9. Kolektor
Dave
Tidak bisa bertemu dalam
waktu dekat, Jade.
Sibuk sekali belakangan ini.
Maaf.
.
.
.
JADE membalas pesan singkat Dave dengan selarik permintaan tolong agar pria itu berkenan menghubunginya beberapa hari kemudian. Selepasnya, ponsel itu kembali tergelincir ke kasur, terkubur bersama selimut dan bantal-bantal di kamar.
Ini masalah pelik. Bila Jade terus-terusan membiarkan dirinya tinggal bersama Cordelia, sama saja seperti memelihara bom yang sewaktu-sewaktu akan meledak. Dia, cepat atau lambat, harus segera memberitahu Dave tentang apa yang terjadi pada lukisan terkutuk itu. Kalau tidak, nyawanya akan terancam lantaran darahnya terkuras habis akibat memberi makan perut iblis terus-menerus.
Setelah beberapa hari mencoba berdamai dengan situasi, ketakutan Jade tak kunjung pudar. Cordelia masih tetap menyeramkan―gerak-geriknya serupa gagak hitam yang bertengger di atas ranting dan mengawasinya dengan keanggunan yang misterius. Gadis itu jarang berbicara. Dia lebih sering menatapnya lurus dan menunjukkan tanda-tanda seperti hendak melucuti aibnya sampai ke tulang. Terkadang, Cordelia akan tersenyum tanpa alasan, mendadak saja muncul di belakangnya seakan-akan baru melakukan teleportasi, atau berbicara dengan nada menggumam lirih―persis seperti tukang ramal yang membisikkan nubuatnya ke para korban.
Eksistensinya begitu memikat, gelap, tetapi tak terbaca. Laksana mawar hitam yang terkurung dan diawetkan di dalam kotak kaca.
Kemarin saat bangun tidur, Jade mendapati Cordelia berdiri memandang lukisan potret dirinya yang menggantung arogan di dinding. Sorotnya suram sementara atensinya terpaut pada bidang datar yang berparas identik dengan wajahnya. Saat Jade menanyakan apa yang Cordelia lakukan di sana, gadis itu membalas, “Aku kepikiran untuk membakar lukisan ini.”
“Kenapa?”
“Karena lukisan ini seperti memburuku.”
“Itu adalah potretmu, Cordelia.”
“Potret yang terkutuk.” Lalu Cordelia berpaling pada Jade yang masih berbaring sambil memeluk bantal di kasur. “Memiliki benda terkutuk bisa menyeretmu ke takdir kematian yang tidak wajar.”
“Itu kan dongeng zaman dulu.”
“Kau masih saja tak percaya sihir walaupun kau tahu aku sudah tinggal bersamamu selama beberapa hari ini.”
Sihir, katamu? Jade memejamkan mata rapat saat mengingat percakapan kemarin pagi. Anggapan mengenai Cordelia yang seorang penyihir lama-lama menjadi sesuatu yang masuk akal. Entah di masa lalu atau masa sekarang, makhluk pengisap darah dianggap sebagai dongeng mistis yang tidak masuk akal―penyihir licik, monster jahat, keturunan terkutuk, iblis yang lahir dari perut bumi. Satu hal yang dipermasalahkan Jade hanyalah perihal parasnya yang terlalu rupawan. Mengapa semua hal yang mengerikan terselubung oleh kemasan yang cantik? Apakah ini menjadi trik iblis untuk menjerat korban?
“Cassio?”
Suara ketukan di muka pintu membuat Jade terkesiap. Pemuda itu lupa bahwa dirinya sudah membiarkan benaknya terekspos terlalu lama. Apakah Cordelia barusan mendengarkan isi kepalanya?
“Ada apa?” tanya Jade.
“Ada orang yang mencarimu.”
Jade buru-buru turun dari kasur dan membuka pintunya lebar-lebar. Hari ini, Cordelia mengenakan gaun merah yang kainnya jatuh sampai menyeret lantai. Dia terlihat lebih ramping dan seksi dalam balutan satin yang licin, terutama karena potongan dadanya yang, astaga ... terlalu rendah.
“Siapa yang mencariku?” Jade berusaha tidak melirik belahan dada Cordelia yang menonjol malu-malu dari balik gaun.
“Aku tidak tahu. Dia bilang dia mencari orang yang menjual barang antik dari … website. Sepertinya namanya itu.”
