Keenam โ€• Buku dan Opera

Theme VI/VII โ€• Fake Love
Xingqiu x Yun Jin

|1281 kata|

*+:๏ฝก.๏ฝกใ€€๏ฝก.๏ฝก:+*

"Kau benar-benar beruntung bisa menikah dengan putra Kekuarga Guhua!"

"Pasti hidupmu tentram sekali."

"Ah ... enaknya. Aku menjadi iri denganmu."

"Enak sekali ya menjadi dirimu, punya suami yang baik dan kaya."

Sudah ratusan kali perkataan-perkataan itu masuk ke telinga Yun Jin sejak ia menikah dengan Xingqiuโ€• putra kedua dari Keluarga Guhua yang tersohor.

Keluarga Guhua terkenal dengan kekayaan melimpah serta anggota keluarga mereka yang menjunjung tinggi adab dan tradisi. Sehingga, menjadi bagian dari keluarga itu merupakan hal yang hampir mustahil bagi orang-orang biasa.

Sehingga ketika Yun Jin didapati menikah dengan putra bungsu keluarga ternama tersebut, ia langsung dihujani segala kalimat yang mengatakan bahwa mereka iri dengan dirinya oleh para gadis yang datang ke pesta pernikahannya.

Bahkan, kalimat-kalimat itu masih didengarnya hingga sekarang. Sang adiratna pemain opera hanya tersenyum sebagai jawaban, tak ingin tampak congkak maupun dikata tak bersyukur akan karunia yang didapat.

Yah, Keluarga Guhua memang memerlakukannya dengan hangat. Terlebih lagi suaminyaโ€• Xingqiu.

Terlepas dari pernikahan mereka yang hanya berlandas persetujuan dari kedua pihak keluarga, pemuda tersebut senantiasa memberikan rasa nyaman, pula mengerti apa yang dibutuhkannya layaknya seorang suami yang baik.

Ucapan para gadis itu memang tidak salah, Yun Jin memang seorang yang bahagia dan beruntung.

โ€ปโ€ปโ€ป

Dehaman panjang lolos dari bibir Yun Jin, ekspresi bingung terlukis jelas di rupa jelita miliknya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja berulang kali, sebuah usaha agar pikiran mendapatkan secercah ide untuk melanjutkan untaian kata. Yun Jin tengah mengalami writer-block.

Sang puan bersurai hitam awalnya mengira ia bisa menyelesaikan naskah operanya dalam sekali tulis, namun ekspetasinya tak sesuai dengan realita saat ini. Ia benar-benar membutuhkan masukan ide sekarang.

"Harus kulanjutkan bagaimana, ya," gumam Yun Jin sembari mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai. Sesaat kemudian, ia mendecih kesal. "Terkutuklah kau writer-block."

"Hm ... ada yang sedang buntu, ya?"

Yun Jin spontan menoleh ketika rungunya menangkap suara itu, mendapati Xingqiu yang tengah tersenyum ke arahnya. Ia sedikit mengangkat nampan berisi sebuah teko dan dua buah cangkir. "Butuh penyegar pikiran?" tawarnya ramah.

Tatapan sepasang nayanika merah delima berubah teduh, raut wajah pun turut menjadi cerah. Yun Jin mengangguk. "Aku sangat membutuhkannya."

"Satu gelas teh yang nikmat akan segera tersaji untuk anda, Nona." Xingqiu berujar dengan kepala menunduk hormatโ€• yang mana membuat Yun Jin terkekeh manis. Setelahnya, ia berjalan ke arah meja tempat sang puan duduk.

Pemuda bersurai biru tua itu meletakkan nampan di atas meja, kedua tangan kini memegang teko dan menuangkan isinya ke dalam salah satu cangkir. Usai hampir penuh, ia meletakkan cangkir tersebut di dekat Yun Jin.

"Silahkan."

"Terima kasih," ucap Yun Jin sambil mengangkat cangkirnya.

Xingqiu tersenyum. "Sama-sama."

Pemuda Guhua itu lantas menuangkan teh ke cangkirnya sendiri, duduk di kursi yang bersebrangan dengan posisi sang istri. Ia mulai meneguk tehnya.

Kedua netra merah Yun Jin melirik sejenak ke arah Xingqiu yang duduk di hadapannya. Posisi duduknya yang tegak dan anggun begitu nyaman dilihat, sinar mentari pagi yang menimpa sosoknya menonjolkan segala keindahan yang tersimpan dalam diri pemuda itu. Pandangan sang adiratna tak dapat berpaling.

Xingqiu merupakan sosok yang rupawan, Yun Jin menyadari hal tersebut sejak pertemuan pertama mereka.

Memiliki rupa tampan (atau cenderung lebih tepat dikata cantik?), postur tubuh yang bagus, kaki dan lengan nan ramping, serta jemari tangan panjang dan lentik layaknya ranting kayu. Benar-benar definisi sebuah sosok yang elegan.

Namun, bukan itu yang membuat Yun Jin jatuh hati pada pria muda bermata emas tersebut.

Santun kala berbicara, memiliki etika yang bagus, berwawasan luasโ€• hal tersebutlah yang membuat Yun Jin mulai tertarik pada Xingqiu. Tetapi, hal yang membuat sang gadis bernetra delima benar-benar menaruh rasa adalah karena betapa berdedikasinya sang pemuda kutu buku dalam dunia kepenulisan.

