44. Kerasukan

PISTOL yang tersimpan dalam celananya terasa dingin dan berat. Jade menekan gundukan di balik jaketnya seraya menahan napas, berpikir ironis bahwa senjata ini barangkali akan menjadi benda terkutuk pertama yang dia gunakan untuk melukai orang.

Kalau bisa memilih, Jade lebih baik tidak melesakkan peluru di mana pun. Dia masih ingat janjinya kepada diri sendiri beberapa waktu lalu, bahwa dia tidak akan pernah terlibat urusan kriminal lagi. Akan tetapi, situasi yang berpusing di sekitarnya saat ini memberinya sedikit pilihan; antara melawan atau mati.

“Mati” kedengaran berlebihan, tetapi semenjak bertemu Cordelia, risiko itu terasa tidak mustahil untuk terwujud. Jade bisa mati kapan saja, di mana saja, dan dengan cara terburuk sekalipun. Rumor abare yang membunuh dengan cara mengisap darah sampai kering dan mencabik-cabik tubuh korbannya memberi Jade banyak skenario keji tentang prosesi kematian yang akan dia hadapi. Masalahnya, siapa yang akan melakukan hal itu kepadanya? 

“Caspian?” Kata itu datang dari seorang wanita cantik yang memandang Jade dengan sorot ragu, seolah-olah pemuda satu ini membawa biang wabah baru di rumahnya. “Dia baru akan datang sekitar pukul lima sore hari ini,” sang wanita melanjutkan. Kendati ekspresi wajahnya kurang ramah, bisa dibilang dia adalah wanita tercantik kedua yang Jade saksikan selama tinggal di Ruswer. Kulitnya yang gelap tampak halus dan mengilat, sementara tatapan matanya sayu sekaligus teduh. Dia seperti peri hutan yang mistis dan indah. 

“Ah, begitu.” Jade mengangguk kecil, diam-diam menenangkan jantungnya yang berdebar di balik rongga karena takut ketahuan menyelundupkan pistol di balik jaket. “Namaku Jade Cassio. Lusa kemarin Caspian mengundangku untuk makan malam kemari.”

“Ya, dia memang menyebut bahwa akan ada tamu spesial yang datang.” Wanita itu mengulurkan tangannya untuk mengajak berjabat tangan. Tiba-tiba ekspresi penuh curiga yang diperlihatkannya telah lenyap, terganti dengan antusiasme yang cukup mengesankan. “Namaku Lula Briswel, senang bertemu denganmu, Jade. Silakan masuk dulu.”

Jade melangkah ke dalam, dan langsung diantar menuju ruang tamu. Selagi Lula berputar ke petak sofa di seberang, pemuda itu bertanya, “Sebelumnya aku belum pernah melihatmu di sini. Apa kau teman Caspian?”

“Aku tunangannya,” kata Lula seraya duduk. “Biasanya aku memang hanya berdiam di kamar atau beraktivitas di ruang yoga―ada di lantai dua. Aku tidak begitu perhatian kalau ada tamunya Caspian yang datang. Maafkan aku.”

Jawaban Lula langsung membuat Jade kehilangan kata-kata sejenak. Sepanjang mengenal Caspian, dia baru tahu bahwa pria parlente itu rupanya sudah punya tunangan yang sangat cantik―tampak sepadan dengan Caspian yang begitu menawan. Bila disatukan di dalam ruang pesta yang sama, seisi ruangan mungkin gempar karena seluruh lampu sorot dilahap mentah-mentah oleh mereka berdua. 

Berita baiknya, dengan ini Jade tidak perlu kebanyakan mencurigai Caspian hanya karena pria itu kedapatan sering bersikap kelewat manis pada Cordelia. 

“Kudengar yang akan datang makan malam hari ada dua orang,” Lula tiba-tiba berkata.

“Aaa, teman yang satunya tidak datang karena sedang tidak enak badan,” kata Jade, berusaha mengusir pikiran bahwa Lula mungkin bisa membaca apa yang sebetulnya terjadi. Namun, tampaknya wanita ini tidak terlalu reaktif dengan jawaban-jawabannya. Dia cenderung tenang dan sibuk dengan dunianya sendiri, seolah-olah menjadi cantik adalah sebuah pekerjaan yang harus dilakukan dengan matang. Sebab sejak tadi Lula kedapatan sering memeriksa kuku-kukunya yang dipoles, atau mengusap-usap rambut gelapnya yang terjuntai mengilap di sepanjang sisi tubuhnya. 