“Oh,” Jade menaikkan alis. Hampir saja dia melupakan bisnisnya. Dua hari kemarin, seseorang memang menghubunginya dari laman website untuk melakukan pembelian barang antik secara langsung. Namanya Clayton―Claire, Clavey, atau apalah. Dia tak pernah ahli menghafal nama orang yang baru ditemuinya―atau mungkin hanya malas saja.
Pemuda itu menyela Cordelia dan turun ke lantai pertama.
Berdiri di ambang luar pintu, seorang pria muda berpotongan perlente memandangi Jade sambil tersenyum simpul―barangkali senyum elegan lebih cocok untuk mendefinisikan presensinya. Tinggi dan potongan tubuhnya menyamai Jade―yang bisa dikatakan proporsional untuk ukuran model majalah, dan wajah serta dandanannya memang sepadan dengan para aktor yang sedang melakukan syuting untuk reality show. Sungguh kontras dengan dandanan Jade yang lebih cocok berseliweran di sekitar Lower Manhattan sambil berjualan burger.
“Anda pasti ….” Jade berpura-pura mengingat nama pria itu.
“Caspian Pelleanore.”
“Sir Pelleanore, benar. Saya Jade Cassio.” Mereka berjabat tangan singkat. Jade merasakan kesan yang kuat ketika berjabat tangan dengan pria ini. Dia terlihat berwibawa, menawan, dan juga sangat tampan―tipikal incaran kaum wanita yang menyukai pesta dansa di hall mewah dan barang-barang bermerek. Jelas tidak bisa disandingkan olehnya yang berbau debu dan oli lantaran lebih menyukai mendekam di garasi sambil merakit ulang mesin-mesin.
Namun, penilaian Jade terputus karena baru menyadari bahwa sejak tadi Caspian tidak benar-benar bertatap muka dengannya, melainkan pada sosok yang berdiri agak jauh di belakang.
Siapa lagi kalau bukan Cordelia?
Gadis itu menyaksikan keduanya seperti gagak yang mengawasi mangsa. Penampilan dan wajahnya yang mencolok pasti menarik perhatian Caspian.
“Ah, dia … teman saya,” Jade menambahkan lirih. Seolah bisa membaca kekalutannya, Cordelia membuang muka seraya pergi dari tempat itu.
Caspian berkedip―nyaris kelihatan linglung, seperti seorang korban yang baru saja sadar dari sihir yang mengikat. Presensi Cordelia pasti meninggalkan penasaran di hatinya. “Maaf bila tidak sopan,” katanya pada Jade, “tapi teman Anda sungguh cantik.”
“Yeah, dandanannya memang menonjol.”
“Saya yakin teman Anda memiliki selera yang tinggi.”
Entah bagaimana Jade tidak menyukai komentar barusan. Selepas perkenalan singkat itu, dia mempersilakan Caspian melintasi foyer rumahnya dan menunggu di ruang tamu, sementara Jade pamit sebentar untuk mengambil barang yang hendak dijualnya; sebuah crystal dagger―belati kristal dari abad 16, yang ditemukan pertama kali di Roma dan berpindah tangan sebanyak sembilan kali oleh pemilik yang berbeda-beda. Kotak belati itu berlapis perunggu dan sangat berat. Jade membawanya dengan dua tangan, lalu meletakkan benda itu di atas meja.
Caspian memandangi kotak itu dengan kepuasan yang hanya bisa disadari oleh sesama pengoleksi barang antik.
“Oh, Sir,” kata Caspian, dengan suaranya yang berat. “Saya tidak menyangka bisa mendapatkan barang istimewa ini di sini, di Ruswer. Setahu saya, pemilik terakhirnya adalah seorang veteran tentara yang tinggal di Sumatera.”
“Anda bisa mengeceknya sendiri. Saya juga punya dokumen yang menyertai keasliannya.” Kemudian Jade membiarkan Caspian memeriksa dokumen di dalamnya. Selang beberapa menit kemudian, pria itu mengangguk. “Sepertinya tidak perlu melakukan analisa untuk menghitung usia benda ini. Sebelum mengunjungi rumah Anda, saya sudah lebih dulu mencaritahu tentang Sir Walthrop Bailey. Beliau adalah kolektor yang cukup terkenal di HEC―itu adalah komunitas resmi kami. Hal ganjil yang saya sendiri tak habis pikir, mengapa Tuan Bailey tiba-tiba memosting belati legendaris ini di sebuah website yang tak menjadi langganan kami untuk berburu benda kuno?” Caspian mengembalikan belati itu ke dalam kotaknya dan mematut wajah Jade lebih cepat. “Maaf, Sir Cassio, boleh saya tahu sedikit latar belakang Anda?”
