01. Cokelat Panas Dan Gula
𖡼.𖤣𖥧𖡼.𖤣𖥧
Albedo kembali dengan membawa sebuah nampan berisi empat gelas coklat panas. Klee dan Paimon dengan antusias segera menghampiri pemuda tersebut untuk meminta segelas minuman hangat nan manis itu. Keinginan memenangkan perdebatan sirna sepenuhnya dari benak keduanya tatkala mencium aroma harum yang menguar di udara.
"Wah! Coklat panas!" Makhluk pixie melayang itu berseru gembira dengan mata berbinar. Ia mengangkat tangannya. "Paimon mau satu!"
"Klee juga!" Sang gadis kecil berpakaian serba merah turut mengangkat tangan sambil melompat-lompat kecil.
Keantusiasan mereka mengundang senyum terbit di wajah Albedo. Pemuda bersurai pirang keabuan itu pun menyerahkan segelas coklat panas kepada Paimon dan Klee secara bergantian. "Itu masih panas, jadi tiuplah sebelum meminumnya," tegas Albedo mengingatkan.
Klee mengangguk. "Baik!"
"Kau tak perlu memperingatkan Paimon. Tanpa diberi tahu pun, Paimon akan meniupnya terlebih dahulu," balas Paimon dengan nada sombong sebelum meniup lalu meneguk coklat panas di genggamannya. Helaan napas lega lolos dari bibir mungilnya usai meminum minuman hangat tersebut dalam sekali teguk, ekspresinya tampak puas.
"Tapi, aku mengatakan itu untuk Klee saja." Albedo menimpali ucapan makhluk berambut putih itu dengan ringan― yang menyebabkan Paimon marah dan protes. Ia mengabaikan ocehan peri kecil itu dan menyerahkan segelas coklat panas ke arah adiratna bermata emas yang sedari tadi tertawa pelan. "Silahkan, Lumine."
Lumine tersenyum, tangannya menerima uluran gelas dari sang alkemis. "Terima kasih banyak, Albedo."
"Sama-sama." Albedo turut mengulas senyum. "Bagaimana keadaanmu? Masih kedinginan?"
Sang gadis menggeleng lalu tersenyum. "Berkat mantelmu dan coklat panas yang kau buat, aku tidak merasa kedinginan lagi. Sekali lagi terima kasih."
"Syukurlah kalau begitu."
"Oi! Jangan abaikan Paimon!"
Perkataan bernada tinggi tersebut sontak membuat Albedo dan Lumine menoleh, mendapati Paimon yang memasang wajah marah. Geraman jengkel dapat terdengar dari makhluk melayang itu. Sepasang muda-mudi itu terkekeh, ekspresi tingkah menggemaskan dari Paimon membuat keduanya sedikit terhibur.
Si makhluk pixie berkacak pinggang, ekspresi kesal masih terpatri di romannya. "Kalian senang sekali membuat Paimon kesal, ya."
Lumine berdeham, berusaha berhenti tertawa sebelum tersenyum simpul. "Maaf. Habisnya, ekspresimu benar-benar menggemaskan saat marah."
Albedo mengangguki ucapan sang puan bersurai pirang, menyetujui ucapannya sebelum menyesap coklat panas di tangannya. Sedangkan Paimon hanya melengos sebagai pertanda bahwa ia masih dongkol dengan pengacuhan yang dilakukan oleh si alkemis dan teman sepetualangannya itu.
"Kulihat gelasmu sudah kosong. Apa kau ingin tambah, Paimon?"
Pertanyaan dari suara maskulin itu membuat Paimon mengalihkan pandangan ke arah sang pemilik suara― yang tak lain adalah Albedo. Mata berwarna gelapnya seketika berbinar, raut wajahnya berubah menjadi senang. Tambah? Oh, tentu jawabannya adalah iya.
"Hehe, kau benar-benar peka ya, Albedo," puji Paimon dengan senyum lebar. Ia terbang mendekat ke arah pemuda bermata teal itu, mengulurkan gelas yang telah kosong ke arahnya. "Paimon ingin tambah! Oh oh! Tambahkan lebih banyak coklat ke minumannya kali ini, ya!"
