46. Terputus

JOSEPH mendengar bunyi nyaring itu ketika sedang membalik telur mata sapi di penggorengan. Bunyi benda jatuh―gedebuk keras yang menyakitkan. Pemuda itu lekas-lekas mematikan kompor dan berlari ke dekat tangga, sumber suara itu berasal. Dia terkejut melihat Cordelia jatuh terkapar di pangkal tangga sambil mengerang pedih. Kelihatannya gadis itu terpeleset saat hendak turun dan tidak sengaja menghantamkan punggungnya di lantai.

“Astaga. Cordy, kau tidak apa?” Joseph berlutut untuk membantunya bangun, tetapi pemuda itu terperenyak lantaran menatap paras Cordelia yang sepucat kertas, seolah baru saja melihat hantu. Bibir gadis itu gemetar, satu tangannya melingkar di leher hingga dia tampak mencekik diri sendiri. Ketika Joseph melihat kuku Cordelia merobek kulit lehernya, Joseph segera menepis tangannya jauh-jauh. “He-hei, hentikan! Apa yang kau lakukan?”

“... susul.” Cordelia berbicara patah-patah. Gadis itu menggelepar di lantai seperti menahan siksaan. Wajahnya mendongak dan matanya membelalak gelisah. Joseph yang dirubung panik berusaha menenangkan Cordelia dengan menekan kedua bahunya kuat-kuat.

“Cordy, sadarlah! Ada apa denganmu?” Kekhawatirannya memuncak. Joseph jelalatan ke seantero ruangan untuk mencari sesuatu―entah apa. Dia sendiri tidak pernah menghadapi situasi seperti ini, ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengerang dan menggeliat menahan sakit di hadapannya. Harus menelepon rumah sakit, begitu pikirnya. Lantas Joseph hendak meraih ponselnya yang digeletakkan di sofa, akan tetapi Cordelia buru-buru menahan pergelangannya. 

“Cordy?” Joseph memandangi mata Cordelia yang mengucurkan air mata. Paras gadis itu seperti tersiksa sekali. Sesaat, Joseph pikir Cordelia akan kejang hebat, sebab seluruh tubuhnya mendadak kaku dan tegang. Namun di detik-detik berikutnya, gadis itu melemas kembali seperti ban yang mengempis. Dia menjatuhkan kepalanya di lantai dan bernapas berat, terengah-engah.

“Susul ... Jade....” Cordelia berbisik lirih. 

Joseph mendekatkan telinganya pada mulut Cordelia, “Kau bilang apa?”

“Susul Jade ... dia dalam bahaya....”

“Cordy, apa yang kau lihat?” 

Napas Cordelia mulai stabil, dan dia memejamkan mata sejenak. Kelopaknya terbuka kembali bersamaan dengan setetes air mata yang melelehi pipi. Joseph akhirnya berinisiatif membantu Cordelia duduk pelan-pelan. 

Gadis itu masih tampak lemas dan lemah, tetapi pikirannya jernih sepenuhnya. “Dia dalam bahaya. Aku bisa merasakan kesakitannya.”

“Maksudmu Jade?”

“Ke mana dia?” Cordelia bertanya menuntut pada Joseph, yang kini mulai menunjukkan tanda-tanda getir dan menyesal. 

“Dia ... dia pergi ke rumah Caspian.”

Mata Cordelia menyipit, menampakkan kekecewaan. “Seharusnya dia pergi bersamaku.”

“Dia tidak mau, oke? Aku sudah menyuruhnya untuk tidak gegabah, tapi dia nekat mau pergi. Katanya dia tidak mau membawamu karena takut kau akan kenapa-kenapa.” 

“Dasar bodoh. Dia pikir dia bisa menghadapi bahaya seorang diri?”

“Dia membawa pistol untuk menjaga diri. Sini kubantu.”

