6. Gaun

JADE, siapa orang asing ini?” Suara Cassie kental dengan kemarahan dan rasa malu.

Jade terpaku sejenak, terpilin antara kaget dan kebingungan. Kedatangan Cordelia membuatnya tak sempat mengarang alasan sehingga dia hanya bisa megap-megap tanpa suara.

“Jawab aku, Jade!” Iris biru Cassie yang sedingin es seakan membekukan seluruh ruangan. Karena terlahir sebagai orang kaya, gadis ini memang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dengan mudah, tetapi di situasi seperti ini dia tak bisa mendedah isi kepala Jade sesuai kemauannya. Seolah-olah ada sesuatu yang menahan Jade mengatakan yang sejujurnya.

“Dia hanya orang asing,” kata Jade. Kendati suaranya mantap, tetapi parasnya terlihat gelisah.

“Orang asing yang berkeliaran di rumah dengan pakaian dalam.” Penekanan Cassie membuat pipi Jade bersemu merah. “Kau membohongiku, Jade? Setelah sekian lama kita menjalin hubungan?”

“Ini bukan seperti yang kau duga,” lalu Jade menggamit lengan Cassie dengan lembut, tetapi kekasihnya menepis kasar. “Cassie, aku benar-benar tidak kenal dengannya!”

Cordelia melangkah maju. Rautnya tegas. Percampuran antara kemarahan dan rasa ingin tahu. Cassie tidak bisa menjelaskan isi dalam benaknya, tetapi dia yakin orang ini punya alasan khusus berada di sini―yang kemungkinan besar terdengar buruk baginya. Ekspresi itu terlihat seperti obsesi untuk mencelakai orang lain.

Saat tungkai pucat gadis itu semakin mendekat, Cassie mundur beberapa langkah. Dia menohok Jade lagi, “Jade, aku bersumpah padamu. Kalau kau membiarkan orang ini menyentuhku sedikit saja, aku akan ….”

“Cordelia, hentikan!” Jade tidak sengaja menarik pergelangan tangan Cordelia kelewat kasar, membuat gadis itu menabrakkan punggungnya di dada Jade. Cassie yang berdiri di hadapan mereka berdua mengernyit berang melihat pemandangan penuh salah paham itu.

“Kau bahkan tahu namanya! Kau bilang kau tidak kenal!”

“Dia baru saja datang, Cassie. Gadis ini menggigitku, lalu mengisap ….”

Penjelasan Jade malah semakin membuat Cassie menyipitkan mata jijik. “Kau tahu apa yang baru saja kau katakan, Jade?”

“Kubilang ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Dasar bajingan!”

“Cassie, aku adalah korban. Gadis ini―”

“Lepaskan tangan sialanmu!” Cassie menyentak lengan Jade yang berusaha menenangkannya. Seluruh kepalanya mendidih dengan api cemburu. Dilumuri amarah, gadis itu mencengkeram kerah Jade dan berdesis murka di wajahnya, “Aku sudah menahan diri sejak dulu, tapi kau selalu saja membuatku kecewa dengan tingkahmu yang tidak bisa dikendalikan. Sekarang aku baru tahu betapa berengseknya dirimu!”

“Kenapa kau tidak mau mendengarkan aku dulu?”

“Tidak ada penjelasan, bedebah!” Lalu Cassie menampar pipi Jade sehingga pemuda itu terdorong ke samping.

Tak sudi menyisihkan waktu lama-lama, Cassie langsung menyingkir dari kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari, mengabaikan seruan Jade di belakang. Dia menyambar koper kecilnya yang teronggok di atas meja ruang tamu, lalu keluar setelah menjeblak pintu utama dengan kencang. Sementara Jade berhenti mengejar sampai di ambang pintu―sekonyong-konyong merasa pasrah dan putus asa.

Atensi sang pemuda terpaku pada punggung sempit Cassie yang ditelan pagar jeruji. Dalam waktu singkat, kekacauan yang merubungi sekitarnya mendadak saja lenyap. Namun, teriakan dan kemarahan Cassie masih terngiang-ngiang di tempurung kepalanya.  

“Mengapa kau tidak mengejarnya?”

Suara itu muncul dari belakang Jade. Sang pemuda berputar, memandangi Cordelia dengan lapisan perasaan campur aduk―marah, gelisah, dan gamang.

“Aku memintamu untuk menunggu di ruang bawah tanah!”

“Di sana terlalu dingin.” Cordelia membungkus tubuh dengan kedua lengan, dan Jade secara refleks memandangi tungkai Cordelia yang telanjang. Dia terlihat begitu pucat sehingga nadi kebiruan nyaris terlihat di balik lapisan kulitnya yang tipis.

Astaga. Bila kejadian dimana lehernya digigit sudah berlalu selama dua hari, bukankah artinya Cordelia terus keluyuran sambil mengenakan gaun tidur? Pemikiran itu sekonyong-konyong membuat Jade merasa bersalah, tetapi kemarahan atas kepergian Cassie lebih efektif menggerus perasaan lemahnya.

