51. Curian

SAAT Cordelia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit putih yang terbias oleh cahaya matahari. Gadis itu mengusap mata dengan jari, kemudian berguling ke kanan untuk membelakangi jendela. Udara karbol dan disinfektan yang tercium pada bantalnya perlahan menyadarkan Cordelia di mana dia berada. 

Matanya membelalak lebar. Sekonyong-konyong dia bangkit dan menatap segala penjuru. Ini adalah ruang rawat Jade―bukan kejutan besar, sebab Cordelia masih ingat kejadian semalam. Akan tetapi yang membuatnya kebingungan adalah fakta bahwa sejak tadi dia tertidur di atas ranjang. Ke mana Jade?

“Kau sudah bangun?” 

Pertanyaan itu lekas mengurai kegelisahannya. Cordelia berpaling dan memperhatikan, Jade duduk di birai jendela kamar rawat, bersama tiang infus yang berdiri di dekatnya. Rautnya masih pucat dan gerak-geriknya lemas, tetapi dia tersenyum―jenis cengiran yang membuat jantung Cordelia menghangat dan meleleh cepat ke dasar perut. 

“Jade?” Suara Cordelia seperti cicitan lemah tidak percaya.

“Aku memindahkanmu ke ranjang karena kau tampak lelah tidur sambil duduk,” kata Jade, tidak memperhatikan cermat raut Cordelia yang sudah mengerut karena menahan air mata.

Tanpa menjawabnya lagi, gadis itu lekas turun dari ranjang dan menghampiri Jade. Dia mengusap wajah sang pemuda dengan lembut, menelusuri setiap inci kulitnya dengan perasaan lega sekaligus mendamba. Tidak ada yang tampak salah. Jade baik-baik saja. Hidup dan aman. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Cordelia lirih. “Kau tidak merasa sakit, kan? Kau baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja,” Jade menatap gadis di hadapannya dengan raut bingung, lalu menyembur tawa jail. “Kau khawatir sekali ya padaku?” 

Cordelia langsung menariknya dalam pelukan. Dia membiarkan kepala pemuda itu bersandar di dadanya, sementara pipi Cordelia mendarat lembut di puncak kepala Jade. “Aku sungguh takut kau kenapa-kenapa. Aku tidak ingin kau juga ikut merasakan sakitku.”

Jade tidak tahu apa yang Cordelia bicarakan. Atau mungkin dia agak lupa dengan yang terjadi sebelum ini. Seluruh pikirannya saat sadar tadi pagi seperti ... melayang. Pemuda itu tidak tahu bagaimana menjabarkannya. Dia hanya merasa terlalu lelah, dan seluruh tubuhnya berat, seperti dibebani batu puluhan kilo. Apakah itu karena efek obat? Ataukah Caspian melukainya kelewat parah? Dia hanya tidak mau bila Cordelia terlalu khawatir dengan dirinya, jadi dia memilih untuk menanggung semua perasaan tidak nyaman ini seorang diri. Baginya, Cordelia berada di sisinya saja sudah cukup. 

Jade melepas pelukan mereka, berdiri dari birai jendela. Dia menangkup pipi Cordelia dengan kedua tangan, lalu memberi gadis itu ciuman lembut di bibir. Suaranya bernada lemah dan memohon, “Aku senang karena orang pertama yang kulihat ketika terbangun adalah kau.” 

“Jangan lakukan itu lagi, Jade,” kata Cordelia. “Meninggalkanku sendirian ... berpikir bahwa kau seorang diri bisa mengalahkan Caspian. Apa kau tahu kalau orang itu adalah abare? Dia bisa membunuhmu semudah menepuk nyamuk di tangan.”

“Tapi kita sudah melewatinya.”

“Tidak,” kata Cordelia. “Penderitaan sesungguhnya akan tiba.”

“Apa maksudmu?” 

Jade menatap Cordelia dengan pandangan penuh tanya. Namun sebelum gadis itu sempat menjawab, pintu ruang rawat tahu-tahu dibuka dari luar. Joseph melenggang masuk dengan penampilan berantakan―seolah semalaman baru saja berlari puluhan kilometer dan kembali pulang dalam keadaan berkeringat dan lusuh. Atensinya terpaku pada Cordelia, kemudian Jade.

Sekilas ada keterkejutan yang terpancar dari matanya, kemudian kepanikan Joseph seolah lenyap begitu saja sehingga membuat pemuda itu merosot ke lantai. Jade menghampirinya dan langsung membantunya tegak, “Astaga, Josh. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau baru tiba sekarang?”

