56. Ingatan (TAMAT)

BUNYI ketukan sepatu menggema di lorong rumah sakit yang redup dan muram. Seorang gadis yang mengenakan setelan pakaian kusut dan penuh debu membuka pintu sebuah ruang rawat. Di belakangnya, pria bertubuh tinggi besar mengikuti. Mereka menghampiri seorang pasien yang sedang tertidur tenang di atas ranjang. Bunyi denyut mekanis dari elektrokardiogram yang ada di atas kabinet adalah satu-satunya yang terdengar kamar itu. 

Tidak ada yang bisa membaca perasaan Cordelia yang penuh rasa sakit dan kerinduan yang memberontak. Bila ada orang yang bisa menyentuh garis tepi pikirannya dan mengobservasi dari segala bentuk ekspresi dan niat hatinya, dia adalah Jade Cassio. Akan tetapi, saat ini Jade tidak bisa merespons apa-apa. Kesadarannya terjebak di dasar kegelapan yang tidak tersentuh. Cordelia tidak mampu menjangkaunya, dan Jade tidak bisa menangkap suara gadis itu. Mereka dibatasi oleh dinding yang membekukan keduanya dari peristiwa beberapa jam lalu.

Cordelia mendekat, lalu mengulurkan jemari untuk menyentuh pipi Jade yang dihiasi lecet. Benak gadis itu terbagi menjadi sepotong harapan dan sepotong ketakutan. Dia berharap Jade dapat segera pulih, tetapi dia tidak ingin melihat Jade terbangun sekarang dan melihatnya, sebab Cordelia hadir di sisinya bukan untuk menanti kesadarannya terjaga―melainkan untuk mengucapkan salam perpisahan. 

“Kau yakin mau melakukannya?” 

Suara lirih dan berat itu membuat Cordelia mengerjap. Dia menyingkirkan tangannya dari pipi Jade, lalu mendongak menatap ayahnya―Gustav, yang berdiri mantap di sampingnya. Keadaan Gustav sudah tidak sekacau beberapa jam lalu, kendati pakaiannya masih compang-camping dan bekas darah yang mengering masih tercetak di bagian lengan dan bahunya.

Cordelia mengangguk, tampak ragu. Akan tetapi dia berputar sepenuhnya pada Gustav. 

“Aku siap. Ayah betul-betul bisa membantu kami, bukan?”

“Aku bisa mematahkan perjanjian darah di antara kalian, kalau itu memang yang kau mau,” Gustav membelai pipi Cordelia dengan lembut. Tatapan matanya bersinar prihatin. “Tapi kau harus tahu konsekuensinya, Cordy. Dia tidak akan bisa mengingatmu lagi.”

Cordelia menelan ludah gugup. Jade akan melupakannya.

“Tidak apa. Itu lebih baik daripada aku harus membiarkannya selalu terluka bila bersamaku.”

“Tapi sekarang Dominic telah tiada. Tidak ada yang bisa mengganggu hubungan kalian.” 

Dominic. Cordelia mengingat pertarungan mereka beberapa jam lalu. Setelah melesakkan belati kristal pada gumpalan jiwa Dominic, substansi menjijikkan itu meledak―melebur dan buyar menjadi serpihan gelap yang lekas tersapu angin, dan meninggalkan semua orang dengan rasa sakit serta trauma yang kental. Saat itu Cordelia tidak memiliki waktu untuk menebus kesalahan. Selepas mengecup bibir Jade, Cordelia menarik lengan Gustav dan bersama-sama mereka melompat keluar dari jendela museum. Mereka menyingkir sejauh mungkin untuk menghindari intaian polisi yang kelak akan menginterogasi orang satu per satu. Mereka tidak mau identitas asli mereka sebagai abare terungkap. Terlebih lagi Gustav adalah sosok yang paling menimbulkan kecurigaan. Pria itu baru bangkit setelah membeku selama kurang lebih tiga ratus tahun. Kepolosannya tentang dunia ini bisa-bisa mengantarkan Cordelia ke tragedi baru.

