52. Hancur
CORDELIA menyentuh kalung rubi yang menggantung indah di lehernya, meremasnya dengan lembut, seolah dengan cara itu dia bisa terhubung dengan masa lalunya lagi. Setelah puas menatap liontin merahnya yang berkilauan, gadis itu mendongak sedikit untuk menatap pemandangan kota di balik jendela rumah sakit. Tiba-tiba saja, perasaan pahit dan sedih yang sejak tadi telah mati-matian dia kubur, kembali terburai.
Cordelia tidak tahu pasti apa yang membuat hatinya menjadi selemah ini. Barangkali dia hanya terlalu sedih karena keberadaannya di tempat ini tidak diperlukan, bahwa dia adalah keturunan abare yang hina dan buas, bahwa dia tanpa sadar telah menyeret orang-orang tidak bersalah ke dalam pusaran takdirnya yang memprihatinkan. Atau barangkali dia hanya merasa muak dengan keadaan dan ingin melakukan pembalasan untuk menjungkirkan takdir yang sudah dinubuatkan untuknya. Namun pembalasan seperti apa yang bisa dia upayakan? Membunuh Dominic? Akankah itu menjadi jalan solutif satu-satunya?
“Kau sedang memikirkan apa?” Jade tahu-tahu muncul dari belakang Cordelia dan mendekap pinggang gadis itu.
Atas insiden darurat yang harus diselesaikan ini, Jade memaksa untuk keluar rumah sakit sore ini juga, lebih awal dari seharusnya. Cordelia maupun Joseph tidak ada yang bisa melunturkan kehendaknya, karena orang ini begitu keras kepala. Dan, meskipun sekarang Jade masih belum begitu sehat (tampak dari tindak-tanduknya yang cenderung diam dan lebih banyak beristirahat di ranjang rawat), dia kelewat ingin membuat impresi bahwa dirinya baik-baik saja.
“Tidak.” Nada Cordelia agak menggantung, lalu, “Sebenarnya aku takut.”
“Kenapa takut?” Jade melingkarkan lengannya pada perut Cordelia dan menumpukan dagunya di pundak gadis itu. “Ada aku di sini.”
Ada banyak kekhawatiran yang bertumpuk dalam kepala Cordelia sehingga gadis itu kebingungan mana hal yang paling membuatnya takut; menghadapi takdir kematian, melawan Dominic, atau melihat Jade yang dicintainya ikut terlibat dalam masalahnya? Ketiganya sama-sama buruk. Cordelia menatap pemandangan di balik jendela untuk menghilangkan denyut kegelisahan yang bersarang di dadanya, tetapi tidak berbuah apa-apa. Jam terus bergeser maju, semakin pendek. Itu artinya, sebentar lagi bom akan meledak.
“Menurutmu, apakah kita bisa mengalahkan Dominic?” Akhirnya Cordelia bertanya.
“Kenapa kau kelihatan ragu? Ini seperti bukan kau.”
“Tidak, aku hanya ....” Cordelia menarik napas dalam-dalam. “Kita semua tidak tahu bagaimana keadaan Gustav saat ini. Tentang dia yang berubah menjadi patung, bagaimana bila kita tidak menemukan cara untuk mengembalikannya ke wujud asli? Bagaimana bila dia tetap membeku selamanya seperti itu? Di dalam kilasan bayangan yang muncul di kepalaku kemarin, ayahku terlihat ... dia terlihat sudah kalah. Terseok-seok di antara reruntuhan, tampak lemah. Bagaimana bila imortalitas yang selama ini kita bicarakan sebenarnya adalah istilah untuk menyatakan keadaan beku, yang secara konseptual artinya tewas dan tidak berdaya?”
Jade melepas rengkuhannya, lalu bersandar pada birai jendela kamar rumah sakit.
“Baiklah, aku paham tentang kecemasanmu. Tapi sekarang apa? Kita sudah setengah perjalanan. Kau mau kita kabur saja seperti seorang pengecut? Meninggalkan Joseph dan juga Lula?” Selepas mengatakan hal itu, Jade berpaling ke kursi tunggu untuk melihat Joseph yang tidur kelelahan dengan mulut terbuka. Pipi pemuda itu bersandar di tepi ranjang rawat. Tidurnya terlihat nyenyak dan tidak bisa diganggu.
“Kabur bukan berarti menjadi pengecut,” kata Cordelia, membuat Jade berpaling kembali padanya. “Itu adalah cara bertahan, agar kita terus hidup.”
“Kau takut kita kalah dengan Dominic?”
“Aku takut akan kebodohan. Rencanamu untuk datang ke museum dan menyelamatkan Gustav itu terdengar konyol.”
“Memangnya kau tidak peduli dengan ayahmu? Bukankah beberapa waktu lalu kau bilang kau rindu dengan keluargamu?
“Kurasa akan lebih baik bila sejak awal kita menganggap Gustav telah tewas,” kata Cordelia. Ada sedikit rasa sedih yang mencubit hatinya ketika dia mengakui hal tersebut. Namun gadis itu telah memantapkan hati dan berkata yakin, “Setelah sekian lama hidup di Ruswer, kurasa aku menemukan tujuan baru untuk hidup. Aku ingin menyingkir sepenuhnya dari takdir, meninggalkan siapa aku di masa lalu, dan melupakan semuanya. Aku ingin ....”
Cordelia menatap Jade, lalu suaranya memelan, “Aku ingin fokus di masa sekarang dan hidup bersamamu selamanya.”
