5. Rahasia

BEGITU pintu dibuka, Cassie langsung menyambutnya dengan pandangan khawatir. “Jade!” 

“Cassie, maaf, aku―”

“Kau sudah dua hari tidak menghubungiku!” Lalu Cassie meraupnya dalam pelukan erat. Jade termangu membeku, dipilin keterkejutan dan kebingungan. 

“Dua hari? Bukankah baru pagi tadi kita berbincang di telepon?”

Cassie melepaskan pelukannya dan menatap Jade dengan sorot luar biasa prihatin, seolah-olah ada yang aneh di otak anak ini. “Kau ini kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang akan menghubungiku saat makan malam? Aku menunggu telepon darimu tapi kau tidak kunjung menghubungiku. Dan ponselmu mati!”

“Benarkah?”

“Ya, tentu saja. Dan apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa kau sakit? Luka apa di kening dan lehermu ini?” 

Cassie hendak menyentuh bekas luka di lehernya, tetapi Jade menepisnya duluan. Sikapnya membuat Cassie sedikit terpukul, tetapi gadis itu berusaha bersikap sabar, “Jade, aku serius. Kenapa kau seperti linglung? Apa yang terjadi selama kau tinggal di sini?”

Jade melupakan satu hal; dia belum menyiapkan alasan masuk akal yang bisa menjelaskan keadaannya pada Cassie.

“Begini, masuklah dulu.” Lantas Jade mempersilakan kekasihnya memasuki rumah. Sembari memikirkan alasan tepat sekaligus mencerna kebingungan situasi ini, dia harus membawa diri dengan baik tanpa menimbulkan rasa curiga. Bagaimana mungkin dia tidak sadar dua hari telah berlalu sejak peristiwa itu? 

Di sisi lain, sesuai dugaannya, Cassie pun terhenyak melihat isi di dalam rumah. Namun, dibandingkan mengomentari betapa mewah tempat tinggal ini, sekarang ada hal yang jauh lebih genting untuk dikhawatirkan. 

Gadis itu menghadap Jade. “Jelaskan padaku, kenapa kau seperti ini?”

“Aku tidak apa-apa, tuh. Memangnya kau pikir aku kenapa?” Jade berusaha nyengir dan terlihat baik-baik saja, tetapi reaksi itu dianggap gagal karena penampilannya yang kacau tak sejalan dengan pengakuannya. 

Cassie membuka mulut, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari sana selain desau napas lelah. Gadis itu melipat kedua lengannya di dada dan berkata berat, “Kau sama sekali tidak bisa dihubungi, Jade. Kukira terjadi apa-apa padamu.”

Jade merasa tidak nyaman dengan sikap Cassie yang selalu mengingatkannya pada sang ibu. Seharusnya dia bersyukur pacarnya masih menaruh rasa perhatian kepadanya, tetapi semua afeksi ini malah membebani Jade seperti batu nisan yang ditimpakan di dada. Dia tak suka bila Cassie terlalu terseret ke dalam hidupnya yang terlalu banyak masalah. Dia hanya akan membuat pacarnya khawatir, dan Jade ogah disebut sebagai alasan rusaknya hidup seseorang. 

“Cassie, kukira kau harus mengurangi sikap pencemasmu. Aku bukan anak kecil yang harus mengabarimu keadaanku setiap tiga jam sekali.” 

Kata-kata itu menyinggung Cassie―dilihat dari alisnya yang layu dan pundaknya yang melorot. Jade membatin serapah karena lagi-lagi mulutnya begitu sembrono melontarkan sesuatu. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan berceletuk untuk menghilangkan kecanggungan, “Duduklah. Kau pasti capek setelah perjalanan. Aku akan―”

“Jade, tunggu dulu,” Cassie tahu-tahu mencubit sejumput kemeja yang dikenakan Jade. Tatapan tersinggung yang tadi belum lenyap, hanya saja kali ini ada sepercik keterkejutan yang membayang di sorotnya. Jade memperhatikan atensi Cassie mendarat pada pundaknya. “Astaga, apa ini darah? Kau sebenarnya kenapa?” 

Rupanya bekas darah dari gigitan di lehernya meninggalkan noda mencurigakan di pakaiannya. Sial. Kini Jade semakin kelabakan untuk menjelaskan pada Cassie.

“Aku tersungkur,” katanya buru-buru. “Di loteng, waktu mau membereskan sesuatu. Leherku tergores papan kayu, tapi sudah tidak apa-apa.”