“Sayang sekali. Apa dia sakit keras?”

“Tidak parah, kok. Dia hanya butuh istirahat.”

“Caspian juga akhir-akhir ini sering sakit. Lusa kemarin dia terserang demam tinggi, sampai-sampai aku harus merawatnya sepanjang malam.”

Jade mengangguk. Rasanya dia jadi ingin bertanya sesuatu kepada Lula. Barangkali tentang keanehan-keanehan yang diidap oleh Caspian, seperti sikapnya yang mendadak berubah karena kerasukan sesuatu, atau hal-hal yang tidak Jade pahami mengenai karakternya. Bukankah sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyelidiki?

“Nona Lula,” kata Jade, digerogoti keraguan. “Apa kau sudah kenal lama dengan Caspian?”

“Kami sudah menjalin hubungan kurang lebih dua tahun,” kata Lula. 

“Boleh aku bertanya sesuatu tentangnya?” 

“Tentu.” Lula tersenyum, tampaknya senang bila ada orang lain yang ingin bertanya tentang pria pujaannya. Jade yang bisa menangkap hal ini mulai digigiti kelegaan. Barangkali rencananya sukses. 

“Kau mengenal Caspian, apakah itu berarti kau tahu tentang pekerjaannya sebagai kolektor benda antik?” 

“Ya, dia bahkan memiliki museum penyimpanan sendiri di ruang bawah tanah,” kata Lula. “Ada apa?”

“Apa Caspian memiliki sebuah perhiasan kalung ... berwarna merah?”

Pertanyaan Jade barusan membuat Lula sedikit menegang. Wanita itu bernapas lembut dan berusaha menampakkan raut biasa saja. Caspian sudah memberitahunya banyak hal―termasuk sinyal bahaya yang digaungkan kalung tersebut; Kalung Evangeline, begitulah sebutannya. Katanya bila kalung itu jatuh ke tangan seorang abare bernama Cordelia, maka masa kegelapan akan terulang. Lula tidak tahu apa yang dimaksud Caspian perihal masa kegelapan, tapi itu pasti sesuatu yang buruk. 

“Aku tidak tahu,” Lula akhirnya berdusta. “Memang kenapa? Apa kau mencari kalung itu untuk dikoleksi?”

“Yeah, begitulah. Beberapa waktu lalu kalung itu hilang saat aku sedang berada di rumah ini. Kupikir terselip di suatu tempat atau masuk ke kolong, tapi Caspian bilang tidak ada.”

“Kau yakin kalungnya hilang di rumah ini?”

Jade mengangguk. “Sebelum aku datang kemari, kalungnya masih ada.”

“Mungkin aku akan memberitahu Caspian soal itu. Barangkali dia bisa mencarinya lagi. Apa kalung itu sangat penting buatmu?”

“Itu adalah kalung yang ditinggalkan mendiang kakekku. Katanya kalung itu adalah benda terkutuk.”

“Benda terkutuk?”

“Orang yang memilikinya bisa mati secara mengenaskan,” kata Jade. “Kalung itu disebut juga Kalung Evangeline. Dahulu ada seorang wanita bernama Evangeline yang ditemukan tewas di dalam bak kamar mandi rumahnya dengan kondisi tubuh mengempis―pemeriksaan lebih lanjut mengatakan bahwa seluruh organ dan darahnya telah dikuras habis dari tubuhnya. Banyak yang menyangkutpautkan kasus Evangeline dengan sihir dan ritual gelap. Setelahnya, kalung itu berpindah ke beberapa orang, namun yang memilikinya tetap mendapatkan akhir yang sama―tewas menggenaskan.”

Lula menarik napas dalam-dalam. Sepanjang ingatannya, dia tidak pernah mendengar Caspian bercerita soal sejarah di balik Kalung Evangeline. Dia hanya tahu sebatas nama pemilik kalungnya―Evangeline, yang dikisahkan tanpa embel-embel kutukan, pembunuhan tragis, apalagi sihir dan ritual gelap. Cerita Jade barusan membuatnya merinding. Apakah jangan-jangan kalung itulah yang membuat Caspian menjadi lebih banyak berubah akhir-akhir ini? Lula sering menyaksikan Caspian yang terkadang seperti tidak berada dalam tubuhnya sendiri. Pikirannya sering kosong. Di beberapa waktu terakhir, pria itu kadang jatuh sakit, lalu akan bangun dengan perasaan linglung dan kacau. 

“Kalau kalung itu terkutuk, mengapa keluargamu menyimpannya?”