Albedo menurunkan gelas dari bibirnya, tersenyum dan mengangguk singkat. Tangan bersarungnya menerima uluran gelas kosong makhluk bersurai putih itu. Responnya tersebut berbeda jauh dengan Lumine yang menghela napas lelah sembari memijit kening. Teman melayangnya itu memang rakus soal makanan.
"Paimon, kau ini tidak memiliki rasa segan sama sekali, ya," tutur Lumine sambil menggelengkan kepala. Paimon menanggapi tuturan tersebut hanya dengan kekehan dan senyum kecil.
Albedo tersenyum melihat interaksi antara keduanya. Mereka saling mengejek, namun tersenyum dan tertawa bersama beberapa saat setelahnya. Kolerasi manusia begitu rumit, namun juga menakjubkan.
Namun, hal yang membuatnya tak kalah bingung adalah rasa hangat dan desiran aneh di dadanya tatkala menatap adiratna bermata madu itu. Lumine memang rupawan, ia tahu itu sejak pertemuan pertama mereka. Namun, entah mengapa, kali ini gadis itu tampak berbeda. Ia tampak lebih cantik― lebih bersinar dari pertemuan mereka yang sebelum-sebelumnya.
Lamunan Albedo buyar tatkala merasakan tarikan lembut dari ujung jemarinya. Lantas, ia menoleh, mendapati Klee yang mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dengan pipi yang menggembung. Pemuda itu pun tersenyum simpul dan meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Klee. Sepertinya, aku terlalu larut dalam pikiranku."
Ucapan dari pemuda itu membuat Klee mendengus kesal. Namun, ekspresi kesal yang menghias iras manis tersebut hilang sedetik kemudian dan tergantikan dengan senyum lebar. Kekehan lucu lolos dari bibir mungil si gadis kecil.
"Tidak apa-apa, Kak Albedo," kata Klee sembari menggelengkan kepalanya. Ia kemudian melompat-lompat dengan gelas di genggaman tangan. "Tolong isi ulang gelas Klee!"
"Iya, iya." Albedo meraih gelas yang dipegang Klee, kedua bibirnya terangkat― membentuk sebuah senyum kecil.
Klee mengangkat tangannya, sebuah gestur yang tiap kali dilakukannya saat ingin bertanya atau mengatakan sesuatu. "Klee ingin coklat panasnya terasa lebih manis!" ujarnya dengan rona wajah cerah.
Pernyataan Klee tersebut langsung ditolak oleh Albedo. Sang alkemis menggelengkan kepalanya― yang menimbulkan ekspresi wajah si gadis mata rubi menjadi muram.
"Mengonsumsi terlalu banyak makanan atau minuman yang mengandung gula itu tidak baik, Klee. Gigimu akan berlubang," ucap Albedo dengan ekspresi serius.
Ucapan tersebut membuat bibir Klee semakin mengerut. Albedo membuang napas panjang, ia sudah tahu tanggapannya pasti seperti ini.
"Klee ingin lebih banyak gula!" Klee merengek dengan suara keras, air mukanya kembali menunjukkan ekspresi kesal.
"Klee--"
"Pokoknya, gulanya lebih banyak!" Klee memekik sambil menghentakan kaki. Ia kemudian mengalihkan pandangan dengan tangan bersedekap di depan dada. Kedua pipinya menggembung― sebuah gestur yang sering dilakukannya tatkala merajuk. Hal tersebut membuat Albedo memijat kening.
Lumine tersenyum melihat interaksi kakak beradik tak sedarah itu. Melihat pertengkaran kecil mereka menimbulkan sebuah rasa hangat dalam hati, membuatnya teringat akan memori masa lampau dengan sang saudara― yang saat ini entah berada di mana.
Gadis itu segera menggelengkan kepala tatkala perasaan melankolis¹ kembali muncul dalam hati. Ia kemari untuk mengantar Klee dan mengunjungi Albedo, tidak sopan rasanya jika dirinya bersedih dalam suasana yang hangat ini.
Lumine memandang kedua saudara yang masih berdebat itu lalu kembali tersenyum. Ia berkata, "Turuti saja keinginan Klee, Albedo. Lagipula, dia sudah jauh-jauh datang kemari, 'kan? Anggap saja tambahan gula itu sebagai hadiah untuknya."
"Paimon setuju dengan Lumine. Sedikit gula tidak akan menyakiti siapapun, benar 'kan?" timpal Paimon yang diangguki oleh Lumine.
