50. Kabur

BILA ada sesuatu di dunia ini yang tidak ingin Cordelia sentuh selama-lamanya, itu adalah ramuan buatan Caspian. Setelah meneguknya, perasaannya sungguh tidak enak. Tubuhnya gemetar panas-dingin, dan jantungnya berdegup kencang, seolah hendak merangkak keluar dari tenggorokan. Gadis itu jatuh berlutut di lantai, tidak mampu berdiri, bahkan berkata-kata. Napasnya hanya berupa potongan udara berdengih-dengih. 

“Tahanlah sebentar, gadis manis,” Selepas meletakkan gelas bekas ramuan di atas konter dapur mini, Caspian mendekat, lalu berlutut di hadapannya. Di antara tirai kabut penglihatan Cordelia, dia melihat pria itu mengulurkan tangan, lalu menyentuh kepalanya dengan seluruh ruas ibu jari dan telunjuk. Dan, tepat saat itu, petir menyambar benak Cordelia.

Gadis itu menjerit tersiksa, seperti kambing yang disembelih. Dia ingin roboh ke lantai, tetapi tangan Caspian yang lain menahan bobot tubuhnya. Seluruh penglihatannya terdistorsi menjadi pusaran cahaya menyilaukan. Cordelia melihat kilatan-kilatan memori di kepalanya. Tumpang tindih, bagaikan gambar bisu yang bergerak cepat―masa lalunya yang dimulai sejak usianya cukup muda untuk belajar mengingat. Kedua tungkainya yang putih dan mungil, bergerak cepat seperti sedang mengejar sesuatu. Langit yang cerah, cemerlang tanpa awan. Cakrawala yang tersepuh warna seperti terbakar. Hamparan danau yang kemilau dengan cahaya pagi. Orang-orang berada di sisinya. Tua dan sebaya. Laki-laki dan perempuan. Cordelia mengingat mereka semua. Saudara-saudaranya dari pihak Ibu, yang ramah dan begitu membimbing. Kemudian ibunya―Evangeline. Menggendong, mendekapnya di dada, menimangnya bagaikan awan yang memeluk rembulan. Lalu ayahnya, menyusupkan tangan pada pundak sang Ibu, mencium bibirnya dengan gerakan manis dan lembut, seperti halnya Cordelia ketika mencium bibir Jade. 

Lalu ingatan-ingatan itu luruh, perlahan padam menjadi kegelapan bak tinta. Cordelia memejamkan mata dan terengah-engah. Aliran darahnya berdesir di kepala, kehilangan daya. Dia masih merasakan tubuhnya yang terkapar di lantai ruang rahasia milik Caspian. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pelan pria itu, mengalun seperti kidung yang menyayat telinganya;

“Masih kurang, Cordelia. Kau masih belum memberitahuku di mana persembunyian ayahmu.”

Gadis itu mengerang dan memohon, “Ampun, ampuni aku.” Seluruh tubuhnya sakit. Kepalanya seperti dibelit logam dan diremas dengan keji. Dia merasakan darah mengalir di kedua telinga dan hidungnya, seolah-olah hendak meledak. Bibirnya meracaukan permohonan tolong berkali-kali. Tidak sanggup lagi. Tidak sanggup lagi.

Akan tetapi, Caspian tidak mau mendengarnya. Atau barangkali dia terpaksa menutup telinga. Pria itu mengusap pipi Cordelia dengan lembut dan menuntun gadis itu untuk bernapas pelan.

“Bantu aku, Cordelia. Kau pasti bisa mengingatnya.” Lantas selepas bujukan itu dilesatkan, ibu jari Caspian menekan kening Cordelia lagi. Sang puan menjerit lebih hebat, sampai-sampai tenggorokannya sakit dan pedih. Dia mencakar lantai hingga kuku-kukunya patah dan ujung jemarinya berdarah. Caspian menekan pundak sempit Cordelia agar merapat pada lantai, sementara sihir yang mengalir di jemarinya bekerja meruyak ingatan lebih dalam. Jauh, jauh lebih dalam.

