54. Penyihir

TIDAK pernah terpikir di benak Cordelia bahwa dia adalah seorang alkemis. 

Istilah itu terdengar tabu dan meruwetkan benang pikirannya; kenyataan bahwa dirinya dapat mengubah materi suatu benda menjadi zat yang baru dan berbeda, atau kenyataan bahwa selama ini psikokinesis yang dilakukannya adalah hasil dari manipulasi materi lewat gelombang otak yang dia pancarkan. Cordelia tidak memahami penjelasan Jade yang berputar-putar dalam bidang sains dan rahasia semesta. Gadis itu hanya mengenal ilmu sihir dan nujum, jadi supaya lebih mudah diterima akal, dia akan menganggap bahwa alkemis adalah nama lain dari penyihir.   

Sama seperti sekarang. Ketika Cordelia menempelkan telapaknya pada lengan Gustav yang terhampar kaku di sisi tubuh, dia merasakan sensasi aneh membanjiri perut. Seolah ada energi yang merambat naik menuju dada, lalu menyebar ke ujung-ujung jemarinya. Gadis itu memejamkan mata merasakan sengatan listrik yang meletup-letup dari kedua tangannya. Dia mendengar teman-teman di sekeliling mendesis seolah terpana oleh sesuatu, lalu dia membayangkan Jade melangkah mundur untuk mengambil jarak lebih lebar. 

Apa yang terjadi? Cordelia urung untuk membuka mata dan terus membiarkan energinya tersalurkan pada patung Gustav di hadapannya. Beberapa saat kemudian, dia merasakan tubuhnya menggigil dan melemah, kakinya berat, dan napas di dadanya seperti dikuras habis. Cordelia ingin berhenti karena tubuhnya serasa hendak meledak, tetapi dia tidak tahu kapan harus berhenti. Dia takut untuk berhenti.

Tiba-tiba saja, seseorang melingkarkan lengan pada bahu Cordelia, lalu menariknya mundur hingga gadis itu terjungkal dari undakan rendah dan jatuh bergulingan ke lantai. Cordelia secara terkejut membuka mata, kepalang murka dan tidak terima karena ritualnya barusan diganggu. Akan tetapi saat melihat wajah Jade yang mengukung tubuhnya dari atas, sorot matanya melunak kembali. 

“Kenapa kau menarikku?” Cordelia membentak protes. Gadis itu menyingkirkan lengan Jade agar dia bisa kembali bangkit. Namun saat hendak mendorong tubuhnya ke posisi duduk, rasa nyeri menyerang kepalanya begitu kuat. Cordelia menunduk dan menekan kepalanya dengan tangan. Dia terkejut saat melihat darah menetes-netes ke pangkuannya. Rupanya itu adalah darah dari hidungnya.

“Kekuatanmu terkuras,” kata Jade, lalu membimbing Cordelia untuk tengadah ke atas supaya mimisannya berhenti. “Aku melihatmu gemetaran saat menyalurkan energi ke Gustav, jadi aku menarikmu agar berhenti.”

Sambil menangkup hidungnya yang berlumur darah, Cordelia meracau,  “Tapi ayahku, dia harus disela―”

“Dia sudah kembali. Lihatlah,” kata Jade, kemudian pemuda itu menyingkir dari hadapannya agar Cordelia bisa melihat apa yang terjadi. Lula dan Joseph telah sama-sama mundur dari patung dan menatap dengan ekspresi terpana....

Dimulai dari puncak kepala, patung tersebut perlahan-lahan meleleh bagaikan lilin. Permukaan bagian atas yang diselimuti debu berkapur kini menguap di udara, berwujud asap keperakan. Mata Gustav yang semula berupa pualam berwarna putih, berubah menjadi iris berwarna gelap. Mirip seperti mata Cordelia yang sekelam batu obsidian; jernih, dan begitu dalam. 

Jade membantu Cordelia agar bangkit perlahan, kemudian menuntun gadis itu melihat ayahnya lebih dekat. Rambut Gustav mulai terurai menjadi helaian gelap yang mengilat. Kulitnya yang putih pucat, menyembul dari balik pakaiannya yang berupa tunik lawas compang-camping. Ketika lapisan pualam itu telah sepenuhnya meleleh habis, Gustav yang asli langsung tergolek ambruk ke lantai dan tidak bergerak.

Cordelia berlari menghampiri sang ayah dan berlutut di dekatnya. “Ayah?”