Hal tersebut membuat sang alkemis berpikir sejenak, tangannya memegang dagu. Dipikir-pikir lagi, apa yang dikatakan Lumine dan Paimon ada benarnya. Perjalanan dari Mondstadt ke Dragonspine cukup jauh dan melelahkan. Ditambah lagi, suhu udara di pegunungan tersebut sangatlah dingin dan dapat menyebabkan hipotermia. Dalam hati, ia mulai menyetujui perkataan dua sekawan itu.
Kedua mata teal miliknya melirik ke arah Klee, mendapati gadis itu tengah menunjukkan wajah memelas dengan mata berkaca-kaca layaknya anak anjing yang tersesat. Melihat adiknya yang demikian, bagaimana Albedo bisa menolak?
Lagi-lagi aku tak bisa menolak, batinnya disertai helaan napas pelan. Pada akhirnya, Albedo memutuskan untuk menuruti kemauan Klee. Pemuda itu pun mengangguk singkat. "Baiklah. Tapi, untuk kali ini saja, sepakat?"
Klee dengan antusias menganggukan kepalanya, tangan kananya mengacungkan ibu jari. "Sepakat!"
Dengan begitu, Klee menyerahkan gelas kosongnya kepada Albedo. Senyum tak luput dari wajahnya karena keinginannya sudah dituruti. Paimon memberi gadis kecil itu sebuah tos, sedangkan Lumine hanya tersenyum simpul.
"Lumine, kamu ingin tambah juga?"
Mendengar namanya dipanggil, sang gadis pirang menoleh dan mendapati Albedo yang tengah tersenyum ke arahnya. Ia lantas melebarkan senyumnya dan mengangguk. "Jika kau tak keberatan," responnya sembari menyerahkan gelas yang telah kosong ke arah sang alkemis.
Albedo menerima uluran gelas tersebut. "Apa kau ingin porsi gulanya juga ditambah?"
Lumine menggeleng pelan. "Tidak usah, terima kasih. Yang tadi rasanya sudah pas kok."
"Benarkah?"
Sang gadis pengembara mengangkat sebelah alisnya heran. Pasalnya, ia dapat nada jahil yang samar dari pertanyaan kedua yang dilontarkan oleh pemuda Kreideprinz itu. Daripada menunda waktu hanya untuk sekedar mengobservasi hal yang sepele, Lumine memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Tentu?" jawab si pirang dengan nada yang lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan. "Mengapa kau menyanyakan hal tersebut?"
Albedo lagi-lagi tersenyum. "Tidak. Aku hanya ingin memastikan. Maksudku, mungkin saja kau mempunyai selera yang sama dengan Paimon dan Klee."
"Apakah kau menganggapku anak kecil?" Lumine bertanya dengan nada senetral mungkin. Walau begitu, Albedo dapat menangkap kekesalan dalam kalimat pertanyaan tersebut. Dan hal itu membuat senyum si alkemis sedikit melebar.
"Aku tidak berkata demikian. Kau sendiri yang menyimpulkan seperti itu," papar lelaki bersurai pirang keabuan itu. Ia kemudian sedikit menelengkan kepalanya. "Apakah aku harus mencium punggung tanganmu untuk membuktikan bahwa diriku menganggapmu sebagai seorang wanita, Nona Honorary Knight?"
Lumine mengedipkan matanya berkali-kali, bingung dengan ucapan teman jeniusnya itu. Namun, beberapa saat kemudian, semburat merah langsung mewarnai pipi putihnya. Sedang Albedo hanya menyeringai jahil, membuat perangai si gadis pengembara yang telah memerah menjadi kian merah bak apel ranum.
"Oh? Wajahmu memerah. Apa kau baik-baik saja?"
Spontan, Lumine memegang kedua pipinya. Dan benar saja, pipinya terasa hangat. Ia lantas mendengkus pelan, tahu betul bahwa Albedo tidak benar-benar mengkhawatirkannya saat ini― pemuda itu hanya ingin menggodanya agar semakin jengah.
"Aku baik-baik saja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan," elak Lumine sambil memalingkan wajah, tangannya mengeratkan mantel yang membungkus tubuhnya.
"Lumine, kau benar-benar baik-baik saja, 'kan? Paimon khawatir," sahut Paimon sembari terbang ke hadapan si gadis pirang, kekhawatiran terlukis jelas di perangainya.
