dwi
Sinar senja menyorot hangat dua insan muda. Durja elok lantas mengukir kurva tatkala penglihatannya menangkap bahwa batu yang dilempar telah karam. Sejenak pandangi bayangan diri pada air jernih di hadapan.
Kepala masih dengan nyaman bersandar pada pemuda di samping. Yang mana mengukir seringai khas seraya menertawakan anak kecil yang baru saja terpeleset dan masuk ke dalam danau.
"Shu, anak kecilnya jatuh tuh."
Shuji tertawa. Tangannya melingkari bahu, kemudian mengeratkan rengkuh. Berbagi hangat dengan sang terkasih. Meski netra tak menatap, pemuda masih setia pandangi hiburan di sana.
"Ya sudah, biarkan saja," ujarnya. Kemudian, kali ini kelereng emas mengerling gadis dengan surai hitam sebahu. Yang mana helaiannya menari liar tatkala angin menyapa. "Kau kasihan?"
Labium merah muda mengatup rapat. Membiarkan hening menguasai sejenak. Lalu sang puan memejamkan matanya, lantas mendekatkan diri pada sosok pemuda di samping. Sebuah pertanyaan terlontar dari celah bibir.
"Shu. Ini hanya misalkan," jeda sesaat. Permata jingga terangkat, pandangi durja menawan dengan senyum pada paras. "Kalau suatu hari nanti aku jatuh, kau akan membantuku bangkit atau pergi?"
Lawan bicara terdiam. Tampak terkejut dengan topik yang sungguh tak diduga. Pupil melebar sesaat.
Kemudian, kekehan meluncur dari celah bibir sang adam. Lantas anting emas yang menjadi kesukaan, berayun pelan saat kedua tangannya merengkuh daksa sang adiratna.
"Tentu saja aku akan membantumu, (Name)."
"Pembohong."
━━━━━━━━━━━━━━━
𝟐𝟎𝟏𝟕
━━━━━━━━━━━━━━━
Harapan yang dibisikkan pada setiap bagian kecilnya kini telah hilang dibawa angin malam. Ditiup dengan pelan, namun langsung goyah dan terbang ke udara. Meninggalkan tangkai hijau yang terdiam. Apabila diibaratkan, maka randa tapak adalah bunga yang ada khusus untuk dirinya.
Pengharapan dalam diri kerap menjadi sia-sia.
Bulir-bulir air dari kelopak mata tak henti menetes. Permata jingga kian meredup seiring berjalannya waktu. Ada kalanya diri memohon ampun, hingga saat dimana dia mulai lelah hingga hanya berujar pelan.
Tetesan air mata hangat kini bersatu dengan keringat. Lantas mengalir menuju ujung, kemudian terjatuh dan merembes pada permukaan kasur. Permohonan yang datang dari celah labium tidak dihiraukan, sang adam terus melanjutkan tanpa adanya kelembutan.
Apabila ada yang mengatakan bahwa orang ini adalah jelmaan iblis, tanpa ragu (Name) akan setuju. Tidak perlu berpikir dua kali. Sebab yakin telah ada dalam hati, sudah banyak bukti untuk mengatakan bahwa pria ini adalah iblis.
Dia tenggelam dalam kegelapan yang begitu pekat, dimana tak ada celah bagi setitik cahaya pun untuk mengambil bagian.
"Jika kamu masih memiliki hati nurani ... bunuh saja aku ... "
Adalah kalimat yang tak pernah berhenti keluar dari mulut. Di atas kasur dengan bajingan gila yang bersamanya.
Dia segan untuk mati. Belum memiliki keberanian untuk bertemu dengan kakak dan sang ibunda. Sebab mereka kerap mengajaknya berdoa pada malam natal. Mengajaknya ke kuil pada hari festival, serta melantunkan pupujian.
Lantas, apa jadinya bila (Name) sendiri berbuat dosa besar dengan bunuh diri?
Dia tidak ingin mati. Dia tidak memiliki keberanian untuk mati.
Tapi apakah dia harus hidup? Dengan bajingan ini?
Diri terus membatin, bertanya sejak kapan semua berjalan ke arah yang salah.
Lelah menjerit, diri hanya bergumam, mengulangi kalimat sama hingga muak didengar. Diri memohon ampun pada sang adam untuk berhenti; walau sejujurnya, ia merasa puas.
Sungguh, hal yang sulit untuk ditahan, adalah nafsu duniawi. Meski hati berontak, sayangnya tubuh gagal mengikuti akal sehat.
"Setelah apa yang kau lakukan padaku?" sang adam menyeringai. "Tidak, (Name)."
Bibir bergerak, meninggalkan jejak basah di seluruh tubuh. Ada merah yang tercipta dikala gigi beraksi.
Mata terpejam. Hatinya terasa tercabik, dan jiwa terguncang. Tubuh ternoda untuk ke sekian kali. Benak kembali mempertanyakan apakah manusia ini masih memiliki hati.
Bajingan ini sungguh pantas untuk mati.
Namun kembali berpikir, bukankah dia yang seharusnya mati?
"Manjiro ... aku mohon, hentikan ... saat itu, bukan aku ... "
Bibir bawah digigit. Jari jemari mencengkram seprai merah, dimana ranjang kini penuh dengan bau tubuh.
Ini menjijikkan.
Pria yang kini terengah di atasnya, terkekeh. Sorot matanya kosong, dan dia menjawab dengan nada rendah.
"Tidak setelah kau membunuh adikku."
Hidung memerah. Mata terpejam. Tangisan tak kunjung berhenti, tetapi terganti. Dengan erangan tanpa henti.
Dan kini nafsu menguasainya.
Hal itu terbukti kala sang wanita pasrah. Dengan enggan, mencuri erang. Siksaan membuat suara kuku bergesekkan dengan kasur, menimbulkan suara yang menghancurkan indra.
"Shu ... "
Adalah gumaman yang tak dapat dikeluarkan. Tersangkut dalam tenggorokan, dan kembali ditelan. Tak terucap, namun hilang tanpa jejak. Dibumbui rasa nyeri selagi diri menangis tanpa henti.
Yang tengah mencengkram erat tangannya kini adalah Sano Manjiro. Dengan hawa panas, menoreh luka yang membekas. Meninggalkan noda, serta menghancurkan mental.
Namun mengapa, Hanma Shuji adalah wajah yang terbayang dalam angan?
Dalam diam terus berharap.
Tolong.
Selamatkan aku.
Shu.
•••
1 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top