akan kembali lebih lama dari yang dikira."

Tetta kembali diam. Tak tahu hendak menjawab apa sebelum akhirnya tersenyum.

"Begitukah?"

"Dia mengunjungi makam keluarganya, pasti lama."

Kepala ditundukkan. Dikala karantala merapikan jas, netra mengerling malas. Tatapi pria dengan surai kusut yang masih enggan beranjak. Bergeming di tempat.

Berdeham pelan, Tetta kemudian berdiri. Memberikan sebuah perintah secara tidak langsung pada Shuji untuk mengikuti.

"Ya sudah kita kembali saja."

Kelereng emas berputar jengah. Bertumpu pelan pada sofa sebelum akhirnya ikut berdiri.

(Name) mengerjap. Diam sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan. Lantas mengeratkan luarannya dan ikut berdiri. Tatapi dua taruna yang mulai berjalan menuju pintu.

Kening kembali mengerut dalam. Timbulkan guratan halus dimana sang adam kini oleng perlahan. Keringat dingin mulai mengucur, disusul suara debuman. Daksa yang rasakan otot tubuhnya mendadak lemah, rasakan dinginnya ubin lantai.

Kisaki Tetta terjatuh.

Napas tercekat. Suara erangan nyeri adalah satu-satunya yang mendominasi hening. Disusul langkah mendekat, insan muda mengulurkan tangan. Hendak membantu sebelum akhirnya taruna penentang batara mencegah. Tanpa ekspresi berdiri membelakangi. Halangi jalan pandang pada pria yang terbaring di atas dinginnya lantai.

"Jangan membantunya, (Name)," netra mengerling. Shuji kemudian menurunkan lengannya. Tak lagi memblokir jalan, melainkan sedikit membalikkan badan. "Dia adalah dalangnya."

"Maaf?"

Bulu matanya saling bertubruk. Diam sesaat sebelum akhirnya jawaban keluar dari celah labium. Menatap paras laksmi, dan mengulang larik menjadi paripurna dengan nada yang lebih lembut.

"Dia adalah dalang dari semua ini."

Tangan Tetta menyentuh dinding dengan perlahan. Susah payah berlutut serta menengadah, menatap dua insan di hadapan. Satu menatap ngeri, satunya lagi datar.

Sedikit menyipit, tatapannya terlihat tidak fokus.

"Brengsek ... Hanma, apa-apaan ini?"

Shuji menaikkan alisnya tidak paham. Bergeming sesaat sebelum akhirnya mendengus. Menatap bingung lantas keluarkan kata.

"Kurang jelas? Tentu saja aku mengkhianatimu."

"Ha! Bukankah kau bilang kau tidak lagi peduli padanya?"

Sang adam dengan anting emas terkekeh pelan. Perlahan surai terayun, ikuti irama angin yang kini mengajukan tawaran dansa.

"Ya, Kisaki. Namun aku tidak pernah bilang bahwa aku tidak akan mengkhianatimu."

Seringai melebar. Pria dengan kulit gelap mengeluarkan tawa gila yang menggelegar. Kecewa, tidak percaya, serta marah mendominasi rasa.

"Brengsek! Pada akhirnya, kamu mengkhianatiku demi wanita jalang itu."

"Aku—"

"Apa buktinya, Shu?"

Shuji menoleh. Menatap sang penanya. Lantas menaikkan alis. Tak terlihat terkejut, melainkan dirasa senang tebakannya benar.

"Oh, aku sudah menduga kau akan menanyakannya. Malesin sih, tapi ini," Shuji mengeluarkan berkas dari balik jas.

Berisi bukti. Perihal kematian. Perihal penjelasan.

Perasaannya campur aduk. Antara senang sebab pertanyaan kini terjawab, juga sedih sebab dia terlalu bodoh. Naif. Untuk sekedar mengetahui bahwa bajingan ini adalah dalang dari segala penderitaan.

(Name) tak lagi memiliki tenaga barang untuk berteriak marah. Melainkan menghela lelah, kemudian menengadah. Menatap Shuji dengan senyum pada wajah.

"Baiklah."

Shuji terkejut, tentu. Pria itu kini menaikkan alisnya.

"Kau percaya secepat itu?"

"Aku sudah tahu lebih dulu, namun masih agak ragu."

Taruna menatap kagum dari balik bingkai kaca. (Name) mengetahuinya? Shuji diam. Agaknya pun merasa bangga. Dia tidak salah jatuh cinta.

"Begitukah?"

"Apa kau kira aku hanya berdiam diri selama ini?"

