49. Ramuan
RUMAH yang luas ini bagaikan penjara yang tidak berujung. Cordelia meyakini pemikiran itu selagi dirinya menyusuri lorong di rumah Caspian yang megah. Tiada suara yang menyelingi mereka berdua selain bunyi ketukan sepatu dan dengung hening yang mengganggu telinga. Caspian, yang memimpin jalan di hadapannya, tampak begitu dingin dan tidak tersentuh. Pria itu sama sekali tidak bicara apa pun, dan Cordelia ragu apakah tindakan itu disebabkan karena Caspian merasa takut dengannya.
Keduanya berhenti di sebuah dinding yang terletak di ujung lorong―begitulah yang Cordelia sangka. Namun ketika Caspian menekan salah satu ukiran pada panel dinding yang rumit, dinding itu tiba-tiba bergeser mundur, menimbulkan bunyi denyut mekanis yang jernih, lalu berputar membuka, menampakkan lorong lain yang lebih sempit dan redup; ruang rahasia.
Cordelia masih takjub dengan apa yang dia lihat ketika Caspian tiba-tiba menghadap padanya. “Masuk kemari. Di sini kita berdua aman dari Lula.”
Gadis itu menurut saja, kendati benaknya dipenuhi kepanikan dan ketakutan. Tiada lagi jalan kembali, dan Cordelia tahu sebagian besar realita yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi dari eksistensinya. Kedua orang tuanya meninggalkannya, sebagian besar kaumnya telah dibantai dalam peperangan ratusan tahun silam, dan di masa sekarang, orang-orang tidak bersalah menjadi korban karena dirinya. Apa lagi yang lebih buruk dari itu? Bagi Cordelia, kematiannya saja tidak akan cukup untuk membayar seluruh kerugian yang ditimbulkannya.
Caspian mengajaknya melangkah ke sebuah lorong sempit yang berakhir di sebuah pintu kayu sederhana. Ketika pintu itu dibuka, rasa-rasanya Cordelia seperti memasuki dunia lain yang lebih keras dan penuh ratapan. Ruangan di hadapannya berbentuk segi empat, lantai di bawah kakinya terbuat dari kayu yang berderak dan agak berguncang. Temboknya pun dari semen yang hanya dicor. Tidak ada hiasan dinding ataupun lampu kristal megah. Perabotan yang mengisi tempat ini hanyalah sebuah kursi, perkakas-perkakas kebun, sebuah konter dapur kecil berisi panci dan ramuan-ramuan berbau tajam, gulungan tali, dan katrol berkarat yang menggantung di tengah-tengah ruangan, tepat di sebelah lampu berdaya rendah. Cordelia memandangi katrol itu dan berpikir-pikir apa fungsinya. Ada tali yang terburai putus dari lengkung katrol, seolah-olah tali itu dahulunya tersambung pada sesuatu di bawah....
Saat Cordelia memandang bagian tengah lantai, tepat di bawah katrol tersebut, dia melihat sebuah pengait besar yang tampak mencurigakan.
“Talinya putus saat terakhir kali Lula membukanya,” Caspian tahu-tahu berkata, seolah bisa membaca pikiran Cordelia. Pria itu menunjuk pengait yang ada di permukaan lantai. “Biasanya tersambung dengan baik di sini. Tapi saat itu, katanya Lula dikuasai kepanikan sehingga aku berasumsi adrenalin keluar bebas dari dirinya. Talinya akhirnya copot karena dia terlalu keras menarik katrol. Tindakan ceroboh itu nyaris saja memerangkap dirinya di dalam sana bersama tumpukan jenazah lain yang kubuang.”
Perkataan terakhir itu membuat Cordelia menahan napas. Gadis itu mundur sejenak dari posisinya seolah ingin berjaga jarak dengan lubang pembuangan tersebut. Caspian yang menatapnya akhirnya mendengkus geli seolah meledek reaksi Cordelia.
“Kau ... membunuh banyak orang sebelumnya?” Cordelia bertanya ragu.
“Memangsa, lebih tepatnya.”
“Kau abare?”
Caspian membuang napas. “Kupikir kau sudah tahu siapa aku. Sebab saat pertama kali melihatmu, aku bisa menebakmu dengan sangat jelas.”
“Aku....”
“Kau sudah hampir lupa tentang kaum kita, aku tahu itu. Tidak usah diperjelas.”
Cordelia merasa tersinggung, tetapi dia melontarkan pertanyaan lain, “Jadi, selama ini kaulah yang memangsa orang-orang di Ruswer?”