Tatkala ingin menjawab, Lumine merasakan tarikan pelan di ujung jemarinya. Saat dirinya menoleh, ia mendapati Klee yang turut memasang raut wajah serupa dengan Paimon.
"Kak Lumine tidak berbohong, 'kan?" Gadis bermata rubi itu mengeratkan genggaman pada jemari miliknya. "Kata Master Jean, berbohong itu tidak baik, lho!"
Mendapat reaksi yang demikian, sang hawa tertawa pelan. Mereka sangat mengkhawatirkannya. Andai mereka tahu bahwa yang membuat wajahnya seperti ini bukanlah karena sakit.
Tangan kanan Lumine menepuk pelan topi Klee, sedangkan tangannya yang lain mencubit pipi gembul milik Paimon― yang membuat peri kecil itu mengerang kesal.
"Aku baik-baik saja, sungguh. Kekhawatiran kalian berlebihan," tanggap Lumine dengan tangan kiri yang masih menarik-narik pipi pemandu mungilnya, kanan tangannya pun melakukan hal yang sama pada pipi si gadis berpakaian merah.
Setelah puas, sang pengembara melepaskan tangannya dari kedua pipi empuk tersebut dan melanjutkan perkataannya, "Wajahku memerah karena efek udara dingin di sini, itu saja."
"Begitu, ya. Yah, syukurlah kalau begitu. Paimon menjadi lega," balas Paimon dengan senyuman sebelum raut wajahnya berubah menjadi kesal. "Tapi, kau tak perlu mencubit dan menarik pipi Paimon seperti tadi!"
Lumine mengendikan kedua bahunya, bibirnya membentuk senyum jahil. "Habisnya pipimu empuk dan lembut sekali, aku jadi tidak tahan untuk mempermainkannya."
Paimon akhirnya hanya mendengkus kesal, hal tersebut membuat Lumine terkekeh sekali lagi. Makhluk melayang itu kemudian terbang ke arah Klee, mengajak si gadis kecil untuk bermain bola salju. Sang anak perempuan berkuncir dua pun lantas mengangguk cepat dan mengiyakan ajakan Paimon.
Dengan begitu, Paimon dan Klee pergi ke tanah berselimut salju yang tak jauh dari kamp milik Albedo, meninggalkan Lumine yang berdiri di tempat dan memandang keduanya dengan pandangan teduh.
"Tampaknya kau berhasil mengelabui mereka."
Mendengar suara maskulin tersebut, Lumine lantas menolehkan kepala ke sumber suara, mendapati Albedo yang tengah meliriknya dengan senyum remeh. Sang adiratna memejamkan mata, berusaha menutupi rasa kesalnya. Ia kemudian bertanya, "jadi, kau berpikir aku berbohong?"
Albedo mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, aku rasa?"
"Jawabanmu tidak jelas."
"Jika aku memperjelasnya, wajahmu akan memerah lagi, bukan?"
Lumine mendecakkan lidah lalu membalikkan tubuhnya, kedua pipinya memerah samar. Ia kemudian berceletuk, "U-Udaranya terasa semakin dingin. Aku akan pergi ke dekat api unggun untuk menghangatkan tubuh."
"Ah. Begitu, ya," balas Albedo dengan senyuman. "Jika kehangatan api unggun belum cukup, aku akan dengan senang hati membantu--"
"TIDAK PERLU!" Lumine langsung menyela dengan nada memekik sebelum akhirnya berjalan cepat ke dekat api unggun yang ada di kamp. Ia tak mau lagi dijahili oleh kata-kata lelaki bermata teal itu lagi.
Di sisi lain, Albedo justru terkekeh. Respon yang Lumine berikan saat tengah digoda sangatlah imut dan menggemaskan― membuat dirinya tidak tahan untuk terus menggodanya.
Sepasang netra teal jernihnya menatap punggung kecil yang semakin menjauh itu sebelum mengalihkan pandangan ke beban yang ada di tangannya. Ah, aku hampir lupa mengisi ulang gelas-gelas ini.
Usai membatin demikian, Albedo turut berjalan ke arah kampnya. Bagaimanapun, ia tak bisa membiarkan para tamunya terkena hipotermia karena udara ekstrem Dragonspine.
𖡼.𖤣𖥧𖡼.𖤣𖥧
Scroll to continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top