53. Jelmaan
“DI hari Sabtu begini, RHM―Ruswer History Museum―tutup lebih sore. Kurasa kita bisa berangkat sekarang.” Suara Joseph menyela kesunyian di antara mereka berempat.
Perjalanan untuk membangunkan tubuh asli Gustav akan dimulai. Apa pun hasil akhirnya, mereka hanya berharap tidak ada yang terluka. Diilhami pengharapan tersebut, semua orang―Jade, Cordelia, Lula, dan Joseph bergegas pergi dari kamar rawat rumah sakit dan menaiki taksi menuju RHM yang terletak kurang lebih sejauh delapan kilometer dari sebelah timur Ruswer. Di tengah perjalanan, Jade menanyakan kepada Lula apakah wanita itu sudah memastikan Caspian tidak akan terbangun dan mengejar mereka hingga kemari.
“Setelah membiusnya, aku mengikatnya di ruang bawah tanah dan menggembok pintunya dengan rantai. Dia mungkin masih bisa keluar, tapi dengan kondisi badannya yang lemah, itu akan memberi kita waktu untuk bergegas.”
“Seharusnya kau tambahkan dosis biusnya agar dia tidak bisa bangun sampai besok pagi. Kalau sampai dia mengejar kita, maka tamatlah riwayat semuanya. Dia masih memiliki belati perak itu, kalian tahu?” komentar Jade, yang langsung mendapat lirikan curiga dari sopir di bangku depan. Sepertinya sejak tadi percakapan mereka dinilai sebagai tanda-tanda aksi kriminal yang dilakukan sekelompok anak muda berbahaya. Joseph yang duduk di samping sang sopir tidak sengaja bertumbukan kontak dengannya, lalu dia memberi cengiran ramah seolah ingin menegaskan bahwa obrolan ini bukan masalah besar.
“Jade, kecilkan suaramu, berengsek,” bisik Joseph tanpa suara di antara gigi-giginya yang dikatupkan.
Cordelia yang duduk di samping Jade tiba-tiba menyahut pada Lula, “Caspian mungkin masih bisa menyelidiki dimana kita berada lewat dirimu―maksudnya membaca pikiranmu. Kita harus lebih berhati-hati.”
“Berdoa saja semuanya lancar,” kata Lula, kemudian melengos menatap jendela mobil di sampingnya. Kendati obrolan semua orang berhenti, hati wanita itu masih terpaut gelisah. Ini pertama kalinya Lula meninggalkan Caspian untuk melakukan semacam pemberontakan. Bagaimana bila Caspian menuduhnya pengkhianat dan tidak ingin mengenalnya lagi? Bagaimana bila pilihan yang Lula ambil adalah suatu kekeliruan besar? Bagaimana bila seharusnya dia diam saja di kamarnya dan berpura-pura tidak tahu apa-apa? Tidak ada jawaban tepat untuk memberi makan kegelisahannya, akan tetapi, sepertinya raut prihatin Lula mengundang Cordelia untuk bertanya;
“Kenapa kau mau membantu kami?”
Lula berpaling dari jendela dan menatap Cordelia. Untuk sejenak, Lula tidak tahu harus menjelaskan apa. Dia ikut mereka karena dia merasa tidak aman bersama Caspian.
“Aku takut pada Caspian.” Akhirnya Lula berterus terang. “Dia ... tidak seperti orang yang kukenal lagi, jadi aku ingin bergabung bersama karena kupikir kalian bisa mengembalikannya menjadi normal.”
“Yang membuatnya berubah adalah roh Dominic di dalam tubuh,” kata Cordelia dengan nada lebih lirih, supaya sopir taksi tidak bisa mendengar percakapannya. “Kalau kau ingin Caspian kembali, artinya kita harus mengusir roh di dalam tubuhnya.”
“Kau yakin nantinya Gustav dapat membunuh Dominic?”
Cordelia mengangguk.
“Tapi, Cordelia,” kata Lula, agak ragu. “Waktu itu Caspian pernah berkata padaku bahwa sebenarnya kau memiliki kemampuan yang mirip dengan Gustav, karena kau adalah Putri Dewa Ketujuh.”
Cordelia baru mendengar istilah ini. Alisnya berkerut penasaran. “Putri Dewa Ketujuh?”
“Karena Gustav adalah satu dari tujuh dewa yang dulunya berkuasa di masa lalu,” kata Lula. “Kendati ibumu adalah manusia, kau mewarisi kekuatan Gustav. Hanya saja, selama kau disegel di dalam lukisan, kekuatan itu ikut tersegel juga. Aku tidak tahu mengapa kau belum tahu soal ini. Seharusnya kau sendiri saja bisa melawan Dominic, sebab itulah yang menjadi tujuan kedua Dominic setelah dia berhasil menghabisi Gustav; dia ingin melawan dan menewaskanmu seperti yang nantinya dia lakukan kepada Gustav.”