Jade merasakan hatinya agak patah mendengar keinginan itu, karena tidak biasanya dia melihat Cordelia menjadi seputus asa ini. Sang pemuda lantas menyugarkan jemarinya pada rambut gelap Cordelia yang menjuntai melewati pundak. Dia menyelipkan helaian itu ke balik telinga dan berkata dengan nada menuntun, “Cordy, aku tahu ini sangat sulit untuk diputuskan. Tapi kita perlu mencoba peluang ini, sebab pilihan apa pun yang kau ambil, keduanya sama-sama berisiko. Kalau kita kabur jauh, kita hanya akan menumpuk dendam Dominic. Dia akan terus mencari kita sampai dapat. Apa kau mau terus hidup dalam ketakutan pengejaran musuh bebuyutan?”
Cordelia tidak membalas apa pun. Jade pikir gadis itu bisa mulai membaca situasi yang terjadi sekarang. Akan tetapi, Cordelia malah bertanya sesuatu yang lain, “Memangnya ... setelah Gustav hidup kembali dan Dominic mati, kita akan tetap bersama?”
Pertanyaan Cordelia barusan membuat Jade terperenyak.
“Kau bilang apa?”
“Jade,” Cordelia meraih tangan Jade dan meremasnya kuat. “Aku takut bila ayahku memisahkan kita.”
Jade terdiam. Tiba-tiba saja, semua beban yang dipikulnya sebelum ini kembali datang dan membebaninya lebih tragis. Setelah sekian lama, kini Jade sadar dirinya telah hanyut sepenuhnya dalam kasih sayang terhadap Cordelia. Semestinya dia tahu perbuatannya salah. Tidak pernah terpikir di benaknya bahwa dia akan menjalin cinta dengan sosok makhluk yang bukan manusia. Pemikiran tentang masa depan di antara keduanya malah membuatnya semakin merana lagi.
Dahulu Jade begitu takut setiap kali bersentuhan dengan Cordelia, tetapi sekarang ... dia malah merasa terbutakan dengan rasa cintanya. Dia mengejar dan mendamba, seakan tidak peduli dengan konsekuensinya. Apakah ini benar-benar rasa cinta, atau sekadar rasa pengasihan belaka? Apakah Jade hanya menganggap Cordelia sebagai pelampiasan tanggung jawabnya karena dulu dia pernah gagal menjaga ibunya? Apakah hubungannya akan tetap baik-baik saja?
“Ini kedua kalinya aku melihatmu ragu dengan hubungan kita,” Cordelia, yang telah memahami seluk beluk pikiran dan emosi Jade, tampaknya tahu angin topan apa yang berpusing dalam kepala sang pemuda. Dia melepaskan tangan Jade dan kembali berputar menghadap jendela. Sorot matanya murung dan penuh kekecewaan. Gadis itu berkata lagi, “Saat pertama kali aku menyatakan cinta di toilet kafe, aku memahami betapa campur aduknya emosimu. Alih-alih tidak ingin memperburuk situasi dengan memaksakan perasaanku kepadamu, aku memilih diam. Kupasrahkan semuanya pada keadaan. Saat itu, kupikir tidak apa-apa bila hanya aku saja yang mencintaimu, sementara kau tidak. Karena semula aku yakin bahwa perasaan cinta tidak perlu berbalas. Mencintaimu adalah keputusan personalku, dan aku tidak mau mengikatmu ke dalam tanggung jawab menggelikan itu. Sebab aku tahu, kau sudah terlalu banyak menderita di masa lalu.”
“Namun, Jade,” Cordelia melanjutkan, “Beberapa hari berikutnya, kau datang ke kamarku untuk menghiburku yang sedang bersedih setelah mengetahui isi catatan Constantine. Kau memujiku ... mengatakan padaku bahwa hidupmu dimulai kembali setelah kau bertemu denganku. Tahukah kau bagaimana perasaanku? Aku merasakan secercah kebahagiaan yang tidak pernah kualami sebelumnya. Bagaimana mungkin, aku yang hina dan seperti monster ini telah menginspirasi hidupmu dengan cara yang sama sekali tidak terpikirkan? Kau memberiku harapan. Kau membuatku jatuh cinta pada dunia ini, Jade. Kau menarikku keluar dari belenggu masa lalu yang mengikatku. Itulah mengapa aku begitu percaya bahwa mungkin ... hidupku akan baik-baik saja selama kau masih mencintaiku.”
Cordelia melangkah lebih dekat, lalu mengusap pipi Jade dengan lembut. “Tapi saat ini aku melihat keraguan itu kembali datang di matamu,” katanya lirih, penuh kepasrahan. “Aku tidak akan menyalahkanmu atas semua ini, Jade. Sejak awal kita berdua tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah berhasil. Sebab aku akhirnya sadar, tidak ada rasa cinta yang berisiko kematian satu sama lain. Tidak ada cinta yang mengorbankan darah untuk pasangannya. Bila tetap dipaksakan, kuyakin kisah cinta tragis antara Gustav dan Evangeline akan terulang lagi kepada kita.”
Jantung Jade berdenyut sakit ketika mendengarnya. Dia menangkup tangan Cordelia di pipinya, lalu menciumnya lembut. Tidak mampu mengatakan apa-apa, sebab dia tahu apa yang dikatakan Cordelia benar. Andai saja, andai saja Jade bisa menukar sesuatu untuk memperbaiki keadaan ini, dia pasti akan memberikannya dengan sepenuh hati. Jade mencintai Cordelia, tetapi dia tidak bisa memaksakan takdir untuk tetap bersama.
“Kau benar, Jade,” Cordelia berkata lagi, kali ini setetes air mata turun melelehi pipi kanannya. “Jalan apa pun yang kita tempuh, hasilnya akan tetap sama. Kita berdua akan sama-sama hancur.”[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Bad ending?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top