Lalu Joseph mengalungkan lengan Cordelia di lehernya dan setengah mengangkatnya, agar bisa membiarkan gadis itu beristirahat sejenak di sofa terdekat. Sambil memijat pelipisnya yang berdenyut-denyut, Cordelia mengomel lemas sambil mengerang, “Aku merasakannya barusan. Dia ... dia sedang kesakitan―sekarat. Rasanya kepalaku mau pecah. Kita harus meneleponnya untuk memastikan kabar.”

“Baiklah, tunggu,” Lalu Joseph menyambar ponselnya dan menekan kontak Jade. Setelah dua kali panggilan tidak terjawab, pemuda itu menatap Cordelia dengan luapan emosi sesal. “Tidak ada jawaban. Apa menurutmu dia ....”

“Dia masih hidup, pastinya. Tapi kondisinya pasti parah, sebab aku tidak merasakan apa-apa lagi.”

“Apa artinya dia sedang tidak sadarkan diri?”

“Mungkin saja.” Lalu Cordelia memaksa diri untuk berdiri. Sesaat, gadis itu tampak hampir limbung ke lantai, tetapi Joseph membantunya supaya tegak. “Pokoknya kita harus menyusulnya sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Caspian―orang itu pasti pelakunya. Aku sudah mencurigainya sejak awal. Dia bukan orang sembarangan ... dia terlalu aneh untuk menjadi manusia....”

“Jade sempat meninggalkan alamat Caspian kepadaku untuk berjaga-jaga. Lebih baik kita ke sana sekarang.”

Mereka berdua akhirnya memesan taksi malam itu juga dan pergi ke rumah Caspian. Di tengah perjalanan, Cordelia berangsur pulih total. Gadis itu mulai aktif berbicara dan menduga-duga banyak hal sepanjang berada di dalam taksi. Dia menyuruh Joseph menelepon Jade terus-menerus, tetapi hasilnya nihil.

Ketika sampai di rumah Caspian, mereka langsung turun dari mobil dan berlari kecil-kecil memasuki halamannya yang luas. Pintu gerbangnya bahkan masih terbuka, sehingga memudahkan untuk menyelinap ke teras. Akan tetapi, entah bagaimana Joseph malah diliputi semacam keganjilan aneh melihat fenomena ini. 

“Pintu gerbangnya terbuka,” gumam Joseph sementara Cordelia memijat bel berkali-kali. 

“Kenapa memangnya?”

Mata Joseph sibuk menjelajah keadaan seantero halaman rumah yang luas dan sunyi. Tidak ada penjaga, sopir, ataupun tukang kebun yang berseliweran di dekat sini. Rasanya tidak mungkin bila gerbangnya dibiarkan terbuka begitu saja. “Bagaimana kalau mereka keluar buru-buru?”

“Sepertinya di dalam tidak ada orang.” Cordelia kembali lagi ke depan teras, dan ketika hendak menaiki undakan tangga, benaknya dikejutkan sesuatu. Gadis itu tiba-tiba saja membungkuk dan berlutut di lantai.

“Ada apa?” tanya Joseph.

“Darah,” Cordelia menunjukkan ujung jarinya yang baru saja digeserkan di atas percikan merah di lantai. Tanpa ragu, gadis itu memasukkan jarinya ke mulut dan mengecap darah itu. Satu matanya berkedut ketika merasakan rasa getir dan manis yang familier. “Ini darah Jade.”

Joseph segera mengikuti jejak tetesan darah itu yang tampaknya berasal dari dalam, kemudian menghilang tepat di tepi undakan paling bawah. Kening Joseph mengernyit curiga. Kecurigaan dan kekhawatirannya membengkak hingga ubun-ubun. Dia sudah hendak berkata sesuatu kepada Cordelia ketika tahu-tahu saja ponselnya berdenting. Pemuda itu melongok pada layar ponsel yang menunjukkan sebaris pesan singkat yang dikirim menggunakan nomor Jade. 

Pesan itu bertuliskan sebuah alamat rumah sakit dan nomor kamar rawat.