“Ketiadaan Dominic tidak bisa menjadi alasan satu-satunya yang membuat hubungan kami menjadi tenang. Dia masih rentan terluka bila ada aku bersamanya, karena aku selalu mengundang masalah,” kata Cordelia sungguh-sungguh. Benaknya menghitung sudah berapa kali Jade tersandung konflik dan harus merelakan dirinya berakhir di rumah sakit atas kesalahannya. “Dan ... sebagai putri dewa yang tersisa, harusnya aku memiliki sedikit kesadaran untuk menjaga garis keturunan kaum kita.”

Kata-kata Cordelia membuat Gustav terenyuh oleh rasa sakit dan kekecewaan. Dia menundukkan kepala untuk mengecup kening putrinya, lalu membelai rambut gelapnya yang kusut oleh darah yang mengering. Pengorbanan Cordelia tidak ternilai harganya. Siapa pun tahu bahwa seorang abare yang terpilih hanya mampu memberikan keturunan satu kali seumur hidup, dan atas alasan itulah Gustav tidak bisa lagi mengandalkan dirinya untuk menambah keturunan, sebab istrinya yang seorang manusia―Evangeline, telah lama tewas. 

Betapa ironis. Dahulu Gustav memberontak dari adat pernikahan satu kaum demi bisa mewujudkan keinginannya menikahi manusia, tetapi sekarang Cordelia justru berbuat sebaliknya; dia rela meninggalkan kekasih manusianya demi bisa melanjutkan kembali garis keturunannya yang nyaris padam. 

“Ayah,” Cordelia berkata lagi. Tangannya yang kecil meremas lengan Gustav. “Cepat lakukan. Hapus ikatan darah di antara kami, dan aku akan pergi secepatnya dari kehidupan Jade.”

Gustav mengedip pelan untuk menunjukkan persetujuan. Pria itu lantas berputar menghadap Jade yang sedang berbaring tenang. Pelan-pelan, tangan Gustav yang masih terlapis oleh debu dan darah kering, terjulur di hadapan tubuh sang pemuda. Cahaya merah tiba-tiba terbentuk di balik kulit dada Jade, berwujud bagai bola redup yang melayang pelan. Seiring tangan Gustav merayap naik, substansi itu ikut merangkak naik, merambat di tenggorokan, lalu keluar dari belah bibir Jade yang terbuka. Bola cahaya itu langsung memadat ketika menyentuh udara, dan berubah wujud menjadi kelereng semerah darah yang bergulir jatuh di telapak tangan Gustav.

Pada saat itu, Cordelia turut merasakan gejolak aneh di dalam tubuhnya. Dia menekan perpotongan antara perut dan dadanya yang berdenyut pedih. Sesuatu di dalam sana mencoba untuk menerobos keluar lewat teronggokan. Gadis itu membuka mulutnya saat timbul desakan ingin muntah, lalu dia menjatuhkan bola cahaya merah seukuran sama dengan yang sedang dipegang Gustav. 

“Apa ... ini?”

“Aku menyebutnya mutiara darah,” kata Gustav. “Mutiara ini terbentuk di tubuh sepasang abare dan manusia yang melakukan perjanjian budak darah.”

“Lantas bagaimana selanjutnya?”

“Kita akan memusnahkannya, dan dengan begitu ikatan di antara kalian akan sama-sama hancur. Kemarikan padaku.” Gustav meminta mutiara darah milik Cordelia, dan gadis itu memberikannya dengan yakin. Dia melihat sang ayah membisikkan semacam mantra di depan kedua mutiara. Beberapa saat kemudian, benda itu bergetar dan meledak. Percikannya menetes-netes di lantai, lalu menguap ke udara secepat asap.

Setelah mutiara itu hilang seluruhnya, Cordelia tidak merasakan apa-apa lagi. Secara spontan, gadis itu menyentuh dadanya. “Apa sudah selesai?”

“Kalian berdua sudah tidak terhubung,” kata Gustav, lalu tersenyum sedih. “Dia akan melupakanmu, kau tahu bukan?”

“Sudah kubilang itu tidak apa-apa,” kata Cordelia, kendati diam-diam dirinya dicubit perasaan pedih. Hubungannya dengan Jade telah usai. Tidak ada lagi yang tersisa di antara keduanya sekalipun itu memori sederhana tentang nama. Cordelia menatap wajah Jade yang masih tertidur, dan kepikiran untuk menciumnya terakhir kali. Barangkali keraguannya dapat dirasakan dengan jelas oleh Gustav, sebab pria itu berkata, “Ucapkanlah selamat tinggal, lalu kita pergi.”