Yun Jin masih ingat betul bagaimana Xingqiu membantunya dalam penulisan naskah opera semasa mereka masihlah sepasang teman dengan minat serupa. Dan hingga saat ini, pemuda itu masih melakukannya. Sungguh seorang suami yang pengertian.

"Sudah mendapatkan ide kelanjutannya?"

Yun Jin menurunkan cangkir dari bibirnya, lantas menggeleng. "Tapi, pikiranku sudah menjadi agak rileks. Terima kasih, Xingqiu."

"Tidak masalah," balas sang pemuda sebelum kembali meminum tehnya.

"Oh, ya bagaimana dengan buku barumu?" tanya Yun Jin tiba-tiba, yang mana membuat Xingqiu hampir menyemburkan teh di dalam mulutnya. "Apakah kau tidak mengalami kesulitan?"

"Yah ... soal itu...," Xingqiu berdeham, memberikan senyum canggung setelahnya. "... Sebenarnya, aku juga sedang mengalami kebuntuan ide."

Yun Jin terkekeh. "Kita berada di situasi yang sama, ya."

"Hm."

"Tapi aku sedikit terkejut, seorang penulis sehebat Tuan Zenyu bisa mengalami kebuntuan ide juga."

"Yah, tak semua hal akan berjalan lancar secara terus-menerus, bukan?" tanggap Xingqiu, ia memalingkan wajah ke samping. "Dan tolong berhenti menyebut nama penaku."

Tawa geli lolos dari bibir Yun Jin, merasa sangat terhibur akan reaksi yang diberikan oleh sang suaminya. "Maaf," ucapnya sambil berusaha menahan tawa.

Xingqiu menghela napas. Pemuda itu lantas bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri si gadis berambut hitam yang masih meminum teh di seberang meja.

Yun Jin memasang ekspresi bingung kala Xingqiu mengulurkan tangan ke arahnya. Namun, terucap dari mulut sepersekian detik kemudian membuat sang gadis tersenyum sumringah.

"Yun Jin, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar untuk mengubah suasana?"

โ€ปโ€ปโ€ป

Yun Jin menyampirkan anak rambutnya yang tertiup angin ke belakang daun telinga, sepasang nayanika delima miliknya memandang sekitar.

Lampu-lampu yang berjejer di pinggir jalan telah dipadamkan, para pemilik kedai mulai menaikkan tirai untuk persiapan menyambut pelanggan. Suara ombak berderai begitu merdu, bersatu-padu dengan suara langkah sepatu para nelayan yang berjalan di bawah angkasa jingga keemasan.

Tak sunyi, pula tak ramai layaknya kala siang. Pemandangan dan suasana Pelabuhan Liyue saat itu benar-benar menyejukkan hati sang gadis bersurai hitam.

"Bahkan saat matahari belum mendekati puncaknya, pelabuhan sudah ramai sekali, ya?"

Yun Jin menoleh, mendapati Xingqiu yang tengah menikmati pemandangan sambil tersenyum. Lantas, segaris senyum turut terbit di rupa sang puan. "Yah, Pelabuhan Liyue adalah tempat transit barang-barang dagang dari seluruh negeri di Teyvat. Tak heran jika saat ini sudah cukup ramai," jawabnya.

"Kau memang benar," balas Xingqiu. "Aku sudah tahu dari dulu, tapi entah mengapa ... berjalan di pagi hari seperti ini rasanya sangat menenangkan."

Yun Jin mengangguk setuju, pandangannya menatap dua pasang tungkai yang berjalan beriringan. Senyuman kecil tersampir, ia berharap waktu berjalan lambat saat iniโ€• berharap momen manis dan nyaman yang dialami tak akan pernah berakhir.

Langkah Yun Jin terhenti kala mendapati tungkai Xingqiu berhenti melangkah. Ia pun mengangkat pandangan, berniat menanyakan alasan mengapa pemuda di sampingnya itu berhenti. Namun, yang didapatinya hanyalah sebuah pemandangan yang menimbulkan lara dalam hatinya.

Di sana, Xingqiu berdiri mematung sembari memasang tatapan teduh penuh kasihโ€• sebuah tatapan sebagaimana seseorang melihat kekasih yang dicintai. Sebuah tatapan yang tak pernah Yun Jin dapatkan sekali pun selama pernikahannya.

Dan sosok yang mendapat pandangan tersebut adalah seorang gadis yang sangat familier baginya. Seorang gadis cantik nan ceria dengan rambut cokelat panjang yang diikat di kedua sisi, mengenakan topi hitam sesuai dengan busananyaโ€• Hu Tao, sang Direktur Wansheng Funeral Parlor. Perempuan muda itu berdiri jauh dari mereka, kemungkinan besar tak akan menyadari keberadaan dua sosok yang kini tengah memerhatikannya.

Yun Jin mengepalkan kedua telapak tangan, bibirnya dipaksakan tersenyum untuk menahan cairan bening yang mulai terkumpul di pelupuk mata. Hatinya terasa sakit, sangat.

Sang adiratna bermanik delima terlalu terbuai akan perlakuan manis dan hangat yang diberikan oleh suaminya-- ralat, pemuda yang dinikahkan paksa dengannya. Terlalu tenggelam, hingga melupakan satu fakta pahit.

Ia hanya mendapatkan raga, namun tidak dengan hati sang pemuda. Hati milik sang kekasih telah lama hilang, terbang dibawa sekumpulan kupu-kupu bercahaya hangat sebelum sempat ia raih.

*+:๏ฝก.๏ฝกใ€€๏ฝก.๏ฝก:+*

โฎ Scroll down to continue โฏ

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top