Cassie berjinjit dan hendak memeriksa luka di lehernya, tetapi Jade melangkah mundur sambil berusaha menutupinya. 

“Sungguh? Kau tidak berkelahi, bukan?”

“Tidak, astaga. Mana ada orang asing yang mau mencari gara-gara padaku?”

“Mereka memang tidak perlu mencari gara-gara, karena kau yang biasanya berulah,” kata Cassie, seketika membuat Jade merapatkan rahang. “Dengar, kalau kau tidak mencari gara-gara, para polisi di Palmer tidak akan hafal dengan wajahmu.” 

“Itu lain cerita, Cassie. Dan untuk apa kau jauh-jauh datang kemari? Kau meninggalkan pekerjaanmu demi aku?” Pernyataan itu menjepit hati Jade dengan perasaan bersalah.

“Sudahlah. Aku ini kan seniman yang bisa bekerja dari mana saja,” Cassie mengomentari sambil tak berhenti menatap Jade dengan sorot frustrasi. Kemudian kepalanya celingukan mengitari ruangan, menilai semua properti berharga dengan lebih jelas. “Omong-omong kau sepertinya senang, ya, tinggal di sini? Itukah alasan kau tidak mau kuganggu?”

“Bukan. Itu karena aku terlalu sibuk. Ponselku mati karena aku harus beres-beres sendirian. Bisa kau bayangkan betapa luas rumah ini, bukan?”

Cassie sepertinya tidak punya kalimat lagi untuk membantah hal itu, jadi dia melapangkan hati untuk memaafkan Jade. "Oke. Aku akan membantumu membereskan sisanya."

"Tidak. Kau datang jauh-jauh ke sini bukan untuk jadi petugas kebersihan!"

"Kau kelihatan kacau, Jade. Aku mau membantumu!"

Jade berusaha menolak, tetapi Cassie tidak menyerah dalam satu-dua kali percobaan. Kewalahan menghadapi sifat kekasihnya yang keras kepala, akhirnya, Jade mengalah. Dia meminta Cassie untuk membereskan ruangan-ruangan yang tidak terlalu susah untuk dibersihkan. Dalam beberapa jam berikutnya, kedatangan Cassie mulai terasa memberi Jade keuntungan sekaligus kerugian.

Keuntungannya, sekarang dia memiliki orang lain yang membantunya untuk beres-beres dan menyiapkan makanan layak, tetapi kerugiannya, Jade mulai dihinggapi gelisah tentang nasib Cordelia yang harus bersembunyi di ruang bawah tanah. Dia tidak mungkin membiarkan seorang gadis asing berkeliaran di tempat dingin itu dengan hanya mengenakan gaun tidur yang nyaris transparan, bukan? Tapi masalahnya, Cassie sekarang ada di sini dan bercerocos mengenai segala sesuatu. 

“Aku sama sekali tidak menduga kalau keluargamu kaya raya,” adalah komentar wajar yang dilesatkan Cassie ketika gadis itu mengitari lorong lantai tiga. “Bagaimana bisa mereka menyembunyikan semua harta ini darimu?”

“Itu juga menjadi pertanyaanku. Ibuku tidak pernah mengatakan apa pun bahkan sampai dia meninggal.”

Ingatan Jade berlabuh pada wajah ibunya yang berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan pipi cekung dan tubuh kurus, mirip ranting pohon yang rapuh. Jade memejamkan mata dan berusaha mengenyahkan bayangan itu dari relung memorinya. 

“Aku turut berdua,” kata Cassie, menautkan jemarinya pada Jade. “Dan sebaiknya kau mulai menyelidiki keluarga kakekmu lebih banyak. Barangkali ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui.”

“Ya, itu sudah menjadi rencanaku,” kemudian dia merasakan genggaman Cassie terlepas. Gadis itu maju lebih dulu untuk memeriksa ruangan demi ruangan.

Tahu-tahu saja, Jade mendengar bunyi kecil yang berderak di lantai dasar. Selagi Cassie memasuki kamar utama yang terbuka di ujung ruangan, Jade diam-diam melongok dari balik pagar balkon lantai tiga. Matanya nyaris keluar dari rongganya ketika melihat Cordelia menggeluyur pergi dari pintu ruang bawah tanah, melintasi ruang tengah dengan langkah kurusnya yang enteng, lalu menghambur ke dalam bilik dapur.

Sialan. Apa yang dia lakukan, sih?