“Apa dia tidak akan mengingatku selamanya?” tanya Cordelia, entah bagaimana nadanya terdengar sedih.

“Tidak. Ingatan itu telah hilang dan tidak akan membekas.” Gustav terdiam sebentar. “Tetapi kau selalu bisa mengulang semuanya dari awal, seperti layaknya kisahku dengan ibumu.”

-oOo-

Hal pertama yang Jade lihat ketika dia terbangun pagi itu adalah wajah seorang wanita cantik yang familier. Rambut pirang, dan mata sebiru lautan yang jernih. Sosok itu memandangnya dengan ekspresi terselimuti resah dan lega. Dia mengusap pipi Jade dan berkata lirih, “Jade, akhirnya kau bangun.”

“Cassie?” Jade mengerutkan kening. Kepalanya terasa berat, dan sekujur tubuhnya ngilu seperti baru dihantam truk. Dia mengusap dadanya yang kaku karena dibalut perban, pelan-pelan tersadar di mana dirinya berada. Aroma karbol yang dibencinya. Bilik rumah sakit. Cassie yang menunggunya di samping ranjang, dan bunyi mekanis elektrokardiogram yang mengingatkan Jade dengan masa-masa gelap saat ibunya kritis dulu. “Kenapa aku di sini―apa yang terjadi?”

Ekspresi Cassie berubah menjadi lebih cemas. Wanita itu menoleh ke samping kanan dan menyerukan nama Joseph yang baru saja masuk ke ruang rawat. “Dia sudah sadar,” katanya.

Joseph cepat-cepat berdiri di samping Jade. “Hei, hei, kalem.” Dia membimbing Jade agar tetap berbaring tenang, sebab sepertinya kawannya tersebut masih kebingungan dengan apa yang terjadi. “Kau mengalami patah tulang rusuk setelah menghantam dinding, Bung. Butuh waktu lima sampai enam bulan sebelum kau benar-benar pulih.”

“Apa aku kecelakaan?” Jade bertanya ragu. 

“Kecelakaan?” Joseph terdiam sejenak. Eskpresinya menjadi gelisah ketika menatap Cassie, seolah dia tahu dia tidak bisa berbicara banyak di hadapan wanita satu ini. “Ya ... ya, bisa dibilang begitu. Kita mengunjungi museum bersejarah Ruswer, lalu terjadi perampokan di sana. Kau berusaha menangkap pelakunya, tapi orang-orang itu malah melukaimu dan kabur. Kau ingat, bukan?” Pemuda itu tersenyum ganjil seolah ingin agar Jade setuju saja dengan skenario palsunya. 

“Museum? Perampok?” Jade mengusap kepalanya yang agak berdenyut. Sepertinya ada sesuatu yang dia lewatkan, tetapi dia lupa apa. “Apa kau yakin pesawatku tidak kecekakaan?”

“Jade, kau ini bicara apa?” Giliran Cassie yang bertanya curiga. “Kau ditemukan di dalam museum bersama Joseph dan sepasang pengunjung lain. Aku mendengar kabarmu dari Joseph, jadi aku segera datang. Tidak ada yang namanya kecelakaan pesawat. Kau pasti masih bermimpi.”

“Hei, sepertinya kalian berdua yang salah.” Jade menggeleng pelan. “Aku terbang dari Palmer untuk mendatangi rumah Kakek yang diwariskan untukku, lalu ... lalu ... kupikir pesawatnya kecelakaan, dan aku jatuh ... aku tidak ingat apa-apa lagi selain itu.”

Cassie dan Joseph saling berpandangan seolah berbagi pesan yang sama. 

“Kurasa aku harus panggil dokter,” kata Joseph, kemudian keluar dari kamar rawat untuk memanggil siapa pun yang bisa menolong Jade.