“Itu tidak akan terjadi,” kata Cordelia. “Maksudku ... aku belum bisa mengukur sampai sejauh mana kekuatanku. Setelah keluar dari lukisan, aku memang menguasai beberapa kemampuan, tetapi tidak pernah terpikirkan apa yang bisa kulakukan dengan kekuatan itu.”
“Kau perlu mempelajarinya lebih jauh. Barangkali Gustav bisa membantu,” kata Lula.
Cordelia menatap tangan Lula yang terhampar di pangkuan, kemudian gadis itu menangkupnya dengan lembut. Lula tampak terkejut, tetapi dia diam saja saat Cordelia meremas tangannya dengan hati-hati, seperti hendak menguatkan. “Apa pun yang terjadi nanti, aku berharap Caspian tidak sampai terluka demi Dominic.”
Lula merasakan sengatan pedih di mata. Dia mengangguk kecil, lalu mengulurkan kelingkingnya pada Cordelia. “Maukah kau berjanji?”
“Apa?”
“Berjanjilah padaku kalau kau akan menyelamatkan Caspian,” Lula berkata dengan raut setengah memohon dan putus asa. “Percayalah padaku, Cordelia. Caspian sebenarnya orang baik. Dia sebetulnya tidak ingin ikut campur masalahmu, hanya saja ... sesuatu yang merasukinya membuatnya kehilangan kendali.”
“Aku tahu dia baik.” Lalu Cordelia mengaitkan kelingkingnya pada jemari Lula. “Tapi orang baik selalu memiliki alasan untuk kebaikannya. Kita tidak pernah tahu apa yang ditawarkan Dominic kepada Caspian sehingga dia mau menyembunyikan kondisinya sampai sejauh itu, namun selama dia masih berpihak kepadaku, Lula, aku berjanji akan menolongnya.”
Hati Lula merasa sempit ketika mendengar hal itu, akan tetapi dia berusaha tenang.
-oOo-
Selewat beberapa menit kemudian, taksi telah membawa mereka ke RHC, yang rupanya belum benar-benar tutup. Mereka berempat keluar dari kendaraan dan menunggu di halte dekat jalan utama menuju RHM, menghitung dengan gelisah beberapa kendaraan yang muncul dari pintu keluar arena parkir museum. Saat waktu yang dirasa tiba, Jade memandu mereka semua agar mengikutinya ke gerbang utama yang terkunci. Setelah memastikan tidak ada orang yang mengetahui aksi keempatnya, Jade membujuk Cordelia agar membuka kunci gemboknya.
“Apa dia bisa?” tanya Lula dengan tampang skeptis.
“Dia bisa memenggal kepala orang dengan mudah. Menghancurkan gembok ini pasti ibarat permainan kecil untuknya,” kata Joseph, yang langsung ditimpali dengan pelototan kaget dari Lula.
Cordelia menangkup gembok tersebut dengan satu tangan dan meremasnya kuat. Secara ajaib, logam penguncinya hancur menjadi kepingan besar yang luruh ke tanah. Joseph secara refleks menelan ludah gugup seraya memegang lehernya sendiri, sementara Jade malah cengar-cengir senang karena kelewat terpesona pada Cordelia. Dia membantu gadisnya mengurai ikatan rantai yang telah patah, lalu mendorong gerbang itu ke dalam. Bersama Lula yang masih diliputi syok setelah melihat adegan mengejutkan itu, akhirnya mereka berempat menyelinap masuk ke halaman museum.
Tidak ada masalah yang cukup berarti selama mereka membobol keamanan museum Ruswer. Semuanya berjalan lancar, sampai rasanya Jade tidak percaya bahwa akhirnya dia telah sampai ke titik ini―ke lokasi yang dituju; patung Gustav yang disimpan di dalam kaca di tengah-tengah ruangan. Lampu di sekitar mereka telah dinyalakan secara ilegal oleh Joseph, sehingga mereka memiliki cukup penerangan untuk membedah rangka dan proporsi patung di balik kaca. Sekilas tampak tidak ada yang salah, tetapi mereka semua sebetulnya dirudung gelisah hebat tentang tujuan kedatangan ke tempat ini.
“Kau yakin patung ini sebenarnya adalah ayahmu yang asli?” Joseph adalah yang pertama menyuarakan pikirannya.