Lantaran tak memiliki alasan untuk memberi sedikit perhatian, Jade membuang wajah dari Cordelia. Dia melangkah melewati sang gadis dan masuk kembali ke rumah, menyusuri tangga ke lantai tiga untuk mengambil ponsel―kali ini berniat menelepon polisi atau setidaknya menghubungi Dave, si notaris sialan itu, yang tidak mengatakan apa-apa soal keberadaan lukisan Cordelia yang terkutuk. Namun, saat Jade baru menaiki beberapa anak tangga, Cordelia yang membuntutinya bertanya lagi, “Jadi, kenapa kau tidak mengejarnya? Dia mungkin belum jauh dari sini.”

Jade berhenti, lalu berpaling menghadap Cordelia. “Apa itu menjadi urusanmu?”

“Kau kelihatannya rela-rela saja bila hubunganmu dengan orang itu berantakan.”

“Kau tidak tahu apa-apa soal kami berdua.”

“Apa dia kekasihmu?”

Jade menatap Cordelia lurus-lurus, dan tidak bisa menemukan apa-apa di mata gadis itu selain raut datar dan suram. Anehnya, ekspresi itu tampak berbeda dari beberapa menit lalu, ketika Cordelia menangkap basah dirinya yang mencium Cassie. Jade membasuh kebingungan di hatinya dengan berkata hal lain, “Dia kekasihku sebelum kau datang dan membuat kesalahpahaman di antara kami.”

“Saat ini kau masih punya waktu untuk menjelaskan padanya apa yang terjadi, tapi kau tidak mengejarnya. Itu artinya kau tidak berniat memperbaiki keadaan, bukan?”

“Lalu apa urusanmu, Cordelia?” Jade mulai diselubungi rasa kesal. Dia merunduk lebih rendah untuk menciptakan efek dominasi pada Cordelia. “Keadaan kacau ini disebabkan olehmu. Kau sudah merusak rencanaku dan membuatku melewatkan dua hari dengan sia-sia. Kau menceburkanku ke situasi yang rumit―menjadi budak, memberi makan fetish mengerikanmu atau apalah itu. Tidakkah kau sadar siapa yang sebenarnya layak untuk minggat?”

Jade berharap kemarahannya akan membuat Cordelia menciut, atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda gentar atau waspada. Namun, gadis itu tetap bersikap angkuh. Mata kelamnya tak berkedip sekalipun, secara alami memberi kesan bahwa dia tak takut kepada Jade.

“Apa maumu?” Jade menggeram menahan emosi.

“Aku akan tinggal di sini,” Cordelia berkata, lalu menambahkan sebelum Jade sempat menyelanya. “Sampai aku mengingat keseluruhan masa laluku agar bisa memutuskan rencana selanjutnya.”

Rencana itu terdengar egois dan konyol.

“Kalau kau mau tinggal di rumah ini, kau harus membayar uang sewa.”

“Uang sewa?” Kepala Cordelia miring sedikit.

“Kau tidak bisa tinggal secara cuma-cuma di rumah lelaki asing.”

“Aku sudah tinggal di rumah ini jauh sebelum kau menginjakkan kaki di dalamnya. Berani-beraninya kau meminta uang sewa kepadaku.” Cordelia melesatkan kata-kata itu dengan dingin dan tanpa ampun. Jade tanpa sengaja menelan ludah gugup lantaran melihat ekspresi Cordelia yang keras, seolah-olah mata gadis itu bisa memancarkan sinar laser untuk melelehkan daging dan kulitnya. Seketika dirinya teringat bahwa beberapa menit lalu Cordelia hampir mematahkan sendi-sendi jarinya hanya dengan kekuatan psikokinesis.

Jade berusaha bersikap normal, “Jadi aku tidak diperbolehkan mendapat imbalan sepeser pun?”

“Aku tidak menyangka kau akan meminta imbalan dariku. Aku keluar dari lukisan tanpa tahu situasi yang kau alami.”

“Begitu juga aku. Tapi di antara kita berdua, kau adalah pihak yang lebih banyak berbuat kacau.”

Kemudian mereka terdiam seraya berpandangan satu sama lain. Jade membuang muka duluan karena merasa aneh bila harus bertatapan lama dengan seorang gadis asing yang pesonanya sungguh tidak sopan. Bohong bila mengatakan bahwa paras Cordelia tidak memikat hatinya, tetapi Jade masih memiliki akal sehat untuk berperilaku waras dan mengikuti pilihan yang terbaik.

“Kau tahu,” kata Cordelia, “sebenarnya aku bisa dengan mudah mengancammu atau melukaimu agar kau bertekuk lutut di hadapanku. Tapi kedunguanmu membuatku tidak tega melakukannya.”

“Belakangan ini aku sudah kenyang dengan ancaman dan rasa sakit,” kata Jade, sementara suaranya menjadi pekat dengan kemuraman. “Sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang akan kau lakukan, tapi setidaknya jangan merugikan hidupku, Cordelia. Aku ini hanya sebatang kara yang mencoba bertahan hidup.”