Kelopak mata Gustav terbuka, berkedip beberapa kali. Tatapannya masih terlihat linglung dan kebingungan. Seluruh tubuhnya gemetaran, seolah-olah dia baru saja sembuh dari sakit parah dan dipaksa bangkit dari tempat tidur. Jade yang menangkap hal itu diam-diam melirik Joseph dan Lula di dekatnya. “Sepertinya dia mengalami disorientasi,” bisiknya.

“Ya. Perlu waktu untuk pulih.” Joseph mengangguk-angguk keheranan, kentara masih syok dengan apa yang baru saja dia lihat. Sampai saat ini, dia masih dilumuri keterkejutan tentang sosok asli Gustav. Bila dilihat dari kemasan luar patungnya, dia pikir Gustav adalah sosok raksasa yang mengerikan; bertubuh besar, dengan ekspresi wajah bagaikan penjahat keji dan beringas. Akan tetapi, pria yang tergolek lemas di hadapannya ini justru tidak memiliki tanda-tanda sedemikian seram. 

Gustav adalah sosok tinggi dan bertubuh besar, tetapi dia tidak terlihat kejam. Dia mempesona. Bentuk wajahnya simetris, bagaikan dipotong secara sempurna dari lempengan marmer putih. Warna rambut serta matanya mirip dengan Cordelia, tetapi dia jauh lebih maskulin dan tegas. Walaupun telah memiliki putri, usia Gustav seakan-akan baru berada di pertengahan tiga puluhan tahun. 

Pada saat itu, Jade, Joseph, dan Lula yakin, apabila Gustav berdiri di tengah-tengah kerumunan pria, Gustav pasti merupakan satu-satunya yang menonjol dan bercahaya. Jenis ketampanannya kekal, menyihir, menggetarkan. Mereka bahkan nyaris lupa caranya bernapas. 

Setidaknya itulah yang terjadi pada ketiganya; terdistraksi. Lengah. 

Tidak ada seorang pun yang sadar bahwa sejak tadi ada orang lain yang menyelinap masuk ke ruang museum dan melihat mereka semua dengan pandangan penuh kemurkaan. Di tengah kegemingan yang konyol tersebut, tahu-tahu saja seberkas kilat datang dari arah belakang dan membanting Joseph serta Lula hingga keduanya terlempar menghantam dinding. Jade tersentak kaget, lantas berpaling ke belakang. Dia terperenyak gemetar melihat Caspian, berdiri murka di ambang lorong lebar yang terbuka. 

Tidak, dia bukan Caspian. 

Dominic.

Belum sempat Jade menunjukkan reaksi, Dominic mengibaskan tangannya di udara, seketika membuat semua patung dan benda-benda kuno yang dipajang di sekitarnya terlempar dan pecah menghantam dinding. Tekanan angin yang kuat membuat Jade terpelanting jatuh ke lantai. Pemuda itu hendak bangkit dengan mendorong kedua sikunya, akan tetapi Dominic tahu-tahu sudah berada di dekat kepalanya, lalu menginjak tengkuknya dengan keras sehingga membuat sisi wajah Jade kembali menekan lantai. 

Pemuda itu menggeram tidak terima seraya menahan sakit.

“Aku mencium bau Lula di sini,” kata Dominic. Suara Caspian yang semula berat dan lembut kini berubah menjadi nada parau yang mengerikan. Dia menyeringai, menampakkan deretan giginya yang putih cemerlang, berlawanan dengan ekspresi bengis di wajahnya. Saat Dominic melihat Lula dan Joseph yang tengah terbaring tidak jauh dari posisinya, dia malah tertawa lebih lebar. “Dasar wanita bodoh. Kau kira membius dan mengunciku di ruang bawah tanah bisa mencegahku datang ke tempat ini?” 

“Caspian, aku tahu kau di dalam sana. Cepat sadarlah ....” 

Jade berusaha membujuk, akan tetapi injakan di tengkuknya malah semakin keras. Pemuda itu mengerang tidak berdaya, sementara Dominic menyeringai gila.

“Diam, bocah. Seharusnya saat itu aku membuatmu koma lebih lama.” Lalu Dominic menyisir ruangan dan melihat Cordelia yang sedang bersimpuh di dekat Gustav. “O, lihatlah pemandangan mengharukan ini. Apakah sekarang putri dan ayahnya sudah berhasil reuni?”

Cordelia tengadah menatap sosok iblis di hadapannya. Napasnya tinggal sepotong-potong karena sejak tadi dia berusaha membangunkan Gustav dengan kekuatannya yang tinggal separuh. Akan tetapi, ayahnya sepertinya masih memerlukan waktu untuk pulih. Tentu saja. Setelah ratusan tahun menjadi patung dan tidak menerima asupan darah apa pun pasti akan membuat tubuhnya kehilangan tenaga. 