“Kita harus memastikannya sendiri,” kata Cordelia, menelusurkan jemarinya ke sepanjang permukaan kaca yang dingin. “Mari pikirkan cara untuk membuka kacanya.”
“Bagaimana kalau dihancurkan saja dengan kemampuanmu?” kata Lula.
“Bisa saja, tapi ....” Cordelia menatap Jade dan Joseph secara bergantian. “Apa kita diperbolehkan merusak fasilitas ini?”
“Kenapa kau baru mengkhawatirkan hal itu sekarang? Sejak terbangun di masa ini kau kan selalu berbuat keonaran!” Joseph protes sambil mengacak-ngacak rambut.
Cordelia merengut tersinggung, akan tetapi akhirnya melakukan tugasnya. Gadis itu menempelkan telapak tangannya pada permukaan kaca, lalu memejamkan mata. Hanya perlu sedikit dorongan, dan kaca ini akan hancur berkeping-keping seperti gembok-gembok yang telah dirusaknya. Cordelia nyaris saja menekan kaca tersebut ketika mendadak dia teringat kata-kata Lula di taksi tadi; “Kendati ibumu adalah manusia, kau mewarisi kekuatan Gustav. Hanya saja, selama kau disegel di dalam lukisan, kekuatan itu ikut tersegel juga.”
Kekuatan Gustav yang diwariskan kepadanya. Seperti apakah itu?
Walaupun Caspian telah mengembalikan seluruh ingatannya, akan tetapi Cordelia sama sekali tidak tahu bahwa selama ini dirinya memiliki potensi yang sebegitu besar. Dia yakin semasa kecilnya, sang Ayah atau Ibu tidak pernah memberitahunya soal kekuatan itu. Usia remajanya hanya diwarnai dengan kehidupan yang muram dan penuh teror. Pembunuhan di mana-mana; pemusnahan abare, eksekusi masal, asap gelap yang menggantung di langit, tangan-tangan lemah yang meminta pertolongan. Satu-satunya momen yang berkesan di benaknya adalah ketika Cordelia berpelukan dengan kedua orang tuanya. Kehangatannya sampai sekarang masih terasa meletup-letup di dadanya. Namun kenangan itu saja berlalu singkat, sebab ingatan berikutnya yang dia tahu adalah ayahnya menggiringnya masuk ke sebuah altar untuk diikutkan dalam ritual gelap. Sebuah ritual yang kelak mengempiskan jiwa raganya menjadi suatu energi yang mendiami lukisan.
Cordelia sama sekali tidak tahu bila dia memiliki kekuatan besar untuk mengalahkan Dominic. Dan, saat ini, dia sangat ingin mengetahuinya.
“Cordy,” Jade tahu-tahu memegang punggungnya dengan lembut. “Kau tidak apa-apa?”
Cordelia membuka mata. Mendadak saja dia tersadar bahwa sejak tadi dirinya masih mematung di depan bilik kaca.
“Kau tidak enak badan? Kalau begitu minggirlah. Biar aku saja yang merusak bilik kaca ini,” Jade hendak mendorong Cordelia supaya menyingkir, akan tetapi gadis itu menyelanya. Dia berkata bahwa tadi dia hanya melamun sebentar.
“Aku bisa melakukannya,” kata Cordelia, kemudian dia mengisyaratkan Jade agar menjauh dari bilik kaca. Gadis itu menempelkan telapak tangannya lagi dan kali ini mencoba berkonsentrasi dengan memejamkan mata. Bila kekuatan yang diwariskan Gustav itu benar adanya, maka sekaranglah saatnya muncul.
Lalu tanpa Cordelia ketahui, Kalung Evangeline di dadanya memunculkan kilatan sinar merah bercampur keemasan―hanya sekejap, karena semua orang tampaknya tidak menyadari hal itu. Kemudian, bilik kaca di hadapan Cordelia bergetar―seperti mengalami glitch. Sedetik setelahnya, kaca itu mendadak saja menghilang.
Cordelia membuka mata, namun belum sadar apa yang terjadi. Timbul kecurigaan kecil di benaknya ketika melihat keadaan bilik kaca yang seolah tidak berubah. Dia mendorong tangannya beberapa sentimeter ke depan, lalu terkejut. Jemarinya tiba-tiba saja dapat menyentuh patung Gustav.
Ketekerjutan yang sama juga dialami semua orang.
“Bagaimana bisa?” Jade memandang keajaiban di hadapannya dengan tampang terpana. Dia mengayunkan tangannya ke depan, memastikan bahwa kaca itu benar-benar hilang. “Bagaimana kau bisa melakukannya?”
