7. Ikatan
HANYA diperlukan sepersekian detik sebelum pemuda itu sadar tentang apa yang dilakukan Cordelia di hadapannya.
Selepas gaun tidur itu diangkat dari batas lututnya, Jade buru-buru menghadap belakang untuk menghindari melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Aksi Cordelia begitu tiba-tiba sehingga Jade nyaris tidak mampu mengendalikan diri untuk berhenti mengingat apa yang baru saja dia lihat. Sambil menormalkan kembali denyut jantungnya yang bertalu, dia menarik napas dalam-dalam.
Kemudian, Cordelia bersuara di belakangnya, “Aku perlu bantuanmu untuk memasang korset yang kau pegang.”
Jade menunduk dan tersadar sejak tadi dirinya masih mengenggam korset kaku yang talinya terburai sampai ke kaki.
“Cepat, Cassio.”
Entah bagaimana, perintah yang dilesatkan Cordelia bagaikan sihir magis yang menggerakkan tubuh Jade. Pemuda itu berputar dan melihat Cordelia berdiri memunggunginya dengan hanya mengenakan gaun dalaman. Dia mematung sebentar saat menyaksikan Cordelia menelusupkan dua lengannya ke dalam lubang korset, kemudian menyuruh Jade untuk menarik tali di punggung sekencang mungkin.
Pemuda itu melakukan apa yang diperintahnya, tanpa berkata-kata. Dia menahan diri untuk tidak mengomentari betapa kecil punggung Cordelia atau menanyakan apakah tarikannya membuat dadanya sesak.
Seusai memasangkan korset, dia membantu Cordelia mengenakan gaun luaran berwarna hitam. Gadis itu kembali menghampiri kontainer besi dan merogohkan lengan sampai ke dasar, mencari-cari sesuatu. Dia menarik kotak yang lebih kecil dan membuka tutupnya; tampaklah tumpukan gelang dan kalung yang berkilau―entah apakah perhiasan itu asli atau tidak, tetapi Jade menaruh curiga pada hal lain.
“Dari mana kau tahu itu adalah kotak perhiasan?”
“Entahlah. Sepertinya ini potongan dari ingatan masa lalu,” kata Cordelia sambil memasang pita hitam di lehernya.
“Maksudmu, pakaian dan perhiasan ini semuanya adalah milikmu?”
“Bukan, tapi aku bisa tahu kalau pakaian ini populer di zamanku. Kotak perhiasan ini kelihatan familier, walaupun aku belum tahu apakah ini milikku atau bukan. Kalaupun bukan, sepertinya aku pernah punya yang mirip.”
Jade membuang napas. Dia pikir Cordelia sudah mengingat keseluruhan hidupnya.
“Nah, bagaimana?” Cordelia menghadapnya. Pesonanya tampak terpancar walaupun ruang bawah tanah ini tidak cocok dengan presensi dirinya yang begitu memikat dalam balutan gaun klasik. “Rasanya seperti kembali ke diriku yang dulu. Tidak kusangka gaunnya sangat pas. Apa dandananku bagus?”
Cantik. Menawan. Seperti mawar hitam di dalam kotak kaca. Namun, Jade tak sanggup mengatakan hal itu lantaran dia masih diimpit kejengkelan atas kekacauan yang ditimbulkan si gadis.
Pemuda itu membalas ketus sambil melengos, “Tidak cocok dipakai di tempat seperti ini.”
“Tapi tampak bagus, kan?” Cordelia memperhatikan Jade yang malah sibuk memeriksa isi di dalam kontainer besi, sama sekali tak memedulikannya. Gadis itu terdiam, entah untuk alasan apa, tetapi di menit berikutnya dia berkata lagi, “Cassio, apa aku boleh mengenakan pakaian ini?”
“Pakai saja kalau kau merasa nyaman. Lagi pula aku tidak punya pakaian perempuan yang bisa kau kenakan.”
“Sebetulnya aku tidak masalah mengenakan apa saja. Seandainya sebelumnya aku tidak menemukan kotak ini, aku berencana untuk meminjam beberapa potong milikmu.”
“Enak saja. Aku tidak mau berbagi dengan orang asing.”
“Benarkah? Tapi sepertinya kata-katamu tidak sejalan dengan pikiranmu.”
Jade menatap Cordelia dengan bingung, lalu gadis itu mendekat hingga jarak di antara keduanya kini hanya sejengkal saja. Jade mundur karena merasa tidak nyaman, tetapi Cordelia mencengkeram lengannya.
“Budak darah terhubung dengan abare-nya dalam setiap aspek yang meliputi diri mereka satu sama lain,” Gadis itu mendongakkan wajah dan berbisik padanya. “Selain mengontrolmu, aku juga bisa membaca setiap gelagatmu―perasaanmu, emosimu, setiap kata yang kau sembunyikan di dalam kepala.”
“Kau ….”
“Mawar hitam di dalam kaca,” Cordelia menyungging senyum. “Aku suka julukan itu.”