“Kalau itu bukan aku. Aku berburu dengan bersih. Semua orang yang kumangsa tidak pernah meninggalkan jejak, karena aku mengubur tubuh mereka di dalam lubang ini,” kata Caspian seraya mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya pada lantai di bawah. “Pelaku yang selama ini membunuh orang-orang tidak bersalah di Ruswer adalah Abby dan Noah. Kau tentu masih ingat Abby, bukan? Di pria yang datang bersamaku di pesta HEC tempo lalu. Terakhir kalinya aku bertemu Abby, dia bilang dia gagal saat menyusup ke kamar Jade untuk mengambil lukisan. Lalu aku terpaksa membunuhnya karena dia gagal melakukan perintah―tidak, tidak, bukan aku yang membunuhnya. Tapi dia. Orang itu. Orang yang sama yang juga membunuh Noah.”
“Noah?”
“Noah Dalton. Dia sama seperti Abby. Keduanya adalah abare yang tidak memiliki budak darah, sehingga mereka sulit mengendalikan nafsu. Jadilah mereka selalu mencari mangsa di Ruswer dan menargetkan buruannya pada orang-orang tidak bersalah, yang beritanya sering kau lihat di televisi. Kadang-kadang aku menjadi orang yang menasihati mereka agar selalu berhati-hati dalam berburu, tetapi ... yeah, keduanya berotak bebal. Sudah kubilang mereka sebaiknya juga segera mencari budak darah, tetapi selera mereka terlalu muluk-muluk.”
“Kau juga memiliki budak darah?” tanya Cordelia.
“Benar. Namanya Lula Briswel, dialah orang yang tadi menghubungi Joseph agar datang ke rumah sakit. Saat ini kita tidak bersamanya karena aku kabur dari ruang perawatan ketika Lula sedang pamit sebentar ke kamar mandi. Dan tempat ini ... adalah tempat yang sengaja kupilih supaya obrolan kita malam ini tidak bocor keluar. Kau tahu, sebagai budak darahku, insting Lula lumayan kuat. Kadang-kadang dia bisa menebak di mana aku berada, tapi kali ini aku bertaruh dia tidak akan bisa. Tempat ini sudah kuselubungi dengan sihir yang tidak bisa ditembus dengan telepati.”
Ini artinya, Jade juga tidak akan tahu bahwa Cordelia berada di sini. Pemikiran itu diyakininya dengan baik. Cordelia menatap Caspian dan bertanya lagi, “Jadi kau tinggal di rumah ini bersama Lula? Dan bagaimana aku yakin kau bukan abaree jahat yang meneror Ruswer?”
“Jauh sebelum aku bertemu Lula, aku memangsa manusia mana pun yang kutemui,” kata Caspian, yang bersandar di dinding seraya melipat kedua lengan di depan dada. “Berat untuk melakukan kejahatan tanpa tercium penyelidikan polisi. Biasanya aku hanya mengincar para wanita dan laki-laki yang kehadirannya tidak menonjol―sebatang kara, gelandangan, atau siapa pun yang sekiranya hilang, tiada yang peduli untuk menemukannya. Kemudian Lula datang, dan dia memberiku harapan baru. Kupeluk dia malam itu dan kunyatakan bahwa aku mendambakan segala hal yang melekat padanya. Pada kasih sayangnya, ketulusannya, dan ... darahnya.”
“Itu bukan cinta. Itu nafsu,” kata Cordelia, seolah merasa jijik saat mengatakannya.
Caspian menyungging cengiran miring yang sempurna. “Bukankah kau juga tidak bisa hidup tanpa darah Jade?”
Cordelia menatapnya mencalang. “Apa?”
“Kita berdua ini sama. Kau tidak bisa hidup tanpa darah Jade, dan aku tidak bisa hidup tanpa darah Lula. Mengapa kau seenak jidat mengganti istilah untuk kebutuhan dasar kita seolah-olah itu adalah sesuatu yang biadab dan menjijikkan?”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Kau mengataiku seolah aku ini parasit menyebalkan yang hanya memanfaatkan Lula, bukankah kau juga melakukan hal yang sama kepada Jade?”
Cordelia menggertakkan rahang, lalu tanpa sadar dia mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh dengan erat. Caspian praktis melangkah mendekatinya, lalu mengangkat dagu Cordelia dengan jarinya. Gerakannya tegas namun lembut. Bibir Cordelia berkedut ketika kedua matanya terpancang pada iris biru pria itu.