Sementara itu, Cassie kembali menatap Jade dengan sorot kuyu seperti habis menangis. Wanita itu memegang tangan Jade dan meremasnya kuat. Suaranya teredam oleh perasaan cemas yang berkecamuk, “Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat mendengar kabar kau kena musibah. Aku tahu aku seharusnya diam saja di Palmer. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengkhawatirkan―untuk tidak peduli apa pun yang terjadi kepadamu lagi. Tapi panggilan Joseph saat itu membuatku nyaris gila. Aku terbang ke Ruswer seperti orang kesetanan dan melihatmu terbaring tidak berdaya seperti tadi. Aku sudah mencoba untuk melupakanmu, Jade. Tapi aku tidak bisa. Aku takut kau pergi meninggalkan kami.”

“Cassie, apa yang kau bicarakan? Aku masih di sini.” 

Jade mengusap pipi Cassie dengan lembut. Dia tahu hubungannya dengan Cassie selama ini mengalami cobaan yang berat, akan tetapi ... melihat kekhawatiran Cassie, melihat betapa peduli Cassie dengannya, membuat Jade terperosok pada kubangan penyesalan. Dia sudah hampir berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan wanita cantik ini, tetapi Jade sadar dia hanya perlu memperbaiki sikapnya yang selama ini sembrono dan seenaknya sendiri. “Aku minta maaf, Cassie. Kau mau memaafkan kekasihmu ini, bukan? Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”

Cassie menangkup tangan Jade yang mengusap pipinya. Eskpresinya tercabik di antara perasaan bersalah dan sedih. “Aku ... aku tidak bisa. Kita sudah putus sejak beberapa bulan lalu.”

Kalimat itu menyihir Jade menjadi sebeku patung. 

“Jade,” Cassie berbisik lirih. “Aku sudah punya yang lain.”

“Kau pasti bercanda.” Jade mencoba tertawa, berharap di detik selanjutnya Cassie akan nyengir lebar sambil berkata bahwa dia baru saja membohonginya. Akan tetapi wanita itu tampak sangat serius. Mata Cassie memerah dan bengkak. Jade menjadi sadar bahwa di dalam sorot itu tidak ada percikan mendamba seperti yang dulu pernah dilihatnya di mata Cassie. Sorot biru itu terbenam oleh penderitaan dan kesedihan. Simpati yang diberikan Cassie kepadanya saat ini murni merupakan simpati kepada orang yang terluka, bukan kepada kekasih.

“Cassie,” Jade berdesis ragu. “Apa yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri?”

“Kau ditemukan di museum tiga hari lalu. Sebelumnya kau telah tinggal di Ruswer selama hampir empat bulan, bersama Joseph. Apa kau tidak ingat bagian itu?”

Semakin Jade mencoba untuk mengingat, kepalanya berdenyut sakit. Cassie membujuk Jade agar dia lebih tenang dan tidak memaksakan diri. Di waktu yang bersamaan, Joseph datang kembali ke ruang rawat. Kedua orang itu akhirnya menyingkir sejenak, meninggalkan Jade di sisi seorang dokter yang bertugas.

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan mengenai apa yang terjadi di otaknya, dokter menyimpulkan diagnosis bahwa Jade mengalami amnesia separuh akibat syok dan cedera kepala. Tidak ada di antara mereka bertiga yang tahu kapan ingatan itu kembali, tetapi dokter telah mewanti-wanti Joseph dan Cassie agar mereka turut merelakan apa yang telah hilang. 

-oOo-

Selama beberapa bulan berikutnya, kondisi Jade berangsur pulih. Joseph akhirnya harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya sungguh tidak ingat apa pun tentang apa yang terjadi selama tiga bulan di belakang. Kendati pemuda itu telah mencoba mengingatkan Jade tentang Cordelia, lewat ocehan heboh tentang petulangan-petualangan yang selama ini Jade alami bersama gadis itu―tentang pesta HEC, makan malam di rumah Caspian, pertemuannya dengan Lula, dan juga Gustav ... semuanya tidak Jade ingat. Bahkan ketika akhirnya Jade diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Joseph mengajak Jade kembali ke rumah sang kakek dan menunjukkan kepada Jade benda-benda peninggalan Cordelia, akan tetapi respons pemuda itu masihlah sama.

“Kau tidak ingat pakaian ini?” 