Ketakutan, Jade menyentak lengannya dengan kasar. Pemuda itu menatap Cordelia dengan ngeri, seolah-olah gadis ini telah melucuti rahasianya yang paling gelap. Dia melangkah mundur sambil terus memegangi lengannya yang tadi dicekal. Tenaga gadis ini bahkan lebih kuat dari yang bisa dia bayangkan. Sebenarnya makhluk apa yang sedang dia hadapi?
“Cassio, ada apa?”
“Jangan mendekat!” kata Jade, tak peduli apakah suaranya gemetar atau tidak.
“Kau takut padaku?” Pertanyaan Cordelia digaungkan dengan nada dan ekspresi yang polos, membuat Jade lengah sebentar. Namun, pemuda itu menelan ludah gugup untuk mengumpulkan kewarasannya yang tercecer.
“Kau penyihir.”
Untuk sejenak, Cordelia membeku. Ekspresinya seperti berbicara sesuatu. Dia menarik napas, lalu air mukanya kembali seperti semula. “Aku tidak bermaksud kejam kepadamu.”
“Kuharap kau enyah dari sini.”
Setelah makian itu tergelincir dari mulutnya, Jade pergi, meninggalkan Cordelia yang berdiri mematung sambil menatap punggung Jade yang perlahan hilang disedot kegelapan.
-oOo-
Keesokan paginya, perasaan Jade tidak kunjung membaik. Pemuda itu sedang bersandar di kepala ranjang sambil memeriksa ponsel. Tidak ada pesan dari Cassie kendati kemarin dia mencoba menghubunginya. Apakah hubungannya benar-benar kandas?
Jade mendesaukan napas berat sambil mengusap wajah. Seharusnya dia senang karena Cassie tidak lagi terlibat dalam kehidupannya, tetapi memikirkan bahwa Cordelia-lah yang menjadi penyebabnya putus membuatnya kesal. Dia ingin mengakhiri hubungannya dengan cara baik-baik, bukannya malah dianggap sebagai tukang selingkuh.
Seraya menatap langit-langit di atas kepala dengan muram, benaknya tiba-tiba kepikiran tentang makhluk pengisap darah itu. Cordelia yang cantik, Cordelia yang misterius, Cordelia yang mirip penyihir. Gadis itu laksana mawar hitam yang diselimuti duri beracun, dan Jade tak sudi membiarkan duri itu mengiris-iris kulitnya sehingga membuatnya mati perlahan-lahan.
Dia masih tak begitu paham tentang istilah budak abare yang disematkan untuk dirinya, dan masih tak habis pikir bahwa sekarang nyawanya dalam bahaya. Dia tak menyangka bahwa kepindahannya dari Palmer malah menjungkirkannya ke dalam situasi yang lebih buruk. Jade harus memikirkan cara untuk mengusir gadis itu, bahkan bila itu artinya melukai Cordelia, dia harus tega.
Sambil menyimpan niat busuk itu, Jade memutuskan keluar kamar. Pemuda itu tak peduli di mana Cordelia tidur, toh gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri. Dia kuat, keji, dan licik. Dia bahkan bisa membaca pikiran dan melukai orang tanpa menyentuh. Cordelia adalah penyihir―makhluk ganas yang mengenakan topeng seorang gadis cantik. Saat masih kecil, Jade bertanya-tanya apakah dongeng tentang monster yang menyamar sebagai manusia itu sungguh ada. Namun setelah bertemu Cordelia dan merasakan sendiri kengeriannya, dia sadar bahwa tidak semua dongeng anak-anak adalah fiktif.
Pemuda itu pergi ke bilik dapur dan mencoba mengais sisa makanan. Selama tiga hari ini Jade sama sekali tidak keluar rumah untuk belanja. Dan seingatnya, dia lupa makan sesuatu sejak kemarin. Saat membuka laci di atas konter untuk mencomot roti tawar dan beberapa keping biskuit, Jade malah dikejutkan dengan tepukan pada bahu.
Cordelia, masih dengan gaun kunonya yang serba gelap―serta kecantikan dan sikap tubuh yang tak berubah, menatapnya seraya senyum samar. “Aku sudah memasak sesuatu untukmu.”
Jade mengernyit penuh kecurigaan. “Apa?”
“Sarapan buatanku,” kata Cordelia, kemudian berbalik dan melangkah ke meja makan, sementara Jade mengikutinya.
Di atas meja makan, ada sebuah piring berisi setangkup roti, satu piring berisi biskuit cokelat yang dipatah-patahkan, segelas air yang diletakkan di samping, bersama selembar serbet yang dilipat segitiga.
Kukira sarapan apa. “Ini hanya roti dan biskuit. Kau membuatnya seolah ini jamuan dari abad pertengahan.”
“Tidak ada bahan yang bisa kuolah,” kata Cordelia, kelihatan tidak tersinggung.
“Kau ingat caranya memasak?”