Kemudian kenangan itu datang bagai kilasan suram yang menusuk kepala Cordelia. Kemunculannya tidak tepat. Ganjil, bagaikan kerikil yang menghantam birai-birai besi jendela. Bising dan keras, membuat Cordelia mengernyit. Bunyi-bunyi itu mengganggu kepalanya; derak memekakkan―sebuah ledakan, asap kelabu yang membubung ke udara laksana jamur. Gustav melangkah terseok-seok di antara reruntuhan beton dan serpihan kayu. Darah menetes, membasahi granit yang telah pecah dan hancur. Kemudian, sosok jangkung itu berdiri tegak. Kepalanya agak tengadah, berpose pongah kendati seluruh wajahnya tertutup debu seputih pualam. Lalu, munculah sebuah keajaiban, pelan-pelan kabut tipis melilit ujung kaki Gustav, menggumpal dan meregang, bagaikan lapisan perak yang merayap naik mengitari kulit ... membekukannya dalam keabadian. Menidurkannya.

Caspian melepas jemarinya dari kening Cordelia, lalu mendadak saja―seperti lonjakan syok, pria itu terjungkal mundur. 

Cordelia menatap Caspian, dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada pria itu. Mengapa wajahnya seperti ketakutan? Jemari Cordelia menggerapai lantai seolah ingin menyentuhnya, sebab otot-otot mulutnya tidak kuat untuk berkata sepatah kata pun. Gadis itu berusaha mengatur napas, menenggelamkan semua rasa sakit yang mengoyak jiwa dan tubuhnya. Tatapannya kembali pada Caspian yang mulai bertingkah aneh.

“Pergi,” Caspian melengos dari Cordelia, seakan ingin menyembunyikan wajahnya. Pria itu membungkuk dan hampir merebah di lantai, sementara tangannya gemetar ketika terulur ke depan, “Pergi ... dari sini ... cepat.”

“Cas?” Cordelia akhirnya sanggup berkata. Perlahan, dia menumpukan bobot pada kedua telapak tangan, lalu mendorong dirinya bangkit. Perhatian Cordelia masih terpaut pada Caspian yang hanya berjarak sekitar dua meter darinya.

“Sebelum ... dia datang,” Caspian terengah-engah. Cordelia menyaksikan kedua pundak Caspian berkedut seperti hendak kejang. “Gggh―cepat keluar―pergi jauh ....”

Cordelia memahami situasi ini, lalu tergopoh-gopoh melangkah keluar pintu. Dia jatuh di langkah pertama, secara panik berusaha bangkit kendati kepalanya masih berkunang-kunang. Caspian meronta dan mengerang, meracaukan kata-kata―atau barangkali mantra yang tidak dikenal Cordelia. Pria itu membenturkan kepala di lantai, berkali-kali. Berteriak lagi, meraung seperti gabungan anjing yang mendengking menderita dan serigala yang melolong marah.

“PERGI! PERGI! PERGI DARI SINI!”

Cordelia tidak ingin membuang waktu lagi. Dia berlari keluar, menyusuri lorong panjang yang menghubungkan ruang rahasia dan pintu putar. Gadis itu melempar tubuhnya tepat ketika dia mendorong pintunya ke luar, lalu terkapar di lantai, terengah-engah dan terguncang. Teriakan Caspian samar-samar masih terdengar, jadi Cordelia berdiri lagi, lalu terhuyung-huyung maju menuju pintu utama.

Ketika nyaris sampai di ruang tengah, Lula tiba-tiba saja muncul dan melihat Cordelia dengan mata membelalak. Wanita itu menjatuhkan rahang, tampak begitu syok. Suaranya terdengar dengki ketika memprotes, “Apa yang kau lakukan di rumahku?”

“Pergi dari sini!” Cordelia memerintah, suaranya tenggelam dalam pekikan serak dan lengkingan sumbang. 

“Apa maksudmu? Di mana Caspian?” 

Lula hendak menerobos maju, tetapi Cordelia merenggut pakaiannya, berkata frustrasi, “Dia berbahaya ... sesuatu ... sesuatu merasukinya!”

“Apa?”

“Cepat pergi dari sini!” 

Ekspresi Lula tegang bercampur murka. Dia ingin melihat keadaan Caspian, tetapi tatapan liar gadis muda ini membunyikan alarm peringatan di kepalanya. Jemari Cordelia mencengkeram lengan Lula begitu kuat sehingga wanita itu bisa merasakan tusukan perih dari kuku-kukunya. “Dia tidak bisa didekati, percayalah padaku!”

