dasa

Baji Keisuke selamat.

(Name) memang sejak awal tidak berniat untuk berdiam diri. Sudah ia rencanakan untuk datang ke sana. Menyaksikan secara langsung pertarungan antar dua kubu.

Dalam hati ragu, apakah dia sanggup bila bersirobok dengan teman lama. Namun disisi lain senang, dapat perhatikan durja rupawan yang dipuja, menyeringai dengan bercak darah pada pipi, serta tertawa tatkala pukulan kembali dilayangkan.

Setidaknya, itu yang ia bayangkan.

Namun hal yang tidak terduga terjadi, sebab Hanma Shuji mengiriminya pesan.

"Aku minta maaf."

Netra kelabu masih dengan tenang sembunyikan rupa. Napas yang teratur mengisi ruang, diselingi isakkan samar yang terdengar.

Apakah mimpi yang Keisuke alami begitu indah hingga ia tidak kunjung membuka mata?

Seolah nyaman dengan ilusi yang diperlihatkan sang penguasa. Hingga menolak membuka mata. (Name) merasa ini adalah hukuman, dimana sebuah konsekuensi dari doa yang dibuat.

Kekehan lantas meluncur dari labium merah muda. Sang laksmi tersenyum. Teringat bahwa kakaknya dulu pernah berkata, bahwa peyoung yakisoba yang dibuatkan sang ibu rasanya enak.

"Apa kau sedang bermimpi makan peyoung yakisoba?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Konyol."

Karantala sentuh tangan yang lebih besar darinya. Digenggam erat seraya ditaruh di kening. Mengulum bibir, samarkan getaran yang mana ciptakan air asin mengalir setelahnya.

"Aku belajar membuat makanan kesukaanmu itu."

Permata jingga teteskan air asin pada pipi merah muda. Lantas setelahnya bahu bergetar, membuat ruangan dengan bau pekat obat-obattan yang kerap sunyi, dipenuhi dengan isak tangis.

"Jadi, bangun. Tolong buka matamu," napas ditarik dari celah bibir. "Aku mohon, Kak."

Untuk kali pertama panggilan sayang pada malaikat penjaganya disebut. Dimana rasa sesal melingkupi, membuat diri berkecil hati. Bila tahu akan begini, mungkin sejak dulu (Name) akan lebih menghargai kakaknya.

Dan dalam senyap, sosok lain dibalik pintu terdiam. Tak melukis kurva dengan ekspresi gila mau pun tertawa, melainkan dikunjung nestapa. Pejamkan mata, lantas biarkan diri tenggelam.

"... tidak kusangka dia akan menangis sampai sebegininya."

Mungkin adam merasakan sesal yang terselip dalam hati, tatkala saksikan sendiri hawa yang menangis.

•••

Air yang mengalir lantas ciptakan suara menenangkan yang menyapa rungu. Membuat hawa merasa sedikit tenang tatkala sejuk dirasa pada permukaan durja.

Keran dimatikan. Diri menghela napas, kemudian pandangi refleksi diri pada kaca. Merah muda hiasi hidung serta mata. Wajahnya kacau. Merasa lucu, kemudian berujar dengan nada pelan.

"Bila Kei melihatku begini, aku bertaruh dia akan menertawaiku tanpa henti."

Jingga alihkan mata. Kini terfokus pada sebaris kalimat dalam gawai.

"Shu? Dia menyuruhku untuk tidak balik ke kamar?"

Mengerutkan kening, tampak bingung serta tak mengerti. Shuji mengiriminya pesan, berkata untuk tidak kembali ke sana.

Pacarnya memang terkadang bersikap aneh begini. Kadang juga mengiriminya pesan tidak berguna.

"Hah ... ada-ada saja. Aku kan harus menjaga Keisuke."

Sinar redup tatkala benda pipih dimasukkan ke dalam jaket. Gadis sang punya mata jingga lantas melangkahkan kaki. Keluar dari toilet, menyusuri lorong bernuansa putih dengan benturan anting sesekali.

Surai sebahunya ikut terayun, ada satu dua helai yang menyangkut pada emas—namun hanya diabaikan oleh sang empu.