“Cordelia,” kata Caspian. “Aku tahu kau datang kemari secara sembunyi-sembunyi. Kau merasa bersalah kepada Jade, sehingga kau ingin membalas budi dengan cara mengorbankan dirimu secara utuh kepadaku, bukan?”
“Aku tidak akan membiarkan Jade terluka karena aku.”
“Ya, itulah yang disebut pengorbanan.” Lalu Caspian mendekatkan wajahnya dan menyeringai dengan dramatis, “Betapa manisnya hubungan kalian. Andai kau tahu bahwa pengorbananmu adalah tindakan sia-sia, kau mungkin akan lebih memilih untuk melaporkanku ke polisi ketimbang datang sendiri kemari.”
“Apa maksudmu bicara begitu?” Cordelia mengerutkan alis, lalu dia menangkap maksud baru dari perkataan Caspian. “Kau ingin membunuhku?”
“Kenapa kau baru sadar sekarang, Manis?”
Cordelia menelan ludah gugup, lalu berkata sungguh-sungguh. “Aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Aku hanya tidak ingin kau melibatkan Jade, apalagi melukainya. Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menebus keinginanmu tanpa menyeret pemuda itu, aku akan menyanggupinya.”
Caspian tertegun melihat kesungguhan di mata Cordelia, dan sekejap saja, dia merasa iri dengan Jade. Betapa beruntung manusia sepertinya menerima cinta yang begitu besar dari seorang abaree. Caspian juga bisa melakukan hal yang sama bila itu atas nama Lula, namun kalau menjadi Cordelia, Caspian akan lebih memilih untuk membunuh penjahatnya alih-alih mengorbankan dirinya sendiri―semacam keputusan yang egois, tetapi adil. Dan untuk alasan itulah, dia merasa kasihan kepada Cordelia. Di balik perangainya yang angkuh dan sinis, Cordelia hanyalah seorang gadis muda yang naif dan tidak punya petunjuk apa-apa. Betapa jahat Caspian bila harus membantai Cordelia demi kepentingan Dominic....
“Cordelia,” kata Caspian, entah bagaimana nadanya melembut. “Sebetulnya aku tidak memiliki alasan besar untuk membunuhmu.”
“Lalu kenapa kau melukai Jade dan bersikap seolah kau ingin memancingku keluar?”
“Aku hanya ingin tahu di mana ayahmu bersembunyi, dan yang tahu keberadaannya hanya kau.”
Cordelia menatap Caspian dengan berani. “Kau kenal Gustav?”
Saat menyebut nama ayahnya, Cordelia seakan tercabik dengan kemarahan sekaligus kerinduan. Dia marah atas sedikitnya informasi yang Gustav tinggalkan untuk ingatannya, tetapi di sisi lain dia juga merindukan dan mengkhawatirkan ayahnya. Terlalu banyak teka-teki Gustav yang membuat Cordelia juga ingin mengonfrontasi pria itu dan menuntutnya atas semua kehilangan memori ini.
“Bukan aku yang mengenalnya,” kata Caspian. “Tetapi Dominic.”
“Dominic?” Cordelia jelas tidak pernah lupa dengan nama itu. Dominic adalah nama penjahat pertama yang dia dengar dari mulut Isabel, serta penjahat paling besar yang sekelumit kisahnya pernah dia baca dari manuskrip di dalam lukisan. Pria itu―Dominic―adalah sang ketua organisasi Eufrement yang menggagas ide untuk melenyapkan seluruh abaree dari muka bumi. Dia adalah pria yang membunuh ibu dan keluarganya, lalu menyudutkan Gustav sehingga ayahnya kini kabur ke tempat antah berantah. Cordelia menahan desakan protes dan berkata pada Caspian, “Bagaimana kau bisa mengenal Dominic? Dia kan sudah mati!”
“Mati? Tidak. Maksudku, rohnya masih ada di dunia ini. Kau tidak perlu tahu kisah kami. Pada intinya, Dominic menyuruhku untuk membawamu kemari agar kau mau memberitahu di mana lokasi Gustav.”
“AKU SAMA SEKALI TIDAK TAHU DI MANA AYAHKU BERADA!” Cordelia membentak murka. Dia tidak sanggup menahan gejolak amarah yang berdesir di kepalanya. “Kalau aku tahu di mana ayahku, sejak awal aku pasti tidak akan kebingungan seperti orang bodoh, apalagi datang kepadamu dan menyerahkan diri seperti ini, dasar berengsek!”