Cordelia menatap ketiga orang di hadapannya dengan canggung dan bingung. “A-aku tidak tahu. Aku hanya menyentuhnya, lalu berpikir mungkin kita tidak seharusnya menghancurkan semua properti ini, dan ... semuanya terjadi begitu saja.”
“Kau tidak pernah memperlihatkan kemampuanmu yang ini. Kau melenyapkan kaca itu,” kata Joseph, yang tampaknya semakin dirudung kekalutan bercampur rasa kagum. “Sebenarnya kekuatanmu ini seperti apa? Kau bilang kau hanya bisa membaca pikiran Jade.”
“Dan telekinesis,” kata Jade. “Dia pernah mencoba mematahkan tanganku dengan hanya melihatku saja. Lalu membunuh ... menghancurkan gembok.”
“Sebenarnya kekuatanmu lebih besar daripada yang sanggup kau sadari,” kata Lula.
“Baiklah, sudahi obrolan ini karena tidak akan menghasilkan solusi apa-apa,” Cordelia mengibaskan tangan di udara dan menyela di antara kawan-kawannya untuk menghadap Gustav. Dia menaiki undakan kecil yang dibangun sebagai pijakan kaki patung Gustav, lalu meneliti setiap inchi permukaan dengan cermat. Patung ini betul-betul terbuat dari batu, tetapi memang ada yang aneh ....
“Kalian lihat,” kata Jade yang memecahkan penyelidikan Cordelia. “Isabel bilang, patung ini ditemukan di antara reruntuhan kuil yang meledak, tetapi sama sekali tidak ada pecahan berarti di tubuhnya. Patungnya masih mulus dan terlihat baru. Ini artinya ... kemungkinan Gustav memang ada di dalam sini.”
“Apa kita harus menghancurkan patung ini?” kata Joseph.
“Kau akan lebih dulu kuhancurkan bila berani menyentuhnya,” ketus Cordelia, yang langsung mendapat sentakan terkejut Joseph. Gadis itu meraba bagian wajah patung Gustav seraya berpikir-pikir. Pasti ada kunci untuk membebaskannya. Kalau Cordelia saja bisa keluar dari lukisan, seharusnya patung Gustav juga bisa bangkit dari kebekuan abadi. Tapi bagaimana caranya?
“Cordy,” kata Jade, yang sedang menggulung lengannya. “Barangkali dia harus ditetesi darah seperti halnya kau yang keluar dari lukisan karena mencium darahku.”
“Kau mau apa?”
“Aku akan menggores tanganku sendiri.”
“Tidak. Ini tidak berpengaruh olehmu.”
Pemuda itu mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Ayahku tidak disegel oleh orang yang sama seperti yang menyegelku. Kau tidak ingat isi di dalam catatan itu? Aku bisa dibebaskan olehmu karena pada saat itu orang yang menyegelku di dalam lukisan adalah salah seorang penyihir dari garis keturunanmu. Sementara ayahku, dia ....” Cordelia mendongak menatap patung Gustav yang berdiri menatap kejauhan. “... dia mengubah dirinya sendiri menjadi patung.”
“Mengubah dirinya sendiri?” kata Joseph.
“Ayahku memiliki kemampuan sama sepertiku. Mengubah benda.”
“Kau barusan melenyapkan kaca, menghilangkan elemen padat,” kata Jade. “Mungkin lebih tepatnya adalah manipulasi atom. Para alkemis di masa lalu juga memiliki kemampuan yang setara seperti ini. Mereka mengubah elemen atom sebuah materi menjadi materi yang berbeda. Ilmu alkimia ini melawan hukum alam, tetapi ada banyak bukti di masa lalu bahwa orang-orang yang bisa melakukannya memang sungguh-sungguh ada.”
“Sekarang aku percaya kalau kau Putri Dewa Ketujuh,” kata Lula.
“Cordelia,” kata Jade, memegang lengan Cordelia erat-erat. Suaranya yakin ketika berkata; “Kau mungkin bisa mengubah ayahmu ke kondisi semula.”
Cordelia menatap Jade, mulanya tampak ragu, tetapi akhirnya dia memahami jenis ketekatan apa yang sedang dipancarkan dari kedua mata hijaunya yang cemerlang. Maka gadis itu mengambil napas dalam-dalam, lalu menyentuhkan telapak tangannya pada lengan patung Gustav. Sementara teman-teman lainnya menyingkir, Cordelia mulai memejamkan mata, berkonsenterasi.
Ketika dia membuka mata beberapa detik kemudian, keajaiban terjadi.[]
-oOo-
.
.
.
.
Tbc~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top