(Name) menggelengkan kepalanya. Pertemuan serta bantuan dari Takemichi, Naoto, serta Haruchiyo—meski pria ini sangat tidak jelas maksudnya, dan lebih sering membuat (Name) kesusahan dengan sikap main adu—tentu bukan hal sia-sia. Berkat itu pula (Name) perlahan menyusun siasat.

Lantas kepala diangkat. Menyapu pandang taruna yang melenguh, meremas kasar kepalanya.

"Mengapa kau melakukannya?"

Ujung bibir kiri tertarik. Ciptakan kurva sinis dikala pandang ikut beralih. Taruna dengan kulit gelap berdecih. Emosi, sebab dirinya telah lengah.

"Jawab."

Shuji mengerutkan keningnya. Menatap Tetta yang kini terdiam sejenak. Mungkin menimbang apakah sebaiknya menjawab apa tidak.

"Kau tahu? Semenjak Hanma menjalin hubungan denganmu, dia sulit kukendalikan. Namun bagusnya, setekah rencanaku lancar, dia kembali padaku."

Shuji mendengus. Betapa bodohnya, dia dulu mau saja diperalat.

"Bajingan—"

"Apa ini?"

Atensi beralih.

Pada sosok taruna lain di ambang pintu. Dengan kantung mata tebal di bawah mata, pandang tak alihkan dari taruni di dalam. Suaranya monoton, dengan temaram lara yang bersua.

"Manjiro?"

Adiratna terkejut. Tentu dirinya tak mengharapkan pertemuan ini.

"(Name), apa-apaan ini?"

Bagaimana cara dia menjelaskannya? Dengan kekacauan di hadapan ini?

Menepis rasa skeptis, adiratna mulai mengikis jarak. Mendekat ke arah Manjiro dengan berkas pada tangan.

"Lihat ini."

Manjiro menatapnya, enggan mengulurkan lengan. Namun dua kali memaksa, akhirnya taruna menerima. Memperhatikan tiap lembar dengan saksama, sebelum akhirnya larik dengan maksud tidak terduga keluar.

"Kau ... sekarang sedang mencoba menghancurkan Touman?! Ini bisa saja dipalsukan!"

(Name) tertegun.

Dengan bukti yang ada, serta keganjalan yang terjadi semenjak awal, Manjiro tak kunjung sadar?

Kematian adiknya, kematian sahabatnya, bahkan awal dari kehancuran segalanya. Dengan keganjalan mulai dari kemunculan Kisaki Tetta, terlibatnya dia, serta kini.

Dia masih tak percaya?

"Itu berkas asli! Tidakkah kau melihatnya?! Ada catatan saat di rumah sakit! Manjiro, sadarlah! Kau diperalat olehnya!"

Manjiro mengerutkan kening.

Emosi memuncak. Rasanya kepala terasa akan meledak sebentar lagi. Hingga lengan terayun tanpa sadar. Tanpa niat, namun lengan bergerak. Guna meninggalkan jejak merah pada permukaan kulit.

Bukan.

Adalah keterkejutan yang diterima, sebab Manjiro bukanlah pelaku. Melainkan Sanzu Haruchiyo. Pria dengan masker hitam yang kini berdiri di depannya.

"Jangan mengotori tanganmu, Bos."

Diam sesaat.

Adiratna melangkah mundur. Sedikit oleng daksanya, namun sepasang lengan kekar menopang. Tak menerima, melainkan ditepis. Membuat Shuji sedikit merasa sebal, tapi juga tak mengeluarkan kata.

Tetta membekap mulutnya sendiri. Seolah menatap gejolak dalam perut, pria itu masih berlutut.

Nyenyat kuasai ruang, hingga insan muda mendekat pada meja. Mengayunkan lengan dengan cangkir dalam genggam.

Adalah jeritan yang mengisi dikala lengan terayun. Melempar gelas ke arah pria di ambang pintu. Membuat isinya kini tumpah. Mengotori ubin lantai serta menciptakan bau amis saat serpihannya menggores kulit.

Dan, Manjiro gagal memparipurnakan rasa yang selalu ia jaga. Bukan. Bukan cinta. Melainkan afeksi sayang pada keluarga.

Dia sadar.

Dia salah.

Hanya saja, caranya untuk menyamakan penderitaannya dan penderitaan (Nane) juga tidak benar.

Waktu tak dapat diputar.

Semesta enggan memberi suar.

Dan, Tuhan.

Bagaimana cara kami yang fana untuk menembus dosa?

Hening mengisi, sementara setan menjawab. Dengan seringai perangai seram, gelapnya hati serta padamnya pelita mendukung jatuhnya ke dalam jurang.

Kematian, adalah awal yang menanti.

Serta bara api, menunggu dengan siksaan abadi.

Wahai pendosa, wahai pemberi lara. Kini, bagaimanakah caramu menebus durjana?

•••

3 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top