“Baru tiba sekarang, maksudmu? Kau pikir siapa yang mengkhawatirkan kondisimu sejak kemarin?” Joseph mengambil napas pelan-pelan dan langsung duduk di kursi. Matanya langsung menatap nyalang pada Cordelia. “Dan kau, Cordy. Tahukah kau aku mencarimu ke mana-mana? Aku berkeliling di banyak tempat―ke rumah Caspian, ke rumah kita, ke museum ... aku kira kau menghilang dari kota ini setelah memutuskan untuk mengakhiri semuanya seorang diri!”

“Kau ke rumah Caspian?” tanya Cordelia, khawatir.

“Ya, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Maksudku ... tidak ada yang mau repot-repot membukakan pintu. Aku kepikiran menerobos masuk untuk mencarimu, tapi aku mengkhawatirkan diriku yang tidak membawa senjata apa-apa,” keluh Joseph. 

Cordelia tidak membalas apa-apa, sementara Jade langsung mengusap kepalanya yang mendadak berdenyut samar. Karena takut jatuh, dia memutuskan duduk di pinggiran ranjang rawat seraya bertanya pelan-pelan, “Josh, aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang Cordy lakukan sebelum ini? Bukannya dia menungguku semalaman?”

Joseph menatap Jade dengan pandangan ngeri. “Kepalamu terbentur, ya? Jelas-jelas kemarin kau sempat jatuh kritis setelah tahu bahwa Cordelia meninggalkanmu.”

Mendadak saja, ruang rawat terasa hening. Cordelia memandang Jade yang tampaknya kesulitan untuk mengingat. Raut wajahnya yang semula dipenuhi kelegaan kini berubah menjadi muram. Tanpa kawan-kawannya sadari, kenangan semalam menerobos masuk ke arsip ingatan Jade―dirinya tersadar di tempat tidur. Joseph duduk di samping ranjang ... mengaku bahwa Cordelia pergi menghadapi Caspian seorang diri ....

Jade menekan kepalanya lebih keras. Seluruh ketakutannya kembali lagi. “Astaga, Cordy, apa yang kau lakukan?”

“Bagian itu tidak usah dipikirkan. Yang penting sekarang aku sudah kembali dengan selamat.”

“Pasti Caspian melakukan sesuatu padamu!” Joseph menodongnya dengan marah. “Sebab tidak lama setelah kau pergi, Jade terbangun, lalu mendadak jatuh kritis lagi―seperti orang kejang. Dokter melakukan banyak hal untuk meredakan rasa sakitnya. Kupikir dia tidak akan selamat―sial ... aku sudah hampir berpikir kalau anak ini akan mati. Saat tiba kemari, sepasang perawat yang kutemui di lobi kedapatan menggosip, kata mereka, kemarin malam pasien di ruang rawat nomor 23 agak aneh. Dokter tidak tahu apa penyebab Jade merasa kesakitan, padahal kondisi vitalnya normal. Tapi tingkahnya seperti sedang dibunuh di dalam mimpi ... berhalusinasi, berteriak seolah lehernya sedang digorok ... akhirnya dokter terpaksa menyuntiknya dengan bius dosis tinggi.” 

“Apa benar aku seperti itu?” Jade bertanya serius.

“Kau boleh tanyakan sendiri ke dokter kalau tidak percaya,” kata Joseph, lalu berpaling lagi menatap Cordelia. “Nah, bocah manis, sekarang giliran kau yang mengatakan kepada kami apa yang sebetulnya terjadi kemarin malam. Apa kau tidak apa-apa? Pagi ini wajahmu agak pucat.”

“Aku tidak apa-apa,” kata Cordelia, kemudian dia merasakan Jade meremas lengannya agak kuat. 

“Cordy, kau seharusnya tidak pergi sendirian kemarin. Apa yang bajingan itu lakukan padamu?”

“Dia mengembalikan ingatanku,” kata Cordelia. “Membuka segel ingatan dengan paksa memakai ramuan sihir―itulah penyiksaan terburuknya.”

“Penyiksaan?”

“Rasanya sakit ... saat semua ingatan itu diledakkan keluar.”

“Jadi sekarang kau ingat tentang siapa dirimu?” Joseph bertanya meyakinkan.

“Ya, dan sejak awal Caspian tidak mengincarku. Dia mengincar ayahku―Gustav.”

“Tapi dia juga ingin membunuhmu,” Jade berkata. “Caspian sempat bercerita padaku, setelah dia menghabisi Gustav, dia juga akan menghabisimu.”

“Yang artinya menghabisi kalian berdua,” Joseph berkata tegang. “Berengsek sekali orang itu.” 