“Ah, saya cucu orang itu―maksud saya, Walthrop Bailey. Tiga bulan lalu beliau telah meninggal,” kata Jade, yang langsung mengirimkan denyut keterkejutan di wajah Caspian.
“Anda serius? Astaga, ternyata saya bertemu dengan cucunya! Senang berkenalan dengan Anda!” Caspian menyungging senyum yang, kalau tebakan Jade tidak dihitung berlebihan, bisa menghipnotis seluruh auditorium seminar mendiang ibunya. Orang ini memiliki keahlian memikat secara natural―mirip Cordelia. Cassie pun mungkin bakal takluk dibuatnya. Dan mengapa otaknya berpikir macam-macam?
“Senang bertemu Anda juga,” kata Jade sambil menyungging cengiran sopan.
“Yeah, kalau dilihat-lihat, Anda memang mirip Tuan Bailey―maksud saya, rambut cokelat dan mata hijau giok itu. Beliau sangat terkenal di kalangan kami―presensinya, wajahnya, tindak-tanduknya, membuat semua mata hanya tertuju padanya, Sir.”
“Saya katakan lebih awal, saya sangat berbeda dengan kakek saya,” kata Jade. “Siapa tahu saya menghancurkan ekspektasi Anda.”
“Jangan pikirkan itu. Saya tetap menghormati Anda sebagai Jade Cassio. Dan, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya kakek Anda … sungguh tidak menyangka hal ini terjadi pada beliau. Seharusnya saya mengetahui berita ini, mengingat beliau adalah orang terkenal.”
“Berita kematiannya memang tidak dipublikasikan secara luas. Keluarga kami mengadakan pemakaman tertutup yang hanya dihadiri sedikit sekali orang.”
Caspian mengangguk mengerti, “Lalu, apa sekarang Anda menggantikan Tuan Bailey untuk … mengoleksi sesuatu?”
“Tidak, justru sebaliknya.” Jade menatap kotak perunggu di hadapannya seraya melanjutkan, “Rumah ini diwariskan untuk saya. Saya pikir tak ada salahnya untuk menjual beberapa artefak yang disimpan di dalamnya, mengingat saya sendiri tak begitu tertarik dengan benda-benda kuno.”
Ekspresi terpana yang dimiliki Caspian samar-samar meluntur. “Oh, Sir, saya pikir Anda akan mengikuti jejak kakek Anda sebagai kolektor. Sungguh sayang dengan semua yang telah beliau miliki selama ini.”
“Memang kesannya pedih melihat benda-benda yang diusahakannya semasa hidup harus berpindah tangan tanpa izinnya, tetapi percayalah, beliau tidak akan bisa berbuat apa-apa di alam baka sana. Orang yang mati telah terputus pula hubungannya dengan dunia.”
Jawaban itu membuat Caspian membeku sejenak. Jade seketika sadar bahwa dia telah mengoceh lancang mengenai mendiang kakeknya.
“Sudah saya bilang, kepribadian saya bisa menghancurkan ekspektasi Anda.”
“Oh, tidak, tidak,” Caspian lantas melunturkan ketegangan di antara mereka dengan pembawannya yang elegan dan ramah. Mereka mengobrol beberapa hal tentang artefak, dan tentu saja―Caspian adalah satu-satunya yang tertarik dengan topik ini. Dia tidak seperti pemuda lazim yang biasa Jade temukan di kota. Tindak-tanduknya memancarkan kesan wibawa yang biasanya dimiliki kaum aristokrat, bahkan selera humor, dan juga cara berbicaranya yang cenderung tertata dan hati-hati. Di ujung pembicaraan, Jade baru tahu bahwa mereka berdua seumuran. Caspian menanggapi hal ini dengan sentakan terkejut di wajahnya. “Saya kira Anda lebih muda,” katanya, sementara dirinya membereskan kotak belati untuk dibawa pulang. “Anda kelihatan baru menyentuh usia dua puluh.”
Barangkali kau meremahkan pengetahuanku yang minim soal benda-benda kuno ini, begitu yang dipikirkan Jade ketika mengantar Caspian ke muka pintu. Saat mereka melangkah melewati ambang, tatapan keduanya tertuju pada Cordelia yang sedang berdiri di bawah sinar matahari seraya menghadap semak-semak liar berbunga.
