47. Pengorbanan
RUSWER Hospital Center, pukul sembilan malam lebih lima menit.
Bau rumah sakit sungguh aneh―tajam dan menusuk, seperti campuran antara karbol pembersih dan obat-obatan. Seandainya bisa, Cordelia ingin keluar dari tempat ini secepat mungkin. Akan tetapi, situasi daruratlah yang memaksa dirinya datang bersama Joseph. Kedua anak muda itu sama-sama melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang cukup padat oleh pengunjung pasien serta perawat. Setelah menanyakan nomor kamar ke resepsionis, mereka menyusuri sepanjang blok ruang rawat yang tidak jauh dari UGD, lalu masuk ke salah satu pintu kamar.
Saat melihat siapa yang sedang berbaring di ranjang rawat, kaki Cordelia rasanya lemas. Dia berpegangan pada gagang pintu kamar, terpaku sejenak, seolah enggan masuk lebih jauh. Joseph menarik tangannya dengan lembut supaya dia melangkah lebih dekat.
“Jangan takut, kemarilah. Dia baik-baik saja, kok.”
Seketika, kepanikan yang membengkak di kepala Cordelia tergantikan dengan perasaan resah yang samar berdenyut bersama kelegaan. Setidaknya mereka menemukan Jade dalam keadaan baik-baik saja, kendati kesehatannya sama sekali tidak cukup untuk menjawab berton-ton kecurigaan dalam benak Cordelia.
“Kenapa dia tidak sadar?” Dengan penuh prihatin, Cordelia menatap Jade yang sedang berbaring tenang di ranjang. Semua hal yang ada di sekitar dan melekat di tubuh Jade terasa asing bagi gadis itu. Kotak apa yang ada di dekat kepala ranjang? Mengapa benda aneh itu mengeluarkan bunyi yang tidak nyaman? Mengapa ada selang yang dilekatkan di punggung tangan Jade dan terhubung pada tabung air yang menggantung di tiang? Cordelia secara ragu menyentuh jemari Jade, mengusapnya perlahan, lalu sekejap saja kepikiran ingin mencopot selang bening di tangannya.
Joseph mengusap kening Jade yang menitikkan butiran keringat dingin. “Sepertinya dia kesakitan. Kita akan bertanya pada perawat kalau ada yang datang kemari. Hei, jangan disentuh!” Joseph secara panik langsung menyingkirkan tangan Cordelia yang sedang mengutak-atik infus.
“Benda sial apa yang ada di tangannya ini?” Cordelia membentak protes.
“Itu namanya selang infus, anak manis,” kata Joseph seraya membuang napas. “Setiap pasien yang dirawat di rumah sakit memang mendapat infus. Cairan yang ada dalam tabung akan mengalir melalui selang dan masuk ke tubuh Jade untuk menjaganya tetap terhidrasi dan ternutrisi.”
Cordelia tampaknya belum puas dengan penjelasan itu. Dia praktis menangkupkan kedua tangan pada pipi Jade seraya menatap wajah Jade dalam-dalam, seolah sedang memanggil-manggil pemuda itu dari kedalaman alam bawah sadar. Joseph membiarkan makhluk satu ini bersikap seperti orang aneh, sampai akhirnya dia mendengar permohonan Cordelia yang agak memaksa.
“Dia tidak bisa didiamkan di sini. Kita harus membawanya pulang.”
“Ayolah, jangan gila. Biarkan saja Jade dirawat di sini sampai dia sadar.”
“Tapi tempat ini penuh orang!” Cordelia menegapkan punggung dan mengibaskan tangan ke arah pintu. “Di luar sana ada banyak orang mencurigakan. Bagaimana bila ada abare yang datang lalu menyerang Jade ketika kita semua lengah?”
“Itu tidak mungkin terjadi, Cordy. Kau jangan terlalu khawatir.” Lalu Joseph memandangi Jade sambil membuang napas dalam-dalam. “Lebih baik kita memikirkan apa yang terjadi padanya sampai dia dibawa kemari. Resepsionis di depan tadi bilang anak ini dibawa kemari dalam keadaan paha tertusuk pisau dan hilang kesadaran. Sepertinya dia kehilangan darah terlalu banyak, tapi....”
Cordelia menuntut, “Tapi apa?”