“Tidak, sebetulnya ini semua bukan rencana Caspian!” Cordelia memprotes, kemudian mencoba menerjemahkan apa yang dia dengar semalam dari pria itu. “Yang merasukinya selama ini adalah seorang pria bernama Dominic. Kalian ingat namanya? Dia adalah ketua organisasi Eufrement yang dahulunya meloloskan protokol untuk menghabisi semua abare. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Dominic setelah Gustav dinyatakan hilang, dan ternyata selama ini roh itu bersembunyi di tubuh Caspian!”

“Dominic ada di tubuh Caspian?” Jade menyipitkan mata. “Pantas saja ... jadi selama ini dia dirasuki oleh Dominic?”

Cordelia mengangguk. “Dominic mengontrol seluruh hidup Caspian. Dia melancarkan berbagai rencana agar dapat mendapatkanku. Abbey Houssel dan Noah Dalton adalah abare yang selama ini diincar kepolisian Ruswer. Mereka juga kawan Caspian, tapi Caspian sudah membunuh keduanya karena mereka tidak menuruti perintahnya. Orang itu melempar jasad para korbannya ke dalam sebuah lubang pembuangan di ruang tersembunyi rumahnya. Katanya ... Caspian sebetulnya tidak bermaksud membunuh, tapi Dominic menyuruhnya demikian.”

“Lalu bagaimana kau bisa lolos dari cengkeraman Caspian?” Jade bertanya khawatir.

“Sesaat setelah seluruh ingatanku terbuka, Caspian mengalami sesuatu―entahlah, tapi dia terlihat seperti bergulat dengan diri sendiri. Orang itu berteriak padaku agar aku segera pergi. Dia menyuruhku pergi sejauh mungkin dengan membawamu, agar dia tidak perlu lagi mengincar kita berdua setelah dia berhasil tahu di mana Gustav.”

“Kita tidak bisa pergi begitu saja,” kata Jade, tegas. “Kita harus memperingati Gustav.”

“Jade?” Joseph menatap Jade dengan mata nyalang terheran-heran. “Apa yang sebetulnya terjadi padamu, hah? Mengapa kau mau-mau saja ikut campur dengan urusan Gustav? Caspian sudah memberi kalian kesempatan untuk kabur, jangan sia-siakan!”

“Apa kau yakin dendam Dominic akan terbayarkan begitu saja setelah dia berhasil membunuh Gustav?” Jade membalas agak membentak. Di tengah kericuhan ini, dia merasa otaknya bekerja lebih cepat untuk membaca situasi. “Kau tidak melihat apa yang sebetulnya terjadi? Dominic menguasai tubuh Caspian, dan kita semua tahu bahwa Dominic adalah penjahat keji. Di perkamen yang sudah kita baca, orang itu tidak hanya memburu abare, tapi dia juga mencurigai dan membantai orang-orang tidak bersalah, dia menyebabkan kekacauan di mana-mana, menebar fitnah agar masyarakat saling membenci dan hidup dalam teror ketakutan atas ancaman abare. Seandainya Gustav selesai dibunuh, kuyakin Dominic tidak akan puas begitu saja. Dia pasti akan melanjutkan misinya mencari Cordelia, dan membunuh semua keluargaku ... semua orang yang aku kenal, mungkin juga kau, Joseph.”

Joseph tertegun mendengar ucapan Jade yang sarat kesedihan. Dia menatap Cordelia yang berdiri di sampingnya, lalu menelan ludah. “Baiklah, sepertinya teror akan terus berlanjut bila kita masih membiarkan Dominic hidup.”

“Dia harus dibunuh oleh Gustav, agar dendam itu selesai,” kata Jade, lalu menggamit lengan Cordelia dengan lembut. “Cordy, sekarang kau sudah mendapatkan ingatanmu, bukan? Apa kau tahu di mana ayahmu berada?”

Cordelia menggigit bibirnya, merasa gugup sekaligus gelisah. “Aku tidak tahu kalian mau memercayaiku atau tidak, tapi ... di dalam ingatanku, aku melihat ayahku terseret ledakan di sebuah kuil ... lalu dia bersembunyi, di suatu tempat di antara reruntuhan kuil itu. Saat dia berdiri, sinar matahari menerpa tubuhnya, dan mengubahnya menjadi patung.”

“Menjadi patung?” Jade dan Joseph sama-sama melongo. 

“Bagaimana kau bisa tahu? Memang kau ada di sana saat ayahmu berubah menjadi patung?” tanya Joseph. 

Cordelia menggeleng. “Kurasa dia sempat mengirimkan kabarnya kepadaku ketika aku masih tertidur di dalam lukisan ... maksudku, gambar-gambar nyata seperti visi, atau ingatan yang dikirimkan secara telepati ....”

