caturdasa
Sang adam pejamkan mata. Mengalihkan pikiran dari janji yang telah dilahap jingga. Laksana senja yang tidak akan selalu ada, ia berharap semua berlalu layaknya mimpi belaka. Hapuskan segala ingatan tentang dia, juga lupakan tentang perasaan yang pernah singgah.
Apakah bisa?
Shuji nyatanya memang jatuh cinta.
Namun enggan mengakui.
Eros hanya terkekeh geli tatkala pandangi insan muda yang bertemu. Kala itu, dibawah naungan senja dengan alam yang berirama. Dua pipit yang bersua di atas dahan, kemudian diikuti dengan hijaunya daun yang bergesekkan.
Timbulkan suara.
Serta gema dalam dada.
"Bagaimana kalau kau jadi kekasihku?"
Masih diingatnya bahwa sang laksmi saat itu terkejut. Menatap tak percaya lantas terkekeh.
Namun menerimanya.
Sejak kapan semua menjadi salah?
Apa yang menjadikannya salah? Apakah dia? Atau (Name)?
Bila jumpa tak terjadi antara keduanya, mungkin sakura juga tidak akan pernah mekar. Panah yang disebut cinta tidak akan menancap dalam hati, maupun hangat yang merayap dalam dada.
Shuji menghela napas. Kembalikan kesadaran. Merasa bahwa setelah bertemu (Name) tempo hari, ia menjadi lebih sering memikirkan masa lalu. Rindukan kejadian yang telah menjadi kenangan. Hanya dapat memikirkan dalam angan, tidak nyata, tidak pula bisa digapai.
Langkah kaki membawanya ke depan sebuah ruangan. Karantala hendak menyentuh gagang, namun membeku dikala indra mendengar hal yang berhasil mengguncangnya.
"(Name) memang bukan orang yang membunuh Sano Emma. Dan akan gawat apabila ini tersebar. Mikey—juga Hanma tidak akan melepaskanku."
Kelereng emas melebar.
Jantungnya berdegup dengan kencang. Disusul remasan pada jantung, serta palu yang memukul dadanya. Memberikan rasa sesak tiada banding dikala percakapan yang tidak seharusnya ia dengar, memasuki rungu.
Shuji lantas menatap bayangan diri. Pupil bergetar, sementara kelereng emas pandangi ujung sepatu yang mengkilat.
Keringat dingin menetes.
Jadi, (Name) benar-benar bukan orang yang melakukannya?
•••
Dari awal, ia tidak akan mempermasalahkan (Name) seandainya memang adiratna yang membunuh orang. Dibandingkan tangannya yang sudah bersimbah darah, (Name) bukanlah apa-apa.
Jadi, tidak masalah.
Namun, mengapa ia meninggalkan (Name)? Itu adalah pertanyaan tanpa jawaban—Shuji sendiri tidak tahu apa alasannya.
Dia kembali dipermainkan oleh semesta. Setelah mengetahui fakta yang mengejutkan, Shuji kini dibawa untuk melihat masa lalu. Membuka lebar-lebar mata serta telinga.
Mahkota hitam yang menari tatkala angin berhembus kencang, serta pipi bernoda darah adalah hal pertama yang ia lihat.
Kemudian, kelereng emas alihkan pandang. Menatap tangan adiratna yang kini menggenggam tongkat bisbol.
Gadis itu di sana.
Berdiri, tepat di hadapan raga yang terbujur kaku. Surai pirang kini tenggelam dalam kolam merah.
"Shu ... "
Durja memucat. Ketika sadari dirinya memegang benda dengan darah yang memberi noda.
Mundur perlahan dengan gemetar, (Name) semakin ketakutan disaat Manjiro dan yang lain datang.
"(Name)—"
Manjiro membulatkan mata.
Inginnya laksmi mengatakan bahwa dia bukan pelaku, namun dengan hal seperti ini—apakah ada yang akan percaya?
Shuji saat itu mengerutkan kening. Melihat adanya keberadaan Manjiro, Ken, serta Takemichi, sang adam meninggalkan hawa yang dicinta. Dengan perlahan melangkah mundur, sembunyikan diri dibalik gelap dan menghilang.
"Hah!"
Kelopak terbuka.
Shuji menatap hampa sejenak langit-langit ruangan. Lantas karantala menyentuh dahinya, mengelap peluh yang mengalir lalu mengatur napas.
Lagi-lagi mimpi itu.
Melemaskan tubuh, Shuji kini mulai menurunkan tangannya. Ditaruh di atas permukaan kemeja bagian dada. Sang adam sedikit menyipit dikala sinar senja menyorot lewat celah jendela.
Dia ingat.
Setelah mendengarkan percakapan Kisaki, Shuji tanpa berpikir memilih untuk pergi. Menuju ke ruangannya sendiri, dan berbaring di atas sofa.
"Malesin. Harusnya aku tidur di kasur," gumamnya. Lantas dengan perlahan bangkit untuk duduk. "Sialan. Badanku jadi sakit semua."
Kepala digerakkan ke kanan, lalu ke kiri. Diulang beberapa kali guna hilangkan rasa tidak enak badan serta pegal.
Shuji lantas bersandar pada sofa. Kacamatanya tergeletak di lantai—sepertinya terjatuh. Punggungnya menekuk, sementara netra kembali pandangi langit kamar.
Tak ada yang menarik atensi, hingga kini sebuah wajah yang bangkitkan hangat dalam hati, muncul laksana ilusi.
Mengingat semua yang terjadi, apakah Shuji masih memiliki hak untuk menjadikan (Name) kekasihnya?
"Uh, sialan. Masalah ini semakin rumit semenjak kematian Sano Emma."
Karantala dengan kasar mengacak mahkotanya. Membuat helaian semakin kusut.
Wajah terlihat jenuh. Pucat dan sangat buruk. Dapat dipastikan pria ini belum memakan apapun dari pagi—bahkan sekarang sudah menjelang malam.
Kelopak menutup. Memblokir jalan pandang kelereng emas. Ciptakan gelap serta hitam yamg terlihat, kemudian gambaran seorang wanita muncul dalam benak.
Mengapa dia lagi!
"Bila benar semua ini salah Kisaki ... "
Helaan napas panjang keluar dari celah labium. Lantas kelopak setengah terbuka, membuka sebagian jalan bagi netra untuk melihat. Namun daksa yang kini lelah tetap bersandar pada sofa, sementara karantalanya mengepal dengan emosi yang membuncah dalam diri.
"Haruskah aku membunuhnya?"
Namun Shuji sendiri nyatanya merasa ragu.
Kisaki Tetta bukanlah orang yang mudah untuk dilawan. Membunuh tanpa mengotori jari, baginya hanya sekedar membalikkan telapak tangan.
Dengan dia yang seperti ini, apakah bisa?
Atau, memilih untuk diam dan menutup mata?
Biarkan adiratna yang ia cinta, hidup terkekang dalam sangkar milik iblis.
Seperti yang dulu ia lakukan.
Namun sesungguhnya, Eros sendiri tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Jika batara-batari sendiri tidak dapat berdiri di hadapannya, maka manusia yang fana hanya dapat bergeming. Ketika pena tuliskan barisan kata, menyampaikan cerita bila ia telah memiliki karsa.
Tidak ada yang dapat mencegah.
Tidak mereka.
Tidak pula semesta.
Tentang bagaimana semuanya akan bekerja. Tentang bagaimana semua ini akan berakhir.
•••
12 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top