“Kalau begitu maafkan aku atas kekacauan yang kutimbulkan.” Cordelia berkata yakin dan tajam. “Darah yang kuisap tidak akan sampai membuatmu tewas, jadi kau tetap bisa melanjutkan hidupmu yang menyedihkan itu.”

Sungguh jawaban yang menohok. Jadw ingin membalas Cordelia dengan sesuatu yang kejam, tetapi otaknya tak sanggup berpikir lagi. Serangkaian musibah yang muncul bertubi-tubi membuatnya lelah fisik dan pikiran. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap wajah dengan satu tangan.

Cordelia yang sepertinya bisa menangkap peluang ini, tahu-tahu saja menarik lengan Jade untuk kembali turun. “Ke sini, ikut aku.”

“Hah?”

Cordelia mengabaikan seruan Jade dan menarik pemuda itu agar tetap mengikutinya di belakang. Mereka menyelinap ke bawah tangga dan masuk ke sebuah ambang lengkung sempit yang menjadi akses ke ruang bawah tanah, menuruni tangga berikutnya yang melandai curam dengan hati-hati. Tempat ini gelap dan dingin. Jade bahkan hampir tidak bisa melihat apa pun selain anak tangga di bawah kakinya. Namun, bagaimana bisa Cordelia menuntunnya dengan mudah? Gadis ini seolah-olah mampu melihat dalam kegelapan.

“Kau mau membawaku ke mana?” Jade bertanya agak skeptis. Langkah mereka berhenti ketika sudah mencapai dasar.

“Aku menemukan sebuah kotak besar berisi sesuatu.” Cordelia maju ke pelataran yang kosong dan menghambur ke rak-rak terdekat yang berisi perkakas bangunan dan peretelan mesin. Jade menahan diri untuk bersin karena di dalam sini udaranya sungguh berdebu. Dia mengangkat kausnya menutupi hidung selagi mengikuti Cordelia di tengah keredupan cahaya yang mencekam. Rupanya ada secercah sinar yang masuk melalui ventilasi-ventilasi sempit di atas dinding.

“Ini dia,” kata Cordelia, menunjukkan sebuah kontainer besi yang gembok dan rantai penguncinya hancur berkeping-keping. Kedua sisi tutupnya penyok ke dalam secara tidak wajar, sehingga bentuknya menjadi asimetris dan bisa diangkat dengan mudah. Jade merasakan tajamnya pecahan logam di bawah kakinya, sehingga dia harus berhati-hati melangkah karena hanya mengenakan kaus kaki.

Diselidiki dari penampakannya, sepertinya gembok besi kontainer ini baru saja dipecahkan ….

“Kau yang membuka kotak ini?” tanya Jade, ragu.

“Itu tidak penting.”

“Ha? Bagaimana bisa―”

“Cassio, lihatlah ini.” Kemudian tanpa menunggu tanggapan Jade, Cordelia merunduk ke dalam kontainer dan menarik keluar seprai lusuh―begitulah yang Jade pikir sebelum dia sadar bahwa itu adalah setelan gaun kuno berwarna hitam, dengan potongan yang rendah di bagian dada beserta rok panjang yang berlapis-lapis. Sesuatu jatuh ke lantai bersamaan ketika gaun itu dikeluarkan sepenuhnya―rupanya itu adalah korset bertali.

“Apa isi di dalamnya pakaian?” tanya Jade.

Cordelia melongok ke dalam kontainer besi.

“Kalau dilihat dari sini, sepertinya iya. Aku menemukan beberapa gaun dengan warna berbeda. Bahkan ada ini juga.” Kemudian gadis itu merogoh lebih dalam dan menarik dengan susah payah sebuah kurungan berbentuk corong yang elastis―Jade membutuhkan waktu sejenak untuk tersadar bahwa itu adalah semacam kerangka penyangga yang biasanya digunakan untuk memperkokoh bentuk rok yang mengembang di zaman dulu.

Keterkejutan dalam kepalanya pecah, membuat rahangnya melongo. Kakeknya bahkan menyimpan pakaian seperti ini di dalam ruang bawah tanah?

“Oh,” kata Jade, mengatasi kecanggungan dengan gagap. “Mungkin ini milik nenekku.” Namun dia tetap saja ragu. Rasanya usia pakaian ini terlalu tua bila dibandingkan umur neneknya.

“Aku mau memakainya,” Cordelia mengumumkan dengan yakin. Dia memungut korset di bawah lantai dan memberikannya pada Jade. “Bantu aku memasang ini.”

Tanpa menunggu jawaban si pemuda, gadis itu berputar menghadap belakang, lalu mengangkat gaun tidur sehingga mengekspos kedua paha telanjangnya―

―yang seketika membuat Jade disentak keterkejutan.[] 

-oOo-

.

.

.


.

Jadi kalian lebih milih Jade dipanggil Jade aja atau Cassio? 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top