“Patung Gustav ... dan juga kuil,” Jade menggosok dagunya sambil berpikir-pikir. “Bukankah benda itu ada di museum Isabel?”

“Ya, patung Gustav yang ada di sana katanya ditemukan dari reruntuhan kuil yang terbengkalai,” Joseph mengangguk yakin. “Cordy, kalau ayahmu sudah berubah menjadi patung, apakah ada cara untuk membangunkannya lagi?”

Cordelia menekan keningnya sambil memejamkan mata. “Aku tidak yakin, tapi ... mungkin caranya sama seperti ketika Jade mengeluarkanku dari dalam lukisan.”

“Memakai darah?”

“Ya, kita bisa coba dan―”

“Bukan memakai darah,” potong sebuah suara asing yang muncul dari balik kelokan pintu ruang rawat. Ketiga orang yang sedang sibuk berdiskusi di dekat ranjang sama-sama berpaling ke belakang dan melihat sosok wanita berdiri anggun di sana, seolah sejak tadi dia mendengarkan percakapan. 

“Lula?” Cordelia menggumam tidak percaya. “Kenapa kau kemari?”

Lula, dalam balutan gaun slip yang ditutupi kardigan, terdiam sejenak. Ekspresi aslinya sulit dibaca, tetapi dia terlihat berada di ambang kebingungan, kesedihan, dan juga kemarahan, seolah sedikit sentilan saja bisa membuatnya meledak berkeping-keping. Wanita itu melangkah lebih dekat seraya berkata, “Maaf karena mencuri dengar obrolan kalian. Aku datang kemari untuk mengembalikan ini.”

Kemudian Lula merogoh sesuatu dari kantong kardigan, dan mengulurkan benda itu ke hadapan Cordelia. “Kalung Evangeline. Benda inilah yang bisa membebaskan ayahmu.”

Jade menatap benda itu dengan terkejut. 

“Kenapa kau tahu soal itu?” tanya Cordelia.

“Caspian pernah memberitahukannya padaku, katanya kalung ini adalah sumber kehidupan bagi Gustav. Tapi hanya sebatas itu saja. Aku tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.”

“Mungkin kita harus pergi langsung ke patungnya,” kata Joseph, lalu, seolah-olah melupakan sesuatu yang penting, pemuda itu berpaling menatap Lula dengan pandangan melongo―nyaris terpesona. “Omong-omong siapa kau? Aku tidak pernah melihat....”

“Lula Briswel,” katanya singkat. “Kekasih Caspian.”

“Kenapa kau mendatangi kami?” Jade bertanya agak waspada. 

“Karena aku ingin menyelamatkan Caspian,” kata Lula sungguh-sungguh, lalu melanjutkan sembari sedikit-sedikit menatap Cordelia. “Kemarin malam aku menemukan Caspian hampir gila melawan sesuatu yang tampaknya menggerogoti otaknya, lalu di saat-saat terakhir, dia membenturkan kepalanya dengan keras di dinding sampai jatuh pingsan. Aku tidak mau melihatnya tersiksa lebih lama lagi, apalagi sudah sejak beberapa bulan belakangan dia berubah menjadi sosok yang tidak kukenal. Kepribadiannya selalu berganti dengan cepat―dari Caspian yang lembut, menjadi sosok keji yang suka membunuh. Kupikir masalah Caspian pasti ada hubungannya dengan kalian ... sebab dia mulai berubah semenjak pulang ke rumah sambil membawa belati kristal, dan lebih jauh lagi dia mencuri kalung ini.”

“Kau bilang kau tidak tahu apa-apa soal kalung ini,” Jade menodongnya dengan kesal.

“Maafkan aku. Saat itu aku takut Caspian berada dalam masalah bila ketahuan mencuri milikmu, tapi sekarang aku sadar bahwa dia membutuhkan pertolongan.”

“Lalu sekarang Caspian di mana?” Jade secara panik jelalatan ke belakang, takut kalau-kalau Caspian muncul dari balik pintu.

“Saat dia terbangun pagi tadi, aku menambahkan obat tidur ke dalam makanannya. Sekarang dia tidur pulas, dan kemungkinan tidak akan bangun sampai nanti sore,” kata Lula, lalu memberitahu dengan yakin. “Kalau kalian ingin berbuat sesuatu untuk membunuh roh itu, maka waktu yang tepat adalah sekarang.”

“Baiklah,” Cordelia mengambil kalung itu dan memakainya di leher. “Kalau begitu kita akan ke museum untuk mencari tahu bersama-sama.”[]

-oOo-


.


.


.



Tebeceeeee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top