-oOo-

C

aspian membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah tirai bilik rawat bergaris-garis putih dan biru. Dia merintih pelan seraya menekan kepalanya yang berdenyut-denyut mengerikan. Sambil berusaha menahan rasa sakit itu, Caspian mengangkat kepala. Di samping ranjang rawatnya, ada Lula yang tertidur dengan wajah terkubur pada kedua lengan yang terlipat.  

Pria itu berusaha tidak membangunkan Lula, jadi sebisa mungkin dia bergerak pelan-pelan untuk memosisikan diri. Tangan kirinya tertancap jarum infus. Caspian hendak mencopotnya, tetapi karena otot-ototnya masih lemas dan gemetar, gerakannya menjadi loyo dan tidak fokus. Berisik kecil yang ditimbulkan Caspian rupanya lebih efektif membuat Lula terbangun duluan.

“Cas, kau sudah bangun?”

Caspian tiba-tiba saja seperti diserang panik. “Aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu.”

“Tidak papa. Aku lega kau bangun,” Lalu Lula menebak sesuatu selepas menangkap basah Caspian yang sedang berusaha mencopot selang infus. “Jangan berpikir untuk pergi dari sini, Cas. Kau masih perlu istirahat. Perutmu baru saja dijahit akibat luka tembak.” 

“Sudah tidak sakit lagi,” kata Caspian sungguh-sungguh. “Aku hanya tidak nyaman berada di sini. Omong-omong bagaimana denganmu? Apa kau merasakan sakit yang sama?”

Lula mengangguk samar. “Tidak seberapa dibandingkan dirimu. Perutku hanya terasa kram berat seperti menstruasi, makanya aku tidur sebentar.”

“Lalu di mana Jade?”

“Dia dirawat di kamar pribadi. Saat datang kemari, keadaannya kritis.” 

Caspian terdiam. Berbagai lapis perasaan menggulung benaknya―penyesalan, rasa bersalah, dan sedikit kemarahan yang tidak wajar. Caspian tahu Jade tidak patut disalahkan atas insiden ini, dan dia tahu seharusnya kemurkaan ini ditumpahkan kepada Dominic sebagai biang keladi utama yang membuat hidupnya kacau. Semakin lama, korban semakin banyak berjatuhan. Dari Abbey, Noah, dan sekarang Jade. Tragedi ini tidak akan berakhir sampai Dominic mendapatkan apa yang dia inginkan―Cordelia. Gadis itu; putri sang dewa. 

“Aku ingin melihat Jade,” kata Caspian, lalu hendak turun dari kasur. Akan tetapi, tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama sehingga pria itu nyaris terjungkal ke lantai. Beruntung Lula cepat-cepat memeganginya. 

Selalu saja Caspian berakhir kehabisan tenaga setiap kali Dominic merasukinya. 

“Kurasa kau jangan menemuinya dulu,” kata Lula. “Barusan saja aku mengirimi temannya yang bernama Joseph pesan bahwa Jade dirawat kemari. Kemungkinan sebentar lagi orang itu tiba. Kalau sampai dia melihatmu yang seperti ini ... mungkin dia tidak akan tinggal diam.”

Caspian hanya bisa menurut. Akhirnya, dia memilih duduk di tepi ranjang rawat dengan ekspresi murung, seperti tertekan banyak pikiran. Lula yang menyadari hal itu langsung mengusap pipi Caspian dengan lembut. “Cas, kau tidak perlu memaksakan diri. Kalau kau lelah, istirahatlah.”

“Aku tidak bisa istirahat sebelum mendapatkan gadis itu.”

“Kenapa kau sangat ambisi untuk mendapatkannya? Tahukah kau bahwa aku cemburu karena kau seolah tidak memikirkanku?”

“Lula, bukan begitu,” Caspian menatap mata Lula yang bersinar khawatir. Dia ikut mengusap pipi Lula, lalu mendekatkan wajah untuk mengecup sepanjang rahang kekasihnya yang memesona. Pria itu lantas berbisik, membuat wanita itu geli dengan sentuhan bibirnya yang selembut awan. “Aku menyayangimu, Lula. Justru karena aku amat mencintaimu, aku harus segera mendapatkan gadis itu.” 