Jade mendongak pada Cassie yang sudah masuk kamar utama, lalu memutuskan untuk mengurus pacarnya yang satu ini. 

“Jade,” kata Cassie ketika Jade melewati ambang pintu. Gadis itu sedang berdiri menghadap lukisan Cordelia yang menggantung di dinding. Keningnya berkerut seolah merasa takut terhadapnya. “Setelah kulihat dari dekat, lukisan ini terasa jauh lebih seram. Aku tidak akan sudi tidur di kamar ini sendirian dengan sebuah lukisan besar yang memandangmu berbaring di atas kasur.” 

“Yeah, memang mengerikan,” Jade berujar tenang. Secara spontan dia merangkul bahu Cassie supaya gadis ini tidak melangkah maju untuk melihat lukisan lebih dekat. Dia tidak mau ada insiden kedua yang sama mengerikannya terjadi pada pacarnya. “Aku memang berencana untuk memindahkan lukisan ini di tempat lain, tapi belum sempat.”

Cassie masih mendongak seakan sedang mendedah lukisan itu, lalu bergumam, “Kelihatannya seolah lukisan ini mencoba memberitahumu sesuatu.”

“Apa?” 

“Lukisan ini,” kata Cassie sambil menudingkan jari. “Seperti lukisan berhantu. Barangkali kau harus menyelidiki siapa gadis di lukisan itu dan mencaritahu asal-usulnya. Kakekmu pasti tahu sesuatu, karena dia memperlakukannya secara spesial. Maksudku, kenapa di antara semua barang antik yang cantik, kakekmu malah menaruh lukisan seram ini di kamarnya?”

“Kau benar.”

“Biasanya pelukis yang asli membubuhkan tanda tangannya di lukisan. Mari kita cari tahu siapa pelukisnya,” Lalu sesuai apa yang Jade khawatirkan, Cassie melangkah maju untuk memeriksa tekstur lukisan lebih dekat.

Tidak, tidak, tidak, jangan sentuh barang terkutuk itu! Jade buru-buru menahan lengan Cassie. “Cassie, tunggu dulu! Tidakkah kau lelah setelah bepergian dari Palmer?” 

Cassie mengenyit. Masih menatap lukisan dengan luapan penasaran, tetapi Jade langsung menangkup kedua pipinya agar menghadap padanya.

“Lihat aku,” Pemuda itu menatap mata sang kekasih dalam-dalam untuk merampas perhatian Cassie sepenuhnya―semacam jurus genit yang menurutnya konyol tetapi berguna di saat-saat mendesak. “Seharusnya kedatanganmu kemari untuk bertemu denganku, bukan? Kenapa kau malah lebih perhatian pada semua perabotan ini?” 

“Tidak, tapi aku hanya penasaran….”

Lalu kata-kata Cassie menggantung begitu saja karena tersihir dengan ekspresi lembut Jade. Efeknya selalu sama; si perempuan luluh, sementara si laki-laki merasa dirinya memalukan. Jade tidak pernah menganggap dia ahli memikat orang, tetapi kenyataan selalu berkata sebaliknya; barangkali dia bisa menjadi penggoda bila terpaksa. Maka, untuk menutupi kecanggungan di hadapannya, Jade merundukkan wajahnya dan mencium Cassie tepat di bibir.

Gadis itu menerima perlakuan lembut Jade dan pasrah melebur dalam afeksinya. Dia mencengkeram lengan atas Jade seiring sensasi aneh merambat dari dasar perutnya, menyebar sampai ke ujung kepala, membuatnya mendidih dengan cara yang menyenangkan. Cassie memiringkan wajah dan mendorong ciumannya lebih dalam, memejam sambil tetap merangkul bahu kokoh Jade.

Namun, saat Cassie membuka mata, dia melihat seorang gadis asing berdiri di ambang pintu kamar. 

Cassie yang dilumuri keterkejutan langsung mengempaskan Jade menjauh darinya. Dia melangkah mundur sambil terengah-engah.

“Kau kenapa?” Jade menatap pacarnya dengan kebingungan. Dia mengikuti ke mana Cassie memandang dan ikut berputar untuk melihatnya.

Cordelia telah berdiri di mulut pintu yang terbuka, menatap mereka dengan sorot datar. Anehnya, ada kegetiran dan amarah yang terpancar dari caranya bersikap. 

“Jade,” suara Cassie bergetar takut. “Siapa orang asing ini?”[] 

-oOo-

.

.

.

.

.

.

.

Baru bab 5 udah main kokop aja bang jade 😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top