“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya mendiang kakekku memiliki sesuatu yang menjaganya dari kutukan. Oleh sebab itulah aku takut karena kalung itu sekarang hilang entah ke mana. Maksudku, kalau sampai ada orang yang memungutnya, bisa jadi dia mendapatkan kutukannya.”

“Mati mengenaskan?”

“Mati mengenaskan.” Jade melihat geletar kekhawatiran yang samar terpancar di mata Lula, dan berpikir bahwa jangan-jangan wanita ini memang tahu sesuatu mengenai kalung tersebut. Sekarang, Jade tersadar dirinya hampir berhasil menakut-nakuti Lula dengan sejarah Evangeline. Dan bila Lula mengakui tentang keberadaannya, maka misinya untuk merebut kalung itu akan lebih mudah.

“Begini,” Lula berkata lirih, seolah ragu, “Sebenarnya aku―”

“Jade, kau sudah datang?” Caspian tahu-tahu muncul dari ambang lorong pintu utama. Memikat, seperti biasa. Tapi raut wajahnya tampak kelelahan, barangkali karena lelah sehabis menyetir. “Mengapa kau datang sendiri? Di mana Cordelia?”

“Ah, ya. Dia tidak bisa datang karena sakit.” Jade berdiri dan berusaha memasang tampang normal, diam-diam merasa kesal karena obrolan pentingnya dengan Lula jadi berhenti. “Sejak kapan kau datang? Aku tidak dengar suara bel.”

“Barusan saja. Dan ini rumahku, untuk apa aku memencet bel?” Caspian tampaknya tidak mencium bau kecurigaan dari gelagat Jade, sebab pria itu langsung maju dan menjabat tangannya, “Ya ampun, maafkan aku karena kau harus menunggu lama. Aku baru saja pulang dari kantor seorang kurator. Apa kau sudah berkenalan dengan Lula? Dia adalah calon istriku.”

“Ya, kami baru saja berkenalan.”

“Baguslah. Lula, bagaimana menurutmu tentang Jade?”

Lula, yang sejak tadi memasang wajah gelisah, seakan agak terkejut setelah Caspian menyentuh bahunya dengan lembut. Jade bisa menangkap tanda-tanda tidak nyaman Lula―barangkali wanita itu memang masih kepikiran dengan sejarah Kalung Evangeline yang terkutuk. “Dia pemuda yang baik. Sayang sekali teman satunya tidak muncul kemari. Makan malam kita pasti akan lebih meriah.”

“Ya, sayang sekali. Tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan,” Caspian mengingatkan. Jade menatap paras Caspian yang memang terlihat agak kecewa lantaran Cordelia tidak ikut datang. Setelah berbasa-basi sebentar, Jade diminta menunggu di ruang makan. Sementara Caspian pamit sebentar ke dapur untuk memanaskan beberapa makanan yang tadi sudah dimasaknya bersama Lula, lalu kembali ke meja makan tepat pada pukul enam. 

Acara makan malam berlangsung seperti biasa. Jade tidak banyak menyumbang pembicaraan. Dia hanya mendengarkan Lula dan Caspian mengoceh ini-itu tentang beberapa hal―kebanyakan adalah soal bisnisnya dan pertemuan-pertemuannya dengan kolega sesama kolektor benda kuno, arkeolog, serta kurator-kurator profesional. Saat makanan sudah hampir habis, dan saat topik pembicaraan telah menguap, Jade akhirnya memberanikan diri bertanya, “Cas, omong-omong aku ingin membicarakan tentang belati perak itu denganmu.”

“Oh,” Caspian manggut-manggut sambil mengunyah daging domba terakhir di piringnya. “Ya, ya, maafkan aku. Seharusnya perbincangan utama kita malam ini adalah tentang itu. Jadi, bagaimana? Ada sesuatu yang mau kau ketahui dari belati itu?”

“Sebenarnya, aku ingin kau menjual lagi belati itu padaku.”

“Kenapa?”

“Karena benda itu milik kakekku. Aku pikir dia tidak ingin menjualnya kepada siapa pun. Dia ingin menyimpannya selamanya.”

“Aku sudah memiliki belati itu dengan cara legal, kau tahu bukan?”

“Aku juga ingin membelinya darimu dengan cara legal.”

Sambil menatap Jade lurus-lurus, Caspian berkata tajam, “Bagaimana bila aku tidak mau?”