Joseph membuka lemari pakaian di kamar mendiang ibu Jade yang saat itu telah terisi penuh dengan pakaian milik Cordelia. Ada yang berupa gaun kuno, sampai setelan model terbaru. Jade menatap deretan pakaian yang digantung lalu mendesau. “Tidak ingat. Kurasa ini pakaian nenekku dulu.”

Joseph memijat pangkal hidungnya dan berusaha bersabar. 

“Bukan milik nenekmu. Ini milik Cordy. Kau benar-benar tidak ingat rupanya.”

“Josh,” kata Jade, yang mundur dari lemari lalu duduk di tepi ranjang tidur. “Kau tidak perlu memaksakan diri membuatku ingat. Lagi pula bila memori itu benar, bukankah mereka semua sudah tidak ada di sini?” Joseph terdiam membeku, lalu Jade melanjutkan sambil tersenyum pedih. “Caspian, Lula, lalu ... Cordelia―gadis yang katamu memiliki ikatan paling erat denganku sebelum ini. Bukankah mereka sudah tidak ada sejak pertama kali aku sadar di rumah sakit? Padahal katamu mereka masih hidup, bukan? Mereka hanya pergi ke suatu tempat, tetapi kau tidak ditinggalkan petunjuk apa-apa untuk mencari jejak mereka. Bisakah ... bisakah aku menganggap bahwa kepergian mereka adalah pertanda bahwa mereka pun juga tidak mau mengingatku lagi?”

“Jade, bukan begitu....” Joseph duduk di sampingnya. 

“Aku tahu seharusnya tidak begitu, tapi usahamu tidak membuahkan hasil, Josh.” Jade menepuk pundak Joseph dan tersenyum lebih lebar untuk meyakinkan sahabatnya. “Sudahlah, aku lelah dipaksa mengingat sesuatu yang tidak kupahami. Mengapa kita tidak menjalani hidup yang baru di waktu sekarang? Yang penting aku masih memiliki kau. Kau adalah satu-satunya sahabat yang tidak meninggalkanku di saat aku rapuh dan terluka, bahkan di saat Cassie meninggalkanku demi pria lain. Kehadiranmu saja sudah cukup bagiku.”

“Apa kau tidak ingin tahu ke mana potongan masa lalumu selama empat bulan itu?” Joseph bertanya lagi. “Kau tidak penasaran mengapa kau bisa putus dengan Cassie? Kau tidak penasaran mengapa kau jatuh cinta kepada Cordelia dan bahkan rela terluka demi gadis itu? Kau bahkan tidak penasaran tentang siapa kakek atau ibumu di masa lalu?”

“Aku hanya ingin memikirkan yang terpenting untuk hidupku saat ini,” kata Jade. “Aku sudah mencoba mengikhlaskan Cassie, dan aku butuh waktu untuk bisa menerima keadaanku. Mencoba mengingat semua hal sekaligus hanya menambah beban pikiran dan menguras tenagaku dengan sia-sia, Josh. Aku tahu kau peduli dan khawatir kepadaku, tapi ... aku juga ingin kau tahu bahwa aku sungguh baik-baik saja.”

Joseph membuang napas seraya menangkupkan wajah pada tangan. Beberapa saat kemudian, pemuda itu menegapkan punggung, lalu memeluk Jade dengan erat dan berkata dengan nada tertahan, “Kau benar. Sekarang yang terpenting, kau sudah aman.”

“Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku selama ini,” kata Jade. “Jangan berani-berani meninggalkanku, oke? Aku tidak mau kau menjadi bagian dari orang-orang yang kau sebut tadi. Siapa namanya? Caspian, Lula, dan Cordelia. Kalau tiga orang itu ada di hadapanku, mereka sudah pasti akan kuomeli dan kuhindari selamanya.”

Joseph tertawa, lalu melepas rengkuhannya dari Jade. 

“Oh, ayolah. Mereka sebenarnya orang baik. Saat polisi datang ke museum untuk membereskan kekacauan, Lula sempat berkata padaku bahwa dia akan pergi jauh bersama Caspian. Dia sempat berterima kasih kepadamu karena kau sudah menyelamatkan Caspian, tapi saat itu kau kan sedang pingsan.” 