“Apa yang akan kau lakukan bila sudah mendapatkannya?”

“Aku hanya ingin tahu di mana keberadaan Gustav. Setelah itu aku akan membunuh mereka berdua dengan belati kristal itu.”

“Mengapa kau melakukan ini, Cas?” Lula merengkuh Caspian dan membiarkan pria itu menyandarkan kepala di dadanya. “Kau pernah berjanji padaku bahwa kita berdua akan sebisa mungkin menghindari konflik. Mengapa sekarang kau mematahkan janji itu?”

“Bukan aku yang ingin mematahkannya.” Caspian ingin berkata bahwa pelakunya Dominic, tetapi bibirnya entah bagaimana kelu, seperti dibungkam. Akhirnya pria itu hanya membalas rengkuhan Lula lebih erat. “Lula, tolong kali ini percayalah padaku. Setelah semuanya usai, kita akan hidup damai selamanya.”

Kemudian Lula melepaskan pelukannya dan membiarkan Caspian duduk muram. Wanita itu masih digigit rasa khawatir karena raut Caspian terlihat pucat dan lemah, seolah-olah dia bisa ambruk kapan saja. Belakangan ini, tepatnya setelah mengenal Jade dan mempelajari seluk beluk tentang Cordelia, kesehatan kekasihnya memang semakin menurun. Lula merasa curiga bahwa Caspian sengaja menyembunyikan sesuatu yang penting darinya. Sesuatu yang selama ini menguras tenaganya hingga Caspian berubah laksana mayat hidup yang doyan membunuh.

“Cas, belakangan ini kau belum meminum darahku, bukan?”

Benar. Seburuk apa pun tindakan Caspian di luar sana, Lula sudah berjanji kepadanya bahwa dia akan terus menjaga kekasihnya agar tetap hidup lama. Sebab saat ini mereka berdua terikat dengan adat darah abare. Lula masih ingin menikmati hidup. Tidak mungkin dia diam saja melihat kesehatan Caspian yang semakin kacau.

Caspian menaikkan alis. “Aku belum lapar.”

“Kalau kau ingin menjalani misimu dengan total, kau harus mengisi energi.” Lalu Lula berputar dari kursinya dan menutup semua sisi tirai bilik rawat, sehingga tidak ada celah yang bisa digunakan untuk mengintip. Berikutnya, wanita itu mengambil sejumput rambut yang menggantung indah di bahu kanannya, lalu menyibaknya pelan, menampakkan leher jenjangnya yang indah. “Minum aku,” bisiknya.

“Lula,” Caspian mendesau lelah. “Jangan di sini. Aku tidak mau kau pingsan.”

“Aku akan menahannya.”

Caspian tetap teguh pendirian. Dia mengabaikan Lula dan hendak merosot kembali ke tempat tidur, akan tetapi gerakannya terhenti sebab kekasihnya mendadak mengeluarkan pisau dari balik lipatan gaun. Pria itu tidak menyangka apa yang berikutnya terjadi; Lula langsung menggores telapak tangannya sendiri sehingga darahnya berceceran di lantai. 

“Lula, apa yang kau―”

Wanita itu berjengit menahan sakit. Dengan jemari gemetar, dia menyodorkan tangannya di depan wajah Caspian. “Kubilang minum.”

“Kenapa kau melakukan ini?”

“Aku tidak mau usiaku berkurang karena kau teledor menjaga tubuh. Cepat, ini sakit!”

Lalu Caspian buru-buru menggamit tangan Lula dan menyesap darah dari robekan yang dia buat sendiri. Wajah Lula berkerut menahan pedih, tetapi dia masih bisa menolerasinya karena rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan gigitan di leher. 

Selama beberapa waktu, wanita itu menatap Caspian mereguk darah dari telapaknya seperti seorang musafir yang mendulang air dari oasis. 

Pemandangan itu, anehnya terlihat mengagumkan sekaligus mengerikan.[]

-oOo-

.


.


.


Happy readinggg~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top