Jade belum sempat membereskan bagian luar rumah, sehingga dia agak malu membiarkan Caspian menyadari betapa kotor halamannya.
Caspian berbalik pada Jade. “Sir, boleh saya tahu nama teman Anda?”
“Namanya Cordelia.”
“Cordelia.” Nama itu dilesatkan lirih, seperti renungan. Caspian lantas terdiam sembari menatap punggung Cordelia dari kejauhan. Jade dapat menangkap sorot mata mendamba dalam mata Caspian yang berkilat biru, seolah-olah pria ini telah terjangkit semacam sihir magis.
“Apa dia tinggal di dekat sini?” tanya Caspian. Jade terpaku sejenak karena belum memikirkan jawaban.
“Yeah … di sekitar sini.”
Caspian tampaknya menantikan jawaban lebih lengkap, tetapi pria itu sepertinya sadar bahwa dirinya terlalu lancang.
“Ah, baiklah,” katanya sambil mengusap pergelangan tangan kemejanya. Atensinya merambat turun pada gelang jam yang dia kenakan. “Saya harus pergi untuk menghadiri acara, kalau begitu terima kasih atas pertemuannya kali ini Sir Cassio.”
“Terima kasih kembali.”
“Bolehkah saya datang lagi kemari?”
“Apa?”
“Maaf, mungkin kesannya tidak sopan, tapi ….” Caspian menegapkan diri dan mengubah nada suaranya menjadi lebih serius dan hati-hati, “Saya melihat Anda memosting beberapa artefak yang menarik di situs yang kemarin, dan … mengingat Anda kurang memiliki latar belakang mengenai benda-benda ini, saya khawatir ke depannya Anda kena tipu oleh oknum kurang ajar. Bukan maksud saya mendoakan, tetapi kemungkinan itu selalu ada. Saya mengenal orang-orang seperti Anda, Sir, dan tidak mau Anda harus merasakan pengalaman buruk itu juga. Jadi, bila Anda berkenan, saya bisa membantu Anda untuk mengelola artefak-artefak.”
“Apa intensi Anda untuk menolong saya?” Jade melontarkan pertanyaan itu tanpa berpikir. Lain kali dia harus menjahit mulutnya agar tidak sembrono dalam berbicara. “Maaf, tidak bermaksud curiga, tapi saya pun tidak bisa begitu saja memercayakan benda berharga peninggalan kakek saya ke orang lain.”
“Ya, saya bisa mengerti itu,” Caspian menunduk hormat. Gelagatnya sungguh sopan. “Anda bisa memeriksa kredibilitas saya di forum resmi HEC yang situsnya terhubung dengan profil saya di website. Saya memiliki ketertarikan besar di bidang artefak, dan menjunjung tinggi rasa penghormatan atas keberadaan warisan itu sendiri. Tentu saya tidak ingin bidang keahlian saya dipandang sebelah mata atau diwaspadai oleh pihak yang menyimpan dendam lantaran pernah mengalami pengalaman kena tipu.”
“Ah, masuk akal. Saya paham, Sir Pelleanore. Tentu Anda bisa menghubungi saya lagi untuk berbicara lebih lanjut mengenai artefak ini.”
Caspian mengucap terima kasih dan pamit pulang. Saat melewati Cordelia yang tengah asyik memetik bunga dan menciumi aromanya, pria itu melambatkan langkah. Cordelia lantas berpaling pada Caspian, dan langsung mendapat anggukan senyum dari pria itu.
Pandangan keduanya terputus karena Jade mengusik keduanya dengan suara batuk palsu.
Setelah Caspian pergi bersama mobilnya, Jade teringat dengan Cordelia. Pemuda itu berpaling dari gerbang dan melihat si gadis berdiri di halaman, tak jauh darinya.
“Apa ada?” tanya Jade, mengernyit memandangi raut wajah Cordelia yang seolah menyimpan sesuatu.
“Pria yang tadi, siapa namanya?”
“Kenapa, kau tertarik padanya?”
Gadis itu sepertinya tahu bahwa Jade tidak minat untuk memberitahunya tentang urusannya, jadi Cordelia―dengan sikapnya yang kelewat anggun―melengos pergi dan kembali sibuk dengan bunga-bunga liar yang dipetiknya.[]
-oOo-
.
.
.
.
Selamat berkenalan dengan Caspian!
Gimana tanggapanmu pas membaca deskripsi Caspian? 👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top