Tangan lantas membeku di depan pintu. Rungu dapati suara tak biasa dari dalam. Pupil menyusut, membuat diri dengan cepat membuka penghalang dengan kakaknya yang terbaring di dalam sana.

"Kei—"

Tubuh serasa lemas.

Daksa yang dikagumi setiap kali layangkan pukulan tanpa henti, demi melindungi sang laksmi, kini kejang-kejang di hadapannya. Bersamaan dengan suara monitor yang menghancurkan rungu.

"KEISUKE!"

Derap langkah mendekati. Diri dengan cepat menekan nurse call.

Karantala sentuh tubuh sang kakak, panik serta bingung harus bagaimana.

"Kei—"

"(Name) ... ?"

Permata jingga dengan cepat beralih. Pupil menyusut, perhatikan eksistensi tak asing di hadapannya.

Sano Manjiro.

Ryuguji Ken.

Sanzu Haruchiyo.

Serta kekasihnya sendiri, Hanma Shuji.

•••

(Name) menggelengkan kepalanya. Memejamkan mata, ciptakan gelap dalam pandang. Lantas diri menghela napas, kemudian bertanya dalam hati, mengapa tiba-tiba memikirkan masa lalu?

"Hei, kau memikirkan apa?"

Kelopak kembali terangkat, pandangi durja rupawan yang kerap dipuja.

Kelereng emas menatapnya. Menelisik dalam diam, kemudian tersenyum samar. Berikan sensasi hangat yang telah lama hilang.

"Maaf, hanya melamun."

Sang wanita terdiam sejenak. Biarkan pria di hadapannya menatap aneh, kemudian mendengus malas.

"Malesin. Berarti kau tidak dengar tadi aku bicara apa?"

"Maaf."

"Pulang saja sana."

Gelang kopi dilempar ke dalam tempat sampah.

Shuji terdiam sesaat, pandangi wanita yang hendak beranjak. Lantas diri menyentuh kancing jas. Melepas satu persatu dari atas, yang mana menarik atensi, membuat (Name) ciptakan tanya pada paras.

"Sedang apa?"

Shuji menaikkan alisnya. Dengan nada malas berujar, "kau kedinginan?"

"Huh?"

(Name) pandangi penampilan diri. Memang dia berpakaian seolah alergi dengan dingin, namun tetap saja sesak. Dia memakai pakaian hitam panjang untuk menyembunyikan merah keunguan dalam tubuh, bukan karena dingin.

"Tidak sih," gumamnya pelan. Lantas memeluk diri. "Memangnya kalau aku kedinginan—"

"Ya sudah, pakai saja ini."

Jas gelap dengan garis terang disodorkan. Menimbulkan raut bingung pada air muka. Sang laksmi lantas naikkan pandang, menatap bingung pria di hadapan.

"Tapi—"

"Malesin. Tinggal ambil saja. Lalu buang," pria itu melemparkannya dengan tak niat. Kemudian memasukkan tangan pada saku dan berbalik. "Aku tidak berminat memakai jas yang sudah pernah dikenakan olehmu."

"..."

Langkah kaki membawanya menjauh. Membuat diri merasa deja vu, namun kini mengulas senyum. Terkekeh dengan helaan napas berat.

Mungkinkah Shuji tidak benar-benar membencinya?

"... padahal aku hanya mau bilang, kalau Manjiro akan marah seandainya tahu aku membawa jas milikmu."

Namun kemudian, kurva terukir pada durja. Ciptakan kehangatan yang mengalahkan mentari, serta membuat buta manusia. Sang hawa tidak tahu apakah adam merasakan hal yang sama.

Sebab tanpa berkata, diri merasa bahagia dengan anjangsana tak terduga bersama sang adam.

Suatu pertemuan yang diatur oleh Eros, membiarkan kedua insan yang merupakan lengkara bersama, menjadi pasangan yang memiliki kemungkinan.

Biarpun hina, namun adiratna berhak bahagia. Dia sudah cukup menderita, dan sang batara pun kini turun tangan.

Melepaskan anak panah, membiarkan takdir bergerak benar. Satukan dua insan, ciptakan sebuah perpaduan.

Antar mereka, yang sesungguhnya saling cinta.

•••

3 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top