Dengan cemas, Cordelia jelalatan ke sekitar. Joseph dan Lula terbanting tidak sadarkan diri di ujung ruangan, sementara Jade berada di bawah kaki Dominic, tampak tidak berdaya. 

Gadis itu sadar sekarang dia hanya sendirian.

“Dominic,” kata Cordelia, berusaha tegar. Pelan-pelan dia bangkit meskipun tubuhnya goyah dan limbung. “Keluarlah dari tubuh Caspian, dan lawan aku.”

“Melawanmu?” Dominic menyeringai merendahkan. “Kau tidak akan bisa melawanku, anak manis. Dengan kondisimu yang seperti itu, kau bisa mati semudah aku menepuk nyamuk di telapak tangan.”

“Kalau begitu lawan aku. Jangan hanya bermulut besar.”

Kata-kata itu menyulut sesuatu dari diri Dominic. Mata merahnya berkilat-kilat keji. Pria itu menegapkan tubuh dan mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Rupanya itu adalah sepucuk belati kristal yang mengilap ditempa sinar ruangan. 

Cordelia menahan napas dan berusaha untuk tidak terlihat takut, sementara Jade tidak mau berbuat diam. Dia tahu belati kristal itu adalah senjata mutakhir yang akan dipakai Dominic untuk menghabisi Gustav dan Cordelia. 

“Aku tidak akan segan-segan lagi untuk melawanmu, anak manis.” Dominic mengangkat belati tersebut dan mengusap satu sisinya yang berwarna keperakan. Nafsu membunuhnya telah datang mereguk bagaikan sirup yang ditumpahkan ke dalam gelas berisi air. Dia mencium belati itu, lalu mendengih-dengih seperti anjing. Tanpa sadar, Dominic melangkah meninggalkan Jade yang berbaring tengkurap di lantai. Sang iblis menghampiri Cordelia dengan belati di tangan.

Pada saat itu, kemarahan menjangkiti Jade bagaikan parasit. Pemuda itu mendorong dirinya bangkit, lalu secara tiba-tiba menerjang Dominic dari belakang. Mereka jatuh bergulingan di atas lantai yang dibanjiri kepingan pecahan kaca dan benda-benda kuno. 

Cordelia berteriak, “JADE!”

Akan tetapi Jade telah menulikan telinganya dari seruan-seruan bernada khawatir. Dia membiarkan bahunya menghantam lantai, lalu mendorong dirinya bangkit dan mengukung Dominic. Pemuda itu menghajar pipi Dominic secara membabi buta, menghantamkan tulangnya di sepanjang rahang yang kokoh dan keras, membiarkan darah dari hidung Dominic yang patah menyiprat di wajahnya.

Seluruh lengan Jade berdenyut sakit, akan tetapi Dominic hanya menggeram jengkel seakan dia tidak merasakan apa-apa. Dengan murka, pria itu mengibaskan belati di hadapan Jade, akan tetapi Jade berhasil berkelit lebih cepat. Dia menangkis ayunan belati kedua kalinya sehingga menyebabkan senjata itu terpelanting ke udara dan jatuh di lantai, tepat di hadapan Cordelia.

Gadis itu melihat sebuah kesempatan, kemudian dengan terseok-seok dia melangkah ke arah belati untuk memungutnya. Dominic yang mengetahui hal itu langsung geram. Dia mendorong Jade dengan kekuatan sihirnya, hingga pemuda itu terjungkal dan terseret sejauh beberapa meter. Jade merasakan kepalanya menghantam kontainer penyimpanan benda kuno sehingga membuatnya pening sesaat. Jahitan pada pahanya terbuka karena guncangan keras. Darah merembes menembus celananya.

Namun, Jade tidak membiarkan dirinya beristirahat sejenak. Pemuda itu menerjang Dominic lagi, membuatnya terbanting ke lantai. “CEPAT BUNUH DOMINIC, CORDY!”

“AKU TIDAK BISA!” Cordelia meraung. Belati sudah ada di tangannya, akan tetapi gadis itu masih terpaku di posisinya. “KALAU AKU MENUSUKKAN BELATI INI, CASPIAN BISA IKUT TERBUNUH!”

“Sial!” Jade berpaling menghadap Dominic yang kini menunjukkan ekspresi kemenangan.

“Kau tidak bisa membunuhku, bocah,” kata Dominic dengan lirih, kemudian tampaklah sorot kelicikan di matanya. “Tapi aku bisa membunuhmu dengan jarak sedekat ini.”