“Tapi sepertinya mereka luput melihat luka di lehernya. Perhatikan,” Lalu Joseph menyibak kerah pakaian Jade dan memperlihatkan garis keunguan samar yang melingkari lehernya. “Seperti bekas dicekik sesuatu. Aku jadi teringat tentang apa yang kau rasakan sebelum kita datang kemari. Bukankah katanya napasmu seperti tercekat?”
Cordelia secara spontan memegangi lehernya sendiri. Dia masih merasakan goretan bekas cakaran kukunya lantaran dikuasai kegilaan dan kesakitan. “Ya,” bisiknya terperangah. “Rasanya seperti dicekik. Dan saat itu, isi di dalam kepalaku seperti ditarik keluar ....”
“Ewh,” Joseph mengernyit.
“Itu hanya metafora untuk menyatakan rasa sakit,” koreksi Cordelia. “Apakah menurutmu Caspian yang melakukannya?”
“Bisa jadi. Dia orang terakhir yang bersama Jade. Dan saat berkunjung di rumahnya tadi, kita sama-sama melihat jejak darah di lantai teras.”
“Kalau begitu, yang mengirimmu pesan kemungkinan adalah Caspian.”
“Sepertinya memang begitu. Menurutmu apakah dia masih ada di sini?” Joseph celingukan di sekitar ruangan. Pertanyaannya barusan ditanggapi kelewat serius oleh Cordelia. Gadis itu langsung melangkah mengitari ruang rawat dan menyidak sampai ke sudut-sudut. Setelah puas melongok lewat jendela yang menganga di hadapannya, Cordelia berbalik menghadap Caspian. “Aku punya firasat Caspian tidak jauh dari sini.”
“Kenapa begitu?”
“Entahlah....” Kata-kata Cordelia menggantung lirih. Tatapan gadis itu pelan-pelan bergeser pada Jade yang masih berbaring tak bergerak di ranjang. “Kurasa ... Caspian memiliki alasan mencelakai Jade. Kalau pria itu adalah seorang abare seperti yang kita duga, dia tidak perlu harus mencelakai Jade. Dia bisa langsung membunuhnya dengan mudah. Menurutmu, mengapa dia masih menahan kekuatannya? Mengapa dia malah membawa Jade ke rumah sakit dan memanggil kemari?”
“Apakah dia....” Joseph ingin menebak-nebak, tetapi kata-katanya menggantung ragu.
“Yang Caspian inginkan bukanlah Jade, melainkan aku,” kata Cordelia seraya menatap Joseph.
Kata-katanya barusan membuat Joseph meremang takut.
“Kenapa kau menebak begitu?”
“Dia pasti tahu bahwa aku dan Jade terikat dalam adat darah abare, sebab itulah dia tidak membunuh Jade. Kalau dia membunuh Jade, dia tahu aku akan ikut mati.”
“Jadi maksudnya ... Caspian menginginkanmu hidup-hidup? Kenapa?”
Cordelia menggeleng. “Entahlah. Bagian itu harus kucari tahu sendiri.”
Joseph mendekati gadis itu dan langsung menggamit kedua lengannya dengan kuat. “Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, Jade tidak akan tinggal diam.”
“Aku tahu.” Cordelia menatap Jade di ranjang lagi. Mendadak saja dia merasa sedih dan tertekan. Jade, Jade-nya yang terkasih. Bagaimana mungkin Cordelia bisa diam saja ketika melihatnya terluka seperti ini? Rasanya gadis itu ingin melompati ruang dan waktu demi bisa bertemu Caspian secepat mungkin dan mengonfrontasinya atas semua kekacauan yang terjadi, akan tetapi ... Cordelia tahu sekarang bukan waktu yang tepat, sebab....
Gadis itu diam-diam menatap Joseph yang sedang mengusap wajah karena kelelahan, lalu berpikir mendalam.
Joseph adalah penghalang. Pemuda ini tidak akan tinggal diam bila Cordelia memutuskan untuk menemui Caspian. Dia pasti akan melakukan segala hal hanya agar Cordelia tetap bergeming seperti seekor burung gagak yang patuh.
“Josh,” kata Cordelia, lalu gadis itu berpura-pura linglung seperti hendak pingsan. Joseph yang melihatnya praktis menahan tubuh Cordelia agar tidak roboh ke lantai. Pemuda itu menatapnya dengan cemas.