“Maka aku akan memohon kepadamu,” kata Jade lugas. “Karena benda itu sangat penting, Cas. Belakangan ini aku merasa bersalah kepada kakekku karena sudah menjualnya dengan sembrono.”

“Sayangnya aku sudah terlanjur mencintai belati itu,” kata Caspian. “Aku tidak bisa menjualnya kembali kepadamu walaupun kau memasang harga yang lebih tinggi atau memohon dengan sangat. Belati itu sudah terikat denganku.”

Kata-kata terakhir Caspian membuat Jade mengernyit. 

“Terikat?” 

Tiba-tiba saja, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar denting garpu Lula yang membentur pinggiran piring dengan bunyi lirih. Wanita itu kemudian tahu ada selapis ketegangan baru yang menyelubungi ruang makan ini. Dia melihat Caspian dan Jade secara bergantian, memilih diam dan menyaksikan.

“Belati itu sudah menyatu denganku,” kata Caspian dengan nada yang mirip gumaman.

Jade sampai harus mengernyitkan mata karena tidak menangkap kata-katanya.

“Cas, apa yang kau bicarakan?” 

“Kau tahu, belati itu memilihku, Jade,” Caspian mendorong kursinya ke belakang, lalu dia berdiri menjulang di antara yang lain. “Saat kau memisahkannya dariku, sosok di dalamnya akan mengamuk. Dia akan menghancurkan siapa saja yang berani menghalangi jalannya.”

Jade mulai merasakan tanda-tanda kekeliruan di sini. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam dan mencoba meluruskan situasi, “Begini, aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Belati itu hanya warisan dari orang-orang di masa lampau, dan tidak ada kaitannya dengan―”

“DIA SUDAH MEMILIHKU!” Caspian tiba-tiba mendobrak meja dengan keras. Lula memekik, secara panik menyingkir dari kursi, sementara Jade ikut berdiri dan mundur sejenak ke belakang. Dia melihat wajah Caspian, yang terimbas bayang-bayang lampu ruang makan yang benderang. Gurat-gurat nadi keunguan menjalar di pipi dan lehernya yang berubah warna menjadi kelabu pucat―seperti kulit mayat yang hampir memasuki tahap pembusukan. Mata Caspian yang tadinya bersinar biru kini telah lenyap, digantikan dengan warna lain yang lebih pekat―semerah darah.

Jade yang masih ingin menyelidiki perubahan Caspian, mengulur waktu sebentar, “Ya, oke, oke. Dia sudah memilihmu,” katanya tenang, sementara diam-diam jemarinya merambat ke saku jaket, memastikan bahwa pistol yang dia bawa masih tersimpan rapi di sana.

“Caspian,” Lula merintih gemetar di seberang ruangan. Jade menengok pada wanita itu, yang kini balas menatapnya dengan sorot ketakutan, “Ini―ini bukan pertama kalinya terjadi.”

“Bukan pertama kali?” Jade kembali menatap Caspian. “Cas, jawab aku. Dia yang kau maksud ini siapa?

“AKU MENYURUHMU MEMBAWA GADIS ITU KEMARI!” Caspian meracau keras. Jade mengernyit mendengar warna suara Caspian berubah menjadi lebih berat dan parau―seperti bukan suaranya. Nadanya pun terdengar bengis dan penuh murka. Kerut-merut yang tetiba muncul pada wajah Caspian membuat kulitnya terlihat jauh lebih tua dan melenceng jauh dari pesona aslinya.

Pria itu telah berubah sepenuhnya menjadi orang lain.

“Maksudmu Cordelia? Kau punya niat apa mengundangnya kemari?” 

Caspian membanting kursi di dekatnya, lalu menyambar pisau yang tergeletak di piring makan. Jade menelan ludah gugup saat menyaksikan pria itu mendatanginya. 

“Kau seharusnya membawa gadis itu, bocah sialan,” geram Caspian. 

“Apa niatmu sebenarnya?”

“Kemari kau.”

“Caspian, tenanglah, tenanglah.” Jade pelan-pelan menyingkir lebih jauh. Dia mendekat pada Lula dan memberi isyarat dengan mata agar segera pergi dari sini dan memanggil bantuan. Wanita itu, beruntungnya, memahami kodenya dengan baik. Lula segera berputar dan berlari ke ruangan yang lain. Sementara Jade kembali menghadapi makhluk asing ini seorang diri. 

“Cas, aku―sial!”

Kalimatnya belum selesai lantaran Caspian menerjangnya dengan ayunan pisau.[]

-oOo-



.



.



.


Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top