Jade kehilangan waktu untuk berpikir. Saat dia tersadar, dia telah membiarkan Dominic mencengkeram lehernya dengan erat, lalu segala sesuatunya berlangsung bagaikan kilasan gambar yang diperlambat; Jade merasakan kakinya terangkat dari lantai, kemudian Dominic melemparnya ke atas seakan dirinya adalah sebatang lembing. 

Dalam seperkian detik yang terasa bagaikan jutaan tahun, Jade melihat segalanya mengecil dalam jarak pandangnya. Wajah Dominic perlahan menjauh seiring jarak di antara mereka berdua meregang, lalu ruang museum yang melatarbelakangi tubuh Dominic mulai terdistraksi oleh kekacauan samar tentang skenario kematiannya ....

Ah, ternyata begini akhir kematiannya. Jade yakin sebentar lagi punggungnya akan menghantam dinding beton, sehingga organ tubuhnya akan meledak dan pecah. Lalu dia akan menjadi potongan carut marut yang berjatuhan di lantai, tewas dengan tragis ....

Pemuda itu memejamkan mata untuk mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk. 

Akan tetapi, sesuatu yang tidak dimintanya terjadi. 

Mendadak, Jade merasakan beton yang semestinya keras berubah menjadi landasan asing yang empuk. Tubuhnya bagaikan diisap perlahan ke dalam pasir yang menggumpal. Lalu dari balik dinding di sekitarnya, ranting-ranting tebal tiba-tiba muncul, mencuat dan memanjang, memeluknya bagaikan cangkang rusuk yang kokoh, melindunginya dari benturan mahakuat yang akan menghabisi nyawanya. Jade nyaris tidak sadar apa yang terjadi, akan tetapi dia tahu dirinya tidak jadi tewas. 

Perlahan-lahan, ranting-ranting itu membawa tubuhnya turun dari ketinggian. Ketika ujung sepatu Jade kembali menyentuh lantai, barulah dia ternganga.

“A-apa yang terjadi?” Pemuda itu jelalatan memandang sekelilingnya yang terasa normal. Dia tidak jadi tewas. Seseorang baru saja mengubah dinding itu menjadi sebuah landasan yang aman. Saat Jade berpaling ke sisi seberang, dia mendapatkan jawabannya;

Gustav rupanya telah berdiri tegap di samping Cordelia. Satu tangannya yang semula terangkat, perlahan-lahan diturunkan. Di titik itu Jade sadar bahwa keajaiban yang dialaminya barusan merupakan wujud dari kekuatan Gustav.

Pemuda itu melihat Cordelia melangkah terseok-seok mendekatinya, “Jade!” 

Lalu dia menangkup pinggang gadis itu dan menariknya ke dalam rengkuhan erat. 

“Terima kasih,” kata Jade, halus dan tulus. “Terima kasih, kukira aku akan tewas.”

“Ayahku menyelamatkanmu tepat waktu,” Cordelia terisak lembut. Dia melepas pelukannya, lalu tengadah memandang Jade untuk memeriksa rautnya. “Kau tidak apa-apa, kan?”

“Aku tidak apa-apa,” kata Jade, lalu beralih menatap Gustav, yang saat itu tengah berlari menerjang Dominic. 

Duel yang sesungguhnya terjadi begitu tiba-tiba. Jade hanya sempat melihat kilasan ledakan yang tercipta di antara Gustav dan Dominic; seketika mengirimkan guncangan gempa yang membuat seluruh museum bergetar serta deretan lampu-lampu gantung berkedip lemah seolah kehilangan daya. Sedetik kemudian, seluruh jangkauan jarak pandangnya diliputi debu dan asap. Jade menarik Cordelia menjauh dari lokasi itu untuk menghampiri kawan-kawannya yang terluka. 

“Josh, sadarlah!” Jade berlutut di dekat Joseph yang tergeletak miring dan tidak sadarkan diri. Dia mengguncang bahu Joseph, tetapi karena tidak ada reaksi, dia beralih menampar-nampar pipinya dengan keras. Pemuda itu akhirnya melenguh tertahan. Kelopak matanya bergetar ketika membuka. 

“Jade ... apa yang terjadi―ugh ... pipiku sakit, berengsek.”

“Duduklah. Bernapas,” Jade berusaha mengabaikan ocehannya dan beralih membantu Joseph supaya bersandar tenang di dinding. 

Sementara itu, Cordelia berhasil membangunkan Lula. Wanita itu tampak gemetaran dan terguncang karena syok. Dia menyeret tubuhnya agar bersandar di dinding, lalu bertanya apa yang terjadi; mengapa sekelilingnya menjadi gelap diliputi asap, dan mengapa dia mendengar suara benturan dan erangan yang memekakkan.