“Astaga, kau kenapa?”
“Aku tidak tahu. Kepalaku sakit.”
“Apa rasa sakitnya milik Jade?” Joseph menatap layar monitor EKG yang menunjukkan grafik denyut jantung dan tekanan darah Jade. Normal. Tidak ada perubahan. “Sepertinya dia tidak mengalami apa-apa.”
“Aduh, sakit....”
Cordelia bersikap seperti seorang putri yang merengek, secara otomatis membuat Joseph kebingungan. Pemuda itu segera menuntun Cordelia duduk di kursi terdekat dan berbicara pelan, “Begini, sepertinya kau memang kelelahan, Cordy. Duduklah dulu, aku akan mengambilkanmu sesuatu.”
“Mungkin aku butuh ... minum, atau seorang dokter ....”
“Ya, ya, aku akan memanggilnya. Akan segera kembali.” Bersama kalimat itu, Joseph keluar kamar rawat dan langsung pergi entah ke mana. Cordelia segera menghapus ekspresi kesakitannya dan menggantinya dengan wajah datar seperti biasa. Gadis itu bangkit dari kursi tunggu lalu menghampiri Jade.
“Jade,” Cordelia menyentuh pipi Jade dengan lembut. “Maafkan aku.”
Kemudian Cordelia membungkukkan tubuh dan memeluk dada Jade. Dia menyandarkan wajahnya pada ceruk leher Jade dan menghirup aroma tubuhnya, mengecupnya lama, seolah hendak mengucapkan perpisahan. Selepas itu, Cordelia melepas rengkuhannya dan menemukan bahwa ada setetes air mata jatuh dari pipinya.
Tiba-tiba saja, semua perasaannya yang berkecamuk keluar tanpa permisi. Cordelia menumpahkan tangis kesedihannya untuk pertama kali; penyesalannya karena melibatkan Jade, kemarahannya pada ibu dan ayah yang meninggalkannya, serta rasa cintanya yang begitu besar kepada Jade. Mengapa dia harus menjadi makhluk jahat yang menyeret orang tidak bersalah? Seandainya Cordelia dibebaskan untuk memilih, lebih baik dia memilih untuk tidak keluar dari lukisan dan membusuk saja di dalam sana selama-lamanya.
Cordelia mengusap air mata di kedua pipi, sekonyong-konyong bertekad untuk mengakhiri semua. Dia mendekati Jade, menundukkan kepala, lalu mencium bibir pemuda itu lama sekali. Air matanya menetes lagi di pipi Jade, tetapi Cordelia tidak menghapusnya. Gadis itu menegapkan punggung dan mundur perlahan, kemudian dia berputar, lalu melangkah melewati pintu.
Kedua tungkainya membawanya keluar cepat dari rumah sakit. Saat Cordelia melangkahkan kaki ke landaian di pintu utama, Cordelia kebingungan sejenak, digempur ketidaktahuan tentang arah dan tujuan. Ke mana dia harus pergi? Apa dia harus kembali ke rumah Caspian? Opsi kedua sepertinya bagus. Lantas Cordelia melangkah maju untuk pergi ke jalan raya dan menghentikan taksi. Akan tetapi, belum ada sepuluh langkah, tubuh gadis itu sontak membeku.
Di hadapannya, tahu-tahu saja ada sosok pria yang dia cari-cari.
“Caspian?” Cordelia berkata lirih.
Caspian terlihat tidak begitu sehat. Sinar matanya yang biru tampak muram, sementara wajahnya yang biasanya bersinar memesona, kini terlihat letih dan kosong. Namun pikiran pria itu betul-betul jernih. Dia melangkah mendekati Cordelia, lalu menyentuh dagu gadis itu, menekannya lebih ke atas supaya pandangannya terpancang pada kedua matanya.
“Aku sudah mencarimu sejak dulu,” kata Caspian, kali ini tiada nada ramah dalam suaranya.
Cordelia menggertakkan rahang dan memberanikan diri menatap Caspian tanpa sekalipun berkedip.
“Kurasa kau punya sesuatu yang perlu dibicarakan.”[]
-oOo-
.
.
.
.
Tbc~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top