Cordelia terdiam sebentar. “Tidak, tapi kupikir aku bisa mengingat sedikit-sedikit saat bekerja di dapur.”
“Sebaiknya kau segera mengingat masa lalumu.”
“Aku tahu. Semalam kuhabiskan dengan menjelajah banyak hal di rumah ini, siapa tahu aku mengingat sesuatu lagi. Tapi fokusku teralihkan dengan properti asing yang kutemui―banyak perabotan yang sepertinya tersambung dengan listrik atau teknologi aneh yang tidak kuketahui. Aku tidak tahu cara memakainya, jadi aku pergi ke perpustakaan sambil menahan kesal, lalu berakhir membaca buku sampai ketiduran.”
“Mm,” Jade mengunyah pelan-pelan sambil berpikir. “Kau tidak merusak apa pun, bukan?”
“Merusak? Tidak.” Cordelia menggeleng cepat, kemudian duduk di seberang meja makan dan terdiam layaknya boneka yang anggun. Jade melunturkan kecanggungan ini dengan bertanya sesuatu.
“Apa benar kau ini datang dari masa lalu?”
“Apa yang membuatmu ragu?” Cordelia balik bertanya.
“Kau tidak tampak panik, seperti yang biasanya terlihat di film-film time travel.”
“Apa itu … film time travel?”
“Film itu gambar bergerak. Kau bisa melihat yang seperti itu di layar televisi, ponsel, tablet, atau―” Jade terhenti karena sadar ucapannya tidak akan dipahami Cordelia. Gadis itu hanya menatapnya dengan ekspresi datar―nyaris tidak terkesan, tetapi samar-samar ada percikan keingintahuan dari gelagat yang ditunjukkannya. Atensinya melekat pada Jade seolah-olah menanti pemuda itu meneruskan penjelasannya.
“Nanti akan kuperlihatkan,” kata Jade akhirnya, lalu kembali mencomot biskuit melempem dari piring. Cordelia pasti sudah menyiapkan makanan ini sejak tadi.
“Jadi, Cassio, apa yang biasanya dilakukan gadis seusiaku di zaman ini? Tahun berapa kau bilang? 2026?”
“2026,” Jade mengangguk. “Kau umur berapa?”
“Seingatku … tujuh belas.”
Astaga! Jade hampir tersedak ludahnya sendiri. Tujuh belas?
Bila dilihat dari penampilannya, gadis ini memang masih sangat muda. Namun dari caranya bersikap dan berkata-kata, dia kelihatan lebih tua dari usianya yang asli. Apakah semua gadis dari abad pertengahan memang cenderung lebih dewasa?
“Gadis-gadis berusia tujuh belas di zaman ini biasanya masih menempuh pendidikan di SMA,” kata Jade. “Sebagian ada yang sudah bekerja.”
“Maksudmu gadis-gadis zaman sekarang bisa sekolah?”
“Ya, mereka masih belajar pengetahuan umum.”
Cordelia terdiam sambil mengernyit. Pertama kalinya dia membuat ekspresi kaget dan tidak percaya.
“Di zamanmu, para gadis belum diperbolehkan sekolah, ya?” tanya Jade.
“Hanya kaum tertentu yang boleh. Masyarakat kelas bawah biasanya tidak memiliki akses untuk pendidikan. Gadis-gadis seusiaku biasanya sudah dipersiapkan untuk pernikahan.”
“Bagaimana denganmu?”
“Entahlah,” kata Cordelia. “Tapi kurasa aku ingat sedikit tentang pengajaran etiket dan kesenian.” Lalu gadis itu menatap Jade dengan pandangan jijik. “Ada remah makanan di mulutmu.”
Jade mengusap mulut dengan punggung tangan, yang membuat Cordelia lebih mengernyitkan kening. Tidak sampai sana, dia juga sengaja membuat suara mengecap keras. Cordelia praktis merapatkan rahang sambil menarik napas dalam-dalam―kentara menguasai diri melihat situasi jorok ini.
“Kau bertingkah seolah-olah darah yang belepotan di mulutmu kemarin tidak membuatmu tampak menjijikkan,” kata Jade.
Ada rona kemerahan yang tersepuh di pipi Cordelia, lalu gadis itu membuang muka ke samping. Sudut bibir Jade naik ketika dia menyaksikan hal itu―merasa menang.
“Ayo kita keluar,” kata Cordelia tiba-tiba. “Aku ingin tahu bagaimana keadaan dunia yang sekarang.”
“Aku tidak mungkin membawamu keluar dengan pakaian seperti itu.”
Cordelia menatap Jade dengan sorot kaku.
Mendadak, Jade merasakan sensasi aneh menyelubungi dadanya, membuat lidahnya kelu untuk menolak dan ujung-ujung jemarinya berkedut menahan bantahan. Dia menyumpah serapah dalam hati karena sekali lagi, Cordelia telah memaksanya setuju dengan cara magis.
"Baiklah, ayo pergi." Suaranya parau dan terpaksa.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
No comment deh, baca ajah 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top