“Gustav sedang melawan Dominic,” kata Jade, perlahan bangkit untuk melihat situasi. Sekitar tujuh meter dari posisinya, dia melihat Gustav bergelut dengan Dominic. Sang leluhur abare menyerangnya dengan cara yang sama persis seperti saat dia melindungi Jade dari hantaman dan kejatuhan. Akan tetapi, Dominic tampaknya bisa membaca setiap gerakannya sehingga dia selalu berhasil menghindar setiap kali serangan itu datang. 

“Dominic memanfaatkan ilmu sihir yang dimiliki Caspian,” kata Cordelia. “Itulah mengapa dia selalu bisa menghindar dan menghalau kekuatan ayahku.”

“Kau benar,” kata Jade. “Alkimia adalah cabang kekuatan yang melawan hukum alam. Satu-satunya hal di dunia ini yang bisa mengimbanginya adalah sihir gelap.”

Diliputi gelisah, Jade berpaling pada Cordelia dan melihat sesuatu di tangan gadis itu.

“Belatinya,” kata Jade. “Kau berhasil mengambilnya?”

“Aku tidak akan membiarkan Dominic mendapatkannya. Dia bisa membunuh ayahku dengan senjata ini.” Cordelia memegang belati itu erat-erat dan nyaris memeluknya, seolah takut seseorang akan merebutnya.

“Kita harus menolong Gustav,” Joseph tahu-tahu muncul di samping Jade. “Kalau di antara kita ada yang bisa melempar belati dengan jitu, kita bisa coba menargetkan senjata itu ke dadanya.”

“Jangan!” Lula tahu-tahu memprotes. “Kumohon, jangan lukai Caspian! Dia tidak salah apa-apa!”

“Yang ada di sana bukan Caspian. Itu Dominic!” Joseph membentak murka.

“Dia memakai tubuh Caspian! Kalau kalian melukainya, Caspian juga akan terluka!” Kemudian Lula menggelayut pada lengan Jade dan nyaris bersimpuh di kaki Cordelia. “Kumohon. Aku tidak ingin kehilangan Caspian. Kalau dia mati, aku juga bisa mati!”

Cordelia menatap Lula dengan perasaan iba bercampur prihatin. Dia menatap belati kristal di tangannya dan berpikir-pikir cara apa yang bisa mereka gunakan untuk membunuh Dominic tanpa melukai Caspian. Bila dibiarkan terus-menerus, Gustav yang tidak tahu apa-apa bisa saja malah menorehkan luka di tubuh Caspian dan tidak sengaja membunuhnya. Kemungkinan itu membuat Cordelia sakit kepala. Bisa-bisanya di saat-saat genting begini dia malah memikirkan nasib Caspian.

Di tengah kesibukan berpikir, Jade tahu-tahu saja menyela, “Tunggu. Caspian pernah berkata padaku bahwa belati kristal itu dulunya digunakan oleh sekelompok suku untuk membunuh makhluk yang bukan manusia―monster, abare, siluman, atau roh halus.”

Cordelia terdiam untuk menyerap informasi itu. 

Roh halus.

Kemudian, benaknya tiba-tiba mendapat pencerahan. Gadis itu menatap Jade dengan luapan terkejut. “Ini berarti, bila kita berhasil menarik roh Dominic keluar dari tubuh Caspian, kita tetap bisa menusuknya dengan belati ini.”

“Benar sekali,” Jade mengangguk. Dia berpaling pada Joseph dan Lula. “Kita bisa menyelamatkan Caspian, tetapi kita perlu cara untuk bisa memancing roh Dominic keluar.”

“Bagaimana caranya?” Lula bertanya.

Mula-mula tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Namun beberapa detik kemudian, Cordelia berkata yakin di antara mereka; “Aku tahu caranya.”[]

-oOo-


.


.


.

.



Sekilas infoooo~

Istilah alkemis itu sebenernya hanya ditujukan untuk para ahli zaman dulu yang bisa mengubah logam menjadi emas ya, bukan manipulasi materi segala zat/benda. Namun kenyataannya (sejauh yang aku tahu), sampai kini belum ada bukti sains bahwa ilmu alkemis itu sungguhan ada dan bagaimana penjelasan tentang sebuah benda bisa berubah jadi benda lain. Aku memasukkan informasi ini demi pendukung fiksi aja yaah, jangan diyakini bahwa alkemis yang asli memang seperti cordelia 😄

(Soalnya dulu pernah kejadian ada orang yg nganggap latar di ceritaku beneran ada, padahal semua itu fiksi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top