“Kau harus pergi,” Lula akhirnya membantu Cordelia berdiri dengan benar. Sambil setengah memapah dan menyeret, mereka keluar rumah lagi, lalu menuruni undakan ke bawah dan melintasi kebun. Suara Caspian tidak lagi terdengar, akan tetapi Cordelia tahu pria itu sedang melolong tersiksa di dalam sana. Taksi yang ditumpangi Lula rupanya masih terparkir patuh di depan gerang. Wanita itu membuka pintunya dan menyuruh Cordelia masuk, kemudian berkata sesuatu kepada sopir di bangku depan seraya memberikan sejumlah uang. Cordelia menatapnya dengan tidak percaya, “Kau harus ikut pergi!” 

“Aku sudah terbiasa menanganinya,” Lula membalas pendek. Eskpresinya masih saja keras dan berjarak, seolah-olah berbicara dengan Cordelia adalah suatu pantangan dosa. Sementara gadis yang lebih muda memilih untuk tidak mencampuri apa-apa. Biarlah, begitu betinnya. Seluruh tubuh dan kepalanya berdenyut-denyut mengerikan, dan hal yang paling Cordelia inginkan di dunia ini adalah tidur sejenak. 

Dia merasakan pintu di sampingnya ditutup dengan bunyi debum keras, lalu mesin dinyalakan. Seiring mobil membawanya pergi, Cordelia perlahan menutup mata.

Rasanya dia baru saja tertidur selama beberapa menit, ketika seseorang tahu-tahu mengguncang lututnya agar dia terbangun. Cordelia mengernyit seraya menepis tangan tidak sopan itu. Dia membuka mata, mengerang karena rasa lelah di sekujur tubuh sekaligus mengungkapkan kejengkelan karena tidurnya diganggu. Benaknya masih memproses informasi tatkala suara sang sopir berkata, “Nak, kau harus bangun. Aku tidak tahu ke mana harus mengantar.”

Cordelia mengangkat kepala dari sandaran. Peningnya sudah hampir hilang, tetapi tubuhnya masih berat dan lemas. Dia melihat pria paruh paya di bangku sopir menatapnya dengan raut sedikit cemas, “Apa aku harus mengantarmu ke rumah sakit? Kau tidak terlihat baik.”

“Ya, rumah sakit,” kata Cordelia. Jade. Dia harus bertemu Jade untuk mengetahui kondisinya. “Antar aku ke rumah sakit.”

Kemudian mobil melaju pergi. Sesampainya di tempat tujuan, Cordelia meninggalkan taksi tanpa mau tahu apakah dia telah membayar utau tidak. Mudah-mudahan saja tadi dia tidak berhalusinasi ketika melihat Lula menyerahkan sejumlah uang kepada sang sopir. Gadis itu melangkah melewati pintu utama. Betapa aneh. Malam masih panjang, tetapi rasanya Cordelia telah menghabiskan berhari-hari hanya untuk menghadapi Caspian. Dia berbelok di blok ruang perawatan, menuju kamar Jade. Saat pintu dibuka, seluruh kelegaannya tumpah ruah.

Jade masih berbaring di sana, tampak tenang. 

Gadis itu duduk di samping ranjang, lalu menyentuh tangan Jade yang terasa hangat dan pas di genggamannya. Bibirnya mengecup buku-buku jemari pemuda itu, dan Cordelia baru sadar bahwa badannya sendiri sejak tadi belum berhenti gemetar. Lantas gadis itu menangkup tangan Jade di pipinya, lalu menyandarkan kepalanya di tepi ranjang. Dalam posisi ini, seolah-olah Jade betul-betul hadir dan membuainya dalam ketenangan abadi. 

Sisa kesakitan dalam tubuh Cordelia perlahan pudar, lenyap bagai debu yang tersapu. Begitu pula hal-hal yang terjadi sebelum ini; Kegilaan Caspian. Ingatannya yang telah kembali. Cakrawala yang membentang luas. Kuil yang meledak. 

Ayahnya yang berubah menjadi patung. 

Cordelia menutup mata, membiarkan dirinya istirahat, kali ini lebih lama.[] 

-oOo-

.


.

.


.


Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top