“Bagaimana dengan Cordelia? Apa dia sempat mengucapkan selamat tinggal padaku?”

Joseph terdiam. Senyumnya menghilang pelan-pelan. “Tidak, tapi aku tahu dia pasti memiliki alasan.”

Kemudian percakapan mereka sore itu larut ke jam-jam yang menjemukan. Malam turun begitu cepat, dan Joseph pamit pergi ke kamarnya sendiri untuk menghadiri sebuah wawancara pekerjaan barunya secara daring. Sementara Jade beristirahat di kamar sang kakek sambil membaca buku-buku lama dari perpustakaan. Pemuda itu keasyikan membolak-balik halaman sampai akhirnya ketiduran. 

Ketika jarum jam telah bergeser tengah malam, dan Jade tenggelam jauh dalam mimpi-mimpinya yang pekat, seberkas bayangan berkelebat dari balik kaca jendela kamarnya yang lupa ditutup.

Selepas itu, sosok bertubuh ramping menyelinap masuk melalui jendela dengan gerakan lincah dan terlatih. Suara langkahnya tidak kentara, lenyap di antara lesakan karpet berbulu yang empuk. Sosok itu berdiri di dekat Jade yang berbaring tidur sambil mengeluarkan dengkur halus.

Kemudian, entah apa yang terjadi, Jade terpanggil ke dunianya yang asli. Pemuda itu mengerjap pelan, lalu berpaling dari kasur untuk menatap sosok redup yang berdiri di hadapannya. Dia memicingkan mata di antara kegelapan yang menyelimuti. 

“Jade.” Suara itu, manis dan halus. Lirih bagaikan desau angin yang mengetuk jendela. “Lama tidak berjumpa.” 

Jade mendorong dirinya duduk pelan-pelan. Kegelapan di sekitarnya terangkat. Cahaya bulan keperakan masuk melalui celah jendela, sehingga dia dapat melihat sosok itu.

Kulit putih pucat, rambut hitam yang tergerai panjang. 

Kecantikan yang angkuh.

Sebuah nama terpantik di benak Jade. Nama yang mengingatkan Jade dengan seluruh cerita Joseph mengenai seorang gadis.

Cordelia.

Gadis itu membungkukkan tubuh untuk memeluknya, lalu berkata lirih di telinganya, “Mari kita mulai segalanya dari awal.”[]

TAMAT

-oOo-


.

.

.

.

Terima kasih bagi semua pembaca yang sudah mengikuti LIP dari awal. Dengan ini, aku dan para cast LIP melayangkan perpisahan kepada kalian semua 😁

Tentu novel ini jauh dari kata sempurna. Bahkan tanpa dibaca oleh kritikus pun aku menemukan banyak kekurangan dan hal2 yang belum terjawab. Kalau dibaca kritikus pasti bakal lebih parah lagi awkwk.

Namun, kendati banyak kekurangan, aku tetap mencintai novel ini seperti novel-novelku yang lain. Alasan mengapa aku tidak merevisinya adalah karena sejujurnya aku belum ada pertimbangan untuk mengajukan naskah ini ke penerbit atau mencetaknya sendiri. Naskah ini biarlah berada di platform saja dan kukhususkan untuk pembaca yang memang ingin membaca karyaku yang lain. LIP yang kalian baca masih sangat asli, fresh, unedited, sehingga tidak akan muncul di publik dalam bentuk cetak (karena kalau sudah dicetak pasti bakalan ada permak sana-sini). Jadi, nikmati sajalah selagi masih bisa dibaca di platform 😆

LIP di Wattpad tidak akan lama. Mungkin dalam waktu dekat aku akan memindah novel ini Karyakarsa. Beruntunglah bagi kalian yang sudah sempat membacanya sampai tamat.

Ya sudah, mungkin itu saja secuil kalimat terakhirku untuk buku ini. Bila kalian mau memberi kesan, saran, atau kritik, masih boleh banget kok.

Dan mohon follow aku bagi yang belum, karena dalam waktu dekat aku akan upload novel baru lagi. InshaAllah tahun depan ada dua yang mau publish di Wattpad. Satu di Wattpad Haebara Publisher satunya lagi di akun ini.

Terima kasih. Salam semanis madu 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top