“Tenang, Cordelia, tenang.” Caspian mengangkat kedua tangan untuk menenangkan Cordelia. “Aku tahu kau tidak tahu apa-apa soal Gustav. Tapi aku tahu sebetulnya kau menyimpan memori penting itu.”
Saat Cordelia tidak menjawab, Caspian menyentuh pelipisnya sendiri dengan jari. “Ayahmu menyegel ingatanmu saat memasukkanmu ke dalam lukisan. Setidaknya itulah yang aku pahami dari penjelasan Dominic.”
“Kenapa ... kenapa dia harus menyegel ingatanku?”
“Mungkin dia tidak mau kau gegabah melakukan tindakan saat keluar dari lukisan,” kata Caspian. “Karena kau menyimpan kekuatan yang berbahaya, yang menyamai ayahmu.”
Cordelia menggigit bibirnya sendiri dan merasa frustrasi dengan semua konflik tersebut. “Apa yang harus kulakukan supaya ingatanku kembali?”
“Pertanyaan bagus,” Caspian menjentikkan jari di hadapan Cordelia. “Sebetulnya, ingatan abaree yang tersegel bisa perlahan utuh dengan tiga cara. Yang pertama, kau keluar dari tempat apa pun yang menyegelmu, lalu kau melakukan terapi pemulihan dengan meminum darah budakmu. Ingatanmu memang bisa kembali, sepotong demi sepotong. Namun cara ini sangat lama dan tidak efektif. Yang kedua, ingatanmu dikembalikan langsung oleh orang yang mengurungmu di dalam lukisan. Dalam artian, kau memerlukan ayahmu untuk kembali. Dan yang ketiga ....”
Caspian sengaja menggantungkan kalimatnya. Mendadak wajahnya terlisat resah dan waspada, tetapi Cordelia tidak sabar untuk tahu jawabannya. “Yang ketiga apa?”
“Ingatanmu bisa ditarik keluar secara paksa dengan sihir gelap,” kata Caspian, lalu dia mendekati Cordelia dan berkata dengan nada tajam dan serius. “Namun cara terakhir ini sangat, sangat menyakitkan.”
Cordelia tanpa sadar mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. “Apakah efek kesakitan itu akan dirasakan juga oleh budak darahku?”
“Dia pasti akan merasakannya, tapi tidak begitu menyakitkan seperti apa yang kau rasakan. Budak darah selalu merasakan lima puluh sampai tujuh puluh persen rasa sakit yang dialami sendiri oleh pasangannya, dan begitu juga sebaliknya.”
Cordelia memikirkan Jade yang masih berbaring di rumah sakit. Orang itu bahkan masih terlalu lemah untuk sekadar bangun dari tempat tidur, bukankah kondisi tubuhnya akan berpengaruh pada rasa sakit yang dia terima? Bagaimana bila dia tidak kuat menahannya?
“Aku....”
“Kita tidak punya pilihan,” potong Caspian. “Kau sudah ada di sini dan menyerahkan dirimu. Kalau kau masih menolaknya, Dominic nanti bisa murka. Kita berdua tidak akan mau melihat Dominic murka di hadapanmu.”
Gadis itu masih berpikir keras, dan Caspian mulai menunjukkan tanda-tanda tidak sabar.
“Kalau ingatan itu sudah kembali, apa yang mau kau lakukan?” Cordelia bertanya tidak yakin. “Apakah pada akhirnya kau akan membunuhku seperti rencana semula?”
Caspian tidak menjawab. Andai dia bisa mengatakan yang sesungguhnya, dia tidak akan mau melakukan hal keji itu kepada Cordelia. Melihat keteguhan dan pengorbanan gadis ini saja bisa membuatnya luluh dan iba. Bagaimana mungkin Caspian mau menghabisi nyawa dua orang sekaligus hanya demi memberi makan ego Dominic?
“Cas,” Cordelia berkata lagi. “Aku ... aku memohon padamu. Jangan bunuh aku.”
“Cordelia.”
“Aku tidak memohon demi diriku. Aku memohon padamu demi Jade. Aku benar-benar tidak ingin melihatnya menderita.”
Mata Cordelia yang berkilat hitam tampak menyala oleh pengharapan. Caspian menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Dia memohon agar Dominic yang bersemayam dalam sudut terdalam kepalanya tidak mendengar hal yang saat ini sedang dia pikirkan. Lalu, pria itu mendekat pada Cordelia dan berkata selirih mungkin, “Setelah kau memberitahuku di mana Gustav, kau boleh lari. Pergilah jauh, sangat jauh. Bawa pula Jade bersamamu. Aku tidak akan memburu kalian berdua asalkan kalian tidak menampakkan diri di hadapanku lagi.”
Cordelia menatap mata Caspian lurus-lurus.
“Baiklah.”
Kemudian gadis itu dipersilakan duduk di sebuah kursi. Sementara Caspian menyiapkan sesuatu di dapur kecil. Cordelia hanya dapat memperhatikan punggung Caspian yang berjibaku dengan seluruh peralatan dapur. Tercium bau tajam rempah yang tidak dikenal, kemudian asap putih meliuk melingkupi udara, diiringi suara sendok yang mengaduk gelas dan bunyi samar air yang mendidih. Di tengah-tengah kesibukan itu, Cordelia bertanya, “Apa yang sedang kau buat?”
“Ramuan sihir untuk membantumu mengingat,” kata Caspian. “Resepnya kudapatkan dari nenekku dari pihak Ibu.”
“Nenekmu penyihir?”
“Penyihir gelap yang terbaik di antara yang lainnya,” kata Caspian sembari masih sibuk meremas dan memotong sesuatu. Pria itu tidak repot-repot berbalik menghadap Cordelia. “Dulunya nenekku kenal baik dengan keluarga Walthrop Bailey. Konon katanya keluarga Bailey juga masih memiliki keturunan penyihir, tetapi kekuatan itu entah kini diwariskan kepada siapa. Yang pasti bukan Jade. Orang itu berpikiran naif―terlalu realistis, logis, tipe masyarakat metropolitan yang hanya doyan mengejar uang untuk bertahan hidup.”
“Itu memang benar,” Cordelia tertawa kecil, tetapi suaranya melemah kembali. “Cas?”
“Hm?”
“Apa yang kau lakukan pada Jade sehingga dia menjadi seperti itu?”
Sambil mengaduk panci, Caspian membalas, “Dominic merasuki tubuhku. Saat dia mengambil alih tubuhku, seluruh kekuatan dan bakat sihirku juga bisa digunakan seenak jidat olehnya. Aku ... samar-samar teringat; Dominic marah besar lantaran Jade bersikukuh ingin mendapatkan belati kristalnya lagi. Lalu lewat tubuhku, dia menyerang Jade. Dia berusaha menggali ingatan Jade dan menjejalinya dengan sebuah mantra untuk merusaknya.”
“Mantra?” Cordelia meremang terkejut.
“Jade memiliki semacam tabir di tubuhnya. Itu adalah semacam sihir putih yang berfungsi melindunginya dari pengaruh energi buruk. Saat Dominic melawannya, dia bisa merasakan tabir pelindung tersebut, jadi dia berusaha untuk merusaknya agar dapat membaca seluruh masa lalu Jade, termasuk untuk mengetahui di mana kau berada. Dominic berhasil menjebol tabirnya, tetapi tidak secara total. Sebab efeknya saat itu langsung berbalik kepada Dominic dan membuat sosok itu tiba-tiba lenyap dari kesadaranku.”
“Jadi maksudnya, tabir pelindung dalam diri Jade adalah senjata alaminya dalam melawan pengaruh Dominic?”
“Ya, itulah sebab mengapa Jade tidak mudah dirasuki oleh Dominic. Asal kau tahu, roh itu sejak dulu sudah mengincar Jade. Dia selalu bersemayam di dalam―”
Cordelia tidak mendengar jawaban lanjutan dari Caspian. Gadis itu bertanya lagi, “Bersemayam di dalam apa?”
Caspian langsung berbalik dari konter dapur dan menghampiri Cordelia sambil membawa cangkir kecil berisi larutan kehitaman di dalamnya. “Di dalam belati kristal,” suaranya terdengar sangat lirih dan panik, seolah tidak ingin Cordelia bertanya lebih lanjut mengenai jawabannya. Pria itu menyodorkan cangkir ke depan hidung Cordelia dengan buru-buru, “Cepatlah. Ini harus diminum selagi masih hangat.”
Dan Cordelia memang tidak memiliki waktu untuk memikirkan apa-apa lagi. Dia menerima cangkir itu, lalu meminumnya dalam sekali teguk.[]
-oOo-
.
.
.
Nggak terasa udah chapter segini aja huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top